"Untuk apa kamu mau berbicara dengan anak saya? Anak saya mau berangkat kerja!" seru Bu Sinta, berusaha untuk mencegah pembicaraan yang terjadi antara anaknya dan Mila. "Jangan gitu, dong, Bu. Aku kan belum pernah bicara dengan Mas Raka. Lagi pula sebentar, tidak akan lama," ucap Mila memohon. Raka yang melihat kalau Mila ini memang seperti ingin membicarakan sesuatu yang penting, akhirnya memilih untuk membiarkan sang wanita berbicara dengannya."Loh, kok kamu kayak gitu, sih? Nanti kamu terlambat kerja bagaimana?" ucap Bu Sinta berusaha untuk mencegah anaknya."Nggak apa-apa, Bu. Ya, ini masih ada satu jam lagi sampai jam masuk kerja. Jadi, biarkan saja aku berbicara dulu dengan Mila." Mila tersenyum, senang saat mendengar kalau Raka mau berbicara dengannya. Berbeda dengan Bu Sinta, ketakutan kalau Mila itu akan membicarakan sesuatu perihal tes DNA. Tetapi dia juga tidak mungkin tiba-tiba saja menyerobot dan mungkin ini akan lebih mencurigakan untuk Raka. Raka dan Mila pun agak
"Anak itu licik juga. Dia pikir bisa mengelabuiku dengan cara masuk ke gang kecil seperti itu? Awas aja! Akan aku ikuti kamu kemana pun," ujar Adiba.Sang gadis lalu parkir di depan sebuah toko yang kebetulan masih tutup, jadi dia bisa langsung mengikuti Maura. Adiba tidak boleh sampai kehilangan jejak Maura, karena seterusnya gadis itu pasti akan turun di sini. Sebenarnya bisa saja besok dia mencari tahu, tetapi mumpung hari ini libur, dia juga tidak mau menunda-nunda lagi perihal ini semua. Kecurigaannya harus segera dituntaskan, yaitu dengan melihat sendiri apa yang dilakukan oleh adiknya Lusi itu. Dari tadi Maura menoleh ke belakang, takut jika diikuti oleh Adiba. Sang gadis yang berlari kecil pun akhirnya berhenti sejenak, menghela napas berkali-kali. Berusaha untuk tenang. Setelah keluar dari gang kecil itu, dia kembali berjalan di jalan raya yang sebelumnya. Beberapa meter lagi dia pun sampai ke tempat itu. Untunglah Adiba mengikuti Maura dengan jalan cepat dan melihat kalau
Mendengar itu, Arya memijat pelipisnya yang berdenyut. Padahal ini masih pagi, tetapi ada saja keributan disebabkannya oleh kedua orang yang menginginkan Devan. "Bisakah kalian tidak ribut? Malu di sini sudah ada pelanggan. Amanda, sebaiknya kamu tunggu saja Devan di ruangannya dan kamu Maura, harus ikut denganku. Kita akan memulai training dulu," papar Arya.Adiba melirik kepada pria bernama Arya, sang gadis kesal karena pria itu malah mengakhiri pembicaraan mereka. Padahal, biarkan saja Amanda dan Maura debat, dengan begitu Adiba akan tahu sampai mana rahasia Maura terhadap perilakunya kepada Lusi. Sayangnya, semua sudah berakhir. Adiba jadi bingung, dia harus tetap di sini atau memilih untuk pergi. Sementara tidak ada informasi lagi yang dia dapatkan. Sialnya, dia tidak merekam pembicaraan mereka tadi. Hanya mengambil foto saja.Adiba memilih tetap di sini, mungkin ada kesempatan lain untuk mendapatkan rekaman kedua orang itu. Selang 10 menit, Devan pun datang. Adiba kaget meliha
