Share

Bab 2

"Ka Ar-ga!" ucap mereka bersamaan.

"Sepertinya, tadi kudengar namaku disebut. Ada yang bisa aku bantu?"

"Su-dah lama Ka Arga di situ?"

"Lumayan."

Aku tahu mereka sedikit terkejut dengan keberadaanku. Mereka terlihat sedikit salah tingkah. 

Aku tak boleh secepat ini memberi mereka pelajaran. Setidaknya kuikuti dulu permainan mereka perlahan-lahan.

"Ayo, ngomong!" Samar-samar kudengar Eka berbisik dan menyolek adiknya kemudian pergi begitu saja.

"Bagaimana - Ada yang bisa aku bantu?" Menunggu jawabannya. 

"Mmm, lusa aku mau ulang tahun. Jadi, aku boleh request hadiah kan?" ucap Rita yang mulai berlagak sok imut di depanku. 

"Hadiah?"

"Iya. Aku mau kado ultahnya jam tangan merek Olivia Burton bermotif kupu-kupu."

Mendengar permintaannya membuatku sedikit menelan ludah. Itukan jam tangan yang lumayan gak murah harganya. Sebenarnya, aku bukan tak ingin memberinya, tapi karena tidak ingin membuatnya terbiasa selalu meminta.

Dulu sebelum nikah dengan Luna, aku sering membawakan mereka oleh-oleh tas dan jam tangan bermerek sesuai request mereka yang sering kubelikan saat bepergian ke luar negeri. Bahkan, setiap aku datang ke rumah. Kini, aku baru tahu, mereka hanya ingin memoloroti-ku. 

"Kuberitahu Luna dulu, ya," ucapku.

"Kok, beritahu Luna segala sih, Kak?"

"Yah, gimana pun juga Luna harus tahu. Dia kan istriku," ucapku tak acuh.

Kulihat wajahnya mulai cemberut. Hatiku sedikit tertawa riang melihat ekspresinya. 

Kuraih gawai di dalam saku dan menelepon Luna. 

"Halo! Assalamualaikum. Lun, jangan lupa sebelum pulang belikan jam tangan Olivia Burton bermotif kupu-kupu, ya." Sengaja kutekan loud speaker agar kedengaran olehnya.

"Wait, untuk siapa lagi?" 

"Untuk Rita. Lusa kan dia Ultah!"

"Loh, kemarinkan sudah aku berikan hadiah, tas Gucci sesuai permintaannya. Katanya, mau dipakai langsung. Jadi, langsung aku kasih tanpa menunggu hari Ultahnya."

Mataku sedikit melirik ke Rita dengan ekspresi seakan terkejut.

"Oh, gitu!"

"Kalau gak mau beri, ya udah. Dasar pelit! Aku bisa beli sendiri, kok," sela Rita cemberut. 

Ia pun berjalan meninggalkanku sambil mendengus kesal. 

Bruk! 

Bunyi pintu ditutup dengan kasar.

Akhirnya, keluar juga sikap aslimu perlahan, gumamku sambil tersenyum.

Sebenarnya, aku sudah tahu kemarin ia meminta hadiah ke Luna untuk ulang tahunnya. Luna memberitahukannya padaku sebelum membeli barang tersebut. Jelas, Luna tak ingin disebut istri yang tak baik karena menggunakan uang tanpa sepengatahuanku.

Uang hasil jualan setiap hari di kedai milik mereka, sangat banyak. Namun, biasanya diambil oleh mereka tanpa meninggalkan sepersen pun. Bahkan, Luna tak pernah digaji atau diberi imbalan. Bagi mereka, numpang hidup dan dibesarkan oleh keluarganya sudah cukup bagi Luna untuk bersyukur. 

Entah, bagaimana keluarga ini berpikiran seperti itu. Menggunakan tenaga orang sepenuhnya untuk kesenangan mereka dan berfoya-foya. Hasil jerih payah orang, mereka gunakan untuk memenuhi gaya hidup sosialita mereka yang terkesan memaksakan.

**

Waktu sudah mendekati isya, tapi Luna belum juga datang. Aku memustuskan untuk menjemputnya saja dari pada menunggu di rumah. Mungkin saja dia masih sibuk. 

Benar saja. Setelah tiba, aku terperanjat melihat Luna yang sibuk bolak balik mengantarkam makanan. Namun, yang membuatku tak habis pikir, orang yang diantarkan makanan bukan pelanggan, tetapi mereka, Rita, Eka dan ibunya, dan ditemani oleh teman-teman sosialita mereka. Pemandangan yang sangat tak beradab.

Bukannya kedai ini milik mereka. Kenapa bukan mereka sendiri yang menyediakan makanan? 

