Share

Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya
Kunikahi Suamiku Tanpa Restu Ibunya
Author: Meyyis

BAB I

“Nduk, kamu yakin mengejar keponakanku? Kamu sudah mengenalnya dengan baik?” tanya pakde dari kekasihku.

Aku menghela nafas bingung--masih meraba tentang perkataan pakdenya calon suamiku ini. Apakah ia dalam pihak kami, atau dalam pihak orang tua kekasihku yang tampak tidak setuju dengan hubungan kami?  

“Sudah sampai sini, Pakdhe. Itu juga yang ingin aku tanyakan. Dia tidak bisa dihubungi, padahal pernikahan kami kurang sebulan lagi,” lanjutku dengan cemas.

Terlihat, pakdhe demikian juga aku panggil, kaget. Mungkin pikirnya, sudah sejauh itu? Karena pada kenyataannya memang kami tidak memberitahukan keluarganya sama sekali. Bahkan, calon suamiku itu menyerahkan semuanya padaku tentang semua pernak-pernik pernikahan kita ini.  

“Bagaimana bisa? Nah begitulah makanya aku tanya kamu. Kasihan kamunya jika sudah menjadi istrinya. Aku tahu siapa keponakanku, jadi tidak ada yang bisa aku katakan,” ucapnya.

Kami terdiam, sampai sang istri menyajikan minuman dan makanan kecil. Kala itu, tahu goreng dan bala-bala. Makanan yang menjadi favoritku itu, bahkan terlihat seperti hanya seonggok duri yang tidak menarik minatku. Belum lagi, segelas teh hangat, minuman yang paling tidak kusuka.

“Arif, telpon adikmu. Bisa-bisanya, tidak bisa dihubungi dalam masa seperti ini. Ini anak orang dia bikin bingung,” kata Pakdhe terlihat sangat kesal. 

Aku sedikit merasa mendapat dukungan. Ternyata, pakdenya tidak seperti kedua orang tuanya yang akan menjadi mertuaku itu, yang langsung menolak waktu sebulan lalu kami meminta restu. Akan tetapi, panggilan dari lelaki bernama Arif putra dari pakdhe itu tidak mendapat sambutan. Akan tetapi, hatiku merasa lega ketika suara rem sepeda menyentuh gendang telingaku. Kami sepakat menolak dan tidak lagi berbicara buruk tentang lelaki pujaan hatiku ini, yang sebenarnya baru saja aku sukai karena segala pemikirannya yang brilian menurutku.

“Mas, bagaimana? Bisakah kita menikah jika orang tua tak merestui?” tanyaku waktu itu, tepat setelah menunggunya selama dua jam di rumah uwak. 

Rumah berukuran sepuluh kali enam meter dengan bilik bambu ini, menjadi saksi bagaimana aku ingin mengejar sebuah impian yang sebenarnya, saat ini terlihat fana. Lelakiku ini, terlihat penuh peluh karena mengayuh sepeda sekitar enam kilo meter. Keningku berkerut, ketika menyadari kedatangannya tidak mengendarai motor butut seperti biasanya.

Dalam dada penuh tanya, akan tetapi tidak dapat bibirku bergetar untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang nyasar di kepalaku itu. Kebingungan mulai melanda dalam pikiran waktu itu. Kekasihku, pujaan hatiku, selama mengenalnya sekitar setengah tahun ini, tidak sekalipun ia mengendarai sepeda. Biasanya, ia memilih tidak pergi atau meminjam sepeda motor milik temannya, daripada mengayuh.

“Aku belum mengatakan apa pun, Dik. Aku ….” 

Ia tidak melanjutkan kalimatnya. Lelaki di depanku ini, terlihat rustrasi. Lelaki yang sudah berani memintaku pada ibuku tersebut, terlihat penuh dengan tekanan dan luka. Rasanya, tidak cukup nyali menambah bebannya.

“Mas Bagus, bagaimana jadinya? Apakah kita batalkan saja pernikahan ini?” tanyaku memberanikan diri.

Diam, hanya itu yang dilakukan oleh Bagus. Hatiku semakin kalut. Bagaimana tidak? Pernikahan ini kurang satu minggu. Keluarganya bahkan tidak memberikan kepastian. Ada sedikit sesal merayap dalam hatiku. Mengapa bisa melangkah sejauh ini? Jika mundur, rasa malu keluargaku akan lebih parah dari yang pertama.

Ya, aku pernah gagal sebelumnya. Lelaki sebelum Bagus yang datang, memberiku sebuah janji yang tidak pernah menjadi nyata. Tapi, kami harus membatalkan pernikahan bahkan satu bulan sebelumnya. Sepertinya, kisah akan berulang. Demikian pikiranku saat itu. Sampai jarum panjang menunjuk di angka sebelas, sedangkan jarum hitam pendek di angka lima. Jarum merah terasa lambat bergeser.

