#Flashback beberapa jam yang lalu, sebelum Bu Rodhiah berangkat pergi liburan.
Bu Rodhiah mengajak anak, menantu dan cucunya berlibur. Tanah milik suaminya yang sudah lama ingin ia jual, akhirnya laku juga. Masing-masing anak mendapatkan jatah 20%. Andi sebagai anak kedua mendapat 20%, Linda dan Hera pun masing-masing 20%. Meskipun awalnya sempat terjadi keributan karena tidak setuju, Hera yang masih single mendapatkan 20% seperti Andi dan Linda yang sudah menikah. Tapi karena semua itu sudah keputusan Bu Rodhiah, akhirnya Andi dan Linda mengalah. Pagi hari semuanya sudah bangun dan sudah bersiap. Bu Rodhiah menyewa sebuah travel, agar semua keluarganya bisa masuk dalam satu mobil. Semuanya begitu semangat mau pergi. Jika biasanya kalau hari Minggu, semuanya bangun siang. Tapi hari ini, semuanya bangun pagi-pagi. "Ayo cepat Firda! travelnya sudah di jalan!” omel Linda pada putrinya yang masih bersiap-siap. Sedangkan barang-barang yang dibawa belum disiapkan. "Iya Mah," jawab Firda santai sedang memakai outfit pilihannya. "Mamah tunggu di depan ya. Jangan lama-lama. Nanti kamu ketinggalan," ucap Linda kemudian meninggalkan anaknya di kamar sendirian. Semua sudah berkumpul di ruang tamu. Andi dengan istrinya Anisa dan beberapa tas bawaannya. Bu Rodhiah pun tidak kalah membawa tas besar. Robi yang duduk sendiri menunggu istri dan anaknya. Sedangkan Hera yang paling santai, dengan bawaan paling sedikit. "Hera, kamu bawanya dikit banget. Kamu nggak bawa baju ganti?" tanya Linda pada adiknya. "Bawa tapi cuma satu. Gampang nanti beli aja disana, repot amat," jawab Hera enteng. Ratna yang baru selesai menyiapkan makanan yang akan dibawa Bu Rodhiah sekeluarga, menghampiri Bu Rodhiah dengan rantang. "Ibu, ini makanannya ya Bu. Nasinya paling bawah," ucap Ratna menunjuk rantang paling bawah. "Iya. Kamu jaga rumah baik-baik. Warungnya nggak usah di buka. Kalau ada yang beli, ngomong aja kita lagi liburan. Kalau kamu yang terima, nanti uangnya kamu ambil," tuduh Bu Rodhiah. "Iya Bu, nggak akan aku buka," jawab Ratna sambil menunduk dan menutup kembali rantang yang tadi ia buka. "Memangnya ibu liburan berapa hari?" "Kepo amat sih Mbak," jawab Linda ketus. "Barangkali nanti ada yang tanya, jadi aku bisa jawab," tutur Ratna. "Besok malam kita pulang," jawab Bu Rodhiah. "Mbak Ratna, selama kita pergi, kamu nggak boleh masak bahan-bahan masakan punya kita ya," pesan Anisa dengan wajah menyebalkan. "Iya. Aku tahu kok," jawab Ratna. Tak berapa lama travel sewaan Bu Rodhiah datang. Bu Rodhiah meminta Ratna untuk membawakan tasnya ke dalam travel. Firda pun yang baru keluar kamar, tidak mau kalah dengan neneknya, meminta Ratna untuk membawakan tas nya ke dalam bagasi travel. Semuanya antri untuk masuk kedalam travel. Satu persatu masuk kedalam travel setelah semua tas masuk ke bagasi. Ratna yang berdiri didepan pintu rumah, menatap keluarga almarhum suaminya satu persatu masuk ke dalam travel dan setelah semua masuk, pintu travelpun ditutup. Hatinya sedih melihat Bu Rodhiah sekeluarga pergi jalan-jalan, tetapi dirinya dan kedua anaknya tidak diajak. Seakan-akan Ratna dan kedua anaknya bukan bagian dari keluarga ini. Ratna terus menatap travel itu bergerak perlahan meninggalkan halaman rumah, dan menjauh sampai akhirnya travel tersebut tidak nampak lagi. "Mertua kamu dan anak-anaknya pada mau kemana Rat?" tanya Nenek Tami, tetangga sebelah. Setiap pagi, Nenek Tami selalu jalan kaki bolak-balik di depan rumahnya. Keluarga