Share

BAB II

“Katakan sekali lagi!” kesalnya sambil membentak.

Aku kaget dengan bentakan itu. Air mataku hampir meleleh, akan tetapi kutahan saja. Calon suamiku pergi ke belakang, entah kemana? Kenapa ia menyerahkan tanggung jawab ini hanya kepadaku? Apakah hanya aku di sini yang ingin mendapatkan restu? Sebenarnya mereka orang tua siapa?

“Kami sudah menghitung tanggal, Insya Allah akad pada tanggal tujuh Agustus,” ujarku.

Ibunya membanting tangannya di dipan yang berukuran tidak lebih dari satu setengah meter itu. Ia duduk membelakangiku, dengan punggung kami yang saling beradu. Suara tangannya yang beradu dengan dipan kayu tersebut, membuat tubuhku bereaksi karena kaget.

“Bagaimana bisa? Urusan mencari hari, mencari tanggal dan lainnya itu urusan pihak laki-laki. Bagaimana bisa kalian melangkah tanpa kami? Apa yang sebenarnya keluargamu pikirkan?” kesalnya.

Aku beranikan diri menatap wajah tuanya yang kali ini bersama azan magrib berkumandang, tidak berhenti berbicara. Ia menyalahkan aku yang terburu-buru untuk mencari hari baik. Tanpa diaba-aba, air mataku luluh.

“Kita sudah pernah meminta restu dari kalian, akan tetapi kalian memilih untuk menolak,” ucapku lirih memberanikan diri.

“Lagi pula, kata Mas Bagus menyerahkan semuanya pada keluarga kami karena ibu dan bapak tidak bisa datang,” ucapku.

Aku merasa dibohongi, tapi tidak juga menyadari. Masih saja tetap percaya padanya. Mendengar itu, ibunya berdiri, berkacak pinggang.

“Lantas? Kalian seenaknya sendiri memutuskan? Sabar, kenapa tidak sabar? Apakah kamu hamil duluan?” tanyanya.

Aku kaget, justru karena tidak mau hamil duluan, justru karena aku tidak ingin itu terjadi, makanya dengan langkah ini aku ingin agar hubungan kami halal. Jujur saja, ketika kami bersama hanya berdua, tangannya sudah ingin piknik kemana-mana. Meskipun aku bukan orang yang mengerti agama dengan baik, tidak dapat dipungkiri bahwa kecelakaan bisa saja terjadi. Kami laki-laki dan perempuan yang sudah tergolong dewasa.

“Tidak, saya masih suci. Akan tetapi, justru karena aku tidak ingin terjadi hal itu,” ucapku dengan takut.

Suara desahan napas panjang terdengar. Aku yang sejak tadi menatap wajah tua sang ibu, kini beralih dengan menatap wajah tua sang bapak yang kali ini mengenakan sarung kotak-kotak warna hijau lumut dan baju hem warna senada.

“Kok bisa kalian nekat? Nduk, harusnya tidak seperti itu. Tapi, jika kalian sudah berniat kami tidak bisa mencegah lagi. Kita putuskan nanti, ketika sudah saatnya,” lanjut bapaknya.

Hatiku sedikit tenang, ada jaminan dari sang bapak. Akan tetapi, aku masih bisa melihat bahwa ibunya tidak terima.

“Kenapa kalian bikin drama yang demikian? Kalian pikir, menikah cukup dengan biaya yang sedikit? Sabar, biarkan adikmu melangkah dulu,” lanjutnya.

“Ini minggu depan adikmu mau menikah, biarkan ia lewat dulu. Hanya melewati tahun baru penanggalan Jawa, masa tidak sabar?” kesalnya.

Aku semakin menunduk. Kedua tanganku kuremas untuk menenangkan diri. Kemana lelakiku? Kenapa ia tidak membelaku. Aku sendirian di sini yang berjuang. Kenapa ia bahkan hanya lari ke belakang.

“Aku dulu yang meminta izin pada kalian? Kenapa tidak setuju?” 

Sebuah suara, itu suara lelakiku, jantanku, pujaan hatiku. Air mataku begitu deras. Ternyata ia tidak meninggalkanku. Ternyata, sejak tadi ia menahan diri agar aku yang bicara terlebih dahulu.

“Ngomong aja kamu besar-besarkan. Kamu pikir ngelamar anak orang pakai daun?” bentak sang ibu.

“Semua sudah kami tangani kalian tinggal datang. Apa susahnya?” bentak Mas Bagus.

Lelakiku, membentak orang tuanya? Ada benih keraguan di hatiku. Akan tetapi, sudah sampai sini. Apakah aku akan menyerah? Ingat tujuan awal menikah dengannya, untuk membuat ia kembali ke jalan yang benar. Bukankah keyakinanmu itu? Apakah kamu mulai goyah hanya dengan masalah seperti itu?