Devan semakin bingung karena kehadiran Maura. Sebelumnya, dia sama sekali tidak merasa mempekerjakan Maura. Sekali lagi Devan memastikan apa yang membuat Maura ada di sini. Mungkin saja gadis itu hanya sedang bermain atau berkunjung saja. "Kamu kerja di sini?" tanya Devan, lagi membuat Maura jadi salah tingkah, lebih tepatnya takut kalau pria itu marah kepadanya. Sementara Adiba masih berusaha untuk merekam pembicaraan mereka. Rasanya tak nyaman sekali memakai kacamata, hoodie dan juga masker. Tetapi demi kebaikan Lusi, dia harus melakukan ini semua. "Ayo jawab! Kenapa kamu ada di sini? Kamu bekerja?" tanya Devan lagi, karena belum mendapat jawaban apa pun dari Maura.Gadis itu terkesiap mendengar nada bicara Devan. Dengan cepat Maura pun menjawabnya walaupun terbata-bata."I-iya, Mas. Aku kerja di sini.""Apa?!" Devan memejamkan mata sembari berdecak kasar. Ini masalah untuk Devan. Dia sama sekali tidak pernah memperkerjakan Maura. Pria itu langsung melirik kepada Arya dan tahu k
Raka tidak punya pilihan lain, harus menandatangani surat perjanjian yang ditunjukkan Lusi. Padahal dirinya hanya ingin kembali kepada Lusi dan hanya menikmati harta itu. Dia benar-benar tidak pernah terpikirkan untuk merampas semua harta Lusi, kecuali ibunya.Mungkin saja Bu Sinta memang punya rencana lain, sampai mendorongnya untuk kembali kepada Lusi. Pria itu baru menyadari hal itu sekarang, karena terlalu fokus mengejar sang mantan istri. Bukan hanya itu saja, ini juga akan semakin memberatkan Raka untuk mendapatkan hati sang wanita. Tetapi, dia sudah bertekad dalam hati, akan benar-benar memperjuangkan wanita di depannya ini. Lusi tahu kalau sebenarnya Raka berat hati menandatangani itu semua, tetapi akan lebih menyakitkan lagi kalau dia kembali ditipu oleh sang pria. Jadi, ini merupakan sebuah penjagaan untuknya agar tidak terjadi hal yang buruk. Setelah selesai, Lusi merasa puas. Dia langsung menyuruh Raka untuk mengerjakan beberapa berkas. Tentu saja ini tidak boleh terlew
Adiba menghela napas panjang. Dia duduk tepat di depan Lusi. “Lakukan yang seharusnya kamu lakukan, Lus.”“Tapi, dia itu adikku, Diba.”Sesuai dengan perkiraan Adiba, Lusi akan lemah karena hubungan darah di antara mereka. Tetapi, Adiba harus meyakinkan Lusi kalau semua ini akan memberikan dampak yang buruk bagi Lusi, terutama Alia.“Ya, aku paham. Dia keluargamu yang berharga. Tetapi, lebih berharga mana dengan anakmu?”Wanita itu kontan menoleh mendengar perkataan Adiba. “Apa maksudmu?”Adiba terdiam. Padahal saat bertemu kembali dengan wanita ini, Adiba melihat kekuatan di mata Lusi meskipun sang teman dalam keadaan terpuruk. Tetapi, karena ikatan darah, semua kekuatan itu akhirnya runtuh juga. Sampai tidak sadar bahaya apa yang sedang menanti sang wanita.“Lus, bagaimana kalau ternyata Maura mencelakai Alia?”Wanita di depannya ini langsung berdiri dengan wajah kaget. “Itu tidak mungkin, Diba. Sebelum kamu ke sini, Maura terlihat sangat menyayangi anakku.”“Itu kan di depan kamu. T
Raka terkesiap saat melihat Devan datang bersama seorang wanita, Amanda. Pria itu sudah tahu siapa Amanda dan keduanya harus pura-pura tidak kenal demi lancarnya sebuah rencana. Namun, Raka langsung memberikan tatapan sinis pada Devan.“Untuk apa kamu ke sini?” tanya Raka dengan berani.Mungkin sebelumnya dia harus menjaga sikap pada Devan saat di restoran. Tetapi, sekarang beda lagi. Dia bisa mengatakan apa saja pada pria ini karena sudah tidak bekerja pada Devan.“Aku ingin menemui Lusi,” jawab Devan dengan lugas. Terlihat kalau dirinya begitu sinis pada Raka.“Dia sedang bekerja. Sebaiknya kamu pergi saja,” cetus Raka, dagunya sampai dinaikkan. Dia tampak seorang pelindung bagi Lusi, tidak sadar dengan posisi diri sendiri.Devan menatap sinis. “Aku tidak ada urusan denganmu.”“Urusan Lusi urusanku juga.”Devan terkekeh sembari menggelengkan kepala. “Oh iya? Kamu siapanya Lusi?”Seketika Raka tersentak mendengarnya. Mulutnya tia-tiba terasa kelu, tak bisa menjawab pertanyaan Devan.