Nenek Tami begitu baik dengan Ratna dan kedua anak Ratna. Bahkan lebih baik dibanding mertuanya. Nenek Tami dan keluarganya bahkan selalu menawarkan diri untuk mengurus Athala jika Ratna ada kerjaan di luar. "Mau pada liburan katanya Nek," jawab Ratna. "Kamu nggak diajak?" tanya Nenek Tami dibalik pagar rumahnya yang tidak terlalu tinggi. Ratna cuma tersenyum sebagai jawaban pertanyaan Nenek Tami. "Rodhiah itu memang kejam sekali sama kamu. Heran aku! Kemarin dia jual tanah, kamu dapat bagian nggak?" Deg! Mertuanya menjual tanah? Ratna tidak tahu menahu tentang itu. Mungkin saja liburan mereka karena hasil menjual tanah itu. Ratna tidak mendapat satu sen pun dari penjualan tanah. Tapi balik lagi, ia sadar diri kalau dirinya memang hanya menantu dari anaknya yang sudah meninggal. Ratna tidak mau mendengar kabar apa-apa lagi yang membuat hatinya sakit. Ia cukup tahu siapa dia disini. Meskipun sejujurnya hati Ratna sedih, tapi ia bisa apa. Suaminya juga sudah meninggal. Ia masih diterima di rumah mertuanya juga Alhamdulillah. "Aku kurang tahu tentang penjualan itu Nek. Oh ya Nek, Aku mau masuk dulu ya Nek. Mau cuci baju keburu Athala bangun," pamit Ratna kepada Nenek Tami. "Iya Rat." Ratna pun membalikan badan dan berjalan masuk ke dalam rumah. Tidak lupa Ratna mengunci kembali pintu rumah dari dalam. Ratna berjalan ke belakang, untuk melanjutkan pekerjaan-pekerjaan yang harus ia lakukan. Tak terasa air matanya keluar. Ia teringat dengan almarhum suaminya. Ratna yang sudah merendam cucian, memilih untuk mencuci baju terlebih dahulu sebelum mencuci piring dan membersihkan rumah. Sedangkan untuk masakan, semua sudah matang karena Ratna masak terlebih dulu sesuai permintaan mertuanya. "Mas Anto, kenapa kamu meninggalkanku sendirian? Aku lelah Mas. Aku lelah! Aku ingin ikut denganmu, tapi nanti kasihan anak-anak," gumam Ratna sambil mencuci baju. Tak terasa air matanya keluar mengingat almarhum suaminya. Beban hidup Ratna saat ini begitu berat. Ia bertahan hanya karena kedua anaknya. Suaminya adalah lelaki yang begitu baik. Ia sangat meratukan Ratna. Bahkan saat suaminya masih hidup, jarang sekali Ratna masak. Semua sudah disiapkan oleh suaminya. Keluarga suaminya pun menghormati Ratna, karena Anto yang tidak pelit, selalu memberi uang kepada keluarganya. Tapi semenjak suaminya meninggal, keadaan berubah 180'. Mertuanya jadi super jahat. Ratna benar-benar dijadikan seperti pembantu, begitupun dengan ipar-iparnya yang tidak kalah jahat. Selalu menganggap tenaga Ratna tidak ada harganya. Ratna menangis sambil mencuci. Ia begitu merindukan sosok Anto, almarhum suaminya. #Flashback Off. _____________ Waktu berlalu begitu cepat. Keluarga Bu Rodhiah pun sudah kembali dari liburannya. Tapi tidak satupun dari mereka yang membelikan oleh-oleh untuk Ratna dan anaknya. Andini yang akan pergi ke Jakarta dengan mengajak ibu dan adiknya, sudah membelikan tiket untuk ibunya dan adiknya. Mereka akan pergi menggunakan kereta api. Andini memang sudah menyuruh ibunya untuk tidak mengatakan kepada neneknya. Mereka akan pamitan ketika mau berangkat saja. Sepulang sekolah, Andini pergi ke toko penjual ponsel untuk membeli ponsel dengan kamera yang lebih jernih, dan memori yang lebih besar untuk menyimpan video. Alhamdulillah tabungannya sudah lumayan. Terkadang sehari Andini bisa mengerjakan 5-7 endorse. Hampir setiap hari, Andini tidur larut malam karena edit video. Bahkan kalau banyak revisi, Andini bisa tidur jam 3 pagi. “Mau