Beranda / Romansa / Kupu-Kupu Malam Tuan Muda Cahya / Bab 5 - Gencatan Senjata dengan Sang Iblis

Share

Bab 5 - Gencatan Senjata dengan Sang Iblis

Penulis: Elodri
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-02 02:24:44

"Aku nggak tau ...." sahut Tamara lirih, diiringi helaan napas frustasi.

"Jangan kebanyakan mikir. Kamu mau bertahan hidup atau nggak? Atau kamu mau balik ke rumah orang tua kandungmu?"

Tamara spontan mendengus kasar. "Mereka? Selama Velani masih di sana, aku nggak akan pulang."

Sebut Tamara iri dengki, berhati sempit, dan lain-lain. Ia tidak peduli. Poin utama yang menghalangi Tamara pulang cuma harga dirinya.

Ia tidak bisa membiarkan harga dirinya tergores ketika suatu saat dia harus mengalah ke Velani, berebut kasih sayang, atau menonton keluarga hangat mereka berinteraksi sedangkan ia terlihat asing berada di sana. Padahal ia-lah anak kandung di rumah itu. 

Dari sikap Yudhi dan Dahlia, Tamara tahu. Mereka akan selalu berat sebelah ke Velani, meskipun Tamara berusaha sebaik mungkin menjadi putri idaman mereka. Oleh karena itu, pilihannya adalah Tamara atau Velani. Bukan Tamara "dan" Velani. 

Karena Dahlia dan Yudhi tidak mau melepas Velani, maka Tamara juga tidak mau merendah demi mereka yang masih terhitung orang baru di hidupnya.

Sejak kecil, Tamara dibesarkan sebagai putri tunggal. Putri yang sangat disayang-sayang dan di anak emaskan. Lalu setelah membangun karir yang cemerlang, value yang ia miliki semakin melambung, sejalan dengan harga dirinya.

Tamara betul-betul tidak sanggup bila harus menundukkan kepala dan memohon Dahlia, apalagi Yudhi. Terutama sehabis menolak mereka habis-habisan kemarin.

Maka, jalan yang bisa ia tempuh saat ini ...

"... Pilihkan laki-laki terbaik," ucap Tamara—menyerah.

"Nah!"

Tamara menambahkan cepat, "Cari yang masih single. Aku nggak mau jadi pelakor."

"Ada, ada! Kebetulan banget, dia di ruang VVIP atas. Kamu datangi aja langsung." Serena menyarankan dengan bersemangat.

Tamara tampak ragu-ragu, "Sekarang?"

Serena mendorong. "Iya, cepat. Di ruang 103 kalo nggak salah."

"Okay ..."

Tamara pergi dengan langkah terhuyung karena pusing dari gelas-gelas alkohol sebelumnya. Tetapi, matanya masih bersinar jernih. Ia diperbolehkan naik ke lantai VVIP usai menunjukkan kartu member milik Serena.

Koridor lantai itu memiliki penerangan minim. Lampunya berpendar remang-remang. Pandangan Tamara yang berbayang akibat pusing, menjadi kian parah. Tamara mengedip berkali-kali untuk memusatkan fokus matanya.

Ia berjalan pelan menyusuri lorong sembari bertumpu pada dinding. Hingga entah berapa lama kemudian, Tamara melihat nomor 103 tertera di plakat pintu. Langkahnya terhenti dan tatapannya melamun sejenak.

Tamara menarik napas kuat beberapa kali. Kepalanya berdenyut keras. Ia memantapkan hati dan memegang gagang pintu dengan sedikit gemetar.

Ceklek.

Tamara membuka pintu secara perlahan.

Ia tidak menyadari bahwa ruangan tersebut bernomor 102.

---

Dmitri dipanggil ke klub malam oleh rekan bisnisnya untuk relaksasi. Tetapi, kondisi di dalam ruangan terlalu meriah. Semua wanita LC yang menyemarakkan suasana itu memakai parfum menyengat. Meski mereka cukup enak dipandang, Dmitri mengernyit jijik saat tubuh mereka menggelayutinya.

