Pemuda itu berlari sambil memegangi perutnya yang tiba-tiba saja mengalami nyeri luar biasa. Meskipun hal ini sering ia alami sedari kecil, tapi bisakah penyakit sialan itu tidak datang sekarang?
"Itu dia! Kejaaaar!" seru salah seorang sosok berjubah hitam sambil menunjuk ke arah bayangan kecil yang berlarian menyeruak hutan. Meskipun kaki-kakinya sesekali terpeleset dan hampir terjatuh, tetapi pemuda yang mengenakan pakaian hanfu biru muda itu tetap berusaha untuk bangkit dan kembali berlari meski tubuhnya sempoyongan. "Kepung dia! Ingat, jangan sampai bocah sialan itu lolos lagi!" seru pimpinan pemburu yang harus membawa anak tersebut untuk dihadapkan kepada sang pimpinan. Para pengejar segera melesat dengan gesit bagaikan terbang dan berhasil mengejar serta mengepung bocah lelaki buruan mereka. "Jangan!" Pemuda itu mengangkat kedua tangannya ke atas dengan sikap memohon, sedangkan dia sendiri melangkah mundur dan memutar tubuhnya untuk melihat seberapa banyak para pengepungnya. "Tolong lepaskan aku, Tuan-Tuan! Aku tidak memiliki kesalahan apa pun pada kalian, tapi mengapa kalian terus mengejarku?" Pemuda itu hanya bisa pasrah dan menangis ketakutan saat para pengepungnya semakin berjalan mendekat dengan sorot mata bersinar merah menyala sangat menakutkan. Pemuda tersebut memejamkan matanya dan berkata, "Tolong jangan tangkap aku! Aku masih belum dewasa dan sangat kurus. Tidak ada daging yang bisa kalian makan dari tubuhku. Tulangku bahkan sangat keras dan tidak enak. Jadi, kumohon jangan tangkap aku!" Pemuda itu terlihat sangat kasihan, tapi para pria berjubah hitam semakin melangkah maju tanpa merasa iba sedikit pun terhadap tampang buruan mereka. Tubuh pemuda itu kian gemetaran akibat menahan kedinginan dan ketakutan secara bersamaan. Degup jantungnya bahkan terus bertalu-talu serupa genderang perang. Andai bisa memilih, ingin rasanya dia pingsan saja saat ini juga. "Tuan-tuan yang baik, tolong jangan tangkap aku!" Pemuda itu terus memohon. Para pengepung semakin mendekat dan salah seorang dari mereka hendak meraih tubuh mungil yang wajahnya sudah sepucat bunga kapas. Pemuda pemilik bibir seputih kertas itu hanya bisa berbisik sambil mengepalkan kedua tangannya. "Ja--ja--jangan!" Bola mata pemuda itu hanya bisa bergerak berputar sembari menatap ngeri ke wajah-wajah yang tertutup cadar hitam. Mereka sudah selayaknya sosok-sosok hantu yang siap mencekiknya hingga mati. Pemuda itu merasa tubuhnya lemas hingga lutut pun serasa ingin jatuh ke tanah becek. Namun, ia berusaha untuk tetap bertahan sekuat tenaga. "Ya, Dewa! Apa kesalahanku kepada mereka?" Pemuda itu bertanya dalam hati. "Apakah benar-benar tidak ada seseorang yang bisa menolongku?" Pemuda itu berucap lirih. "Dewa, tolong aku!" Demi mendengar ucapan lirih buruannya, beberapa orang berjubah terlihat sinis dan melepas tawa jahat. "Kami sudah lama mengejarmu semenjak siang tadi, dan sekarang kamu sudah tak bisa lari lagi, Bocah Sialan!" Salah seorang pria berjubah hitam melangkah maju. "Dan kurasa, dewa bahkan tidak dapat menolongmu dari kematianmu malam ini!" Pemuda itu hanya bisa pasrah jika dirinya harus mati malam ini juga. Rasa sakit di perutnya masih menyiksa, memaksa dia tak dapat melarikan diri lagi. Pemuda itu memejamkan kedua matanya sambil berbisik dalam hati. 'Paman An Se, maafkan keponakanmu yang nakal ini. Mungkin aku sudah tidak dapat lagi kembali ke lembah. Semoga Paman An Se dan yang lainnya hidup dengan tenang dan bahagia tanpa ada orang yang berusaha lagi mendobrak pagar lembah hanya untuk menangkapku.' 