LOGINPuluhan cabang restoran geprek milik Gendis saat ini memang sedang ramai-ramainya. Atas usulan Reyhan, Gendis akhirnya setuju buka cabang di luar kota. Bandung dan Bogor adalah salah kota yang dianggap cocok. Gendis mempercayakan semua pada sang suami.
Jujur, kepercayaan itu justru membuat Reyhan bertindak sesuka hati. Pembangunan restoran itu memang sedang berjalan, tetapi suami Gendis justru semakin sibuk jajan di luar. Aplikasi kencan salah satu cara yang dipakai Reyhan untuk mendapatkan gadis-gadis itu. "Kamu mau ngomong apa tadi?" tanya Gendis pada sang asisten--Novita. "Aku taruh tas dan barang-barang dulu," lanjut Gendis berjalan menuju ke arah meja besar yang letaknya di dekat ruang makan. Novita mengekori Gendis dengan perasaan takut luar biasa. Masalah rumah tangga Gendis sudah berada di ujung tanduk saat ini. Salah bicara bisa berakibat fatal. Novita tidak mau menambah masalah Gendis saat ini. "Anu... Mbak Gendis, saya pernah lihat wallpaper Mas Reyhan ganti." Novita menatap Gendis yang kini juga menatapnya. "Ganti gimana? Dia pakai default yang aku tahu," kata Gendis yang kini duduk sambil mengeluarkan barang-barang yang dibawanya. "Saya lihat ada foto perempuan dan itu ganti-ganti. Saya pikir itu foto artis, tapi kok ada foto yang sama," adu Novita dengan tegang. "Sama?" Gendis mengerutkan dahi, mencoba menebak ke arah mana pembicaraan sang asisten. "I-iya, Mbak. Sama dengan foto yang Mbak Gendis tunjukkan pesannya saat di rumah Ibu," kata Novita yang saat ini menatap Gendis yang sedang terkejut. Gendis sibuk mencerna setiap kata yang keluar dari mulut sang asisten. Novita bukan hanya seorang asisten bagi Gendis, tetapi juga sahabat dan saudara bagi Gendis. Novita juga sangat setia pada Gendis dalam keadaan suka dan duka. Gendis merasa sangat teledor sekarang. "Itu setiap kali pulang dari luar kota selalu saja beda gampar wallpaper ponselnya, Mbak. Saya pikir itu foto artis mana dan Mbak Gendis sudah tahu. Kok malah nggak tahunya perempuan gila," kata Novita membuat Gendis semakin meradang. 'Sejak kapan? Aku bahkan tidak pernah mengejek ponsel laki-laki kurang ajar itu?' Gendis mulai memikirkan banyak hal. Ternyata tidak hanya satu atau dua perempuan, tetapi banyak. Reyhan pemain, dan bahkan mungkin sudah sangat ahli. Gendis tidak menyadari sejak awal. Ia hanya dimanfaatkan sebagai mesin atm berjalan. "Mbak Gendis baik-baik saja?" tanya Novita yang merasa tidak enak hati saat melihat keadaan Gendis saat ini. "Justru ini yang nggak aku tahu. Aku juga nggak pernah kontrol ponsel dia. Hanya rekening saja yang berkurang banyak. Aku besok akan minta pihak bank menunjukkan ke mana aliran dana si Reyhan selama ini. Aku yang cari duit, dia yang gila habisin duitku! Sialan emang. Arghh...!" Gendis kesal dengan keadaan dan diri sendiri. Sementara itu, Reyhan kali ini tidak punya cara lain lagi. Seluruh fasilitas sudah diblokir oleh Gendis tanpa ada pemberitahuan. Ia tidak bisa menerima keadaan. Gendis yang marah, ternyata sangat mengerikan. "Han... ini tagihan air dan listrik harus segera dibayar. Atm Ibuk nggak bisa dipakai. Ibu juga nggak punya uang cash banyak," kata Bu Rusmi yang baru saja pulang