Share

BAB 2 - Permainan Dimulai

Bola mata Roni mengarah pada Karina dan Mili bergantian, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku celana, berusaha menahan emosi untuk tidak masuk ke dalam sifat kekanak-kanakan Mili. Untuk ketiga kalinya dia harus menghadapi kemarahan Mili dengan masalah yang hampir sama. Serta masalahnya sama-sama berpusat pada cewek itu. Memang, menjadi ketua bukanlah tugas yang sulit, tetapi bagi Roni, selama dia menjabat sebagai ketua tim teater, sebagian besar kesulitan selalu muncul karena perbedaan pendapat dengan Mili.

Karina memutuskan diam, memeriksa peralatan make up dalam pouch di pangkuannya sambil sesekali melirik Roni, memberi isyarat agar Roni sabar menghadapi Mili. Setidaknya dia bukan seseorang yang hadir untuk menambah masalah baru karena terlalu banyak berbicara atau menasihati ini itu.

Mili mengarahkan telunjuknya ke wajah Roni. “Ingat ya Ron, gue cuma mau bawain cerita yang menurut gue bagus. Yang bisa eksplor bakat akting kita semua.”

“Ya kalau lo nggak mau, masih banyak kok anak-anak yang mau pegang peran lo.” Suara tegasnya berbarengan dengan bahu yang terangkat seolah tidak peduli.

“Lo pikir mereka bisa akting sebagus gue? Jangan sampai ada yang nilai kualitas tim teater kita turun cuma gara-gara akting peran utamanya jelek. Ini udah ketiga kalinya lo nggak mau dengerin saran gue, Ron. Jangan mentang-mentang lo ditunjuk jadi ketua deh, jadi apa-apa sesuka lo. Kar, cowok lo nih belagu banget!”

Karina masih diam. Kesal pastinya, mendengar perdebatan antara Mili dan Roni secara langsung, namun tidak dapat berbuat apa-apa. Karina hafal dengan sifat Mili, yang ingin apa-apa harus sesuai keinginannya. Karina paham kalau Roni memang harus seperti ini, tegas dan adil sebagai ketua.

Hening sejenak, tidak ada yang mau mengalah atau menyelesaikan berdebatan dengan baik-baik.

“Anak-anak lain udah nungguin tuh di dalem.” Karina bangkit dari duduknya, memeluk pouch dan bersiap masuk ke dalam ruangan latihan. “Lagian ceritanya apa juga belum ditentuin, kan? Ributnya nanti aja gimana? Kita latihan dulu.”

Perlahan lengan Karina menggandeng Mili, mengajaknya masuk.

Roni tersenyum kecil saat pandangannya bertabrakan dengan pandangan Karina. “Ya ayo kita latihan!”

Dri kejauhan, Abdul terlihat berlari ke mendekat. Sebelah tangannya menenteng jaring-jaring berisi bola, sementara sebelah tangannya lagi menepuk keras bahu Roni saat dia berhasil berada di belakang cowok itu. “Woy! Habis perang dunia lagi ya lu?”

“Bukan, Dul. Habis tawuran batin.” Roni membalas tepukan itu lebih kencang lagi di punggung Abdul. “Dari mana lo, Keriwil?”

“Gua? Dari Warung Mang Anang, biasa anak futsal pada ngumpul dulu. Yah latihan kali ini pake drama lagi dong? Gua siapin kamera dulu apa kagak nih?”

“Kunyuk!” Roni kembali menepuk keras punggung Abdul dan menyeretnya masuk ke dalam ruangan latihan.

Para anggota tim yang berjumlah tiga puluh orang sudah memenuhi ruangan latihan. Roni mengambil satu kotak berwarna putih berukuran tidak terlalu besar dari dalam lemari peralatan sebelum membuka latihan. Ruangan latihan tim teater berukuran cukup luas. Ada empat lemari besar yang bersandar di salah satu sisi. Keempat lemari tersebut berisi kostum-kostum dan peralatan panggung. Sementara di sisi lainnya tertempel aneka poster juga foto-foto perjalanan tim teater dari mulai angkatan terdahulu sampai sekarang.

Roni menaruh kotak itu persis di atas meja yang berada di hadapannya. “Oke, kita mulai latihannya.”

Setelah selesai membuka latihan, Roni meminta bantuan Karina untuk membuka kotak yang dia bawa. Kotak itu sering disebut ‘Kotak Berbicara’, kotak yang menjadi bagian penting dalam perjalanan tim teater sejak dulu. Benda sederhana yang setiap waktu berganti tangan. Kotak itu sudah ada sejak angkatan-angkatan tim sebelumnya. Selain menjadi wadah kritik dan saran, kotak itu juga menjadi tempat curahan hati para anggota tim. Masalah memang sering terjadi di antara anggota tim dan Kotak Berbicara menjadi media untuk menyelesaikannya.

