Untuk sesaat, Rena tidak mampu merespon perkataan Rendy. Otaknya benar-benar bekerja keras untuk memproses apa yang baru saja ia dengar.
“Aku anggap gak denger apa-apa barusan, aku duluan,” ucap Rena pada Rendy.
Gadis itu kesal. Rendy sungguh tidak bisa membaca situasi. Di tengah kekesalannya itu, bisa-bisanya Rendy bercanda.
“Aku serius Ren,” ucap Rendy memegang tangan Rena.
Rendy memegangnya untuk mencegah Rena pergi.
“Aku mau balik kerja.”
Rena pun melepaskan tangannya dari genggaman Nico.
“Reenn…”
Lagi-lagi Nico memengang tangan Rena.
“Apa siiihhh Ren? Aku bener-benar gak mood untuk bercanda,” ucap Rena kesal.
“Aku serius.”
Rendy menatap mata Rena lurus. Pria itu tidak sedang bercanda.
“Kita bicarain lagi pas pulang kerja nanti, aku beneran harus balik ke meja sekarang. Mesti cek ulang bahan-bahan buat rapat sore ini,” ucap Rena.
Mendengar itu, wajah Rendy berubah menjadi lembut. Lebih mirip seperti anak anjing lucu yang dituruti keinginannya oleh sang majikan.
“Gemas!” batin Rena.
“Hah? Gemas? Barusan aku mikir apa sih? Wah gila, otakku kayaknya ikut-ikutan gak waras,” maki Rena pada dirinya sendiri.
Rendy tetap setia menatap Rena selama gadis itu perang batin.
“Bareng aku kan berarti pulangnya?” tanya Rendy penuh harap.
“Hmmm… Iya… Aku balik dulu ke meja.”
Rena pun meninggalkan Rendy yang masih mematung.
“Yeeeessss! Pulang bareng!!!” teriak Rendy dalam hati. Jika sekarang pria itu di kamar, dia pasti sudah melompat-lompat sekarang.
“Aku gak ngelantur kan ya tadi?” batin Rena sepanjang perjalanan ke meja.
“Ren?? Muka kamu kenapa merah gitu? Demam?” tanya Mitha melihat wajah Rena yang sudah semerah tomat.
“Enggak kenapa-kenapa,” jawab Rena seadanya.
Gadis itu langsung fokus dengan laptopnya.
***
[ B 1111 RRE, yang itu ]
[ OK ]
Rena membuka kembali ponselnya untuk membaca pesan yang berisi plat mobil Rendy.
“RRE… RRE… RRE yang di mana sih?” gumam Rena.
Rena yang terbiasa mengingat tiga huruf belakang plat nomor kendaraan it uterus menggumamkannya sedari tadi.
“Aaaahhh itu dia,” ucap Rena saat melihat mobil sedan hitam dengan huruf belakang sama.
Rena kembali membuka pesan Rendy dan mencocokkan keseluruhan nomor platnya, semua persis.
‘Tok…tok…tok…’
Rena mengetuk kaca mobil Rendy pelan.
“Sorry lama, tadi tanggung soalnya,” ucap Rena setelah masuk mobil.
“Gak apa kok, nihhh…”
Rendy mengulurkan satu kantong belanja minimarket pada Rena.
“Ini apaan?” tanya Rena bingung.
“Snack, dimakan aja sambil jalan.”
“Enggak usah, gak akan lama juga.”
Rena menolak tawaran Rendy karena Rena hanya berpikir untuk menolaknya sebentar dengan sopan, kemudian keluar dari mobil ini dan pulang dengan tenang.
“Krrruuukkk…kkrrruuukkkk…”
Perut Rena yang tidak bisa diajak kompromi itu berbunyi sangat kencang dengan tidak tahu malu.
“Aarrrrrggghhhhh kenapa sih harus pake bunyi segala, mana kenceng lagi. Aaarrrggghhhh!!” teriak Rena dalam hati.