“Kamu punya uang berapa? Kenapa masalah datang bertubi-tubi?” keluh sang ibu.

Suaranya mulai merendah. Aku menyangka, jika wanita itu penuh dengan tekanan.

“Sudah aku bilang kalian datang saja, kenapa repot banget? Mau datang atau tidak! Kalian tidak pernah memikirkanku. Aku anak kalian, bukan hanya dia. Akan tetapi selalu saja dia yang jadi prioritas,” marah calon suamiku.

Aku belum pernah melihat ia semarah itu, sefrustrasi itu. Kugenggam tangannya, karena ia mulai meremas tangan, seperti siap untuk memukul. Lelakiku itu sepertinya dalam tahap kemarahan yang tidak terkendali.

“Sudah, sudah … waktu Maghrib tidak enak didengar tetangga. Baiklah kalau itu sudah menjadi keputusan kalian. Kami akan datang,” ucap sang bapak.

Lega rasanya. Demikian juga dengan Mas Bagus. Sepertinya, ia juga merasa lega. Genggaman tangan lelakiku itu sudah tidak mengeras seperti tadi.

“Pak! Bagaimana kamu memutuskan begitu? Larangan bagi kita menikahkan dua anak sekaligus sebelum waktu setahun berlalu. Kamu tidak mikir resikonya?” bentak sang ibu.

“Mau bagaimana? Sudah seperti ini? Mereka berniat untuk bersama,” ucap sang bapak.

“Tidak, akan ada bahaya jika kita menerjang. Kamu saja yang datang. Aku tidak mau kehilangan anakku,” kekeh sang ibu.

Air mataku kembali mengalir. Kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Aku juga tak kalah kalut. Bagaimana ini? Mereka jadi bertengkar sendiri. Aku jadi berpikir lagi, mengingat sebulan lalu ketika kami berdua meminta restu pada mereka akan tetapi tidak disetujui. Calon suamiku ini menyerahkan semua urusan padaku, untuk mencari hari dan melakukan semuanya sendiri. Dalam sekejap, aku merasa bodoh. Mengapa aku mau melakukan ini semua sendiri?

“Bahaya apa? Bakalan bahaya jika kalian tidak mau datang. Itu artinya,  tidak menganggapku anak lagi!” bentak calon suamiku yang mulai kalap lagi. 

Aku memegang tangannya agar tidak sampai memukul orang tuanya karena ia hampir saja mengayunkan tangannya. Akan tetapi, tidak jadi karena aku memeluk tangannya dengan erat.

“Nggak usah main kasar! Aku bilang akan datang berarti akan datang walau tidak di akad nikah kalian. Apakah kamu tidak puas dengan jawaban kami?” kesal sang bapak.

Sang bapak yang sejak tadi masih ingin meredam diri dari rasa arah, kini ikut tersulut juga. Lelaki itu kini melotot dengan mata yang memerah.

“Berani kamu berkata begitu dengan ibumu?” bentak sang bapak.

Ia tidak terima istrinya dibentak oleh seng anak, apalagi dengan kesalahpahaman yang dibangun oleh lelaki berusia dua puluh dua tahun tersebut.

Ya, usia kami hanya terpaut dua puluh lima hari saja. Kami lahir di tahun yang sama. Usia kami sekarang masih tergolong muda. Akan tetapi, semangat kami untuk hidup bersama mungkin mengalahkan pemuda berusia tiga puluhan. Walau jujur, hanya modal nekat saja.

Bagaimana tidak, kami belum memiliki pekerjaan tetap. Aku, setelah pulang merantau dari Jakarta, kini hanya bekerja sebagai penanam sayuran dan menjualnya sekaligus di pasar. Sedangkan ia, hanya sebagai tukang reparasi televisi yang tidak mesti mendapatkan pekerjaan setiap harinya. Jika waktunya mendapat pekerjaan, ia bisa sibuk seharian. Akan tetapi, jika tidak ada maka harus bersabar.

Hanya satu yang menjadi tekad kami. Tuhan tidak akan menangguhkan rezeki kami, jika memang sudah menjadi hak. Benar-benar tidak memiliki rencana yang matang saat itu. Aku hanya memegang perkataannya, akan semangat untuk kehidupan yang layak. Terpesona dengan semua semangat yang ia bangun, tanpa berpikir bagaimana lika-liku kehidupan itu akan membuat kami sengsara.

Bagiku saat itu, asal bersamanya akan fokus sehingga kita bisa merencanakan melangkah dari kemiskinan. Sungguh ironis, akan tetapi tekad kami tidak lagi bisa diganggu gugat. Semangat kami tidak akan lagi bisa digoyahkan. Harus menikah juga, meskipun tidak mendapat restu.

“Ayo kita pergi dari sini! Kita tidak diterima di sini!” kata calon suamiku menyindir. Tanganku tiba-tiba ditarik paksa olehnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status