Nyatanya, Luna masih hidup.
Wanita itu telah terbaring di atas ranjang pasien selama beberapa hari. Perlahan, ia merasakan sakit di sekujur tubuhnya.
Dia bahkan dapat merasakan kepalanya terbalut perban, hingga menutupi wajah. Namun, dia tidak bisa membuka matanya secara langsung meski sudah berusaha sedari tadi.
Alih-alih matanya yang terbuka, justru jari-jemarinya yang bergerak pelan, hingga lama-kelamaan semuanya bergerak bersama.
"Dokter!"
“Pasien kamar 001 sudah sadar!”
Sayup-sayup, dia mendengar kepanikan dalam suara orang di sekitarnya.
Dan secara ajaib, dia mampu mengerjapkan matanya beberapa kali, hingga akhirnya terbuka.
Wanita itu dapat melihat seorang pria yang sepertinya dokter di dekatnya.
Tak hanya itu, ada seorang pria tampan dengan setelan jas berwarna navy berjalan mendekati dirinya. Pria itu menatapnya cemas, tetapi tak dapat menyembunyikan kebahagiaan karena Luna telah siuman. "Sayang, akhirnya kamu sadar!"Tak lama, pria itu mendekat dan memeluk tubuhnya erat.
Luna pun mengernyit bingung. Sayang?
Dia benar-benar tak dapat mengenali pria di hadapannya ini! Namun, mengapa pria itu bertingkah akrab dengannya?
"Siapa kamu?" ucap Luna pada akhirnya, "Menyingkir dariku!"
Dengan tenaga yang tersisa, Luna bahkan mendorong tubuh pria berotot kekar itu untuk menjauh–meski sia-sia.
"Apa maksudmu, Sayang?" Kini, pria itu tampak terlihat bingung.
Dengan cepat, dia menatap tajam sang dokter, hingga pria berjas putih itu segera mengangkat stetoskop di lehernya untuk memeriksa kondisi Luna.
“Apa yang kamu katakan, Nyonya? Pak William adalah suamimu.” Dengan tenang, sang dokter pun menjelaskan situasi ini pada Luna.Luna lantas menggeleng–membuat dokter itu panik. Dia dapat merasakan tatapan William yang semakin tajam di balik punggungnya.
Berkali-kali, dokter itu mengecek hasil pemeriksaannya. Namun, semua hasilnya baik. Tapi, mengapa bisa seperti ini? Apakah wanita di hadapannya ini sedang mempermainkannya?
"Maaf, Tuan William. Hasil pemeriksaan menunjukkan tidak ada luka serius pada kepalanya."
"Lantas, mengapa istriku tidak mengenaliku?" Suara pria itu seketika serak. “Apa kau mau ma–”
"–Ah, lebih baik, kita membuka perban kepala Nyonya terlebih dahulu," potong dokter tersebut gemetar.
Bahkan, Luna pun merasa takut, hingga dia seketika diam.Dengan dibantu seorang perawat, dokter itu pun memegang perlahan ujung perban di wajah Luna dan mulai memutarnya dengan hati-hati.
Ruangan itu menjadi tegang.
Mereka berharap operasi wajah yang dilakukan membuahkan hasil yang baik dan wajahnya akan kembali cantik seperti semula.Setidaknya, agar Tuan William tidak kembali marah pada mereka.
"Wow!” seru dokter tertahan, “Nyonya ... Anda terlihat jauh lebih cantik dari sebelumnya."
Dokter itu tiba-tiba memberikan satu cermin besar ke arahnya.
"Nyonya bisa melihat hasil operasinya di cermin. Silakan!" ucap sang dokter tersenyum. Dia merasa dirinya aman kali ini.
Sementara itu, dengan kedua bola matanya yang masih sakit, Luna terpaksa melihat cermin yang ada di hadapannya itu.Seketika detak jantung wanita itu hampir berhenti.Pyaar!Luna pun melempar cermin ketakutan dan menutup kedua matanya.Ia berteriak histeris, "Tidak! Tidak! Tidak mungkin! Itu bukan aku! Bukan aku!"
Berkali-kali, ia menjerit dan mendorong tubuhnya ke belakang dinding ranjang.Wajah yang dia lihat di cermin, sama dengan wajah wanita yang terakhir kali dia lihat pada saat kecelakaan itu. Terlihat tegas dan ada sedikit arogansi di sana.
