"Dengan kamu menerima kehadiran dia di hidup kamu artinya kamu memang tak pernah bisa hidup jauh dari Mbak Rianti, Mas."
"Sayang, dengarkan aku dulu. Semua tidak seperti yang kamu kira, aku bisa jelaskan semuanya."
"Apa? Apa yang mau kamu jelaskan mas? Aku harus masuk mengendap-endap ke rumah ku sendiri karena mendengar kasak - kusuk mencurigakan ternyata ada dua pasangan sejoli yang selalu bersembunyi di balik kedok persahabatan, iya?"
Ardi terlihat semakin serba salah, sementara Rianti merasa puas dan senang. Senyum sumringah dan tatapan penuh kepuasan melihat pasangan itu bertengkar.
"Harusnya kalian menikah saja, untuk apa kalian pura-pura menikah dengan orang lain tapi masih saja saling berhubungan hah?"
"Sayang, kamu tenang ya. Tenang dulu," ucap Ardi mencoba menenangkan Riri yang emosi.
Sikutan tangan Laras membuat Riri keluar dari lamunannya itu.
"Sayang, kamu akhirnya pulang."
Riri mencoba menguasai diri, inginnya marah kayak khayalannya itu tapi sesuai kesepakatan yang dibuat oleh dirinya dengan Laras, ia akan berusaha bersikap baik di depan Rianti seperti yang dilakukan Rianti padanya.
"Hay, mbak. Sudah lama. Aduh, maaf aku lagi gak di rumah."
Sikap ramah Riri membuat Ardi terdiam heran, dia pikir Rianti akan marah hebat melihat mereka berduaan di dalam rumah meski duduk berhadapan terhalang jauh oleh meja.
Tidak hanya itu Rianti pun turut terkejut dengan sikap Riri, padahal jelas-jelas Riri menantangnya di telepon hingga membuat Rianti datang menemui Ardi. Tapi Rianti yang seakan memiliki kepribadian ganda itu dengan cepat bersikap biasa saja.
"Aku tadi habis dari apotek beli obat untuk anakku, tadinya mau ketemu kamu eh nggak ada ya sudah aku ngobrol aja sama Ardi."
Laras melengos mendengar ucapan perempuan itu, lawan yang dihadapi sahabatnya benar-benar seorang pengidap karakter ganda.
"Oh, gimana sekarang sudah sehat?"
"Ya, lebih baik sih."
"Syukurlah, oh ya silahkan dilanjutkan. Aku masuk dulu, yuk Las."
Riri menarik tangan Laras dan masuk ke dalam, sementara Ardi masih terkurung dalam tanya atas sikap istrinya itu.
"Sepertinya dia akan mulai ikhlas dengan kedekatan kita, jadi kamu jangan pernah berubah. Paham!"
Rianti kembali memberikan penekanan pada Ardi, lalu pergi begitu saja dari hadapan lelaki yang sudah mengisi ruang di jiwanya bertahun-tahun lamanya. Rianti memang agresif tapi urusab cinta dia pun perempuan biasa ingin mendengar ucapan cinta itu langsung dari mulut lelaki yang diidamkannya.
Ardi memandang punggung perempuan itu hingga hilang dari pandangan, mengusap wajahnya kasar dan menjatuhkan bobot tubuhnya di sofa. Apa yang terjadi dalam hidupnya menbuat kepalanya terasa berat.
Sejujurnya ia ingin lepas dari Rianti, tapi bagaimana dengan segala ancamannya. Dia tak mau Riri terluka ataupun tersiksa dengan kedekatan ini. Ardi paham, Riri akan sering cemburu tapi dia pun tak bisa melepaskan Riri begitu saja, cintanya terlalu kuat untuk perempuan yang baru dinikahinya dua tahun yang lalu.
Tak lama setelah terdengar hening, Laras dan Ruri keluar dari kamar tamu. Laras pamit pulang.
