Seorang guru cantik di sebuah taman kanak-kanak sedang bernyanyi bersama anak-anak didiknya di halaman sekolah. Beberapa kali wanita cantik itu tertawa geli melihat tingkah lucu anak-anak tersebut yang selalu membuat hatinya terhibur.
"Bu Anaya selalu bahagia saat bersama anak-anak, tetapi ia kembali murung setelah anak-anak pulang," ucap Bu Vera dengan tatapan kasihan. "Yah, setidaknya Anaya sedikit terhibur dengan tingkah anak-anak yang polos itu!" sahut Daisy yang menjadi teman curhat Anaya disekolah. "Iya, ya. Padahal Anaya baru nikah dua tahun eh sudah didesak untuk punya anak. Emangnya punya anak itu semaunya kita, itu kan hak progresifnya Tuhan. Jadi gak bisa kita menuntutnya kapanpun kita mau. Masih banyak kok diluar sana pasutri yang sepuluh tahun nikah baru di karuniai anak," omel Anita dengan muka cemberut. Ketiga rekannya disekolah itu mengetahui dengan pasti apa yang terjadi dengan hidup Anaya. Anaya Azalea Murray seorang guru TK yang dinikahi pengacara muda yang baru melejit setahun ini, Naraka Surya Dinata. Selama dua tahun pernikahan, Anaya selalu di desak dan diteror ibu mertuanya untuk memiliki momongan. Anaya sering kali disindir dan menjadi bahan gosip ibu mertuanya saat kumpul keluarga atau pun saat berkumpul dengan tetangga sekitar rumah mereka hanya karena belum kunjung hamil. "Sudah, sudah! Jangan bergosip terus! Doakan saja mudah-mudahan hati mertuanya Anaya terbuka dan tidak lagi menyalahkan Anaya!" tegur Bu Darwin selaku kepala sekolah yang berdiri dibelakang ketiganya. "Hehehehe, maaf Bu Kepala!" jawab mereka bertiga cengengesan. Bu Darwin geleng-geleng melihat tingkah bawahannya itu. Mereka langsung bubar karena tidak ingin dimarahin karena membicarakan Anaya yang menjadi guru kesayangan Bu Darwin. Tepat jam satu, Anaya pulang ke rumahnya dengan menggunakan motor matic kesayangannya. Panas terik yang menerpa kulitnya tidak ia hiraukan asalkan pulang ke rumah tepat waktu. "Assalamualaikum," ucap Anaya di depan pintu pagar. Terlihat beberapa Ibu-ibu duduk santai berbincang termasuk ibu mertuanya di teras rumah. "Waalaikumsalam, baru pulang Nay?" sahut Bu Dewi sambil bertanya. Dari semua Ibu-ibu yang berkumpul di sana, hanya Bu Dewi yang menjawab salam Anaya dan menyapanya. "Iya, Bu Dewi," jawab Anaya dengan tersenyum kecut. Ia menyalami tangan Ibu mertuanya Bu Yati yang langsung menarik tangannya dengan cepat seakan-akan sentuhan Anaya membuatnya jijik. Bu Dewi menatap Anaya dengan tatapan prihatin, Anaya yang sadar ditatap seperti itu hanya mengangguk pelan dan langsung memasuki rumah. "Tuh, kan, kalian lihat sendiri si Anaya. Pulang udah siang banget, terus mengeluh kecapean karena kerja. Disuruh berhenti kerja gak mau, gimana mau punya anak kalau kecapean terus!" omel Bu Yati mulai julid pada menantunya sendiri. "Kenapa gak dipaksa aja Anaya nya, Jeng? Kan Raka suaminya, sudah pasti berhak melarang Anaya kerja!" sahut Bu Anik ikutan julid. "Ya, sudah sih! Anaya aja yang bebal dan gak mau ngikutin perintah suaminya!" jawab Bu Yati berbohong. Wajahnya sedikit khawatir jika Anaya mendengarkan pembicaraan mereka. "Duh, jangan sampai tuh Anaya mendengarkan pembicaraan ini! Bisa gawat kalau dia buka mulut kalau alasan ia bekerja karena sebagian jatahnya aku ambil paksa dari Raka!" batin Bu Yati ketar ketir takut Anaya