Rena menutupi wajahnya yang sudah semerah tomat itu dengan tangan. Gadis itu benar-benar tidak tahu harus berkata apa.
“Udaahhh gak usah malu, ini ambil aja,” ujar Rendy kembali menjulurkan satu kantong belanja berisi makanan ringan.
Rendy tersenyum geli melihat Rena yang masih tidak berani untuk menatapnya.
“Enggak usah Ren, beneran. Makasih udah nawarin, aku cuma sebentar aja,” jawab Rena gengsi.
Rena pun menghembuskan nafas panjang pelan untuk menata kembali suasana hatinya.
“Ren, maaf aku harus tolak tawaran kamu. Aku enggak bisa sama kamu. Jangan pernah bercanda sebut aku istri kamu dan tolak perjodohan yang ditawarin orang tua kita,” ucap Rena langsung pada inti percakapan.
“Kenapa Ren? Kamu juga belum punya pacar kan? Kalau misalnya kamu punya pacar, Silvi juga gak akan ganggu kamu lagi kan. Dia masih gangguin kamu karena anggap kamu penghalang dia buat balikan. Kalau kamu pacaran sama aku, mata dia seenggaknya bisa kebuka dikit kalau bukan kamu yang gatel,” jelas Rendy.
“Lebih bagus lagi kalau kita nikah aja sekalian,” batin Rendy.
“Thanks Ren, tapi gak lama lagi aku resign kok. Jadi aku cuma perlu tahan sampe saat itu aja. Terus nanti aku minta ke pak Bambang untuk cariin proyek yang butuh untuk pergi kerja ke kantor klien biar gak ketemu Silvi. Aku yakin bisa tahan sampe saat itu, buktinya aku masih bisa tahan sampe sekarang,” jawab Rena.
Meski terkejut, namun jika mengingat tindakan Silvi, wajar saja jika Rena akan mengundurkan diri dari perusahaan cepat atau lambat.
“Kenapa kamu harus ketemu orang gila kayak gitu sih Ren…” batin Rendy.
Mereka berdua kini bertatapan dengan isi kepala yang berbeda. Meski penerangan yang mereka miliki hanya lampu tempat parkir, wajah satu sama lain terlihat cukup jelas.
“Ren, aku tahu sekarang bukan waktu yang pas. Tapi Ren… Selama sepuluh tahun ini aku terus punya keinginan agar kita bisa balik lagi ke masa-masa kita pacaran dulu. Aku… baru tahu bahwa ternyata kamu sepenting itu buat aku.”
Hancur sudah! Apa-apaan pengakuan cinta yang tidak romantis ini?!
Rena menyukai sesuatu yang romantis Rendy tahu betul akan hal itu. Semula Rendy berpikir untuk mengutarakan isi hatinya di cafe bagus yang tidak terlalu jauh dari kantor mereka.
Pria itu tidak mengajak Rena berpacaran dengan spontan. Dia sudah mencari-cari tempat yang bagus sejak pulang dari rumah Rena tempo hari.
“Kalimat baru terasa penting setelah kehilangan itu kayaknya berlaku ya di kamu?” tanya Rena.
Rena tersenyum, raut wajahnya terlihat sangat lega.
“Hmmm… Iya…”
Rendy menunduk. Rasa bersalah langsung menghampirinya.
“Hmmmhhh… Selama ini aku selalu tersiksa tiap inget kejadian putusnya kita dulu. Aku selalu merasa kenapa harus aku yang kesakitan dan kamu baik-baik aja. Rasanya bener-bener gak adil. Tapi ya denger kamu bilang kayak tadi rasanya semua bebanku keangkat,” ucap Rena.
Sepanjang sore Rena berpikir akan menjadi gadis galak yang menolak Rendy dengan kejam jika Rendy tetap memaksa. Meski paksaan itu dibalut dengan kata-kata lembut dan manis ala buaya darat.