"Terima kasih ya Laras, sudah mau mengantar Riri."
"Ya aku sih takut kenapa-napa sama dia kalau harus pulang bawa kendaraan sendiri pikiran lagi kacau kan bahaya."
Ardi terasa terpojokkan dengan ucapan Laras.
"Ya sudah aku pergi ya, Ri. Lama-lama rumah kamu kurang menyenangkan."
Riri hanya tersenyum melihat sikap sahabatnya itu, Laras pergi dengan kendaraan online yang sudah dipesannya. Dan kini di rumah itu hanya tinggal Riri dan Ardi.
Ardi tak berani berbicara apapun, dia menundukan kepalanya, rasanya tak sanggup melihat wajah Riri.
"Aku tunggu kamu di meja makan nanti malam," ucap Riri datar lalu berlalu dari hadapan lelaki itu.
Ardi menarik nafas panjang meraup udara dengan buas agar dirinya jauh lebih tenang. Setidaknya Riri sudah ada di rumah, ia mempersiapkan diri untuk duduk berdua dengan istrinya itu yang meski usianya terpaut tiga tahun tapi pikirannya sudah dewasa, itulah kenapa orang tua Ardi setuju ketika pertama kali Ardi memperkenalkan Riri pada mereka.
"Nah, kalau yang ini pantas dijadikan istri," ucap ibu Ardi kala itu.
Maka Ardi semakin mantap memilih Riri, meski berbeda dengan bibinya yang sudah terhipnotis dengan kebaikan yang diberikan oleh Rianti sejak dulu padanya.
"Tapi Mbak, Rianti itu berjasa lho sama hidupnya Ardi. Apa tak sebaiknya Ardi nikahi Rianti saja," ucap bibi.
"Lho Ardi gak minta kan?" tanya ibu, Ardi menganggukan kepalanya.
"Rianti itu baik juga, hanya saja kurang pas kalau jadi istri."
Ardi mendadak kangen pada ibunya, apa yang akan dilakukan ibunya jika tahu rumah tangganya kini sedang dihantam badai akibat ulahnya.
Beranjak dari duduknya, Ardi menuju kamar dan mendapati Riri sedang berbaring, ingin rasanya ikut berbaring dan memeluk tubuh indah itu tapi Ardi malah kembali keluar rasa nyeri mengingat apa yang sudah dilakukannya dan sikap Riri tadi sungguh sangat membuat Ardi merasa tak pantas menjadi suami dari perempuan sebaik Riri.
Duduk berdua berseberangan, di meja sudah tersedia makanan dan minuman yang siap disantap tapi masih diacuhkan oleh dua orang itu. Mereka masih terdiam, sama-sama tak bersuara hanya terdengar deting jam saja.
"Kalian habis ngapain saja tadi?" tanya Riri memulai percakapan.
Ardi mengangkat kepalanya.
"Kami gak ngapapain sayang, hanya ngobrol aja. Kamu lihat sendiri kan kami berjauhan."
"Aku kan belum lama datang dan aku gak tahu selama apa perempuan itu ada di rumah ini."
"Sayang, tolong percaya sama aku. Aku tidak berbuat apa pun sama Rianti. Kami mengobrol saja, kamu dengar sendiri kan tadi alasan Rianti."
"Aku gak tahu harus percaya atau nggak mas. Yang aku tahu dua orang dewasa yang bukan mahram berada dalam satu ruangan itu hukumnya menurut agamaku tidak diperbolehkan karena akan timbul fitnah dan bisa jadi orang ketiganya adalah syetan. Kamu paham itu kan?" tanya Riri.
Seketika Ardi terdiam, ia tahu hal itu. Ilmu agamanya memang masih belum dalam tapi untuk hal mendasar itu ia tahu.