Status Dmitri melebihi seluruh rekan bisnisnya, jadi dia tidak harus memikirkan perasaan mereka. Itulah mengapa Dmitri hanya bertahan sebentar sebelum pergi dipertengahan acara. Ia pindah ke ruangan kosong.

Sebatang rokok bertengger di sela bibirnya. Ia menghirup panjang dalam satu tarikan napas, lalu mengeluarkan sedikit demi sedikit asap melalui celah bibir tipisnya. Jasnya berantakan dengan kancing kemeja yang terbuka hingga dada. Dasi hilang entah kemana.

Dmitri menutup mata dan beristirahat. Ia berencana pulang setelah menghisap rokok.

Namun, tiba-tiba pintu terbuka. Dmitri mengerutkan kening samar. Kelopak matanya terangkat setengah.

Seorang wanita muda masuk tanpa mengetuk pintu. Ia mengenakan gaun merah sepaha dengan kerlap-kerlip tersebar merata. Panjang gaun itu tanggung, beberapa senti dari pinggul.

Mata hitam Dmitri menggelap saat melihat tali gaunnya mengalung indah di leher jenjang dan putih wanita tersebut. Dia tampak tinggi menggunakan hak hitam. Kaki rampingnya yang bersih dan mulus menonjol cemerlang di bawah cahaya lampu. Sekujur tubuh wanita itu berkilau bagai mutiara.

Wanita itu berdiri menyamping. Ketika lengannya terangkat untuk menyisir rambutnya ke belakang, Dmitri bisa menerka betapa gemulai dan lembut kulit putihnya. Buah dada wanita itu menyembul sedikit saat lengannya bertahan di kepala—memijat pelipis.

Dmitri memicing tajam. Ia tetap diam seraya mengamati. Ia ingin tahu tujuan wanita ini.

Tamara terserang pusing begitu masuk ke ruangan tersebut. Cahaya lampu di dalam terang benderang, berbanding terbalik dengan lampu remang-remang di lorong tadi. Ia memejamkan mata erat karena kesilauan. Tamara membuka matanya usai beradaptasi dengan sinar lampu.

Indra penciumannya lantas menghirup bau khas rokok. Tubuh Tamara menegang sekilas, menyadari kehadiran laki-laki yang ia cari. Kegugupan mulai merayapi dirinya. Tamara diam-diam menarik napas dalam, sebelum akhirnya menoleh ke arah sumber aroma, bermaksud menyapa dengan ramah sekaligus merayu.

"Maaf, aku masuk tiba-ti—"

Suara Tamara tercekat di tenggorokan. Kelopak matanya membulat besar dan bibirnya bergetar saat ia mengucapkan, "K-kau?!"

Berbeda dengan Tamara yang langsung megenali Dmitri, pria itu membutuhkan waktu untuk mengingat siapa Tamara.

Paras jelita Tamara mendominasi pupil gelap Dmitri. Figur indah wanita itu memukaunya, tetapi juga terasa familiar. Tatapan unik yang penuh kemarahan milik Tamara membangkitkan memori samar dalam ingatan Dmitri. Ketika kemudian ia mengingatnya, pandangan Dmitri sekonyong-konyong berubah mengandung hinaan yang tak ditutup-tutupi.

Tamara menatap nyalang Dmitri. Postur tubuhnya menjadi kaku dan segera mengambil sikap bertahan melawan musuh.  "Apa yang kau lakukan di sini!"

Dmitri menyipitkan mata, tatapannya menghunus berbahaya. Nadanya terdengar berat dan dalam, bagai suara bisikan kegelapan, "Saya yang harusnya bertanya. Kau ingin memohon ampun padaku?"

"A-ampun?" ucap Tamara terbata dengan suara melengking, saking tidak percayanya dia dengan pertanyaan Dmitri. 

