Kemarahan Ibu****Aku menunggu dengan gusar di luar ruangan saat Hanna yang ditemani ibu dan Alya diperiksa dokter. Untuk mengusir jenuh dan rasa gusar, aku berjalan mondar-mandir sambil sesekali melongok ke dalam ruangan, hingga akhirnya mereka keluar ruangan.Hanna berada di gendongan Alya, wajahnya yang biasa terlihat ceria, kini terlihat kuyu dengan sorot mata redup. Dari sorot matanya, terlihat sekali kalau anakku saat itu sedang menahan rasa sakit di tubuhnya, yang mungkin tidak mampu dia ungkapkan dengan kata-kata."Bagaimana kondisi Hanna, Bu, apa yang dikatakan oleh dokter? Apakah dia baik-baik saja?" Aku mencecar ibu dengan beberapa pertanyaan sesaat setelah beliau keluar dari ruangan dokter."Hanna baik-baik saja, hanya kelelahan saja. Dia juga masuk angin, makanya muntah-muntah juga. Itulah kenapa tubuhnya menjadi lemas, karena perutnya kosong akibat makanan yang selalu keluar setiap kali habis makan."Ibu menjawab pertanyaanku, sementara Alya tetap diam tanpa melihat ke
Karmaku****Brak!!Terdengar suara pintu dibanting dengan keras, aku yakin, itu adalah perbuatan Sania.Ingin sekali aku berlari menemui Sania, namun di sisi lain, aku tidak bisa melakukan itu. Aku tidak mempunyai cukup keberanian, terlebih melihat keadaan ibu yang berusaha susah payah untuk meredam emosinya.Ibu duduk di sofa sambil memukul dadanya berkali-kali, napas nya masih tersengal karena amarah yang baru saja dia luapkan ada Sania."Bu, jangan terlalu terbawa emosi. Tenangkan pikiran ibu," kataku mencoba menenangkan ibu."Pergilah, aku tidak ingin berbicara denganmu." Ibu mengusirku saat aku hendak menenangkannya.Aku berdiri, perlahan meninggalkan ibu yang masih duduk di sofa. Sepertinya ibu masih marah padaku. Saat melewati kamar Hanna, kulihat Alya berdiri di pintu sambil menatapku dengan tatapan yang --- entah.Kupercepat langkahku menuju kamar Sania. Saat aku sampai di sana, dia sudah terlihat rapi. Saat melihatku datang, bibirnya yang merah merona terangkat naik, tersen
Nasehat Yang Menohok****Aku bergegas masuk ke dalam rumah, setelah mengeringkan rambut dan wajah dengan handuk yang diberikan Alya. Kulihat Alya bergegas ke dapur, setelah itu, aku tidak sempat melihat apa yang dia lakukan di sana. Di sinilah aku sekarang, membiarkan shower mengguyur tubuhku. Entah sudah berapa lama aku berada di bawah guyuran air, namun nyatanya, tetap tidak bisa menghapus kekecewaan atau menghilangkan bayangan Sania dengan pria itu, apalagi mengurangi rasa sakit hatiku pada Sania. Aku mengepalkan tangan, ketika bayangan dirinya yang bergumul dengan lelaki lain kembali memenuhi pikiran. Ternyata rasanya begitu sakit, seperti ditusuk ribuan belati. Seperti inikah yang dirasakan Laila saat dia mengetahui perselingkuhanku dengan Sania waktu itu? Meski dia merasa hatinya sangat sakit, namun Laila mampu bertahan hingga napas terakhirnya. Kenapa dia melakukan itu? Apakah benar yang dikatakan Alya padaku saat itu, kalau kakaknya, Laila bertahan karena dia mencintaiku. A
Membuka Rahasia****Malam ini sepertinya akan menjadi lebih panjang dan lama dari malam-malam sebelumnya, terlebih ketika sedang berbicara dengan Alya. Obrolan kami semakin serius, aku sama sekali tidak pernah menyangka jika cara berpikir Alya sangat dewasa. Bahkan aku bisa mengatakan kalau dia jauh lebih dewasa dalam berpikir dibanding Laila, kakaknya."Bagiamana dengan Rio, apakah menurutmu dia adalah lelaki yang baik? Maksudku, apakah dia memenuhi kriteriamu untuk menjadi seorang suami?" Tanyaku tidak mau kalah. Selain itu, aku juga ingin tahu sejauh mana dia menyimpan perasaan untuk Rio.Alya mengernyit, lalu menopang dagunya dengan kedua tangannya. Sementara matanya lekat menatapku."Kenapa mas Andra justru membahas tentang diriku? Sementara mas Andralah yang mempunyai masalah dengan sebuah hubungan." Protesnya."Bukan begitu maksudku Alya, meskipun aku bukan lelaki yang baik, namun aku tidak ingin kamu nantinya juga bernasib sama seperti Laila, menikahi pria sepertiku.""Apakah