Namun, Rena harus menertawakan dirinya sendiri karena menjadi lunak.
“Ren, kamu mau aku atau mau kenangan kita?” tanya Rena pada Rendy.
"Bodoh sih sejujurnya, kan gue udah bilang putusin ajaaa cowok kayak gitu. Cowok yang gak mau coba untuk deep talk tuh buat apa sih dipertahanin? Aaaaarrrggghhhh!! Sebel!!!!!"Rena hanya bisa mengumpat dalam hati. Dia tidak tega harus berkata seperti itu pada Mitha yang sedang sedih dan sakit."Sabar Rena saabbaaarrrrrr," batin Rena."Enggak mit, enggak bodoh kok. Jangan nangis lagi ya, Mit. Lo harus fokus buat sembuh dulu ya..."Rena hanya bisa mengucap hal itu berulang-ulang bak mantra sihir hingga tiba di apartemen Mitha.Mitha hanya menangis sesegukan di sepanjang jalan. Terlihat wanita yang pucat pasi itu menahan diri agar tidak berteriak histeris."Ren, kamu gendong aja ya. Kasihan kalo dibangunin," ucap Rena pada Rendy usai pria itu memarkirkan mobil di parkiran apartemen Mitha."Kamu gak cemburu?" tanya Rendy.Anehnya, Rena merasa senang dengan pertanyaan Rendy barusan. Perutnya serasa dipenuhi kupu-kupu, dadan
"Malam dok," jawab Rena dan Mitha bersamaan."Saya demam," jawab Mitha lemah.Rasa dingin Mitha sudah sedikit berkurang kali ini."Sudah berapa hari demamnya mbak?" tanya dokter Yasmine."Dari kemarin malam mbak. Saya jam empat pagi tadi juga udah sempat ke klinik dan minum obat dari dokternya. Cuma memang demamnya belum turun-turun," jelas Mitha."Kalau saya boleh tahu, mbak nya diberi obat apa saja ya oleh dokter klinik?""Saya dikasih obat demam, obat radang tenggorokan, antibiotik sama vitamin dok. Untuk nama obatnya saya gak inget dan gak bawa juga," kata Mitha.Mitha menyesali mengapa tidak sempat memotret obat yang ia dapat dari klinik."Tadi dia buru-buru saya bawa ke sini karena udah terbaring di lantai pas saya sampai di apartemennya dok, makanya gak kepikiran buat bawa obatnya juga," jelas Rena pada dokter Yasmine."Baik kalau begitu. Maaf sebelumnya, dengan mbak siapa?""Saya Rena, teman saya ini Mitha, dok..."Dokter Yasmine pun tersenyum dan memegang kening Mitha."Cukup
"Pfffftttt... ppfffffttt..."Rena benar-benar berusaha menahan tawanya."Tadi katanya gak akan ketawaaaaaa??" tanya Mitha cemberut.Meski begitu, Mitha tidak marah pada Rena."Iya... okee... maaf.. maaf.. aku gak akan ketawa lagi..."Rena berusaha berhenti tertawa secepat mungkin. Jujur saja, perut gadis itu sampai sakit menahan tawa."Ehhmmm... eehhheemmm..."Rena berdehem untuk membantu dirinya sendiri agar tak tersenyum. Gadis itu dengan cepat meraih botolnya agar bisa minum sehingga fokusnya dapat segera teralihkan."Okeee, tanya ke chatGPT," ucap Rena berusaha kembali serius pada topik pembicaraan mereka."Terus apa kata chatGPT?" tanya Rena usai meletakkan botolnya kembali ke meja.Mitha memajukan bibirnya. Meski terlihat tak senang, Mitha tetap ingin bercerita tentang kebodohan yang telah lama ia pendam ini."Menurut chatGPT, hal itu dikarenakan dalam hati aku merasa enggak dianggap sebagai bagian dari hidup pacarku. Umumnya, undangan pernikahan adalah ajang perkenalan pasangan