Betapa angkuh. Betapa arogan. 

Sungguh.

Pria yang memuakkan. 

Ekspresi Tamara langsung menjadi dingin membekukan dengan sedikit sentuhan merendahkan. Tamara mengangkat dagunya, matanya berkilat merah, kemudian berkata sarkas, "Sampai matipun aku nggak akan memohon padamu. Kau tidak pantas menerimanya."

Tamara tidak bisa melupakan sosok Dmitri yang membiarkan dirinya dijadikan kambing hitam, bahkan sampai memecatnya tanpa mengungkapkan kebenaran kasus tersebut.  

Tamara menambahkan dengan penuh dendam, "Aku hanya akan bersujud syukur jika kau mati."

Dmitri terdiam acuh sembari memandang Tamara seakan-akan wanita itu sebuah benda mati. Rokoknya membara dan terbakar cepat seiring berjalannya waktu. Kebul asap memenuhi seisi ruangan, membuat Tamara nyaris sesak napas. 

Tamara mengepalkan tangan kencang-kencang. Meski amarahnya membuncah karena dianggap seperti omong kosong oleh Dmitri, Tamara bersikeras untuk tidak meledak. 

Dia wanita cerdas. Tidak ada gunanya dia marah-marah lagi. Lebih baik ia mencari lelaki lain dan segera melunasi hutangnya!

Tamara berbalik dan berderap ke arah pintu keluar. Sementara Dmitri melengos ke samping, malas bereaksi. 

Namun, mata elang Dmitri tiba-tiba menangkap sesuatu saat tangan Tamara terayun memegang gagang pintu. Jantung Dmitri sepintas berdegub kencang, bola matanya bergetar samar. Tanpa pikir panjang, ia bangkit dan menerjang Tamara.

Dmitri bergerak secepat kilat, mencengkram pergelangan tangan Tamara, lalu membenturkan wanita itu ke dinding hingga punggung Tamara berdenyut sakit. Tetapi belum sempat ia merintih, Dmitri mengunci pergelangan tangan kanannya, lalu menariknya ke depan wajah Tamara. 

Dmitri membentak tertahan, "Dari mana kau dapat gelang ini!"

"Lepaskan aku, brengsek!" Tamara meronta, berusaha menarik tangannya yang dicekal. Sedangkan tangannya yang masih bebas, ia gunakan untuk memukul-mukul dada bidang Dmitri dan mencoba mendorongnya menjauh. 

BAM!

"Jawab!" sentak Dmitri. Ia meninju dinding di sisi kiri Tamara dengan kepalan tangannya dan bertahan di sana bagai memenjarakan Tamara. 

Maksud Dmitri terpampang jelas. Dia takkan melepaskan Tamara sampai mendapat jawaban tentang gelang itu. 

Tamara terpaksa menengadahkan kepala dan bertemu sepasang mata gelap yang kini penuh intimidasi. Kegelapan yang bernaung di kedua mata pria itu tampak amat suram dan murung. Pandangannya yang begitu intens bagai mencekik Tamara.

Namun, di otak Tamara cuma ada satu kalimat yang tersisa, yaitu ... 

Dmitri sudah gila! 

Dia sudah kehilangan akal sehatnya sampai-sampai mencecar Tamara cuma perkara hal sesepele gelang!

"Ha." Tamara mendengus geram. Ia merasa seperti tidak mempunyai kontrol atas dirinya sendiri. Selalu berada di bawah dominasi Dmitri. Ini membuatnya mual dan emosi tingkat tinggi. 

Dia tidak tahu kenapa Dmitri menanyakan gelangnya. Namun, hal itu tidak menghalanginya dari berpura-pura tangguh dengan menolak untuk menjawab. "Kau nggak perlu tau!"

Tatapan Dmitri meruncing keji. Ia memakai kekuatannya demi memaksa Tamara. 