Sepintas aku dengar dan lihat mereka sibuk membahas produk-produk terbaru. Entah, produk apa. Mereka bergantian menatap layar gawai sambil sesekali menggerakkan jari telunjuknya. 

"Assalamu alaikum," ucapku.

Tak ada jawaban dari mereka. Perlahan aku berjalan masuk. Samar-samar, kudengar suara seseorang di antara mereka yang bertanya. 

"Dia iparmu kan? Ganteng juga!"

"Iya, tapi kere dan juga pelit," jawab Rita. Dari suaranya dapat aku kenali. 

"Haha ... makanya cari ipar kayak saya. Tiap saat dikasih kejutan. Pasti ada aja hadiahnya."

"Wah, keren juga ya, iparmu!"

"Iya, dong. Tau gak hadiah anniversary-ku?"

"Gak ...."

"Tuh, mobil yang kubawa."

"Wah, jadi mobil yang kaubawa, hadiah dari iparmu?"

"Jelas, dong!"

"Wah, aku mau dong calon kayak gitu. Cariin, ya!"

"Banyak ... Ntar kukenalin, ya."

"Oke. Gak sabar!"

"Aku juga, ya," sahut Eka.

Aku hanya menggeleng kepala. Mereka sama saja. Ternyata, memiliki teman itu takjauh dari sikap sendiri. Suara mereka terlalu besar dan dapat didengar dari jauh. Untung saja semua pelanggan malam ini sudah tak ada. 

**

"Kak Luna, cepatan dong bangun! Aku mau sarapan."

"Iya, Dek. Sebentar, ya!"

Aku terbangun dari ngantuk karena teriakan anak itu. Aku tertidur karena membaca buku. Dan takingat sudah berapa lama.

Masih pagi sudah teriak! Kenapa selalu menggantungkan keperluan mereka sama Luna. Bukannya mereka sudah besar?

"Cepatan dong! Lama banget, sih."

"Iya, sebentar."

Luna mendekatiku, "Ga, gak ke kantor? Sudah pagi."

"Agak siang ke kantor. Ada yang ingin aku kunjungi dulu hari ini."

"Oh, ok. Aku ke bawah dulu, ya."

"Okay."

**

Setelah selesai dari kunjunganku siang ini, aku langsung pulang ke rumah. Aku kesulitan memarkirkan mobil karena ada sebuah mobil terparkir begitu saja di depan rumah - taktahu mobil siapa. Aku baru melihatnya. 

"Assalamu alaikum."

"Waalaikum salam." 

Tumben wajah mereka sangat tidak bersahabat denganku hari ini. Ada apa ini?

"Kenalkan, ini Fisal - calon mantu mama." 

"Halo, saya Fisal. Saya seorang manager."

"Oh, ya! Saya Arga."

"Dia seorang manager di perusahaan Global Company," sambung Eka dengan menjelaskannya padaku. 

Aku taktahu apa maksud mereka sangat antusias memperkenalkan orang baru ini padaku.

"Global Company?" tanyaku. 

Manager bagian apa, ya. Kok saya tidak pernah mendengar nama Fisal di perusahaan yang saya pimipin itu. Wajahnya pun kurang familiar. Atau mungkin saya kurang teliti. 

Tapi, okelah. Sepertinya dia juga tidak mengenalku.

"Oh, ya. Aku hampir lupa! Aku bawa oleh-oleh untuk mama dan juga Rita," ucap lelaki itu.

"Serius!" ucap Rita yang mulai tersenyum. Semenjak aku datang, ia malas melirik ke arahku.

Dasar, mendengar oleh-oleh sangat antusias!

"Mama juga, ada? Wah, makasih ya! Kamu memang calon mantu mama yang sangat aku idamkan," ucapnya sambil melirik ke arahku. 

Aku hanya terdiam melihat pemandangan aneh di depanku. Luna juga, sepertinya malas melihat tingkah kedua saudari dan ibu angkatnya tersebut. Mungkin kelelahan menunggu mereka. Entah, sudah berapa lama mereka duduk di sini.

"Iya, dong. Mama kan spesial. Makanya Ma, lain kali hati-hati cari calon mantu. Kan kasian kalau hanya PHP atau baik di awal aja," ucap lelaki tersebut seakan menyindirku. 

Aku sedikit mengernyitkan dahi. Belum jadi mantu, sudah berasa paling terbaik aja nih cowok!

Aku pamit dari mereka sebentar hendak ke kamar. Segera kuhubungi kepala divisi di perusahaan untuk memastikan apakah benar ada seorang manager atas nama Fisal.

"Halo, tolong cari atas nama Fisal. Apakah benar dia bekerja di perusahaan kita?" Aku menelepon seseorang diseberang.

"@$#&*."

"Baik, kalau begitu suruh dia menghadap ke kantor besok pagi."

***

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status