cari yang tipe apa Mba?” tanya seorang karyawan toko. “Yang kameranya jernih dan memorinya besar, ponsel yang mana ya Mas?” tanya Andini meminta saran ke karyawan toko. “Mba nya mau di pakai untuk bikin video?” tanya karyawan tersebut. “Iya Mas,” jawab Andini. “Mending ini aja Vivo V30e RAM 8gb ROM 256gb,” ujar karyawan tersebut. “Kameranya gimana Mas?” tanya Andini lagi. “Sebentar saya perlihatkan langsung saja, biar Mba nya puas.” Karyawan itu pun mengambilkan sampel ponsel yang ia tawarkan. Ia menyalakan ponsel tersebut dan menunjukkan kamera dari ponsel tersebut. “Bagaimana Mba?” tanya karyawan tersebut sambil memberikan ponsel tersebut. “Bagus, jelas juga. Ini sampai berapa Mas?” tanya Andini. Ia takut budgetnya kurang. Sayang juga kalau beli yang terlalu mahal. Minimal beli dengan spek yang lebih tinggi dari ponselnya. Karena beberapa kali ponselnya sudah mulai eror gara-gara kebanyakan video. “Ini 4.699.000 dapat free kartu dengan isi kuota 8 GB,” jawab karyawan tersebut. “Lumayan juga ya Mas,” ujar Andini. Hampir 5 juta hanya untuk membeli ponsel ini. Uang segitu sangat banyak bagi Andini. Tapi ini juga sebagai inventaris untuk dirinya mencari uang. Andini pikir-pikir ulang, sebelum akhirnya dia mengiyakan. “Bagaimana Mba?” tanya karyawan toko. “Okelah Mas, saya ambil. Saya bayar pakai Qris bisa?” tanya Andini. “Bisa Mba.” Setelah proses pembelian selesai, Andini langsung pulang ke rumah. Hatinya begitu bahagia karena akhirnya bisa membeli ponsel baru. Gadis itu selalu menyemangati dirinya untuk terus berkarya. Ia yakin, jika ia rajin berusaha, ia akan mendapatkan apa yang ia inginkan. Andini sampai di rumah. Gadis itu memarkirkan sepedanya di depan rumah. Disamping motor milik Firda. Terlihat Athala sedang bermain di rumah nenek Tami. Ibunya sedang membantu neneknya di warung. Tidak ada kata istirahat untuk ibunya. Jika pekerjaan rumah sudah selesai, ibunya diwajibkan membantu Nenek Rodhiah di warung. “Athala, pulang yuk,” ajak Andini kepada adiknya. Athala langsung bangun melihat kehadiran kakaknya. Anak kecil itu langsung meminta gendong Andini. “Anak pintar. Main sendiri ya,” ucap Andini pada adiknya. “Mba Mira, Athala pulang dulu ya,” pamit Andini pada Mira, anak SD pemilik rumah, cucu dari Nenek Tami. “Iya Athala. Besok main lagi ya,” ucap Mira sambil berdadah-dadah. Gadis kecil itu memang sangat menyukai Athala. Keluarga Mira pun sangat menyayangi Athala, berbeda dengan Tante, Om dan Nenek Athala sendiri, yang selalu mengucilkan Athala. Andini membawa adiknya masuk ke rumah. Di ruang tamu terlihat Firda sedang makan dan duduk bareng ibunya, Linda. Mereka hanya melirik sinis ke arah Andini. Andini pun tidak peduli, ia segera membawa adiknya ke kamar. Tak berapa lama, saat Andini sedang mencoba ponsel barunya. Tiba-tiba pintu kamar terbuka, yang ternyata ibunya. “Kakak sudah pulang? Kok tumben lama,” tanya Ratna. “Iya Bu. Tadi Kakak beli ini dulu,” jawab Andini sambil menunjukkan ponsel barunya. “MasyaAllah. Kakak beli ponsel baru?” tanya Ratna dengan wajah sumringah. “Iya Bu. Untuk kebutuhan membuat konten. Ponselku sudah sering eror,” jawab Andini. “Alhamdulillah, ibu ikut senang. Semoga berkah terus ya Sayang. Ibu selalu doakan Kakak, semoga rezekinya lancar terus.” “Aamiin. Oh ya Bu, Kakak sudah beli tiket untuk besok keberangkatan kita ke Jakarta. Tapi Kakak pilih yang berangkatnya pagi-pagi biar harganya murah. Nggak apa-apa ya Bu,” ujar Andini sambil mengambil tiket dari tas