Suami Tampan Tapi Pelit

Suami Tampan Tapi Pelit

last updateLast Updated : 2025-02-01
By:  Alin AndrinalineOngoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Not enough ratings
11Chapters
185views
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Judul: "Suami Tampan yang Pelit" Sinopsis: Luna selalu merasa beruntung menikahi Ardi, seorang pria tampan yang cerdas dan sukses. Namun, di balik penampilan luar yang memukau, ada sisi lain dari Ardi yang mulai mengganggu Luna: sifatnya yang pelit. Ardi selalu menghitung setiap pengeluaran dengan cermat, bahkan untuk hal-hal kecil seperti makan di luar atau membeli hadiah ulang tahun untuk Luna. Meski memiliki penghasilan yang lebih dari cukup, ia selalu menolak untuk mengeluarkan uang lebih dari yang dianggapnya perlu. Luna, yang terbiasa hidup dengan kebebasan finansial, merasa tertekan dan kecewa. Ia berusaha memahami alasan di balik sikap Ardi, namun semakin lama, perasaan kesepian dan frustrasi semakin mendalam. Di tengah kebingungannya, Luna bertemu dengan Dimas, seorang teman lama yang selalu mendukungnya dan mengerti perasaannya. Dimas tidak hanya menunjukkan perhatian, tetapi juga memberi Luna kebebasan untuk menjadi dirinya sendiri tanpa batasan. Namun, di saat yang sama, Ardi mulai merasa terancam oleh kedekatan Luna dan Dimas. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa Luna mulai meragukan pernikahan mereka. Ketegangan antara Luna dan Ardi semakin meningkat, dan Luna dihadapkan pada pilihan sulit: apakah ia akan terus bertahan dengan suaminya yang tampan namun pelit, ataukah ia akan mencari kebahagiaan yang lebih besar di luar pernikahannya? Tema: Novel ini mengisahkan perjuangan seorang wanita yang terjebak dalam pernikahan dengan suami yang tampan namun pelit, serta pencariannya akan kebahagiaan dan pemahaman diri. Ini adalah cerita tentang cinta, pengorbanan, dan keberanian untuk memilih kebahagiaan meskipun harus menghadapi kenyataan yang pahit.

View More

Chapter 1

Bab 1 : Awal yang Manis

Luna memandangi cermin di kamarnya, memastikan riasannya sempurna sebelum Ardi pulang dari kantor. Ia selalu ingin terlihat cantik di depan suaminya, pria tampan yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Dengan wajah yang seperti aktor film dan sikapnya yang tenang, Ardi adalah impian banyak wanita. Namun, Luna-lah yang berhasil memenangkan hatinya.

Mereka menikah dua tahun lalu, dan sejak itu, kehidupan Luna berubah drastis. Ardi adalah seorang pengusaha sukses yang memiliki segalanya: rumah mewah, mobil mahal, dan karisma yang sulit dilawan. Namun, ada satu hal yang tidak dimiliki Ardi: kelapangan hati untuk berbagi.

Luna mulai menyadari sifat pelit suaminya beberapa bulan setelah mereka menikah. Awalnya, ia menganggap itu sebagai kebiasaan Ardi yang hemat dan bijak. Namun, semakin lama, kebiasaan itu berubah menjadi sesuatu yang membuat Luna merasa terkungkung.

Hari ini, Luna memutuskan untuk mencoba berbicara dengan Ardi tentang perasaannya. Ia ingin membahas sesuatu yang sederhana—makan malam romantis di restoran favorit mereka. Sesuatu yang, menurut Luna, sudah lama tidak mereka lakukan.

Saat pintu depan terbuka, Luna segera berdiri dan tersenyum menyambut suaminya. Ardi melangkah masuk dengan setelan jas yang rapi, membawa tas kerjanya. Wajahnya tampak lelah, tapi tetap memancarkan pesona yang membuat Luna sulit marah padanya.

“Selamat datang, Mas,” sapa Luna dengan suara lembut.

Ardi mengangguk dan membalas senyum tipis. “Hai, sayang. Hari ini capek sekali.”

Luna mengambil tas kerja Ardi dan meletakkannya di meja. “Aku sudah siapkan teh hangat. Duduk dulu, ya.”

Ardi duduk di sofa, melepaskan dasinya. Luna melihat kesempatan untuk memulai pembicaraan. Ia duduk di samping suaminya dan menggenggam tangannya.

“Mas, aku punya ide. Gimana kalau akhir pekan ini kita makan malam di luar? Di restoran favorit kita yang dulu?” tanya Luna dengan nada ceria.

Ardi mengerutkan kening, tampak berpikir. “Restoran itu? Bukannya mahal, ya? Kenapa kita nggak makan di rumah saja? Lebih hemat.”

Luna mencoba menahan kekecewaannya. “Tapi, Mas, kita sudah lama nggak keluar bersama. Aku pikir, sesekali nggak apa-apa, kan? Untuk menyegarkan suasana.”

Ardi menghela napas panjang. “Aku ngerti, Luna. Tapi, menurutku, makan di luar itu buang-buang uang. Kita bisa makan makanan yang sama di rumah, dan jauh lebih murah.”

Luna terdiam. Ia tahu bahwa Ardi tidak akan mengubah pendapatnya dengan mudah. Meski ia mencintai suaminya, sifat pelit Ardi sering membuatnya merasa tidak dihargai.

“Mas, aku hanya ingin kita punya waktu bersama. Bukan soal makanannya, tapi suasananya,” kata Luna, mencoba menjelaskan perasaannya.