Devan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan alasan pria itu berbohong. Amanda juga tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti perintah Devan untuk berbicara sesuai dengan kejadian versi Devan. Lusi diam sejenak sembari melihat gelagat Amanda yang tampak terpaksa.Meskipun Amanda sudah mengatakan yang sesuai dengan Devan, tapi Lusi yakin ada yang disembunyikan oleh wanita itu. Lusi tetap tenang, sekarang giliran Devan yang ditatap. Ada sorot mata penuh penyesalan dan permohoan jadi satu. Mungkin memang cerita Devan benar. Tetapi, ada hal yang harus Lusi pastikan dulu.“Kamu sudah bertanggung jawab, kan, Mas?”Devan langsung menganggukkan kepala. Dia tidak boleh berbohong lagi, benar-benar tidak mau kehilangan wanita itu.“Benar itu?” tanya Lusi, kepada Amanda.Wanita itu pun sontak menganggukkan kepala. “Tentu saja. Bahkan, sekarang aku diberi pekerjaan oleh Mas Devan.”Lusi dan Devan sama-sama terdiam mengdengarnya. Tampaknya Amanda sudah salah berbicara.“Benarkah? Bagian apa?”
"Sudah jangan lihat-lihat seperti ini. Kamu pasti berkhayal ingin bekerja di tempat ini, kan?" cetus Kiara, seolah membaca pikiran Maura, membuat wanita itu langsung terkesiap dengan mata sinis.'Wanita ini pasti belum berpasangan. Mulutnya saja pedas seperti ini,' gumam Maura dalam hati."Sok tahu!" seru Maura.Kiara tampak santai dan terduduk di depan meja kebesarannya. Dia melipat tangan di depan dada sembari menggoyangkan kaki, menatap penampilan wanita ini yang sebenarnya terlihat polos layaknya seorang anak SMA. Tetapi sikap dan mulutnya itu benar-benar di luar dugaan, sepertinya tidak mendapatkan ajaran baik tentang sopan santun dan tata krama. "Kamu itu diajarin tata krama nggak, sih?"Pertanyaan itu berhasil membuat Maura menoleh dengan wajah kesal. Wanita ini tidak punya sopan santun juga karena bertanya demikian kepada orang baru. "Kalau mau bertanya itu coba tanyakan pada diri sendiri, ngapain bertanya seperti itu kepada orang yang baru dikenal?" ucap Maura dengan kesal,
Waktu sudah menunjukkan sore hari, sekarang Mauta bisa pulang. Dia meregangkan seluruh badannya sebelum keluar dari loker karyawan. Semua orang melihat bagaimana tingkah Maura. Tetapi wanita itu sama sekali tidak peduli, Yang penting sekarang bisa pulang dari sini.Nanti kalau ketemu dengan Winda dia minta untuk dipindahkan saja di bagian lain yang kira-kira tidak terlalu capek seperti sekarang. Menyusun barang dan mengecek stok itu benar-benar memuakkan. Dia harus bolak-balik mengecek bagian-bagian di setiap rak agar memastikan barangnya tersusun rapi, apalagi kalau melihat tanggal kadaluarsa, ini akan memperlambat kerjanya. Kiara yang dari tadi memang sudah mengamati Maura pun tidak akan membiarkan wanita itu pergi begitu saja. Dia harus memastikan dulu apa yang diinginkan oleh Maura sampai berlaku tidak baik di hari pertama kerja. Kalau perlu dia akan merekam semua percakapannya dan langsung memberikan kepada bosnya."Kamu tidak boleh pulang dulu," ucap Kiara tiba-tiba membuat kar