nya dan menunjukkan ke ibunya. “Nggak apa-apa, Sayang. Mau pagi, mau malem. Ibu mah oke saja. Ibu seneng bisa diajak jalan-jalan.” “Ibu sudah ngomong ke Nenek?” tanya Andini. “Belum.” “Bagus lah. Besok saja kita pamitannya mendadak. Ngomong aja kita mau ke rumah temanku ya Bu, jangan ngomong kalau aku ada kerjaan.” “Iya Sayang, ibu paham.” Keduanya saling tersenyum. Dibalik kesedihan Ratna, ada kebahagiaan karena memiliki anak seperti Andini yang bisa mandiri di usia muda.Kepala Bu Rodhiah terasa berdenyut saat mendengar bahwa bangunan kontrakan yang sedang dibangun di tanah sebelah tanah miliknya adalah milik Ratna dan Andini. Dadanya terasa sesak. Ia sulit mempercayainya.Menantu yang dulu miskin, yang sering ia pandang sebelah mata, kini benar-benar menjadi kaya raya? Tidak masuk akal! Lebih tepatnya, Bu Rodhiah tidak terima kenyataan itu.Ia duduk di kursi kayu di teras rumahnya, mengetuk-ngetukkan jarinya ke lengan kursi dengan wajah muram. Pikirannya kalut. Bisa saja ini hanya akal-akalan Ratna, batinnya. Mungkin saja wanita itu membayar laki-laki tadi untuk berbohong dan mengatakan kalau Ratna lah sebagai pemilik bangunan itu, hanya agar dirinya merasa iri dan tak bisa tidur nyenyak."Tidak, ini tidak mungkin!" gumamnya lirih.Hatinya terus bergejolak. Semakin dipikirkan, semakin ia merasa curiga. Jika benar Ratna membeli tanah itu, pasti kakaknya memberitahunya. Tapi ini tidak ada pun yang memberitahunya? Ia tak akan diam."Hera, ayo kita ke ru
Matahari bersinar terik di langit siang, menyorot tanah yang berdebu dan panas. Suara palu berdentam bersahutan dengan deru mesin bor yang menggema di area pembangunan kontrakan. Ratna dan putrinya, Andini, berjalan menyusuri tanah yang masih setengah rata, membawa beberapa kantong plastik besar berisi makanan dan minuman. Keringat mulai mengalir di pelipis mereka, tetapi senyum tetap menghiasi wajah keduanya.Ketika mereka mendekat, seorang pria berbadan tegap dengan kaus lusuh yang basah oleh keringat menoleh. Wajahnya langsung berbinar begitu melihat mereka."Wah, Bu Ratna dan Mbak Andini datang!" serunya, mengusap tangannya yang berdebu ke celananya sebelum melangkah mendekat.Pria itu adalah Pak Sarman, mandor proyek yang mengawasi pembangunan. Para pekerja lain yang tengah sibuk memasang bata dan mengangkat semen menoleh, lalu menghentikan pekerjaan mereka sejenak.Ratna tersenyum hangat. "Iya, Pak Sarman. Saya bawakan makanan buat bapak-bapak semua. Capek, kan, kerja di bawah p
Bu Rodhiah baru saja pulang dari rumah sakit ketika Hera menyambutnya dengan penuh semangat. Wajah wanita paruh baya itu tampak letih, matanya sayu, dan langkahnya sedikit terseret. Beberapa jam di rumah sakit membuatnya kelelahan, terutama karena harus bergantian dengan Linda mengurus cucunya yang baru lahir, sementara Andi sedang keluar."Ibu capek banget ya?" tanya Hera, membawakan segelas air putih.Bu Rodhiah hanya mendesah panjang. Ia melepas kerudungnya dengan gerakan malas, lalu menghempaskannya ke kursi sebelum duduk dengan lemas. Setelah meneguk air, ia akhirnya membuka suara."Anisa baik-baik saja, bayinya juga sehat," katanya, suaranya terdengar lemah namun tetap mengandung nada kesal. "Tapi kamu tahu sendiri Anisa itu. Baru melahirkan saja sudah banyak maunya. Minta dirawat di ruang VVIP, katanya capek habis melahirkan. Habis itu, dia nyuruh-nyuruh Ibu dan Linda ini-itu, rempong sekali!"“Ya kan Lin?” tanya Bu Rodhiah pada Linda yang sedang berjalan menuju kamarnya.“Iya.