Namun, Ardi hanya menggeleng. “Luna, aku kerja keras untuk memastikan kita punya masa depan yang aman. Kalau kita mulai menghabiskan uang untuk hal-hal seperti itu, aku takut kita akan kehilangan kestabilan yang sudah kita bangun.”

Luna merasa dadanya sesak. Ia ingin berdebat, tapi ia tahu bahwa itu tidak akan mengubah apa pun. Dengan senyum yang dipaksakan, ia berkata, “Baiklah, Mas. Kalau itu yang kamu pikir terbaik.”

Ardi mengangguk, tampak puas dengan jawaban Luna. Ia kemudian beranjak ke kamar, meninggalkan Luna sendirian di ruang tamu.

Luna menatap kosong ke arah cangkir teh yang masih mengepul di atas meja. Ia merasa lelah, bukan karena pekerjaan rumah atau rutinitas sehari-hari, tetapi karena perjuangan untuk mempertahankan pernikahannya.

Ia mencintai Ardi, tapi ia tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan dengan sifat suaminya yang selalu menghitung segalanya. Dalam hati, Luna bertanya-tanya: apakah cinta saja cukup untuk mengisi kekosongan yang ia rasakan?

Di luar, malam semakin larut. Namun, di hati Luna, badai baru saja dimulai.

Luna mencoba mengalihkan pikirannya dengan membereskan ruang tamu. Namun, pikirannya tetap berputar pada percakapan dengan Ardi tadi. Ia merasa lelah karena selalu harus mengalah. Sifat pelit Ardi bukan hanya soal uang, tetapi juga perhatian.

Ia berjalan ke dapur, membuka kulkas, dan mengeluarkan bahan-bahan untuk makan malam. Saat ia mulai memotong sayuran, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari sahabatnya, Rina.

“Luna, besok ada acara kumpul teman-teman lama di kafe baru. Kamu ikut, kan? Jangan bilang nggak bisa lagi!”

Luna membaca pesan itu dengan senyum pahit. Ia tahu, jika ia meminta izin pada Ardi untuk pergi, jawaban suaminya kemungkinan besar adalah penolakan. “Buat apa keluar kalau bisa ngumpul di rumah?” Begitulah cara Ardi berpikir.

Namun, kali ini Luna merasa ingin melawan rasa tertekan itu. Ia membalas pesan Rina.

“Aku akan coba datang. Jam berapa?”

Tak lama kemudian, Rina membalas. “Jam 7 malam. Jangan sampai nggak datang ya! Aku kangen ngobrol sama kamu.”

Luna menghela napas, mencoba menenangkan hatinya. Ia tahu keputusannya untuk datang akan memicu perdebatan, tapi ia merasa harus melakukannya demi dirinya sendiri.

Malam itu, saat makan malam, Luna mencoba mencari momen untuk membicarakan rencananya. Ardi duduk di meja makan, menikmati sup yang ia buat, sementara Luna menatapnya dengan hati-hati.

“Mas, besok aku mau ketemu teman-teman lama. Mereka ngajak kumpul di kafe baru,” kata Luna, suaranya terdengar hati-hati.

Ardi mengangkat alis, meletakkan sendoknya. “Kumpul di kafe? Buat apa? Kan lebih hemat kalau mereka datang ke sini.”

Luna sudah menduga jawaban itu. Ia mencoba menjelaskan. “Mas, ini acara yang sudah lama direncanakan. Aku juga jarang keluar rumah. Sesekali, nggak apa-apa, kan?”

Ardi menggeleng pelan. “Luna, aku nggak mau kamu buang-buang uang untuk hal yang nggak penting. Kalau memang mau kumpul, kenapa nggak di rumah saja? Lebih murah, dan kamu nggak perlu keluar malam-malam.”

Luna merasakan emosi mulai membara di dadanya. Ia meletakkan sendoknya, menatap Ardi dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Mas, kenapa semuanya harus soal uang? Aku nggak minta banyak. Aku cuma ingin punya waktu untuk diriku sendiri, untuk merasa seperti diriku lagi. Apa itu terlalu sulit?”

Ardi terdiam, tampak terkejut dengan nada suara Luna yang jarang ia dengar. Namun, ia tetap bersikeras. “Aku hanya ingin kita hidup sederhana, Luna. Aku pikir kamu mengerti itu.”

Luna berdiri, merasa tidak sanggup lagi menahan emosinya. “Mas, hidup sederhana itu bukan berarti mengorbankan kebahagiaan. Aku hanya ingin sedikit ruang untuk bernapas, sedikit kebebasan untuk merasa hidup.”

Tanpa menunggu jawaban Ardi, Luna melangkah pergi ke kamar. Air mata mengalir di pipinya, bukan karena marah, tetapi karena kecewa. Ia merasa suaminya tidak pernah benar-benar memahami apa yang ia butuhkan.

Di dalam kamar, Luna duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan dirinya. Ia tahu, pernikahan tidak pernah mudah, tetapi ia tidak pernah menyangka bahwa cinta saja tidak cukup untuk membuatnya bahagia.

Malam itu, Luna memutuskan untuk tetap pergi ke pertemuan dengan teman-temannya. Ia tahu Ardi mungkin tidak akan setuju, tetapi untuk pertama kalinya, Luna memilih untuk mendengarkan dirinya sendiri.

Dan di dalam hatinya, ia bertanya-tanya: apakah ini awal dari perubahan, ataukah awal dari perpisahan?

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

No Comments
11 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status