dari salah satu kantor cabang bank swasta untuk membayar tagihan listrik dan air. "Punyaku juga nggak bisa dipakai, Bu. Kartu kreditku juga sama sekali nggak bisa. Emang ini yang punya Gendis. Aku suaminya dan harusnya bisa pakai," kata Reyhan yang tidak tahu diri. "Han... jangan sampai semua kartu-kartu ini diblokir sama Gendis? Duh Gusti... mau gimana kita?" Bu Rusmi kali ini sangat panik karena hanya memegang uang lima puluh ribu dan tidak ada bahan makanan sama sekali. "Buk... suamiku dipecat dari restoran Mbak Gendis. Emang kenapa, ya? Mana nggak ada gaji dan suamiku mendapatkan blacklist loh," kata Ayu yang baru saja datang dan menyela obrolan Reyhan dan Bu Rusmi. "Walah... Gusti Allah, ini udah mengerikan, Han. Lihat itu, suami Ayu udah dipecat." Bu Rusmi semakin panik. "Trus Gendis sendiri yang mecat atau gimana?" tanya Bu Rusmi menatap Ayu yang kini tampak kebingungan. Ayu jelas bingung bagaimana mau menjelaskan pada sang ibu dan kakak laki-lakinya. Sang suami--Adam jelas melakukan kesalahan, tetapi itu bisa diobrolkan baik-baik. Bukan langsung dipecat seperti ini. Ayu kali ini menatap ke arah sang kakak. "Mas... bilang sama Mbak Gendis. Kita keluarga dan bisa diomongkan baik-baik. Mas Adam juga nggak ada niat buat lari. Suamiku pasti kembalikan kok uang itu." Ayu mencoba berbicara pada sang kakak. "Uang apa maksud kamu?" Reyhan menatap ke arah Ayu dengan tatapan tajam. Ayu mengembuskan napas perlahan. Ia tahu, Reyhan pasti akan marah besar. Ayu kali ini harus memutar otak. Ia tidak mau rugi. "Mas Adam pinjam uang di restoran. Itu juga udah izin sama bendaharanya. Nah, dadakan dipecat sama Mbak Gendis lewat HRD. Mas Adam nggak banyak kok ngutangnya, hanya seratus juta," kata Ayu membela sang suami. "Seratus juta?!" Reyhan membentak Ayu dengan keras. "Heh! Kamu itu lebih tepatnya kalian emang nggak tahu diri. Masalahku sama Gendis itu lagi runyam-runyamnya. Jawab jujur! Adam nggak pinjam, 'kan?!" bentak Reyhan kali ini sambil menggebrak meja dengan kasar. Ayu kesulitan menelan saliva. Ucapan sang kakak benar adanya. Sang suami mengambim uang itu tanpa izin alias menggelapkan uang. Kasus Adam bahkan sudah dilaporkan pihak berwajib, hanya saja mereka semua tidak tahu. Ayu masih tampak santai saat ini. "I-iya, Mas. Tapi, Mas Adam juga mau balikin kok." Ayu membela diri dan suaminya dari amukan sang kakak. Reyhan meremas rambut dengan kasar. Gendis akan punya cara untuk tetap berpisah dengannya. Reyhan mencengkeram kerah baju sang adik dengan kasar. Bu Rusmi kali ini sangat panik. "Han... ingat, dia adikmu. Jangan kasar. Ayu pasti punya alasan," kata Bu Rusmi setengah berteriak dengan suara kencang. Suara Bu Rusmi menggundang rasa penasaran para tetangga. Mereka berdatangan dan melihat Reyhan yang bersiap membanting sang adik. Tanpa aba-aba, Reyhan menghempas tubuh sang adik ke tembok dengan kasar. Ayu memekik, menahan rasa sakit yang luar biasa. "Kalian lihat apa?!" Suara Reyhan menggelegar memenuhi ruangan. "Istigfar Mas Reyhan. Kasihan Mbak Ayu," kata salah satu tetangga Reyhan yang tidak tega melihat Ayu. Mendadak Ayu memekik keras sambil memegangi perut. Darah segar mengalir di sela-sela paha