Dmitri mengencangkan cengkramannya pada pergelangan tangan Tamara seraya tangan satunya merayap ke leher Tamara. Dmitri menunjukkan melalui gesturnya. Bahwa dia bisa saja menghabisi nyawa Tamara dengan sekali patahan leher bila Tamara kerap menolak untuk memberi tahunya.

Warna biru mulai muncul samar-samar di sekitar lengan Tamara yang digenggam Dmitri. Telapak yang melingkar di lehernya seperti lilitan ular berbisa—berbahaya dan penuh ancaman. 

Tamara baru pertama kali dipojokkan seperti ini seumur hidupnya. Tetapi, alih-alih merasa kalut dan menyerah, jiwa pemberontak Tamara justru berkibar kuat.

Wanita itu tanpa takut berseru serak, "Berlututlah! Dan cium kakiku!"

"... Baru aku akan mengatakannya."

Seuntai senyuman culas menggelayut di bibir ranumnya. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kupu-Kupu Malam Tuan Muda Cahya   Bab 5 - Gencatan Senjata dengan Sang Iblis

    "Aku nggak tau ...." sahut Tamara lirih, diiringi helaan napas frustasi. "Jangan kebanyakan mikir. Kamu mau bertahan hidup atau nggak? Atau kamu mau balik ke rumah orang tua kandungmu?" Tamara spontan mendengus kasar. "Mereka? Selama Velani masih di sana, aku nggak akan pulang."Sebut Tamara iri dengki, berhati sempit, dan lain-lain. Ia tidak peduli. Poin utama yang menghalangi Tamara pulang cuma harga dirinya.Ia tidak bisa membiarkan harga dirinya tergores ketika suatu saat dia harus mengalah ke Velani, berebut kasih sayang, atau menonton keluarga hangat mereka berinteraksi sedangkan ia terlihat asing berada di sana. Padahal ia-lah anak kandung di rumah itu. Dari sikap Yudhi dan Dahlia, Tamara tahu. Mereka akan selalu berat sebelah ke Velani, meskipun Tamara berusaha sebaik mungkin menjadi putri idaman mereka. Oleh karena itu, pilihannya adalah Tamara atau Velani. Bukan Tamara "dan" Velani. Karena Dahlia dan Yudhi tidak mau melepas Velani, maka Tamara juga tidak mau merendah dem

  • Kupu-Kupu Malam Tuan Muda Cahya   Bab 4 - Tak Diinginkan

    Dahlia menghembuskan sedikit napas lega. Buru-buru dia menjelaskan, "Dulu saya dan ibu kamu—Em, ibu angkat kamu, melahirkan di rumah sakit yang sama. Lalu, suster yang berjaga di ruangan menaruh bayi di tempat tidur yang salah. Kalian tertukar.""Kami baru tau akhir-akhir ini saat Velani membutuhkan transfusi darah. Maafkan kami karena telah datang terlambat, ya. Membutuhkan waktu yang cukup lama sampai penyelidikan tentang kamu selesai dan kami bisa menjemputmu langsung," sambung Dahlia. Matanya berlumur penyesalan dan kesedihan. Tamara mengernyit. "Penyelidikan soal aku? Jadi, kalian sudah tau semua tentangku?""Iya, Sayang," ujar Dahlia lembut.Kemudian, Dahlia membuka mulut seolah ingin mengatakan sesuatu. Tetapi setelah menyadari mereka berada di ruang tamu kos-kosan, Dahlia mengurungkan niatnya. Meski demikian, Dahlia bergerak-gerak resah, seolah ada hal mengganjal yang ingin dia bicarakan.Yudhi tidak memedulikan dimana mereka. Ia mengambil alih pembicaraan dan dengan brutal b