dengar. "Wah, parah tuh si Anaya! Dasar istri durhaka itu namanya," tuduh Bu Anton tanpa tahu kebenarannya. Bu Dewi mengurut dadanya mendengarkan omongan mereka yang selalu menyalahkan Anaya hanya karena mendengarkan dari satu pihak. "Jangan bicara sembarangan Bu-ibu! Jatuhnya nanti fitnah! Jangan hanya karena mendengarkan dari satu pihak saja kita langsung menjudge Anaya tanpa tahu kebenarannya. Memangnya Ibu-ibu semuanya pernah tanya sama Anaya gimana kebenarannya? Saya tidak mau hanya karena Bu Yati tidak menyukai menantunya kita menjadi ikut-ikutan menyalahkan Anaya. Apa Ibu-ibu mau pahala sholat, puasa dan sedekah Ibu-ibu menjadi milik Anaya karena kalian menggunjingnya?" tegur Bu Dewi dengan tatapan tidak suka pada semua Ibu-ibu tersebut termasuk mertua Anaya, Bu Yati. Bu Yati merenggut kesal mendengar teguran Bu Dewi yang juga menjabat sebagai Bu RT di tempat mereka semuanya tinggal. "Sialan nih Bu RT, selalu membela perempuan mandul itu setiap aku bicara! Kalau ia bukan Bu RT, sudah aku sumpal mulutnya dengan kain kotor!" umpat Bu Yati dalam hatinya. Tidak ada yang berani mengeluarkan suaranya ketika Bu Dewi sudah bicara. Mereka semuanya terdiam termasuk mertuanya Anaya, Bu Yati. "Ya sudah, saya mau permisi pulang, Bu Yati! Dan jangan lupa pengajian kita lusa di rumah Bu Asnawi ya Bu-ibu? Assalamualaikum!" ucap Bu Dewi pamit pulang. "Saya juga mau pulang, Jeng!" ucap Bu Salma yang sedari tadi hanya diam dan menyimak saja. Melihat Bu Salma ikut pulang, Ibu-ibu yang lain juga ikutan pulang sehingga membuat wajah Bu Yati semakin merenggut kesal karena kehilangan teman ngerumpi. Bu Dewi mendatanginya karena memberikan undangan pengajian RT mereka yang minggu lalu tidak ia datangi. Setelah mereka semuanya pulang, Bu Yati langsung masuk dengan wajah yang tidak enak dilihat. Ia menutup pintu dengan keras hingga membuat Anaya yang sedang makan siang menjadi terkejut. Sore harinya, Anaya menunggu suaminya pulang dengan menyiram bunga yang ia tanam di depan rumah. "Assalamualaikum, sayang?" ucap Raka dengan tersenyum lebar begitu turun dari mobilnya. "Waalaikumsalam, Mas!" jawab Anaya juga dengan tersenyum lebar dan langsung menyalami tangan suaminya setelah ia mematikan kran air. Raka memeluk erat tubuh Anaya dan melabuhkan kecupan ringan di kening istrinya. Bu Yati yang mau keluar untuk ngerumpi mencebik kesal melihat senyum Anaya dan kemesraan mereka berdua. "Memangnya tidak ada tempat yang lebih baik untuk bermesraan hingga harus di luar rumah? Benar-benar tidak tahu malu!" sindir Bu Yati dengan wajah judes. Anaya dan Raka terkejut mendengar sindiran Bu Yati sehingga mereka tersenyum malu-malu. "Kita kan cuma pelukan doang, Ma! Masa iya pelukan dengan istri sendiri dilarang? Lagian gak ada juga tetangga yang lihat kok," jawab Raka dengan santai sembari merengkuh pinggang Anaya. "Terserah kamulah, setiap Mama ngomong pasti kamu bantah!" omel Bu Yati sembari masuk dan meninggalkan mereka berdua didepan rumah. Raka menggeleng pelan melihat sikap ibunya yang berubah ketus, dan membenci istrinya. Padahal dulu dialah yang paling ngotot mendesaknya saat dirinya berniat ingin menikahi Anaya. "Maafkan Mama ya, sayang? Mas harap kamu mau mengerti dengan sikapnya Mama," ucap Raka dengan wajah sendu. Anaya hanya mengangguk pelan dan tidak ambil pusing sindiran Ibu