Share

BAB 3 - Kalian Harus Tahu

Roni yang penasaran mengambil kertasa dari tangan Karina. Dia ikut membaca isinya. Dan seketika wajahnya tidak kalah pucat. Roni dapat merasakan degup jantung yang perlahan mengencang disertai otot-otot tubuh yang menegang. Dia mencoba membacanya untuk kedua kali, ketiga kali, sampai yakin bahwa apa yang baru saja dia baca benar-benar tertulis di kertas itu.

“Siapa yang nulis ini?!” Roni sedikit berteriak. Ada getar di dalam suaranya. Dia menatap wajah para anggota mendalam, berusaha menemukan Sang Penulis. Sementara para anggota tim hanya diam dan tampak terkejut dengan nada suara Roni.

“GUE TANYA, SIAPA YANG NULIS INI?” Nada suara Roni semakin kencang ditambah dengan emosi yang naik.

Mili merebut kertas itu dengan cepat, penasaran dia membacanya. “Dia yang terlihat bijaksana dan memiliki kedudukan teratas sebenarnya anak dari seorang Koruptor. Wajahnya terlalu tebal untuk menjadi pemimpin sementara ayahnya seorang pencuri kelas kakap.”

What the...” Mili tidak melanjutkan ucapannya dan memutuskan mengambil kertas lainnya, membuka satu-persatu dan kembali membacanya. “Si Pengkhianat. Dia hidup pas-pasan, terkadang menjadi babu teman-temannya. Membuat orang lain tertawa hanyalah topeng. Sudah sejak lama dia ingin menyingkirkan pemimpin karena mencintai satu orang yang sama.”

“Pasangan pemimpin adalah kotoran yang harus dibuang. Dia mengidap virus mematikan. Bagaimana bisa dia hidup bahagia tanpa rasa bersalah? Bukankah AIDS itu menular dan menjijikan?”

“Sang Pemeran Utama yang selalu sempurna dan bersinar seperti putri dari kerajaan. Sebenarnya dia hanya orang beruntung. Hanya beruntung saja sombong, bagaimana kalau menjadi seseorang yang bersinar karena berusaha keras? Memuakan! Dia pantas mati!”

Refleks Mili membuang kertas-kertas itu, melemparnya ke lantai. Sementara penghuni ruang latihan lainnya sibuk mencerna apa yang mereka dengar dan tidak butuh waktu lama mereka saling berbisik, mulai bergosip, menebak untuk siapa keempat lembar kertas tersebut.

Tawa konyol Abdul memecah suasana meneganggkan. Dia mendekati Roni, menepuk bahunya, berusaha membuat cowok itu relaks.

“Mungkin yang hari ini ulang tahun?” Abdul kembali tertawa. “Kalau mau ada kejutaan atau apa gitu, bilang dulu napa? Jujur gua bingung dah, maksunya apa? Siapa yang lagi ulang tahun dan siapa yang mau buat kejutan ulang tahun?”

Tidak ada yang menjawab pertanyaan Abdul dan semuanya terlihat menjadi lebih bingung. Seolah saling tidak tahu harus menanggapi seperti apa dengan situasi ini.

Abdul melanjutkan, “Gila ya, sekarang udah banyak aja yang keracunan sinetron. Sampai bikin kayak gini. Lu semua kagak percaya kan sama isinya? Ngaco, jelas ngaco.”

Lagi-lagi semua hanya diam dan tidak tahu harus menjawab apa.

“Latihan hari ini ditunda.” Roni membuat keputusan singkat. Situasi dan suasana ini dianggap kudah tidak lagi kondusif baginya. “Latihan berikutnya hari Selasa. Jadi..”

“Sebentar, tulisan-tulisan itu jadi gimana? Terus hasil voting-nya?” Salah satu anggota bertanya dengan nada kesal. Ekspresinya menggambarkan rasa kecewa. “Bukannya itu semua buat kalian berempat? Terus gara-gara tulisan itu kita nggak jadi latihan? Apa gimana?”