Hari ini Lusi benar-benar senang. Semua teman barunya itu begitu welcome menerimanya sebagai karyawan baru, meskipun usianya lebih tua dari mereka. Tetapi tidak ada yang membanding-bandingkan atau bersikap buruk. Tentu saja Lusi tidak tahu semua ini adalah settingan dari David. Entah bagaimana kalau sang wanita tahu jika semua ini adalah akal-akalan David, apakah akan menerima atau malah mengucapkan terima kasih kepada pria itu? Saat istirahat tiba, wanita itu pun memilih untuk menelepon anaknya. Bertanya apakah Alia sudah makan dan lain sebagainya. Untunglah anak itu tidak rewel dan nurut kepada Adiba. Dia benar-benar merasa 𝚝𝚎𝚛𝚋𝚊𝚗𝚝𝚞. Ketika sedang seperti ini, tiba-tiba saja wanita itu teringat dengan masa lalunya. Lusu jadi bertanya-tanya, mungkinkah Raka sedang mencarinya atau pria itu memilih untuk fokus kepada dirinya sendiri dan sedang menjalani hidup tanpa memikirkan Alia?Lusi langsung menggelengkan kepala. Dia berusaha mengusir semua itu."Nggak! Aku tidak boleh me
"Kalau kamu tanya apakah aku siap atau belum jika kamu hamil, jawabannya belum. "Seketika Winda langsung tersentak. Tampak kekecewaan begitu jelas di mata wanita itu. "Kamu tahu? Aku masih dipusingkan dengan masalah Mila dan juga Alia. Kalau kamu hamil dalam situasi seperti ini, aku malah takut akan mengecohkan semuanya atau yang lebih parahnya aku tak acuh kepadamu. Tapi kalau misalkan kamu sudah terlanjur hamil, aku akan menerimanya dengan tangan terbuka. Bagaimanapun itu adalah anakku. Tapi, aku harap pengertianmu. Untuk sekarang jangan dulu berpikiran untuk hamil, ya? Aku harus membereskan dulu masalah ini. Kalau Mila sudah lahiran, aku akan berusaha untuk mendapatkan hak asuh anak lalu meninggalkannya," ungkap Raka dengan serius, membuat Winda yang sebelumnya murung tiba-tiba saja semringah. Awalnya terlihat terkejut, tetapi juga ada kebahagiaan di sorot matanya. Itu artinya dia masih punya kesempatan emas untuk mendapatkan keluarga yang utuh tanpa embel-embel menjadi istri ke
Kali ini Raka cukup lama sekali diam dibandingkan dengan pertanyaan sebelumnya. Winda sudah mulai takut kalau apa yang ditanyakan itu membuat Raka murka. Dia tidak mau ada pertengkaran di hari bulan madunya, berharap kalau Raka bisa mengabulkan semua permintaannya. Termasuk pertanyaan yang diucapkan oleh Winda barusan. Sebab selama berhari-hari bulan madu dengan Raka, pria itu lebih banyak diam dan melamun. Ini membuat sang wanita merasa kalau bulan madunya ini hanya berjalan apa adanya. Tidak ada yang lebih baik kecuali mereka menghabiskan waktu bersama. Itupun Raka berkali-kali terus saja memikirkan Alia. Tetapi Winda hanya bisa mengerti dan bersabar, berharap kalau Raka punya inisiatif sendiri untuk memberikan kejutan di hari bulan madu.Namun, sampai detik ini pun tak ada yang lebih spesial kecuali pertanyaan ini dan berharap pria itu mau menjawab semuanya."Kamu diam artinya kamu tidak mau punya anak dariku," ucap Winda dengan nada kecewa. Raka tahu pasti, Winda menginginkan ha
Raka kembali menatap Winda dalam diam. Apakah wanita itu benar-benar ingin tahu apa yang sedang dipikirkan oleh dirinya? Lalu, untuk apa? Begitu pikir Raka. Tetapi kalau tidak dijawab juga Winda pasti akan terus bertanya dan itu akan diulang-ulang sampai wanita ini mendapatkan jawabannya entah kapan. Tetapi rasanya Raka akan kelas kalau terus ditanya hal yang serupa. "Apakah kamu sangat penasaran dengan jawabanku?" tanya Raka, tiba-tiba saja membuat Winda terkesiap. "Bukan begitu, Mas. Maksudku, kita kan sudah jadi suami istri. Memang aku sudah berjanji untuk tidak saling ikut campur antara aku dan urusan Mila. Tetapi apakah aku salah hanya bertanya? Aku tidak akan menyalahi semua keputusanmu. Aku hanya ingin bertanya. Anggaplah ini rasa penasaranku, karena kalau tidak dilakukan mungkin aku akan terus-terusan kepikiran dan hanya ingin tahu jawaban apa yang akan kamu berikan jika pertanyaan serupa kembali diucapkan," ungkap Winda, sesuai dengan pemikiran Raka sebelumnya. Pria itu me