mertuanya. "Sayang, tolong ambilkan tas Mas di mobil? Mas kebelet nih!" pinta Raka dengan wajah menahan mules. Anaya mengangguk kecil dan mengambil kunci mobil yang diberikan Raka. Sedangkan Raka langsung berlari masuk rumah sambil memegang perutnya yang tiba-tiba mules. Anaya yang membuka pintu depan mobil langsung mengambil tas kerja yang tergeletak di bangku depan. Matanya tiba-tiba melihat sesuatu yang aneh di lantai bawah bangku depan. Anaya menunduk sedikit dengan tangannya menggapai sesuatu yang ia lihat. "Lipstik, milik siapa lipstik ini? Perasaan aku gak punya lipstik yang warna mencolok kayak gini? Masa iya Mas Raka pakai lipstik?" gumam Anaya bertanya-tanya. Bersambung...Sudah satu minggu Raka menjalani pengobatan setelah sadar dari komanya. Sejak sadar, kondisi kesehatan semakin menurun. Bukan hanya karena ia menderita karena kedinginan tetapi juga karena gaya hidupnya yang tidak sehat saat bersembunyi di apartemen dulu. Waktu itu Raka tidak pernah memperhatikan kesehatanya sehingga saat dirawat kedua kalinya tubuhnya langsung drop karena kerusakan lama. Bisnis perusahaannya menjadi terbengkalai dan banyak kliennya protes karena produk yang dihasilkan pabriknya kualitas nya kurang baik dan kurang di minati pembeli. Alhasil saat ia kembali ke Jakarta, banyak toko-toko yang bekerja sama dengannya memutuskan kontrak mereka secara sepihak meskpun mereka harus membayarkan ganti rugi. "Andi, bagaimana dengan toko-toko yang lainnya? Apa mereka juga mau memutuskan kerja sama karena masalah ini? Karena rata-rata toko yang memutuskan kerjasama itu adalah toko yang ada di kawasan Manggarai dan Kuningan," tanya Raka pada Andi saat mereka baru sampai
Bima membawa sang Nyonya dan rombongannya ke restoran seafood yang diinginkan Anaya. "Bima, ayo ikut makan bersama kami!" ajak Anaya pada sopirnya itu dengan ramah. "Terimakasih, Nyonya! Saya makan di luar saja dan kumpul bersama para satpam di sana," tolak Bima dengan sopan. Gladys cemberut karena Bima menolak makan bersama mereka, padahal ia sudah antusias membayangkan makan enak ditemani cowok tampan seperti Bima. 'Bisa mati ditembak aku sama Tuan Summer jika berani menerima ajakan makan istrinya! Meskipun Nyonya muda baik dan ramah, Tuan Summer sangat mengerikan jika dia cemburu! Jadi sopirnya aja aku panas dingin karena tatapan tajamnya selalu mengintimidasi setiap memberikan instruksi nya padaku,' batin Bima bergidik ngeri. Anaya mengulum senyum saat melihat ekspresi muka Gladys yang tampak tidak senang saat Bima menolak ajakannya untuk makan. Saat Gladys menoleh, Ibu hamil itu pura-pura tidak tahu dan tidak melihatnya. Ia pura-pura mengaduk-aduk isi tasnya mencari se
Anaya terkejut melihat Bu Yati tersungkur ditampar Gladys. Melihat dari tumbangnya wanita tua itu, sepertinya Gladys menggunakan setengah tenaga laki-laki nya untuk mendidik mantan mertuanya itu. Amira terkejut melihat Ibu mertuanya di pukuli dengan begitu keras, sehingga wanita yang sedang hamil besar itu berusaha membantu mertuanya untuk bangkit dengan sedikit susah payah. Sudut mulut Bu Yati pecah dan mengeluarkan sedikit darah, dengan cap lima cari menempel di pipi keriputnya. "Anaya, apa ini sikap menantu pada mertuanya? Kau mempermalukan Ibu di depan umum dan membiarkan temanmu memukuli Ibu! Dimana hati nurani mu itu, Anaya!" ucap Amira dengan sok peduli dan menuduh Anaya dengan suara yang dibuat sekencang mungkin. Suara kencang Amira membuat beberapa pengunjung rumah sakit menoleh ke arah mereka, dan bahkan sebagian berhenti untuk melihat karena kepo akan urusan orang lain. Anaya tersenyum sinis melihat ulah Amira yang sengaja mengeraskan suaranya agar orang-orang sim
