Ia akan menikah dan hari ini akan menjadi hari bahagianya.
Atau itulah yang tadinya dipikirkan oleh Gladys.
“Selamat siang, semua.” Pria dengan beskap putih bersulam emas itu berdiri di panggung pelaminan. Gladys mengamati calon suaminya yang tengah menyapu hadirin dengan pandangannya yang penuh percaya diri. “Saya mohon waktunya sebentar.”
Hening.
Gladys berpikir bahwa calon suaminya akan kembali mengungkapkan rasa terima kasih dan syukurnya, serta betapa pria itu mencintai Gladys meski mereka sudah berpacaran selama bertahun-tahun. Sampai pada akhirnya, mereka sampai di hari ini.
Namun, ternyata Gladys salah.
“Saya Rafael Sanjaya, dengan ini … secara sadar membatalkan pernikahan saya dengan Gladys Maharani Wiradarma.”
Jantung Gladys terasa seperti berhenti berdetak. Suara calon suaminya itu mantap, lantang, tanpa getar, tanpa ragu sama sekali. Memantul ke seluruh ruangan megah tempat acara pernikahan digelar.
Para tamu yang sebelumnya tersenyum, kini membatu. Musik pengiring pengantin langsung terhenti. Segalanya jadi hening, sebelum keheningan itu meledak menjadi gumaman panik.
“Apa?” bisik ayah Gladys, Satrio Wiradarma, menatap Rafael tak percaya dari kursinya yang berada tepat di samping Gladys. “Apa maksudmu, Nak?”
Gladys sendiri masih mematung. Wajah cantiknya yang berlapiskan make up kini memucat. Matanya membulat, sementara bibirnya menganga tanpa suara. Dadanya terasa sesak.
Gadis malang itu kemudian menoleh ke ayahnya, lalu ke Rafael yang masih berdiri di atas pelaminan. Wajah pria itu tak menunjukkan penyesalan sedikit pun.
“Rafa … lelucon apa ini?” Suara Gladys akhirnya pecah, serak. Perlahan, ia bangkit dari kursinya, mengangkat gaun pernikahannya, lalu berjalan menghampiri Rafael meskipun langkahnya tampak sedikit limbung. “Apa maksudmu bicara seperti itu?”
Rafael menatapnya lurus, tanpa ekspresi.
“Aku tidak bisa menikahimu, Gladys. Dan aku ingin semua orang tahu hari ini juga.” Kalimat itu terucap dari mulutnya begitu ringan, tanpa rasa bersalah sama sekali. “Kamu tidak pantas menjadi istriku.”
“Rafael!” Satrio yang wajahnya sudah merah padam membentak. Sementara tubuh Gladys mendadak lemas. “Apa-apaan ini? Kamu mau menghina kami?”
Rafael tetap pada ekspresinya. Datar. “Maaf, Om. Saya tidak bisa bersama anak Om,” katanya. “Daripada saya menikahi anak Om lalu menceraikannya di hari yang sama, akan lebih baik jika saya membatalkan saja pernikahan ini.”
“Tapi, kenapa? Apa yang telah diperbuat oleh putriku?”
“Soal itu, tanyakan saja pada putri Anda. Permisi.”
Tanpa mengatakan apa pun, Rafael turun dari pelaminan dengan langkah tenang. Ia melewati Gladys tanpa menoleh. Sikapnya begitu dingin. Asing. Seolah ia bukan laki-laki yang namanya tertera dengan tinta emas di kartu undangan dan banner sebagai calon suami Gladys.
“Rafael, tunggu!” Gladys mengejarnya, memegang pergelangan tangan pria itu. “Setidaknya beri aku penjelasan! Kenapa kamu lakukan ini? Apa salahku?”
Namun, pria itu berhenti sejenak. Wajahnya akhirnya berubah—bukan iba, tapi semakin asing.
“Menjijikkan. Jangan sentuh aku dengan tangan kotormu.”
