Share

Ku Ingin Bahagia
Ku Ingin Bahagia
Penulis: Reny aprilia

Bab 1

Sebuah ikatan yang sudah lama ditunggu akhirnya terwujud. Pernikahan Hanna Davina dan Ferdi Saputra akhirnya terwujud setelah enam tahun berpacaran. Hanna yang pada saat itu masih kuliah tidak bisa menerima ajakan menikah dari Ferdi karena ingin mewujudkan keinginan orangtuanya. Selain itu, Orangtua Hanna sebenarnya tidak begitu setuju dengan hubungan Hanna dan Ferdi. Tapi karena Hanna berusaha meyakinkan, mereka pun merestuinya.

“Mas bersyukur sekali, Dek. Akhirnya penantian Mas selama ini tidak sia-sia,” ucap Ferdi sambil menatap lekat pada Hanna.

“Iya Mas, semoga pernikahan kita ini bisa jadi awal yang baru buat kita.”

Hanna dan Ferdi selama ini berhubungan jarak jauh. Mereka hanya bisa bertemu setahun sekali, kadang dua kali. Ayah Ferdi membuka usaha di luar kota, sehingga Ferdi ikut bekerja di sana. Sementara Hanna setelah lulus kuliah dia juga bekerja di luar kota. Baru lah setelah dua tahun bekerja, Hanna memutuskan untuk menerima ajakan Ferdi untuk menikah dan berhenti bekerja. Dia bermaksud untuk mencari kerja di kota tempat kelahirannya.

Sebuah awal yang baru telah dimulai dalam kehidupan Hanna dan Ferdi. Mereka berusaha hidup bahagia walaupun dengan kesederhanaan. Setelah menikah, mereka tinggal di rumah yang baru dibangun Ibu Hanna. Di rumah itu Hanna dan Ferdi tinggal bersama dengan Firman, adik Hanna yang saat itu masih duduk dibangku sekolah menengah.

Ibu Hanna yang harus berdagang di pasar tiap hari mulai pagi sampai siang merasa tidak bisa mendampingi Firman untuk menyiapkan keperluan sekolahnya. Sehingga Hanna yang diberi kepercayaan untuk mengurus adiknya.

“Han, bangun udah jam setengah lima ini. Nanti kamu kesiangan loh.”

Itu adalah ibu Hanna, Ratna. Tiap pagi sebelum berangkat berjualan ke pasar dia selalu mampir untuk membangunkan Hanna agar tidak bangun kesiangan. Karena Hanna juga harus mempersiapkan keperluan Firman untuk sekolah. Dia sengaja mampir karena arah ke pasar melewati rumah Hanna dan tidak begitu jauh dari sana. Jaraknya sekitar lima kilometer dari rumah Hanna.

“Iya bu sebentar,” pekik Hanna sambil tergesa-gesa membuka pintu untuk Ibunya.

“Han, ini sudah setengah lima. Cepat kamu siap-siap beres-beres rumah terus masak. Nanti Firman ada kelas olah raga, jangan lupa kamu siapkan baju gantinya ke dalam tas,” ujar Ibu Hanna yang sudah mulai berjalan menjauh dari rumah menuju ke arah motornya.

“Aku udah siapkan dari tadi malam baju gantinya Firman, bu,” jawab Hanna sambil merapikan rambutnya yang berantakan.

“Ya sudah kalau begitu. Ibu berangkat dulu nanti kesiangan.”

“Hati-hati di jalan.”

Setelah Ibunya pergi Hanna menutup kembali pintunya dan berjalan ke dapur untuk memulai aktivitasnya setiap hari. Sementara firman dan Ferdi masih terlelap tidur. Dan setelah jam menunjukan pukul lima, Hanna baru membangunkan mereka berdua.

“Mas, ayo bangun udah jam lima sekarang. Nanti kamu kesiangan buka tokonya.”

“Aduh, masih ngantuk Dek. Hari ini Mas nambah setangah jam ya bangunnya. Mata Mas perih banget,” rintih Ferdi yang langsung menarik kembali selimutnya.

“Kebiasaan banget sih Mas. Paling susah dibangunin. Firman aja dibangunin gak susah gini. Makanya kalau malam itu tidur jangan larut. Mas kebanyakan nonton film horor sih. Ayo bangun pokoknya gak ada perpanjangan waktu!”  seru Hanna yang mulai kesal sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ferdi.

Ferdi akhirnya bangun dan mulai bersiap untuk berangkat. Sebelumnya Hanna sudah menyediakan kopi dan sarapan untuk Ferdi. Tapi karena ferdi tidak biasa sarapan, kadang dia hanya minum kopi dan langsung berangkat ke toko. Begitu juga dengan Firman, dia sering melewatkan sarapan dan langsung berangkat sekolah.

*****

“Han, kamu lagi ngapain,” tanya Ibu Hanna yang berkunjung ke rumah.

“Diem aja dari tadi bu. Kerjaan rumah udah selesai semua jadi aku gak ada kerjaan. Bosen juga sih kadang,” jawab Hanna.

“oh iya, kamu udah selesai datang bulannya?” tanya ibu Hanna serius.

“Baru selesai hari ini Bu. Kenapa memangnya?”

“Kalau gitu cepat kamu pergi ke Bidan. Kemarin-kemarin ibu lupa mau kasih tau kamu.”