"Dia adalah contoh nyata dari istilah 'kalau udah cinta, tai ayam pun rasa coklat'. Gak usah terlalu dipikirin," jawab Mitha dengan mimik wajah jutek andalannya."Pfffttttt, bisa-bisanya lo Mit..." sahut Olivia.Olivia sendiri tidak pernah terpikir lagi dengan istilah jadul itu hingga Mitha menyuarakannya."Hahahaa...""Hahaha, tapi bener juga sih ya.""Emang dia segitunya banget..."Seluruh anggota tim jadi menertawakan celotehan Mitha sebelumnya. "Halo???" ucap seseorang memecah gosip sore Rena and friends.Semua orang langsung menoleh ke arah sumber suara."Jamal... Jamal... Bisa-bisanya dateng sekarang, lagi seru nih kittaaaa..." ucap Olivia sedikit merajuk pada Jamal."Bikin kaget aja..." gumam Mitha."Hehe... Maaf ya, maaf banget. Bentar doang kok. Mau kasih undangan nikah buat kalian satu divisi," jawab Jamal malu-malu.Jamal pun meletakkan undangan fisik berbentuk amplop berwarna merah ke meja yang paling dekat dengannya."Waaahhh... Selamat Jamaallll, akhirnyaaaa...""Widihh
"Aku gak janji ya mbak, kan ada beberapa orang yang lewat tadi pas aku lagi ngomong sama debt collector. Apalagi mbak tahu perlakuan Silvi itu parah banget ke aku. Jadi jangan berharap banyak, aku gak sebaik itu mbak," jawab Rena datar."Kenapa harus capek-capek rahasiain, biarin aja dia malu. Kalo emang bukan dia, biarin aja entar dia klarifikasi sendiri. Ngapain aku harus pusing pikirin dampak yang bakal dia dapet," gerutu Rena dalam hati.Rena langsung berdiri bersiap untuk keluar ruangan."Terus uangnya gak apa mbak gak usah dibalikin, anggap aja aku nyumbang. Buang sial. Aku pamit balik ke meja mbak," pamit Rena pada Hanna.Hanna tak bisa berkata apa-apa untuk menahan Rena. Wanita itu coba memposisikan dirinya di kaki Rena."Jika aku Rena, sepertinya aku akan langsung membuat pengumuman ke seluruh kantor agar dia malu," gumam Hanna.***"Si gatel lewat tuh...""Kapan sih dia resign, kesel banget harus lihat dia lewat..."Meski celaan ini sudah menjadi santapan sehari-hari, tetap
"Halo... Pak... Saya bukan Silvi, ini siapa ya? Boleh jelasin dulu kenapa bapak cari Silvi?" tanya Rena berusaha menekan emosinya."MANA SILVI? SURUH DIA BAYAR HUTANG! MAU CUMA DAPET DUIT AJA, BAYAR GAK SANGGUP. KALAU GAK SANGGUP BAYAR JANGAN PINJEM!""Pak... Maaf ya, anda bisa kan bicara santai saja. Silvi siapa yang anda cari?""SILVIA ANDARINA LAH! SIAPA LAGI? BUDEG YA LO?!""Apa-apaan pria ini? Kurang ajar sekali!" maki Rena dalam hati.Rena yang diam sebentar itu menatap Mitha dan Rendy berjalan santai melewati dirinya."Kamu kenapaaa?" tanya Mitha dengan suara pelan."Gak apa, lanjut aja lanjut..." jawab Rena yang tak kalah pelan."Beneran kamu gak apa?" tanya Rendy.Terlihat sekali pria itu mengkhawatirkan Rena."Gak apa, lanjut aja kalian kalau mau pergi," jawab Rena lagi."Pak, Silvia Andarina sedang tidak ada di kantor. Sebaiknya anda langsung menghubungi ponsel Silvi saja, yang anda hubungi sekar