Dengan kasar, Rafael menepis tangan Gladys. Wanita itu terdorong mundur, hak tingginya membuat langkahnya limbung. Tubuhnya jatuh ke lantai karpet tebal.
Gaun putihnya mengembang. Tiara di rambutnya terjatuh. Sanggulnya terlepas hingga rambut panjangnya terurai, dan air mata kini membanjiri pipinya.
Gladys mendongak, matanya mencari Rafael yang kini berjalan pergi dengan mantap. Suaranya memecah di tengah ruangan.
“RAFAEL!!!”
Para tamu saling pandang, beberapa menunduk, sebagian lagi mengangkat ponsel untuk merekam. Bisikan-bisikan mulai terdengar.
Selama ini, Gladys berpikir bahwa hubungan mereka berdua baik-baik saja. Bahkan meskipun Rafael sempat pergi ke luar negeri untuk mengurusi pendidikan dan bisnisnya, Gladys tetap setia menunggu pria itu.
Jika memang Gladys melakukan kesalahan, bukankah Rafael punya kesempatan untuk membicarakannya dengan Gladys sebelum ini? Bukannya membatalkan pernikahan mereka secara sepihak, di depan para tamu undangan, keluarga besar, dan ayahnya?
Kenapa pria itu seakan-akan ingin mempermalukannya di muka umum?
“Kasihan sekali. Apa yang Gladys lakukan pada calon suaminya ya?”
“Iya. Kayaknya dosa besar. Sampai tidak bisa dimaafkan.”
“Jangan-jangan dia selingkuh!?”
“Bodoh kalau benar begitu. Padahal sudah dapat Rafael yang sempurna. Bisa-bisanya disia-siakan.”
“Yah, bukannya dia memang gadis bodoh sejak dulu? Makanya dia tidak bisa urus perusahaan ayahnya.”
Air mata mengalir makin deras di pipi Gladys saat bisikan-bisikan itu sampai ke telinganya. Entah siapa yang mengucapkannya, ia tidak bisa mengenali suara mereka. Ia menatap para tamu yang kini menatapnya dengan kasihan—atau lebih buruk, dengan rasa ingin tahu yang murahan. Tak ada kata yang mampu menggambarkan kondisi hatinya saat ini.
“Satrio!”
Seruan dari atas pelaminan membuat Gladys seketika menoleh ke arah sana. Ia melihat bagaimana tubuh sang ayah terhuyung, lalu jatuh disambut asisten sekaligus pengawalnya. Wajah Satrio tampak pucat, kehilangan warna. Sementara keringat dingin mengalir dari pelipisnya.
“Papi–!” seru Gladys lirih, suaranya tercekat. Ia merangkak mendekat ke arah ayahnya. Tak peduli lututnya yang panas karena gesekan dengan karpet, juga gaun panjang yang membuat gerakannya tidak leluasa.
“Papi tidak apa-apa?” tanyanya tidak yakin. Penyakit jantung sang ayah tidak mungkin ia lupakan. “Papi, maafkan aku. Gara-gara aku, keluarga kita harus menanggung malu….”
“Adys ….” lirih suara Satrio, tangan tuanya mencoba menggenggam tangan anak perempuannya. “Putriku–Adys … mungkin waktu Papi tidak lama lagi.” Suara Satria terputus-putus, tapi ia terus bicara.
“Papi mau, kamu menikah hari ini juga agar Papi masih bisa menyaksikannya.” Napas Satrio semakin berat. Dadanya sampai terangkat.
Gladys menggeleng kuat, menggigit bibirnya. Bahkan di saat seperti ini, ayahnya masih memikirkan pernikahannya.
“Jangan ngelantur, Pi. Rafael sudah pergi. Bagaimana aku akan menikah?” tanya Gladys perih.
“Rafael memang sudah pergi. Dan Papi tak akan mengizinkanmu menikah dengannya kalaupun dia kembali.”
“Lalu?” Kening Gladys berkerut.