“Aku kan gak sakit bu, ngapain ke Bidan?”

“Ke bidan itu pake kontrasepsi,Han. Kamu harus pake kontrasepsi. Mumpung belum pernah berhubungan. Kamu kan pas nikahan masih datang bulan. Jangan punya anak dulu. Kamu tau kan Ferdi masih belum jelas kerjaannya. Jaga toko walaupun punya sendiri itu gak seberapa Han. Nanti malah kasihan anak kamu.”

“Kayaknya Mas Ferdi gak bakalan setuju, Bu.”

“Setuju atau tidak itu gak penting sekarang. Yang jelas biaya anak itu banyak. Kalau Ferdi pengen punya anak ya suruh dia kerja yang bener. Jangan cuma kerja di toko aja.”

“Iya, Bu. Nanti biar Hanna pergi ke bidan,” ucap Hanna pasrah.

“Bagus kalau gitu. Ibu ini cuma mengingatkan kamu, Han. Jangan sampai nanti malah anak kamu yang gak bisa terpenuhi kebutuhannya. Kan kasihan dia.”

“Ya udah kalau gitu Ibu mau tidur dulu di kamarnya Firman. Mumpung masih jam 1 siang,” ucap Ibu Hanna sambil berjalan menuju kamar Firman.

“Iya, Bu. Ibu istirahat aja dulu.”

“Loohh, Han. Kamu gak pernah beresin kamar Firman ya? Kok berantakan banget kayak begini sih, Han.” Teriak Ibu Hanna yang memulai memunguti satu persatu baju Firman yang berserakan di tempat tidur.

“Tadi Hanna sudah beresin, Bu.”

“Udah diberesin kok berantakan kayak gini. Kamu itu harusnya ngerti, Han. Adikmu itu belum bisa beres-beres sendiri.”

“Iya, Bu. Lain kali biar Hanna beresin lagi kalau Firman udah berangkat sekolah,” desah Hanna berusaha mengalah agar tidak semakin memperkeruh suasana.

Hanna dan Ibunya memang sering berselisih paham satu sama lain. Tidak jarang juga Hanna dimarahi karena hal sepele. Tapi bagi Hanna hal itu sudah biasa. Lagi pula mereka berdua tidak tinggal bersama sekarang.

Sementara itu, Hanna mulai bingung dan gelisah dengan semua kata-kata ibunya tentang memakai kontrasepsi. Dia tau pasti kalau Ferdi tidak akan setuju dan bisa jadi malah akan jadi bahan pertengkaran baru mereka. Dia terus mempertimbangkan kata-kata Ibunya. Sampai akhirnya dia memutuskan untuk menuruti Ibunya untuk memakai kontrasepsi.

*****

Hanna mengendarai motornya dengan tergesa-gesa. Setelah itu dia memarkirkan motornya di depan rumah dengan pagar warna putih. Tanpa menunggu lama dia langsung mengetuk pintu rumah itu.

“Diana, kamu di rumah? Diana? Diana?”

Tidak lama kemudian pintu dibuka oleh seorang wanita yang sebaya dengan Hanna. Dia sudah menyunggingkan senyum manis dibibirnya.

“Hai, kok tumben gak kirim pesan dulu. Kalau aku gak di rumah gimana?” ucap Diana sambil mempersilahkan Hanna masuk.

Diana adalah teman Hanna dari kecil. Mereka berdua sangat akrab. Saat dibangku Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama, mereka selalu duduk bersebelahan. Selain itu, dia teman curhat Hanna yang bisa menjaga rahasia.

“Jadi gini, Di. Aku itu lagi mau ke bidan sekarang. Kamu bisa kan nemenin aku ke bidan sebentar?”

“Kamu sakit, Han?”

“Aku gak sakit. Tapi Ibuku bilang kalau aku pakai kontrasepsi dulu dan gak boleh sampai punya anak dalam waktu dekat ini. Soalnya Mas Ferdi kerjanya cuma jagain toko.”

“Suami kamu kasih ijin gak?”

“Kalau itu gak mungkin lah dia kasih ijin. Makanya mumpung dia masih di toko, kamu antar aku ke bidan sekarang.”

“Nekat kamu, Han.”

“Gak ada pilihan lain, Di. Kalaupun aku gak ikuti kemauan Ibu, terus aku hamil dalam waktu dekat ini bisa jadi masalah baru lagi. Aku sendiri sadar kalau keuangan sekarang belum stabil.”

“Ya udah kalau gitu, Han. Tapi kamu harus hati-hati jangan sampai Ferdi tahu.”

“Beres kalau itu aku juga udah mikirin, Di.”

“Terus rencana mau pakai apa? Suntik apa pil?” tanya Diana serius.

“Kayaknya pil aja deh, Di. Aku takut suntik,” jawab Hanna sambil tersenyum malu.

“Kalau gitu ke apotek aja beli pil. Gak usah pergi ke bidan.”

“Ya udah deh terserah kamu. Kan kamu jauh lebih paham.”

“Tahu sih dikit. Soalnya aku pernah survey orang-orang yang pakai kontrasepsi.”

“Ya udah ayo.”

Sebernarnya Hanna sadar kalau keputusannya ini salah. Dia menyembunyikan sesuatu hal yang sangat penting dari suaminya. Bahkan dia tidak bertanya dulu pada Ferdi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status