Meski saat itu, wajah wanita itu penuh luka, tapi Luna yakin dengan ingatannya.Sontak, semua terkejut dengan apa yang diperbuat Luna.
Bahkan, perawat di sampingnya merasa takut. William pun tak kalah terkejut.Alih-alih bertanya, William akan sabar menanti “istrinya” pulih meski pria itu pun juga begitu penasaran dengan kondisi sang istri.
Pria itu gegas memeluk “istrinya” erat. Dia yakin istrinya masih mengalami trauma yang berat.
“Tenanglah, Nilam.”
Seketika, tubuh Luna menegang. Wajahnya bukan miliknya dan dia dipanggil dengan nama pemilik tubuh ini. Bahkan, saat ini, tubuhnya berpelukan dengan pria asing yang tidak ia kenal.
Nilam merasa tidak nyaman. Dia kembali melepaskan pelukan pria itu dan menatapnya tajam. “Lepaskan! Aku bukan istrimu.”
"Tidak, Dokter. Saya akan menemani istri saya, saya tidak akan meninggalkan dia.""Oke baiklah. Anda bisa masuk ke ruangannya. Ada ruang khusus didalam untuk Anda beristirahat. Jika Anda lapar cafe dekat dengan ruangan ini.""Terimakasih, Dokter."*****Saat yang ditunggu William telah berlalu. Ia melihat jari Luna bergerak-gerak. Terlihat kedua matanya mengerjap beberapa kali. Dan tak lama kemudian -- kedua mata itu terbuka."Luna? Kamu sudah sadar?" William bertanya dengan mata berkaca-kaca.Luna kesulitan berbicara, karena kulit wajahnya masih terasa kaku, dan perih. "Ya"Hanya jawaban singkat yang dia bisa dengar. William bergegas keluar, dan memberitahu dokter, jika istrinya telah sadar.Tak lama kemudian William kembali bersama dokter. Pria berkulit putih susu, berambut pirang itu segera mengecek kondisi Luna.Beberapa peralatan medis ia gunakan untuk mengecek keadaan Luna. "Kondisi fisik Nyonya Luna baik. Kita bisa menunggu sampai besok. Saya akan buka perban besok pagi.""Syu
Beberapa saat berlalu -- Angel telah sembuh dan diperbolehkan pulang.Wajahnya terlihat penuh dengan sukacita. Karena sebentar lagi, Anita mengatakan jika orang tuanya akan melangsungkan sebuah pernikahan.Sebenarnya gadis kecil itu merasa bingung -- meski ia masih batita, ia sempat berpikir, kenapa mereka harus menikah lagi? Bukankah mereka sudah menjadi pasangan suami istri? Ia tidak berani menanyakan hal itu pada Mama atau Papanya. Cukup melihat mereka bahagia -- ia juga merasakan kebahagiaan yang sama. Dan mamanya telah menjanjikan jika adik baby sudah sembuh -- boleh dibawa pulang. Ia telah menyiapkan nama yang indah untuk Putri Shiren itu. Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba. Luna dan William tampak menggendong seorang bayi mungil. Dengan riangnya Angel berlari ke arah mereka dan menyambut kedatangan bayi itu di rumahnya."Mama ... Angel telah menyiapkan sebuah nama untuk adik Baby. Bolehkah aku memberi nama Feby?" tanya Angel."Tentu boleh, dong, Sayang." Luna memberi seny
Mereka terkejut melihat mangkuk berisi bubur itu terjatuh setelah seseorang membuangnya paksa.Luna melihat siapa yang melakukan itu -- ternyata Papa Seno. Lekas ia berdiri. "Tega sekali Papa melakukan semua ini? Tidak-kah Papa tahu, jika Angel tidak mau makan? Lihatlah keadaannya sekarang?" bantah Luna.Seno mengacungkan jari telunjuknya. "Siapa kamu? Atas izin siapa kamu berani bicara lantang terhadapku, hah!""Aku minta maaf, Papa. Tapi baru saja Angel mau membuka mulutnya. Dan sekarang, bubur itu sudah dilantai.""Cukup! Aku tidak mau kamu memanggilku dengan sebutan Papa! Siapa yang mengizinkan kalian menginjakkan kaki di rumah ini?" bentak Seno -- wajahnya tampak merah padam."Aku, Mas! Sudah! Biarkan mereka disini menemani Angel." Anita meminta Seno dengan harapan."Oppa ... Kenapa Oppa kejam pada Mama dan Papa Angel? Kenapa Oppa memisahkan Angel dengan mereka?" tanya Angel dengan terisak.Anita memeluk tubuh kecil Angel. Ia tidak ingin gadis kecil itu menangis. Baru saja ia te