“Kita ke rumahku bilang sama bapak dan ibu,” lanjutnya.

Kaget, kupuji keberaniannya. Hatiku sedikit tersentak dan trenyuh akan keberaniannya. Kepalaku sontak mengangguk tanpa komando. Akan tetapi, lagi-lagi hatiku tersentil untuk bertanya. Apakah ini benar?  Bagaimana jika orang tuanya tetap tidak menyetujui? Mengapa aku kurang hati-hati? Apakah ini memang nasibku?

“Aku … apakah itu yang terbaik?” tanyaku.

Keraguan mulai datang, langkah ini apakah salah? Haruskah gagal lagi? Semua tanya itu berputar layaknya benang kusut yang tidak dapat terurai di kepalaku. 

“Sebaiknya memang kalian kasih tahu orang tua. Disetujui atau tidak, bagaimanapun jika kalian sudah yakin, Pakdhe akan menyetujui. Nanti Pakdhe yang akan ngunduh mantu untuk kalian.”

Kedua bola mata kekasihku itu memandangku sangat dalam. Terlihat, tangannya akan diangkat akan tetapi diurungkan. Kepalanya mengangguk, mengajakku menaiki sepeda. Sejujurnya, air mataku sudah tidak bisa tertahan. Akan tetapi, dengan kerudung putih yang kukenakan, menyapu sudut mata agar tidak terlihat sembab.

*******

Setelah bersusah payah mengayuh melewati jalan raya, sampailah di rumahnya. Dadaku semakin berdebar tak menentu. Tanganku meremas ujung kerudung. Ketika ia telah masuk ke rumah lewat pintu samping, kakiku berat melangkah untuk mengikutinya. Hingga sebuah suara terdengar.

“Nduk masuk,” ucap sebuah suara lelaki dewasa.

Itu adalah bapaknya Mas Bagus. Dengan langkah kecil, aku masuk ke rumah itu, bertepatan dengan masjid mengumandangkan ayat suci Al-Qur’an karena memang akan masuk waktu maghrib. Suara merdu dari toa itu tidak mampu menyejukkan hatiku. Hatiku semakin kalut ketika di sebelah bapaknya calon suamiku itu berdiri seorang wanita paruh baya, yang serupa ibuku walau lebih muda kira-kira lima tahun dari ibuku.

“Ada apa?” tanya ibunya.

Ya Tuhan, jantungku terasa terlepas dari kaitannya. Darahku terasa digelontorkan dari bilik langsung menuju ke kepala. Rasanya sangat panas, ketika mendengar kalimat tanya yang pendek dan klasik itu. kalimat itu bahkan lebih tajam dari belati yang sering ia gunakan untuk memangkas daun pisang, karena pekerjaan calon mertua wanitaku itu memang mengambil daun pisang untuk dijual kembali. 

Ibunya, masih dengan pakaian kerja yang lusuh mendekat ikut duduk di ranjang reot yang ada di depan televisi. Kedua adiknya yang masih sekolah, baru saja makan sore sekaligus makan malam mungkin. Aku hafal, karena sudah beberapa kali berkunjung sampai senja tiba.

Debaran jantungku semakin tidak terkendali ketika meluruskan pandangan dengan pandangan calon mertuaku itu. Bibirku terasa kelu. Bagaimana tidak? Wanita dihadapanku inilah yang paling menentang.

“Bu, Pak, kedatangan saya dan Mas Bagus ke mari ingin meminta restu kalian. Kami akan menikah hari Jum’at depan,” ucapku lirih.

Demi Tuhan, aku tidak berani memandang wajah mereka yang ada di ruangan itu. Terutama, bapak dan ibunya. Dadaku rasanya mau meledak ketika bibirku sudah mampu mengatakan hal itu.  Kepalaku menunduk sangat dalam. Bahkan, calon suamiku itu hanya terdiam saja. Ia berada di depanku, berdiri menghadap ke arahku yang duduk di dipan sempit itu.

Kini, Ibunya menoleh. Dari ekor mataku, terlihat bahwa sorot mata lelah itu lebih penuh dengan kemarahan.

“Katakan sekali lagi!”

Meyyis

Bagaimana rasanya menikah tanpa restu? Tentu akan sangat menyakitkan. Kira-kira di tahun 2009, 14 tahun lalu, aku telah salah melangkah. Semua yang dikatakan orang lain hanya keluar lewat telinga kiri dan masuk lewat telinga kanan. Kebodohan yang baru kusadari ketika peristiwa buruk bertubi-tubi menerpaku. Jika dia membaca ini, semoga saja memahami sebenarnya letaknya di mana? Bagaimana hatiku bisa bertahan selama ini bersamanya? Semoga, ia tidak berlari seperti saat ini ketika berhadapan denganku. Hanya itu yang aku harapkan. Halo, teman-teman pembaca. Ini karya terbaruku. Jangan lupa ikuti terus, ya. Terima kasih:)

| Like

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status