“Pertama, kita buka kotak ini dulu.” Roni membuka tutup kotak yang memiliki lubang  dengan panjang 10 centimeter di tengahnya. “Ada tiga kertas nih. Mau gue bacain?”

“Sini gua aja yang bacain, Ron.” Abdul mengambil satu kertas dari dalam kotak. “Surat cinta nih kayaknye! Ihiy! Lo pada jadul banget ya, masih nulis-nulis ginian.”

“Yang tersayang, Eva.” Nada suara Abdul sengaja dibuat mendayu-dayu.

“Cieeeeee.....” Anak-anak kompak berteriak sambil mengganggu Eva yang mulai terlihat salah tingkah.

“Eva, aku sering banget lihat kamu lupa makan kalau lagi latihan. Kamu juga suka nggak ngabisin nasi kotak kamu ketika pertunjukan. Jangan gitu Eva. Aku sedih kalau kamu jadi tambah kurus. Apalagi kalau kamu sampai sakit.” Abdul melanjutkan sambil menahan tawa.

Salah satu anggota tim memotong. “Siapa tuh yang nulis? Hahahaha...”

“Norak banget! Pffft...” Anggota lainnya ikut menimpali.

“Eva, kalau kamu sakit, aku jadi sedih. Aku juga jadi ikut sakit lho. Jaga kesehatan ya Eva. Dari Akang Satria.” Abdul meremukan kertas di tangannya kemudian melemparnya ke arah Satria. “Sat, lu mau bikin surat cinta ape malu-maluin gebetan lu?”

Satria refleks berdiri dengan ekspresi wajah setengah marah, setengah kebingungan. Matanya terbuka lebar. “Bukan gue! Sumpah! Siapa yang nulis? Pakai nama gue segala. Sialan! Mainanya nggak seru.”

“Udah-udah.” Roni tertawa, meminta anak-anak untuk kembali tenang. “Masih ada kertas lain lagi nih. Biar cepat, gue aja yang bacain ya, Mili tuh emang susah dibilangin. Naro minum suka sembarangan. Udah dua kali minumnya tumpah deket audio. Kan bahaya.”

“Bukan minum gue!” Giliran Mili sontak berdiri, membela diri.

“Ya kalau gitu, siapa pun, jangan suka taruh minum sembarangan. Masa perlu gue bikin perarturan soal kayak gini?” Roni menatap satu-persatu anggota dan  meminta Mili untu kembali duduk. “Gue buka kertas terakhir, sumpah gue masih deg-degan soal kostum kebakar. Nggak ada yang mau ngurusin apa? Masa didiemin gitu doang?”

“Beres.” Roni menyudahi tanpa memberi respon. Dia tidak ingin anak-anak menjadi sibuk dengan kejadian aneh yang terjadi minggu lalu itu. “Sekarang, gue mau kalian semua vote cerita buat pertunjukan acara kelulusan nanti. Gue mau keputusan datang dari kita semua kayak biasanya. Buat ide cerita ada tiga macam. Satu ide datang dari anak Mading, satu lagi datang dari senior kita, dan satu lagi datang dari Bu Meri, guru seni lukis. Semuanya udah gue ketik di sini.” Setumpuk kertas terlihat digenggam oleh Roni dan dengan cepat dia meminta anak-anak terdekat untuk mengoper kertas-kertas itu ke seluruh anggota.

“Kalian cukup tulis satu judul di kertas yang menurut kalian oke dan cocok buat dibawain di pertunjukan berikutnya. Terus lipat dan masukin ke Kotak Berbicar. Ngerti ya? Kalau ada pertanyaan, tanya langsung ke gue. Kita bakal buka kotaknya bareng-bareng besok. Sekarang, kalau udah pada vote, beresin lemari peralatan. Soalnya berantakan banget.”

Sesuai agenda latihan yang dibuat Roni untuk hari ini, semuanya berjalan lancar. Satu-persatu anggota memasukan selembar kertas ke dalam kotak. Setekah itu mereka semua sibuk membereskan lemari peralatan sambil sesekali bercanda. Seperti biasanya.

****

Abdul mengambil satu potong tahu isi dari piring berwarna putih di atas meja. Sebenarnya Abdul malas untuk ke sekolah di hari libur tapi apa daya, ada jadwal latihan dan kumpul bersama anak teater. Dia menyisir rambut keriwilnya, berusaha membuatnya terlihat sedikit rapi meski tidak pernah terjadi, sambil terus mengunyah makanan yang ada di tangannya. Masih jam 8 pagi dan keluarganya masih asyik di kamar masing-masing.

Jadwal berkumpul adalah jam 10, ini pertanda dia masih memiliki waktu sekitar satu jam untuk sejenak bersantai menikmati acara televisi di akhir pekan.

“Dek, ada acara apa udah bangun jam segini?” Seorang wanita paruh baya keluar dari sebuah kamar yang terletak dekat dengan ruang tamu. Wajahnya persis seperti Abdul, hidung dengan ukuran sedang lebar, dan bibir yang tebal.