"Jadi, mulai sekarang. Jangan pernah terima tamu perempuan, siapa pun dia jika tak ada aku. Karena aku pun tak pernah menerima tamu lelaki jika kamu sedang bekerja atau tak ada di rumah, Pak RT saja selalu aku suruh ajak ngobrol di luar pagar rumah padahal harusnya mungkin aku memuliakan tamu tapi aku menghargai kamu, menjaga pernikahan kita mas."
Riri mengatur nafasnya agar tetap terlihat tenang, meski amarahnya sudah di ubun-ubun apalagi jika ia mengingat isi pesan yang ternyata selama ini disembunyikan oleh Ardi. Ya, Riri menemukan sesuatu dalam isi percakapan antara Ardi dan Rianti saat penyadapan nomor Rianti di rumah Laras tadi siang. Apakah pesan itu?
"Mbak Rianti."Rianti menoleh ke sumber suara, Lita sudah berdiri tak jauh darinya membawa kantong belanjaan penuh dengan sayuran. Rianti tersenyum. "Ibu ada, Lita?" tanya Rianti. "Ada mbak, ayo masuk."Lita mengajak Rianti masuk, ada yang berbeda kini Lita jauh lebih ramah pada Rianti. Rianti pun menanyakan hal itu, Lita hanya tersenyum dan mengatakan jika semua sudah selesai, ia tak mau mengungkit lagi yang sudah berlalu. Rianti lega mendengar hal itu, hingga dia merasa semua keputusannya hari ini adalah hal yang paling tepat. Lita memanggil ibu, sementara Rianti menunggu di kursi tamu. Tak lama ibu datang dan menyapa Rianti dengan ramah, pelukan hangat yang selalu Rianti rindukan dari seorang ibu bisa didapat dari ibu Ardi. Cukup lama berpelukan, mereka terlepas ketika Lita datang membawa minum. "Bu, ini ada sedikit oleh-oleh untuk ibu dan Lita. Saya kemarin bersama Dani ke Bali," ucap Rianti. "Walah, repot-repot. Makasih ya, nak.""Wah, mbak dari Bali. Keren ya kalau orang ka
"Saya turut prihatin dengan kepergian bapak, saya tak sempat datang saat itu karena memang tengah di luar negeri. Lalu setelah pulang saya berziarah dan bermaksud mendatangi ibu tapi tak ada katanya sudah pindah. Akhirnya saya pun menunda keinginan bertemu saya dengan Dani." Rianti menatap nanar dengan senyum tipis pada lelaki yang duduk di depannya. Usianya tak jauh berbeda dengan dirinya, memang Pak Joko itu pantasnya jadi ayahnya bukan jadi suaminya. Farel terus bercerita tentang kehidupannya, dari pertemuannya dengan Pak Joko hingga bisa sesukses sekarang, Farel merasa perlu membalas semua kebaikan Pak Joko, kini beliau sudah tak ada maka Farel akan membalasnya pada Dani dan juga Rianti. Setelah sekian lama ngobrol, Rianti dan Dani memutuskan untuk pergi dari tempat itu dan mencari tempat wisata lainnya. Farel menawarkan diri untuk mengantar tapi Rianti menolak, ia tetap kuat dalam tujuannya. Kedatangannya kesini bersama Farel untuk menikmati waktu berdua saja dengan Dani tanpa
Rianti hanya mengaktifkan ponselnya saat Dani tertidur di siang hari ataupun malam hari, ini adalah hari kedua dia ada di pulau Dewata ini bersama Dani. Setia waktu Rianti merasakan setiap detiknya bersama Dani, ada wajah yang tak pernah Rianti perhatikan hingga dalam hati terkecilnya sesuatu yang hangat menjalar mengisi setiap ruang yang hampa selama ini. Saat Dani tertidur pulas, Rianti menatap wajah itu mirip sekali dengan lelaki tua yang menikahinya. Lelaki yang seharusnya menjadi ayahnya, bukan suaminya. Tapi lelaki itu mencintainya dengan sepenuh hati, memanjakannya hingga Rianti merasa beruntung memilikinya meski seluruh dunia mencemoohnya. Bayangan hidup bersama Papa Dani, membuat Rianti tersenyum sendiri, betapa hidupnya saat itu sungguh bahagia, punya harta yang berlimpah, suami yang penyayang dan ibu yang selama ini hilang mendadak datang begitu ramah menyapa. Hari Rianti kembali terisi di dengan cinta hingga dia bisa menerima kabar kembalinya Ardi dan Riri. Tapi duka ke