Satrio menarik napas meski sangat kesulitan. “Menikahlah dengan pria pilihan Papi.”
“Pria pilihan Papi?” Kerutan di kening Gladys semakin dalam.
Satrio menggerakkan bola mata ke arah belakang tubuhnya meski lemah. “Ya, menikahlah dengan Tyo.”
“A-apa maksud kalian?!” Suara Gladys pecah meski gemetar. “Ini rumahku! Rumah keluargaku!”Salah satu petugas maju dengan sikap tenang tapi tak bisa disangkal ketegasannya. “Maaf, Bu. Kami hanya menjalankan putusan pengadilan. Mohon kerjasamanya.”“Tidak! Ini tidak masuk akal! Kalian pasti salah!” Gladys melangkah mundur, matanya liar menatap surat di tangannya. “Ayahku tidak mungkin….”"Surat itu sah, Bu," ujar pria itu datar. "Utang almarhum Tuan Satrio pada beberapa perusahaan dan bank sudah jatuh tempo. Tidak ada pembayaran. Proses hukum sudah berjalan. Hari ini rumah ini resmi disita.""Tidak! Kalian bohong!" jerit Gladys, memelintir surat di tangannya. "Ayahku tidak mungkin membiarkan ini terjadi! Papi tidak akan mewariskan kekacauan seperti ini padaku!"Tyo melangkah cepat ke arahnya dan mencoba menahan tubuh Gladys yang mulai bergetar tak terkendali. “Nona Gladys, tolong tenang dulu….”"Tidak! Aku tidak akan keluar dari sini! Ini rumahku! Ini kenangan ayahku… semua hidupku di
Alvin menarik kursi kayu dan duduk tepat di depan Gladys. Wajahnya tampak lembut, mata gelapnya memantulkan ketulusan yang seolah bukan kepura-puraan. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, lalu tersenyum kecil."Aku tahu ini berat buatmu, Kak," ucap Alvin pelan. "Tapi Mama dan aku di sini bukan untuk menghakimi atau menyakiti."Gladys menatap pemuda seusia dengannya itu. Ia belum bicara. Hanya menggenggam jemarinya sendiri erat-erat di atas pangkuan.“Kak, kamu gadis baik. Tidak seharusnya menghabiskan hidup dengan orang-orang yang cuma tahu bagaimana menyakitimu.”Ada guncangan di dada Gladys. Bukan karena simpati mereka, melainkan karena betapa persuasifnya semua ini. Seandainya ia adalah Gladys yang dulu, yang mudah percaya, mudah berharap, mungkin ia sudah luluh."Aku cuma ingin tenang.” Suara Gladys nyaris tak terdengar. Ia menunduk. “Tapi rasanya semua orang datang hanya untuk memaksa dan mengambil.""Tidak semua," balas Alvin cepat. "Aku dan Mama datang bukan untuk itu."Gar
“Menjauh dari istriku, Pak Rajendra!”Suara Tyo terdengar rendah namun mengancam. Rahangnya mengeras, matanya menatap tajam.Rajendra berbalik, mendengus sinis. “Istri? Kau pikir kau pantas menyebutnya begitu? Dasar lelaki tak tahu diri. Kau pikir aku tidak tahu alasanmu menikahi Gladys? Cuma demi harta, kan?”Tyo melangkah masuk. Tubuhnya yang menjulang membuatnya sedikit menunduk saat berdiri di depan Rajendra.“Saya tidak peduli apa penilaian Anda. Tapi saya tidak akan membiarkan Anda menekan Gladys lagi.”Rajendra tertawa mengejek. “Hah! Gaya bicaramu seperti pahlawan. Padahal kau cuma kacung yang numpang hidup! Dasar lelaki parasit!”Gladys menahan napas. Hatinya berdegup tak karuan. Meski Tyo hanya seorang pengawal, tetapi rasanya tidak pantas Jendra berkata demikian. Bagaimanapun, Tyo adalah suaminya sekarang. Ia tidak numpang hidup. Ia bekerja di rumah itu. Dan Jendra tidak dirugikan apa pun, bukan?“Aku tidak akan pergi sampai anak sialan ini tanda tangan!” Rajendra melangkah