Wanita itu memakai kain sarung yang dijadikan rok. Rambutnya terurai keriting panjang. Kulitnya sudah berkeriput dan matanya masih terlihat mengantuk. Langkahnya tertuju ke samping Abdul yang sejak tadi duduk di kursi makan.

Abdul mencoba mengunyah tahu isi sampai habis. “Iya ada kumpul anak teater, Bu. Ini tahu isi kapan, sih? Kok tepungnya alot banget.”

“Ya yang kemarin lah. Mau dimasakin mie instan kagak? Kan Babeh kamu kemarin belanja kopi tuh. Mau kopi juga?” Wanita itu berpindah tempat, membuka gorden ruang tamu. Cahaya matahari seketika masuk menyinari seisi rumah.

“Bikinin kopi susu ya, Bu. Mie juga, mie goreng. Laper ini perut. Babeh belum bangun?”

“Tadi malam pulang kerja Babehmu maen catur sama bapak-bapak. Sampai jam berapa tuh ya, lupa Ibu. Ibu bangun sholat Subuh saja kayaknya Babehmu baru tidur.”

Setelah membuka seluruh gorden, wanita itu pergi ke dapur. Sementara Abdul tetap duduk asyik menonton televisi. Ada tayangan ulang pertandingan bola yang membuat Abdul mengganti posisinya. Tidak lagi duduk di kursi makan, namun di sofa ruang keluarga. Sofa yang kulitnya sudah tidak lagi utuh. Dia meloncat dari belakang sofa berbarengan dengan getaran ponsel di saku celananya.

“Napa, Mil?”

“Jemput gue dong. Supir gue nggak masuk. Gue ganti bensin lo, tenang aja.”

“Kapan?”

“Tahun depan.... Ya sekarang lah..”

“Ck, kalem. Gua makan dulu.”

“Jangan lama-lama! Gue ngak mau pake telat segala.”

Telepon ditutup. Tidak lama Ibu membawa satu piring mie goreng beserta kopi hangat. Menaruhnya di meja makan.

“Dek, nih kopi sama mienya. Mumpung masih panas.”

Sekolah terlihat sepi karena hari libur. Hanya ada para anggota tim teater yang satu-persatu berdatangan memenuhi ruangan latihan. Semuanya memakai pakaian bebas dan santai. Karina dan Roni datang bersama sambil membawa satu kardus air mineral yang diangkut Roni. Sedangkan Karina menenteng sekeresk cemilan. Semenjak Roni menjadi ketua tim, Roni gemar membawa cemilan bila latihan diadakan di akhir pekan. Dia cukup merasa bersalah sudah membuat jadwal latihan di akhir pekan karena dia tahu betul, jadwal sekolah yang padat menjadikan libur akhir pekan adalah hal yang sangat berarti.

“Tuh Mili.” Karina menghentikan langkah. “Jadi tukang ojek lagi, Dul?”

Abdul berjalan malas-malasan di belakang Mili sambil mengucek-ngucek matanya yang masih terasa mengantuk. “Biasa, Tuan Putri males naik kendaraan umum.”

“Eits, gue bukan males, cuma takut. Kalau gue diculik gimana?”

“Bukannya kamu ada casting, Mil? Nggak jadi?” Karina mengajak semuanya masuk ke dalam ruang latihan.

“Lo lupa? Gue kan casting besok. Makanya nanti pas pulang mau nyalon dulu.”

“Putri Indonesia tuh beda emang.” Abdul melangkah duluan dan masuk terlebih dulu ke dalam ruang latihan.

Setengah jam berlalu dari jadwal kumpul yang telah ditentukan. Ruang latihan mulai terisi penuh. Para anggota tim datang dengan ekspresi yang berbeda-beda. Sebagian besar dari mereka tampak tidak sabar untuk melihat hasil voting kemarin. Sama halnya dengan Roni yang sejak tadi sudah mengambil Kotak Berbicara dari lemari lalu membuka tutupnya. Saat itulah, kening Roni mengkerut, merasa ada yang berbeda dengan kotak di tangannya.

“Cuma empat kertas?” Karina menatap isi kotak. Tidak kalah bingung.

Roni mengangkat bahu, mengambil keempat kertas tersebut. “Bukannya kemarin kita semua masukin kertas ke sini ya? Kok cuma segini?”

Anggota tim saling memandang satu sama lain dan semuanya memasang wajah ‘sama-sama tidak tahu’. Bahkan beberapa dari mereka ikut mengangkat bahu dan menggelengkan kepala.

Karina mengambil salah satu kertas, membuka lipatannya. Lalu membaca deretan kata di dalamnya. Ekspresi wajahnya berubah drastis, bola matanya ke kanan dan ke kiri, membaca tulisan dalam kertas berulang-ulang. Tidak lama wajah berseri cewek itu menjadi pucat. “Ini.......”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status