Putus Dengan Sania***"Kamu bilang apa, Mas?" tanya Sania, wajahnya terlihat syok. Mungkin dia tidak mempercayai dengan ucapanku tadi."Aku ingin mengakhiri hubungan kita. Aku sudah tidak bisa melanjutkan hubungan denganmu lagi, karena semakin ke sini, hubungan kita terasa tidak sehat dan melencenga jauh dari apa yang kita rencanakan semula. Selain itu, aku juga tidak bisa menerima kenyataan kalau selain aku, da pria lain yang menjamah tubuhmu. Membayangkan semua itu, membuatku seperti orang gila. Pergilah Sania."Aku mengulangi kalimatku sekaligus meminta Sania agar dia pergi. Karena inilah saat yang tepat untuk mengakhiri semuanya. Meskipun aku sendiri tidak yakin, apakah mampu menjalani hidup sendiri tanpa kehadiran Sania.Sania melotot seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Dia mendekat, mencoba menggapai tanganku. Namun aku segera menepis dan menghindarinya."Kamu pasti bercanda, kan, Mas?" Sania berkata lirih. Kali ini, wajahnya benar-benar terlihat sedih
Alya Sakit***Aku memutar tubuhku dan menjauh dari mereka dan memutuskan untuk pulang. Karena sudah ada Rio di sana dan aku yakin dia akan menjaga Alya. Selain itu, aku tidak ingin kehadiranku di sana akan menggangu momen kebersamaan antara Rio dan Alya.Setidaknya, akhirnya Rio bisa dekat dengan Alya, mungkin, inilah saat yang tepat bagi Rio agar dia bisa mengambil hati gadis itu.Aku masih duduk di belakang setir, sambil menimbang apakah akan langsung pulang ke rumah atau pergi ke suatu tempat untuk menenangkan pikiran.Kukeluarkan ponsel dari saku dan memutuskan untuk mengirim sebuah pesan pada Rio."Bro, titip Alya, ya? Setelah dari klinik, tolong antar dia pulang dan jangan mampir ke mana-mana." Tulisku.Aku tersenyum ketika membaca ulang pesan yang akan kukirimkan pada Rio. Aku yakin dia paham maksudku."Jangan khawatir, aku akan menjaga Alya dan memastikan dia pulang dengan selamat sampai di depan pintu rumah." Tulis Rio dalam pesan balasannya. Pesan Rio membuatku tersenyum le
Terkena Demam Berdarah****"Alya, Alya ... kamu bisa mendengarku?" tanyaku. Namun tidak ada respon dari Alya, dia diam sementara itu tubuhnya menggigil.Perlahan aku meletakkan punggung tangan ke dahinya dan begitu kaget. Suhu tubuhnya panas sekali, lalu aku membuka selimut yang membungkus tubuhnya, meraih tangannya, juga terasa panas."Suci, tolong kamu jaga Hanna di rumah. Aku akan membawa Alya ke rumah sakit. Jika ada apa-apa, segera hubungi aku," kataku.Suci mengangguk dan menggandeng tangan Hanna untuk keluar dari kamar Alya."Pa, Tante Alya kenapa?" Tanya Hanna, wajahnya terlihat sangat khawatir."Hanna di rumah sama Mbak Suci, ya? Papa akan membawa tante Alya berobat ke rumah sakit," kataku berusaha menenangkan Hanna.Segera kubopong tubuh Alya keluar dan membawanya ke dalam mobil. Terdengar Alya merintih pelan, mungkin dia merasa kesakitan namun tidak mampu berkata."Alya, jika terjadi sesuatu padamu, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri," gumamku sambil melajukan mobil.
Alya Pulang ke Rumahnya****“Cinta akan memberi cerita semasa kita hidup, dan akan menjadi kenangan setelah tiada”------Entah sudah berapa lama aku duduk di kursi yang ada di depan ruangan ini. Beberapa orang yang tadinya ada di sana, satu persatu telah pergi dan hanya menyisakan aku dan seorang pria separuh baya yang sedang menunggui istrinya di ruangan sebelah.Aku kembali menyandarkan punggung sambil merenung. Dari tadi aku hanya diam membuatku di dalam ruangan ber AC dengan pakaian seperti ini, membuatku merasa sedikit kedinginan. Aku berdiri untuk meregangkan otot dan bermaksud membeli minuman di kantin.Baru saja hendak melangkah, seseorang memanggilku dari arah samping dan suara itu aku begitu mengenalnya. Seketika aku menoleh, Rio berjalan cepat menghampiriku. Melihat wajah Rio yang tampak khawatir, justru membuatku merasa sangat geram. Entah kenapa, aku berpikir reaksi Rio itu sangat berlebihan."Andra ... bagaimana keadaan Alya?" tanyanya dengan gusar.Aku yang masih gera