"Ambillah waktu untuk jauh dari segala rutinitas seharian anda, Bu Rianti. Nikmati kebersamaan bersama putra anda, jangan sampai ada waktu yang terabaikan, jauhkan gadget dan lingkungan sosial media. Tak perlu lama tiga hari saja, tatap lekat setiap anak anda tengah terlelap dan tersenyum rasakan dan tanyakan pada diri anda apakah anda rela melihat semua itu sirna."Rianti terdiam mendengar ucapan Dokter Inggit, orang yang sudah beberapa Minggu ini menjadi teman ceritanya. Bukan hanya menjadi seorang dokter, Rianti seolah menemukan teman bercerita untuk dia mengungkapkan apapun yang dialaminya. Ya, selama ini Rianti perlu itu. Tak ada orang yang bisa dipercaya Rianti untuk dia menumpahkan semua keluh kesahnya. Sejak dulu apapun yang dirasakannya selalu disembunyikan dari banyak orang, bahkan sedekat apapun dengan Ardi ada banyak hal yang tak diungkap oleh Rianti pada Ardi. "Apakah itu bisa menyembuhkan saya, dok?" tanya Rianti. "Bukan hanya sembuh tapi tangki cinta anda akan kembal
"Iya, ma. Aku keliru, aku pikir semua akan selesai jika Mas Ardi menikahi Rianti, kesakitan hati yang dialami Rianti akan hilang dan semua akan baik-baik saja. Aku akan hidup tenang, tidak merasa bersalah lagi."Mama tersenyum, lalu melepas genggaman tangan, menghela napas beranjak dari duduknya perlahan berjalan menuju jendela. "Riri, jangan terlalu membayangkan segala sesuatu semudah itu. Pikirkan lagi, berapa kali kamu selalu kecewa dan sakit hati saat Ardi dulu lebih mementingkan Rianti, saat dulu dia tak menganggap hati kamu sakit, sekarang dia sudah berubah jauh lebih baik dan kamu merasakan itu hingga kamu pun memutuskan untuk menerimanya kembali. Butuh waktu berapa lama untuk bisa menerima dia kembali. Pikirkan itu, jangan asal mengambil keputusan yang akhirnya kamu justru terperosok lebih dalam dan lebih parah dari sebelumnya."Riri tertunduk, ia seolah menyadari semua telah keliru. Mama terus berbicara hingga membuat Riri sadar akan keputusan yang mendadak hadir, lalu terin
"Mama."Riri terkejut dengan kedatangan sang Mama ke tokonya, sudah lama mereka tak bertemu. Dua perempuan itu berpelukan dan melepas rindu yang sudah menggunung, sejak Riri kembali menikah dengan Ardi lalu memutuskan tinggal di kampungnya Ardi menjalankan usaha berdua, Mama menjadi orang yang paling mendukung meski tak selalu hadir, sesekali selalu datang menjenguk tapi sudah hampir dua bulan ini Mama absen datang karena sibuk menemani Papa mengurus proyeknya dan satu bulan kemarin Mama tinggal di rumah Mas Raka membantu Mbak Wulan mengurus bayinya. Dan di situlah terakhir mereka bertemu, saat selamatan tujuh hari kelahiran anak kedua Mas Raka dan Mbak Wulan setelah itu mereka belum bertemu lagi.Riri langsung mengajak mama masuk ke ruangan kerjanya, menyerahkan toko ke pegawai dan meminta pegawai menyiapkan beberapa potong kue untuk tamu istimewanya itu. Sesampainya di ruang kerja, Riri dan mamanya duduk berbarengan, menjatuhkan bobot tubuhnya, Riri menyandarkan kepalanya di pundak