Raka kaget mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh Winda. Bahkan pria itu sampai tidak berkedip, seolah apa yang dikatakan oleh Winda barusan itu sebuah bom yang hampir meledak. "Maksudnya hamil?""Ya, Mas. Aku mau tanya, kalau misalkan aku hamil kamu akan gimana?""Gimana apanya, Winda? Aku tidak paham dengan maksudmu." "Aku tahu kamu menikahi Mila karena dia sedang mengandung anakmu, kan? Tetapi kalau misalkan aku juga mengandung anakmu, bagaimana, Mas? Atau Seandainya Mila tidak mengandung anakmu, apakah kamu juga akan tetap bersamanya?" tanya Winda. Sebenarnya dia butuh validasi dari Raka. Apakah benar yang dikatakan Bu Sinta dan Maura tentang hubungan Mila dan Raka yang diikat hanya karena ada anak di antara mereka. Raka menatap Winda dalam, tapi wanita itu tidak bisa mengartikan semuanya. Lalu sang pria menoleh lurus ke depan. Ada sesuatu yang mengganjal di hati dan pikiran. Apakah dia harus mengatakan yang sebenarnya kepada Winda atau memilih untuk diam? Rasanya sudah se
Tempat pukul 12.00 siang akhirnya Maura istirahat. Ternyata di sana tidak disediakan makan siang dan membeli sendiri. Kalau tahu begini, harusnya wanita itu membawa saja makanan di rumah Mila. Tetapi sayangnya semua sudah terlambat. Dia pun akhirnya memilih untuk makan apa saja yang tersedia di sekitar supermarket, yang penting bisa mengenyangkan.Namun, lagi-lagi ada suasana yang tidak mengenakan sang wanita. Di mana para pegawai yang begitu antipati dan menjauh kepada Maura. Awalnya dia merasa kesal, tetapi lama-lama tidak mempermasalahkan. Lagipula dia sudah kenal dengan Winda. Kalau memang ada yang macam-macam, tinggal lapor saja kepada wanita itu.Maura memilih untuk membeli siomay saja, lebih murah tapi mengenyangkan. Dia pun duduk agak jauh dari teman-temannya, karena memang di sini yang baru hanya Maura saja, jadi dia tidak punya teman yang satu angkatan dan memilih untuk diam. Tidak ada inisiatif sama sekali untuk berbaur atau memperkenalkan diri.Lagi pula di sini niatnya u
Mila menyantap makanan yang dibeli lewat online. Imel pun sama, tetapi gadis itu tampak sekali berbeda dari biasanya. Seperti ada yang dipikirkan dan semua gerak-gerik dari Imel membuat Mila merasa tidak nyaman. Wanita hamil itu pun menghentikan makannya dan berusaha berbicara baik-baik kepada Imel. "Kamu kenapa sih, Mel? Kok diam saja?" tanya Mila tiba-tiba, membuat Imel terkesiap. Dia sedikit bingung, tapi ada juga rasa takut. Namun demikian sang gadis tetap menjawab pertanyaan dari majikannya, takut malah salah paham. "Enggak kok, Bu. Saya cuma berpikir aja, bisa nggak ya melaksanakan tugas dari Ibu? Mengatur semuanya," ungkap gadis itu sebab sebelumnya setelah Imel selesai membereskan isi kamar dia dan Mila sama-sama menyusun jobdesk apa saja yang akan Imel laksanakan di rumah ini, termasuk menyiapkan makanan untuk Mila. Itulah yang paling berat dilakukan oleh sang gadis. Bagaimana kalau Ibu hamil ini rewel dan dia harus mencari makanan susah? Bukankah itu adalah tugasnya seo