Sudah beberapa waktu lamanya akhirnya pintu ruang persalinan kembali terbuka. Mereka yang menunggu dari tadi segera menghampiri dokter yang baru keluar melewati pintu -- wajahnya terlihat sedih. Seperti ada sesuatu yang baru saja terjadi.Namun pikiran itu segera ditepis oleh Luna, semoga yang ia pikirkan tidak seperti yang sedang terjadi."Bagaimana keadaan istri saya, Dokter? Apakah kalian berhasil menyelamatkan keduanya?" Daffa memulai pertanyaan. Dalam beberapa saat pria yang mengenakan jas putih itu diam. Membuat semua yang berada di sana merasa tidak tenang. Diamnya dokter itu -- sudah mewakili jawabannya. Daffa yang memiliki status sebagai suami Shireen, lekas masuk begitu saja ke ruangan persalinan tersebut. Diikuti oleh Luna dan William.Langkah mereka terhenti, setelah melihat seorang perawat menutup tubuh Shireen dengan kain putih sampai atas kepala. Dan perawat lain sibuk membersihkan bayi yang tampak masih merah berlumuran darah -- Setelah beberapa saat -- mereka men
"Luna ... Perutku sakit!"Luna seketika panik. Ia lekas berteriak meminta pertolongan. Beberapa pria berseragam datang, dan memapahnya."Bawa dia kerumah sakit!" titah seorang polisi dengan pangkat tinggi."Berapa usia kandungannya? Apa dia akan melahirkan?" gumam Luna.Ia ikut mendampingi Shireen ke rumah sakit. Dengan mobil salah satu anggota polisi. "Bertahanlah Shireen ..." ucap Luna menguatkan.Ia menggenggam tangan Shireen erat. Ia tidak tahu bagaimana rasanya akan melahirkan. Banyak wanita mengatakan jika sakitnya luar biasa. Kontraksi menjelang persalinan sedikit banyak mirip dengan kram saat menstruasi. Bedanya, kontraksi ini akan terasa beberapa kali lebih berat daripada kram perut menstruasi. Rasa kontraksi juga mirip seperti perut kembung atau 'begah'.Sudah berbagai upaya Luna untuk bisa mendapatkan momongan. Namun tidak ada hasilnya. Selama tujuh tahun ia mendambakan seorang bayi, namun ia masih belum diberi kepercayaan juga.Teringat saat William melakukan dengannya.
Hari itu William sedikit sibuk. Mengurus semua kasus Luna dengan polisi. Ia telah membawa banyak bukti bersama saksi dan pengacara handalnya.Ia tidak perlu mengajak Luna ke kantor. Ia akan tangani sendiri -- tanpa melibatkan Luna. Wanita itu cukup diam saja dikontrakkan menunggu kabar dari William. Pekerjaan itu akan segera ia atasi. Namanya akan kembali bersih. Dan ia akan menikahinya. Dengan identitas aslinya 'LUNA'.Hari itu wanita yang biasanya suka menyibukkan diri dengan banyak pekerjaan rumah hanya diam saja berpangku tangan.Bingung mau melakukan pekerjaan apa. Setelah semua pekerjaan rumah sudah ia kerjakan. Tidak seperti kediaman Bhaskara -- luasnya berhektar-hektar. Ia hanya cukup membersihkan kontrakan itu dalam waktu sesaat saja.Luna berjalan keluar, dan mendaratkan bobotnya dikursi kayu bersandar dinding depan. Celingukan melihat dari kejauhan -- satu kontrakan jauh yang disewa William."Jaraknya jauh, aku tidak mampu menjangkau wajah pria tampan itu. Ah, aku rindu p