  • Kupu-Kupu Malam Tuan Muda Cahya   Bab 3 - Dendam dan Nasib

    BAM! BAM!"Tamara!"BAM!"Haduhhh kemana perempuan ini," ujar seorang ibu-ibu berambut panjang kuncir kuda dan bertubuh gempal. Urat di pojok keningnya muncul karena kesal tak kunjung menerima jawaban.Telapak tangannya kerap menggedor—atau lebih tepatnya mencoba mendobrak—pintu kosan Tamara dengan menggebu-gebu. Pintu kamar sebelah terbuka, lalu sebuah kepala mumbul di selanya. "Ada apa, sih, Bu?""Eh, Santi. Kamu punya nomornya Tamara nggak? Coba telpon, cepet," suruh Bu Marni.Santi memutar bola matanya malas. "Nanti juga keluar sendiri, Bu. Saya tau, kok. Dia ada di dalam.""Yang bener kamu?""Bener, Bu! Ngapain saya bercanda. Saya selalu stand by di kamar, loh. Semenjak masuk kosan sini dia nggak pernah keliatan lagi."Bu Marni mengehela napas kasar. Kemudian menggedor kembali pintu kamar Tamara. Sedangkan Santi diam-diam menyeringai senang, menunggu drama yang akan datang. "Lagian Tamara emang sombong banget, Bu. Baru pindah tapi ngga pernah nyapa tetangganya sama sekali. Ckck

  • Kupu-Kupu Malam Tuan Muda Cahya   Bab 2 - Dmitri Cahya

    Asisten Ren berbalik dan membukakan pintu. Kemudian dengan gesturnya, ia mengatakan bahwa Tamara dapat segera masuk. Walaupun Tamara samar-samar mencium ada yang tidak beres, ia tidak bisa menentukan apa itu. Makanya, ia memilih untuk tetap melangkah ke depan.Ruangan CEO Cahya sangatlah luas dan dipenuhi oleh jendela-jendela besar yang menghadap langsung ke gedung-gedung pencakar langit lainnya.Dekorasi ruangan tersebut didominasi oleh warna hitam elegan yang memberi kesan penuh kekuatan dan tekanan. Ketika Tamara berdiri di dalam, ia seperti di kelilingi oleh banyak binatang buas yang menakutkan.Tamara mengedarkan pandangan sampai akhirnya bertubrukan dengan CEO Cahya.Dmitri Cahya, CEO perusahaan Newt milik keluarga Cahya ini memiliki tatapan yang dingin dan aura yang mengesankan, mengalahkan aura dan kehadiran orang-orang biasa di sekitarnya. Pembawaannya tenang dan stabil.Dmitri duduk dengan malas di atas kursi kebangsaannya. Layaknya seorang raja yang tengah menunggu kudapan

  • Kupu-Kupu Malam Tuan Muda Cahya   Bab 1 - Fitnah

    Di tengah dinginnya malam, darah Tamara mendidih hebat dan uap-uap hitam bisa terlihat mengepul di atas kepalanya. Keringat dingin terus mengucur deras, membuat baju Tamara sedikit basah. Jari-jari Tamara mengepal keras hingga memutih. Kukunya menancap tajam ke dalam telapak tangan. Tanpa sadar, darah merah dengan cepat mulai mengalir keluar dan menetes ke lantai.Amarah, kegugupan, kesedihan, dan ketidakberdayaan menggumpal menjadi satu."Apa maksud Bapak?!"Bapak Wijaya menyeringai licik, memandang Tamara yang seperti akan meledak kapan saja. Ia menjilat bibirnya dengan santai yang dianggap Tamara sebagai bentuk provokasi.Ingin sekali rasanya Tamara mencakar wajah sialan itu!Sayangnya, Tamara tidak punya pilihan lagi, selain menahan diri dan menelan bulat-bulat semua kebencian ke dalam perutnya."Ckck. Keliatannya telingamu jadi tuli ya? Masa gitu aja nggak ngerti?"Wajah Bapak Wijaya yang biasanya terlihat lemah lembut, kini menunjukkan rasa simpati yang mendalam. Ia menggelengka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status