wanita itu. Reyhan sangat syok dan langsung membopong Ayu. Ia memasukkan Ayu ke dalam mobil yang dibawanya dari rumah sang mertua--mobil milik Gendis. "Yuk, kamu masih kuat?" tanya Reyhan sambil menyetir dengan kecepatan tinggi. Mata Ayu mendadak tertutup rapat. Sang adik pingsan. Reyhan semakin panik dengan keadaan ini. Astaga! Ujian apa lagi ini?""Lha kamu kok emosi sama aku. Sama si Ayu, adik kamulah. Makanya jangan sibuk sendiri dengan selangakan perempuan di luar sana. Perhatikan adik kamu. Berita itu udah nyebar," kata Gendis sangat santai dan membuat Reyhan mengusap wajah dengan kasar. Reyhan tidak tahu jika Ayu dan Andika ada hubungan. Ia juga tidak tahu menahu jika sang adik ipar ternyata mandul. Reyhan kali menatap Gendis yang sibuk dengan laptop di depannya. Ia tidak tahu apa yang sedang dikerjakan oleh Gendis. "Kamu itu kalo mau jatuhin aku jangan juga menjatuhkan nama baik adikku dan suaminya, Ndis. Aku tahu salah. Tapi, tolonglah. Aku nggak mau masalah rumah tangga kita merembet ke mana-mana. Kamu harusnya tahu siapa Mas Andika itu. Keluarga dia rata-rata polisi. Kamu nggak takut kalo dituntut sama mereka?" Reyhan mencoba menjatuhkan mental sang istri."Lha apa aku harus takut? Makanya buka media sosial. Jangan hanya seputar circle kamu aja, Han. Berita Ayu dan Andika lagi rame di kalangan pengusaha muda." Gendis
"Kamu sejak tadi ngoceh nggak jelas. Langsung aja ke mana arah pembicaraannya. Aku banyak kerjaan, Han," kata Gendis dengan nada datar."Kok, kamu nggak dengerin ucapanku. Aku minta maaf atas kekhilafanku, Sayang. Perempuan itu menggoda dan menjebakku. Demi Allah, aku nggak ada niat selingkuh dari kamu." Reyhan mulai memainkan akting epik yang dikatakan oleh sang ibu."Oh, ya? Aku udah tahu kok. Kamu tenang saja," kata Gendis yang mendadak berubah sikap, menjadi lebih lunak.Hati Reyhan bersorak girang saat ini. Ia tahu jika sang istri sangat bucin padanya. Ternyata benar kata sang ibu, minta maaf adalah solusi terbaik. Gendis tampak biasa saja."Oh, ya, Sayang, makasih banyak kamu udah bayarin biaya rumah sakit Ayu." Reyhan semakin tidak jelas."Oh, si Ayu sakit? Emang sakit apa?" tanya Gendis dengan wajah polos."Nggak usah bercanda, Sayangnya aku. Aku tahu, kamu suka ngasih aku dan keluargaku kejutan. Tapi, kali ini aku makasih banget. Kamu selalu ada saat aku terpuruk," kata Reyha
Tagihan uang biaya perawatan Ayu jelas tidak main-main. Reyhan pusing dengan keadaan ini. Adam--sang adik ipar saat ini masih menjalani pemeriksaan di kantor polisi. Gendis ternyata tidak main-main saat ini, laporan itu benar-benar dibuat."Pak, mohon ditandatangani, semua biaya sudah dibayarkan." Seorang perawat membuyarkan lamunan Reyhan yang sejak tadi memilih duduk di luar kamar rawat inap sang adik. "Janin dan ibunya berhasil selamat," kata perawat itu sambil menyerahkan map yang berisi jumlah tagihan milik Ayu. "Mbak... ini siapa yang bayar?" tanya Reyhan sambil menatap ke arah perawat cantik itu."Wah... kalo itu saya tidak tahu. Ini dari pihak administrasi hanya meminta saya untuk menyerahkan bukti tanda sudah lunas saja sebelum Bu Gendis pulang sore ini," kata perawat itu ramah."Oh, gitu? Baik. Terima kasih, Mbak. Mbak, saya boleh minta nomor ponsel? Siapa tahu ada yang adik saya butuhkan." Reyhan masih saja tebar pesona saat ini."Boleh, Pak." Perawat itu menyerahkan tiga