"Aku dengar kata Narti, pengasuh Dani bilang Mbak Rianti sudah mulai pergi konsultasi ke psikiater, saran Mama sepertinya dipertimbangkan dan dilakukan olehnya.""Baguslah, semoga dia segera sembuh dari luka lama dan traumanya itu. Agar hidupnya lebih baik," ucap Ardi ketika mendengar kabar soal Rianti dari Riri.Sejak Dani sakit dan mulai mengerti kondisi Rianti, Riri yang memang hatinya baik selalu memantau kondisi keduanya lewat Narti, pengasuh Dani. Dari dia Riri mendapat banyak informasi soal Rianti, permintaannya untuk Ardi menikahi Rianti dipatahkan oleh Ardi dan mamanya, bahkan Lita pun turut berkomentar. "Mbak, mbak jangan mudah terlena dan tergoda. Hati-hati mbak, dia bisa saja justru menyingkirkan mbak nantinya," ucap Lita kala itu. Tidak ada yang mendukungnya, hingga Riri memilih jalan lain untuk membantu Rianti agar sembuh. Dalam ingatannya mungkin Rianti akan cepat sadar jika ada Ardi di dekatnya, tapi tidak menurut Ardi itu bukan sebuah solusi. Sejak dulu Ardi memang
Dani sudah membaik dan sudah diperbolehkan pulang, Rianti duduk termenung di kursi besar dalam kamarnya, semua yang terjadi akhir-akhir ini membuatnya banyak berpikir yang selama ini tak pernah ia pikirkan. Ingatannya selalu melayang pada kenangan saat ia ngobrol dengan Ibunya Ardi, tak pernah menyangka Ibu itu menyuruhnya pergi ke psikiater dan memeriksakan kondisi kejiwaannya. Kilasan peristiwa masa lalu Rianti panggil kembali hingga ia seperti sedang menonton tayangan film, perlahan ia mengerang mengepalkan tangannya, lalu tiba-tiba menangis, tersenyum sendiri, bahkan tertawa sendiri. Bayangan kelam akan kehidupan remaja yang tak seindah remaja lainnya membuat Rianti tumbuh menjadi sosok yang berbeda pula dengan remaja lainnya. Rianti menikmati semua potongan kisah itu, ia menjalaninya sendiri ya sendiri sejak kedua orang tuanya sudah tak peduli lagi dengan kehidupannya, sejak mereka memilih mencari kebahagiaan masing-masing dari pada kebahagiaan anaknya sendiri, keegoisan kedua
"Aku tuh heran aja sama Mbak Riri, masih mau ngurusin Mbak Rianti padahal dia udah jahat banget dari dulu sama mbak?" tanya Lita. "Itulah kenapa ibu kagum dan selalu jatuh hati sama mbak mu ini, nak. Bukan untuk menyamakan karena bagaimana pun kalian berbeda lahir dari keluarga yang beda. Ardi sama Rudi aja yang lahir dari rahim ibu, beda wataknya," sela ibu. Lita tersenyum, sementara Riri masih terdiam. Pikirannya seolah belum berada di sini bersama raganya, sepulangnya menjenguk Dani dari rumah sakit membuat Riri terpikir sesuatu. "Mbak, ada apa sih?" tanya Lita menyenggol tubuh Riri hingga Riri terperanjat. "Ada apa nak?" tanya ibu. Riri menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan dan mengusap wajah. "Bu, kalau aku minta Mas Ardi untuk menikahi Mbak Rianti, gimana ya?""Apa?!" Lita dan ibunya Ardi kompak mengeluarkan kata itu menunjukan keterkejutan yang hebat setelah mendengar ucapan Riri. Siapapun yang mendengarnya tentu tak akan pernah menyangka jika Riri punya