Andi menundukkan kepala, menahan rasa gengsi yang sejak tadi bergolak dalam dadanya. Tangannya mengepal di atas pahanya, lalu membuka dan mengepal lagi, seolah sedang menimbang-nimbang sesuatu.“Mbak…” suaranya terdengar ragu, hampir berbisik.Ratna menghela napas pelan, tetap duduk tenang di kursinya. Ada firasat tidak enak yang menyelinap di benaknya. Tatapannya mengamati Andi, adik iparnya yang kini tampak gelisah.“Ada apa?” tanyanya akhirnya.Andi menelan ludah, mengangkat wajah sekilas sebelum menunduk lagi. Ia mengatur kata-kata dalam kepalanya, takut terdengar memalukan.“Aku, ingin meminjam uang, Mbak.”Ratna mengangkat alisnya sedikit, meski ekspresinya tetap datar. “Untuk apa?”Adik iparnya itu tidak termasuk orang yang kekurangan. Ia tahu Andi memiliki pekerjaan tetap di sebuah bank, gajinya pun lumayan dibanding suami Hera dan Linda. Jadi, kenapa sampai harus meminjam uang? Atau memang ada sesuatu yang benar-benar urgent?“Anisa baru saja melahirkan,” jawab Andi pelan.Ra
Andi menghela napas panjang, matanya menatap lekat istrinya yang duduk di sofa dengan wajah tertunduk. Di sudut ruangan, beberapa kantong belanjaan berisi perlengkapan bayi berjejer rapi—baju-baju mungil, selimut lembut, box bayi, ayunan, hingga stroller mahal yang harganya pasti tidak murah.Jantungnya berdebar tak nyaman. Dari mana Anisa mendapatkan uang untuk membeli semua ini? Seingatnya, setiap bulan uang yang ia berikan selalu habis tanpa sisa."Dari mana kamu dapat uang buat beli semua ini, Nis?" tanyanya dengan suara yang berusaha ia tahan agar tetap tenang. Namun, gejolak dalam dadanya sudah tidak bisa dibendung.Anisa masih menunduk. “Uangku,” jawabnya pelan.Andi mengernyit. “Uang dari mana? Bukankah uang yang aku kasih tiap bulan langsung habis?”Anisa menggigit bibirnya. Tangannya meremas kain dress yang ia pakai, seolah mencari pegangan agar dirinya tetap kuat. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, tapi ia tetap diam. Ia takut Andi curiga, dan mencari tahu darima
Tok! Tok! Tok!Terdengar suara ketukan dari luar. Ratna yang sedang menggoreng pisang, segera mematikan kompor dan keluar. Ia membuka pintu, dan terlihat Erwin ada di depan pintu.“Assalamu alaikum Bu,” ucap Erwin kemudian mencium punggung tangan Ratna.“Wa alaikum salam. Duduk dulu Nak Erwin. Ibu lagi goreng gorengan pisang, sebentar ya,” ucap Ratna mempersilakan kemudian masuk ke dalam.Tak berapa lama, Ratna keluar dengan membawakan minuman dan gorengan pisang. Ia letakkan di atas meja tepat didepan Erwin.“Athala kemana, kok nggak ada suaranya,” ucap Erwin.“Dia sudah tidur dari sore. Sepertinya kelelahan.”“Athala sekarang setiap hari yang jemput Rio ya Bu.”“Iya. Andini sekarang ada tambahan pelajaran sampai sore, makanya yang jemput Rio. Tapi kalau Andini pulang cepat, selalunya Andini kok yang jemput.”“Andini nya sekarang mana Bu?” tanya Erwin.“Dia belum pulang. Biasanya dia pulang jam 9,” jawab Ratna."Setiap aku ke sini, kok Andini nggak pernah ada sih, Bu?" tanyanya, sedi