Sudah dua hari Anaya dan keluarganya pulang dari liburan di Lembang, Bandung. Mereka kembali menjalani aktivitas sehari-hari seperti biasanya dan Liam kembali sibuk di kantornya bersama Naren. Dua tangan kanannya Gladys dan Uno masih tetap di tahan Liam karena Uno dijadikan rekan Naren di kantor, sedangkan Gladys ia tugaskan untuk menjaga Anaya kemana wanita itu pergi sebagai bodyguard. Saat ini Gladys diminta Liam untuk mulai bekerja di samping istrinya dan perempuan itu saat ini lagi berdiri di depan Anaya dan Roxy, yang menatap Gladys dengan tatapan tajam. "Daddy keterlaluan! Masa bodyguard Mommy yang cantik kayak gini! Lihat Mom, dandanannya aja kayak jalang-jalang yang mondar-mandir di klub malam!" ucap Roxy dengan pedas sambil menatap remeh perempuan yang dikerjakan Daddy nya sebagai bodyguard sang Mommy. "Kakak! Jangan keterlaluan bicaranya!" tegur Anaya dengan tegas tetapi tetap lembut nada suaranya. Gladys terpaku mendengar suara Anaya yang lembut tetapi tidak
Selama seminggu menghabiskan sisa liburan mereka, Anaya dan Liam hanya berdiam diri di Villa tanpa kemana-mana.Meskipun hanya di Villa saja tidak bepergian, merek menghabiskan waktu dengan bahagia. Kadang mereka berenang berdua saat cuaca cerah, kadang mereka ikut berkebun bersama pengurus Villa meskipun Anaya hanya diam memperhatikan saja, dan terkadang mereka berdua membaca buku di balkon kamar sehingga sesekali keduanya barbeque berdua saja di taman belakang. Pastinya apa yang mereka lakukan selalu menyenangkan buat Anaya yang tidak diperbolehkan banyak bergerak. Anaya hanya diperbolehkan suaminya berjalan sendiri saat di dalam kamar saja. Namun jika keluar kamar, Liam selalu menggendongnya kemana saja tanpa merasa lelah ataupun malas. Diperlakukan seperti itu oleh suaminya membuat Anaya merasa dirinya orang lumpuh, tetapi memikirkan tentang bayi-bayi nya ia hanya bisa menurut dengan patuh sampai ia bisa kembali mandiri seperti dulu. "Kenapa mukanya cemberut gini? Mommy ada ya
"Tolong! Tolong! Ada mayat! Tolong!" teriak salah satu warga saat membuka gubuk tempat ia beristirahat saat lelah bekerja mengurus kebun singkong sang pemilik lahan. Sapri, pekerja lepas yang hendak beristirahat terkejut saat membuka gubuk tempat dirinya beristirahat ada sesosok mayat manusia tanpa pakaian berbaring dengan tubuh terikat, meskipun ikatannya sudah dilepaskan simpulnya. Ia bahkan tidak sempat mendekati orang itu untuk memastikan apakah dia masih hidup atau beneran mati saking takutnya. Ia berlari menuju jalan besar sambil terjatuh berkali-kali karena tidak fokus dibarengi berteriak-teriak tanpa henti meminta tolong. Beberapa rekannya sesama pekerja juga mulai berdatangan dan bergegas turun dari motor lalu menghampiri pria itu. "Sapri, kenapa kau malah ke sini? Kau tidak jadi istirahat? Kenapa juga mukamu pucat kayak mayat hidup?" cecar rekannya dengan banyak pertanyaan pada Sapri. "Ada mayat, ada mayat di sana! Mayat!" jawabnya sambil tetap teriak menun