'Terima kasih atas segala kasih sayang dan semua kebaikan yang paman dan orang-orang lembah berikan padaku. Aku akan membalasnya di kehidupan berikutnya.' Pemuda itu masih berkata dalam hati dengan perasaan sedih yang teramat sangat. "Bersiaplah untuk mati, Bocah Sialan!" Pria berjubah hitam mengangkat pedangnya tinggi-tinggi dan siap menebaskan senjata tersebut ke tubuh pemuda di hadapannya. Tiba-tiba, terdengar suara dari arah lain. "Lancang kalian semua!" Pada saat kegentingan dan ketegangan kian memuncak, terdengar suara ledakan dahsyat disertai selarik cahaya putih terang membuat para pemburu berjubah hitam terpental dan saling berbenturan satu sama lain. Namun anehnya, tidak ada satu pun dari mereka yang tampak ingin balik menyerang sosok yang baru saja menyerang mereka. Para pria berjubah hitam segera bangkit. Mereka bahkan berjalan mundur sembari menyarungkan senjata masing-masing tanpa ingin melakukan perlawanan. "Jangan menyentuhnya!" Suara bentakan keras muncul mengiringi penampakan seseorang berjubah putih dengan wajah yang tampan dan anggun. "Siapa pun yang berani melukainya barang segores saja, maka nyawa kalian akan melayang saat ini juga!" 'Akhirnya ada juga orang yang datang menolongku!' Pemuda itu merasa sangat lega. 'Terima kasih, Dewa!' Tatapan berterima kasih muncul dari sinar mata pemuda tersebut dengan datangnya sosok berjubah putih ini. Secara tanpa sadar, ia pun berlari dan merapatkan tubuhnya pada orang tersebut. "Kakak Penolong! Kakak Penolong, tolong aku!" "Kamu tenanglah. Kakak ini sudah berusaha mengurus mereka semua!" Sosok berjubah putih berkata dengan suara tenang tetapi bernada tajam. Pria itu lalu menarik tubuh pemuda itu ke belakang. "Berlindunglah di belakangku!" "Baiklah." Pemuda itu langsung bersembunyi di belakang punggung pria berbaju putih, bertingkah seperti seekor anak kucing yang manja. 'Kakak tampan ini benar-benar seorang dewa penolong!' bisiknya dalam hati.Kertas di atas meja begitu menarik perhatian An Zi dikarenakan ia juga menyukai seni melukis. Namun, dengan keterampilannya yang buruk, dia bahkan belum pernah menghasilkan gambar seindah milik An Se dan mengenai coretan tangan Yin Long, pemuda itu berpikir jika karya ini sangat unik.An Zi lantas mendekat karena merasa penasaran. "Tungku?" "Bukankah ini tungku yang digunakan untuk membuat pil obat?" An Zi melipat satu tangan di depan dada, sedangkan tangan lain menyentuh ujung dagu."Tungku?" Pangeran Hei Xian merasa heran. Tangannya langsung memutar tuas kursi roda. "Jadi itu adalah gambar tungku?"Keduanya memerhatikan secara saksama sketsa tungku yang sekarang dipegang oleh An Zi. Jadi, Yin Long duduk seharian di balik meja ini dengan begitu sibuknya hanya untuk menggambar sebuah tungku?Pengeran Hei Xian merasa bingung dengan kelakuan Yin Long yang ternyata menggambar sebuah tungku.Bukankah di dapur sana juga ada tungku?"Paman Yin, gambar tungku ini sangat bagus dan terlihat s
"Tentu saja angin segar yang berasal dari hutan bambu di sini, Paman," sahut An Zi sambil tersenyum. "Aku hanya mengikuti tuan muda ke mari." An Meng masih bersikap acuh tak acuh. Ia berdiri di samping An Zi sambu memerhatikan seluruh isi ruangan itu dengan pandangan menyelidik. Siapa tahu dia menemukan sesuatu yang patut dicurigai. "Paman Meng ini, mengapa Paman harus bersikap seperti itu? Cepat berikan barang-barang itu padaku!" An Zi menyiku lengan An Meng."Aiyaaa!" An Meng dengan kesal memberikan keranjang buah dan kotak kayu kepada sang tuan muda. An Zi menerimanya sambil melirik kesal ke arah An Meng. "Tolong jaga sikap Paman!" bisiknya, tajam."Kalau begitu, biar Paman tunggu di luar saja." An Meng berbalik badan dan pergi dari ruangan itu.Lagi pula, ia tidak memiliki kepentingan dengan siapapun di sini. Jadi dia tak perlu ikut campur dalam pembicaraan mereka. "Kalau begitu Paman boleh kembali. Biar nanti aku pulang sendiri saja!" seru An Zi. "Baiklah!" sahut An Meng sam