Dinginnya lantai rumah sakit menembus hingga ke tulang Gladys, namun ia tak menggubrisnya. Gaun pengantin yang masih melekat di tubuhnya kini tampak kusut dan kotor. Ujung gaunnya yang menjuntai anggun kini menyeret di lantai, nyaris menyerupai kain pel.Di depan ruang tindakan, ia duduk menggigil.Matanya sembap, jantungnya berdegup liar, dadanya sesak seakan tak ada udara yang cukup untuk bernapas. Detik-detik menunggu kabar dari dokter terasa seperti hukuman abadi.“Bocah bodoh!” Rajendra—sang paman—terus mengumpat. “Ayahmu syok karena kamu berulah dan membuat Rafael mencampakkanmu. Sampai-sampai dia gila sesaat dan menyuruhmu menikahi pesuruhnya.”Tak ada empati sama sekali meski kini kakaknya dalam penanganan dokter.“Seharusnya kamu bisa bersikap waras dengan menolak, apalagi sudah aku bantu,” lanjut Rajendra. “Tapi ternyata kamu sama gilanya seperti ayahmu.”Gladys menoleh, tatapannya kosong namun dalam. Ingin sekali ia menjawab. Ingin sekali ia teriak bahwa semua ini bukan sal
“Papi… apa yang barusan Papi katakan?”Suara Gladys bergetar. Tubuhnya limbung, seperti kehilangan tulang-tulang yang menyangga dirinya. Namun, ia tetap bertahan duduk di dekat sang ayah, menatap wajah Satrio yang semakin pucat dan tersengal saat bernapas. Di sekelilingnya, pesta yang semula meriah kini berubah jadi sirkus kekacauan.Tatapannya beralih cepat ke arah Tyo. Pengawal yang dua tahun belakangan berkerja untuk keluarganya. Wajah pria itu datar seperti patung batu. Tapi bagi Gladys, justru ketenangan itu yang membuat dadanya kian sesak. Ia tidak tahu, tak bisa menebak, seperti apa isi hati pria yang kini dinginkan sang ayah untuk menikahinya.“Menikah? Dengan Tyo?” bibir Gladys bergetar. Suaranya lebih mirip bisikan ketakutan daripada pertanyaan.Satrio mencoba mengangguk. Gerakannya sangat pelan, penuh perjuangan. “Ya, menikahlah dengan Tyo. Dia … pemuda baik. Ini permintaan terakhir Papi ….”“Tidak! Aku mohon jangan berkata seperti itu, Pi.” Gladys menggeleng kuat. Kata-kat
Ia akan menikah dan hari ini akan menjadi hari bahagianya. Atau itulah yang tadinya dipikirkan oleh Gladys.“Selamat siang, semua.” Pria dengan beskap putih bersulam emas itu berdiri di panggung pelaminan. Gladys mengamati calon suaminya yang tengah menyapu hadirin dengan pandangannya yang penuh percaya diri. “Saya mohon waktunya sebentar.”Hening.Gladys berpikir bahwa calon suaminya akan kembali mengungkapkan rasa terima kasih dan syukurnya, serta betapa pria itu mencintai Gladys meski mereka sudah berpacaran selama bertahun-tahun. Sampai pada akhirnya, mereka sampai di hari ini.Namun, ternyata Gladys salah. “Saya Rafael Sanjaya, dengan ini … secara sadar membatalkan pernikahan saya dengan Gladys Maharani Wiradarma.”Jantung Gladys terasa seperti berhenti berdetak. Suara calon suaminya itu mantap, lantang, tanpa getar, tanpa ragu sama sekali. Memantul ke seluruh ruangan megah tempat acara pernikahan digelar. Para tamu yang sebelumnya tersenyum, kini membatu. Musik pengiring peng