Anggota tampak merasakan hal yang sama. “Yah bener tuh. Buang-buang waktu libur. Tahu gini gue nggak usah dateng deh.”

Roni mengatur emosi yang sejak tadi terasa mengumpul dan tertahan di dada. “Gue mohon kalian semua ngerti. Latihannya diganti jadi Selasa. Kalian lihat sendiri kan, kertas kalian hilang semua?”

“Siapa sih yang ngelakuin hal lebay kayak gini? Nggak usah rese deh! Gue bisa minta Bokap gue buat nuntut lo yang bikin ini semua.” Mili bersedekap. Ada tarikan naik di ujung matanya yang menggambarkan kekesalan. “Asal lo semua tahu, gue nggak takut sama ancaman kayak gini. Nggak ada kerjaan!”

“Udah, Mil.” Karina mencoba menenangkan Mili sekaligus membuat situasi lebih tenang.

“Nggak bisa gitu dong, Kar. Mereka nyepelein gue!”

“Tapi... Mil...”

“Lagian emang lo mau terima? Lo terima dikatain mengidap AIDS? Nggak, kan?”

Air mata Karina menggenang di pelupuk mata. “Ng...nggak.... Aku....”

“CUKUP!” Suara lantang Roni membuat semua berhenti berbicara. “Latihan hari ini diganti Selasa. Gue mohon kalian ngerti. Situasi lagi nggak kondusif. Maaf kalau jadinya buang-buang waktu libur kalian.”

“Tapi Ron, sayang banget kalau hari ini harus dibatalin latihannya. Kita semua udah di sini.” Salah satu anggota tetap tidak terima, berusaha merayu Roni. Beberapa angota lain mengangguk setuju.

Roni memutar otak dan tidak tahu mengapa rasanya buntu untuk membuat keputusan yang terbaik saat ini. “Gini aja, kita bikin pemilihan ulang, tapi pemilihan ulangnya gue adain lewat email. Jadi kalian sekarang boleh pulang. Paling lambat malam ini harus udah kirim email cerita mana yang kalian pilih dan jangan lupa pake alasannya. Buat tim audio dan pencahayaan, kalian coba sekarang bikin gambaran buat pertunjukan selanjutnya. Tim dekorasi juga. Dari tiga cerita itu, yang mana yang lebih memungkinkan untuk dibawain dan nggak ribet masalah audio, pencahayaan, atau juga dekorasi. Buat menghemat pengeluaran kita juga. Sisanya kalian boleh pulang atau kalau masih mau di sekolah juga nggak apa-apa. Gue harap kalian bisa maklum.”

Susah payah Roni mengucapkan kata-kata itu dan mengeluarkan senyum menenangkan situasi yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Para anggota terlihat pasrah. Mereka mulai berpencar dan ruang latihan semakin sepi. Roni berusaha untuk tetap baik-baik saja meski tidak sedikit anggota tim yang memberi eskpresi tidak bersahabat padanya. Setelahnya dengan pelan-pelan dia mendekati Karina yang sejak tadi terteunduk, menghindari tatapan, memilih untuk tidak banyak berbicara.

Karina melirik Roni sekilas setelah cowok itu menghampiri kemudian menggenggam tangan kanannya yang kini terasa kaku. Tapi dengan seketika, genggaman itu dilepas oleh Karina. Dia menggeleng pelan, tatapannya menggambarkan bahwa dia ingin sendiri saat ini juga. Dia ingin menjauh dari siapa pun, termasuk Roni.

Tanpa kata-kata, Karina memutuskan meninggalkan Roni, keluar dari ruang latihan. Dia duduk di satu bangku panjang koridor. Tanpa direncanakan, kenangan buruk beberapa tahun lalu muncul di benaknya. Mengerikan ketika membayangkan hari-hari itu harus kembali dia hadapi. Seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia berharap, apa yang baru saja terjadi hanyalah mimpi buruk. Mimpi buruk. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status