Keduanya langsung menurunkan tangan masing-masing dengan perasaan tak enak hati."Siapa kamu?" tanya An Zi yang merasa asing dengan pemuda yang diperkirakan usianya tak jauh berbeda dirinya.Pangeran Hei Xian menjawab, "Aku ... aku adalah tamu di sini sekaligus pasien dari Dokter Yin." 'Semoga saja dia tak mengenaliku sebagai Jatayu,' gumam Pangeran Hei Xian dalam hati. Sesungguhnya dia merasa sedikit was-was."Pasien?" An Zi memerhatikan Pangeran Hei Xian dari ujung rambut hingga ujung kaki.Ia melihat kaki kiri pemuda yang duduk di atas kursi aneh ini tampak dibalut perban dari kain putih panjang. Namun yang lebih menarik dari pemuda ini adalah penampilan fisiknya yang tidak biasa.Di belakang An Zi, mata An Meng langsung terbelalak lebar saat melihat ada seseorang yang tidak kalah rupawan dari dirinya. Ia merasa kalau pemuda di atas kursi roda ini sejenis peri pohon yang sedang menampakkan diri di hadapan manusia. "Bola mata biru, kulit giok dan rambut putih berkilau ... siapa ka
An Zi lantas menyahut dengan nada sedikit ketus dan tajam. "Paman Meng diamlah! Kalau Paman tidak mau menemaniku, Paman bisa kembali ke rumah!" "Sepertinya Paman Meng stdah tidak betah menemaniku. Kalau begitu, aku akan meminta Paman An Se agar mencarikan penggantimu." Mendengar kata 'pengganti' dari mulut An Zi, An Meng terkejut dan hatinya merasa sakit bukan main. "Mana boleh begitu?" An Meng bergerak mendekati An Zi, meletakkan keranjang bambu dan kotak kayu di lantai sebelum berlutut di hadapan sang tuan kecilnya. "Tuan Muda, tolong maafkan paman! Tolong jangan usir paman hanya karena masalah ini!" An Zi berpura-pura marah. Ia melengos sambil bergerak menjauhi An Meng.An Meng terkejut. 'Tuan Muda marah?' "Tuan Muda!" An Meng dengan cepat menyambar ujung pakaian An Zi, seakan takut jika dia akan diabaikan dan dibuang oleh anak muda yang sudah menjadi kekasih hatinya semenjak sang tuan masih balita. "Apakah Tuan Muda sudah tidak menginginkan Paman Meng ini lagi?""Aku bukan ti
Dua orang ini kembali ke dalam sandiwara mereka masing-masing."Sepertinya kamu masih trauma dengan kejadian kemarin itu," ujar Yin Long seraya meneruskan kembali pekerjaannya."Ya," sahut Pangeran Hei Xian dengan suara lirih, hatinya terasa sakit saat membayangkan tubuh para prajurit Klan Naga Hitam yang dibunuh oleh Yin Long. Tangan Pangeran Hei Xian terkepal kuat secara diam-diam. Ia berkata dengan suara dan tubuh bergetar. "Itu sangat mengerikan dan aku benar-benar tak bisa melupakannya, Paman!" Yin Long mengira jika Pangeran Hei Xian masih merasa trauma akibat peristiwa yang mematahkan kaki kirinya. "Sebaiknya kamu berusaha untuk melupakan kenangan semacam itu karena sangat tidak baik bagi kesehatan mental dan pikiranmu." "Lagi pula, mereka sudah paman kalahkan. Jadi paman rasa, mereka tidak akan datang dan tak akan berani menganggumu lagi," lanjut Yin Long, tenang. "Kalaupun mereka berani muncul di hadapan kita, kamu tak perlu merasa khawatir. Ada paman yang akan selalu menja
Siang itu, Yin Long tengah berada di ruang belajar bersama dengan Pengeran Hei Xian yang duduk di kursi roda sambil melihat-lihat buku-buku koleksi milik Yin Long. Sementara itu di dekat meja, Yin Long terlihat asyik menggambar sebuah benda berbentuk tabung bulat menyerupai kendi besar dengan empat kaki pendek melengkung dan dua pegangan menyerupai kuping poci raksasa. Dahi Yin Long sesekali berkerut, pandangan matanya menyipit sejenak, seperti tengah memikirkan sesuatu. Pri itu menghela napas pelan, lalu kembali menggoreskan penanya secara hati-hati. Tak jauh darinya, seorang anak muda duduk di kursi roda sembari membolak-balik beberapa buah buku yang tertata di rak kecil yang terbuat dari kayu albasia. Entah sudah berapa buku yang ia baca, tetapi tak ada satu pun yang menarik hatinya. Pangeran Hei Xian lama-lama merasa bosan dan mulai ingin bermain sesuatu, tapi permainan apa yang bisa dia lakukan sekarang? Kakinya bahkan tak bisa bergerak bebas dan ini sungguh menyiksany