Puluhan cabang restoran geprek milik Gendis saat ini memang sedang ramai-ramainya. Atas usulan Reyhan, Gendis akhirnya setuju buka cabang di luar kota. Bandung dan Bogor adalah salah kota yang dianggap cocok. Gendis mempercayakan semua pada sang suami. Jujur, kepercayaan itu justru membuat Reyhan bertindak sesuka hati. Pembangunan restoran itu memang sedang berjalan, tetapi suami Gendis justru semakin sibuk jajan di luar. Aplikasi kencan salah satu cara yang dipakai Reyhan untuk mendapatkan gadis-gadis itu."Kamu mau ngomong apa tadi?" tanya Gendis pada sang asisten--Novita. "Aku taruh tas dan barang-barang dulu," lanjut Gendis berjalan menuju ke arah meja besar yang letaknya di dekat ruang makan.Novita mengekori Gendis dengan perasaan takut luar biasa. Masalah rumah tangga Gendis sudah berada di ujung tanduk saat ini. Salah bicara bisa berakibat fatal. Novita tidak mau menambah masalah Gendis saat ini."Anu... Mbak Gendis, saya pernah lihat wallpaper Mas Reyhan ganti." Novita menat
Gendis melajukan mobil menuju ke rumah. Jangan tanya ke mana Reyhan. Gendis sudah mengusirnya karena rumah itu dibeli atas nama dirinya. Reyhan entah pulang kemana, ibu satu anak itu sudah tidak peduli lagi."Mbak Gendis yakin dengan apa yang dilakukan saat ini?" tanya sang asisten saat mobil berhenti di lampu merah jalan menuju rumah Gendis."Yakin. Lagi pula, semua bukti sudah aku kantongi. Mau apa lagi dia?" Gendis mengembuskan napas kasar. "Nov, aku harusnya peka. Dari awal dia udah selingkuh. Bodohnya aku malah memaafkan. Dia itu hanya karyawan aku," kata Gendis yang kali ini semakin kesal."Mbak... sebenarnya aku mau cerita dari lama...." Novita tampak menjeda kalimatnya, sengaja memilih kalimat yang tepat agar tidak menambah rumit masalah rumah tangga Gendis."Kamu ngomongnya di rumah aja. Tanggung, bentar lagi sampai rumah," potong Gendis dengan cepat.Novita hanya diam saat ini. Antara takut dan tidak ingin memperkeruh keadaan. Gendis sejak dulu terkenal tegas. Saat ini sudah
"Kamu yang ngotot cerai kok harus aku yang disalahkan? Kamu punya bukti apa kalo aku selingkuh?" Obrolan pasangan suami dan istri di depan dua keluarga kali ini sudah memanas. Reyhan merasa sang istri--Gendis sudah menuduh tanpa bukti di depan keluarga besar. Mereka memang sedang bertengkar besar masalah keluarga. Biasalah, konon jika menikah muda pasti ada saja masalah yang datang. Ego pasangan suami dan istri itu terusik satu sama lain. Lima tahun menjalin rumah tangga ternyata tidak membuat Reyhan berterima kasih pada sang istri. Rayhan bukan siapa-siapa tanpa Gendis. Mereka juga sudah dikaruniai seorang putra yang tampan berusia empat tahun. Apa yang sebenarnya Reyhan cari selama ini."Ndis, kamu jangan nuduh suami kamu yang bukan-bukan. Reyhan juga kerja, 'kan buat nafkahin keluarga. Menurut Ibu, dia laki-laki yang bertanggungjawab kok. Hanya kamu saja yang inginnya dimengerti terus." Bu Sulastri--Ibunya Gendis sangat membela menantu pembohong itu."Kamu harusnya dengarkan kata







