Benar seperti dugaanku. Suara itu ternyata adalah pasangan suami istri yang memuakkan, Mas Evan dan Vania.Jujur aku tak habis pikir dengan apa yang ingin dilakukan Vania di perusahaan ini. Dia terus saja mengusik kehidupanku yang bahkan sudah lepas dari Mas Evan. Entah ada dendam tersembunyi apa hingga dia tak pernah puas setelah mendapatkan apa yang diinginkannya."Lalu mau kamu sekarang apa? Apa kamu mau aku resign dari tempat ini dan mencari pekerjaan di tempat lain? Memangnya kamu pikir cari kerja itu gampang?""Kalau kamu serius berusaha, aku yakin kamu mudah diterima kerja di perusahaan manapun kok, Mas. Apalagi dengan pengalaman kerja kamu jadi CEO itu," jawab Vania yang seolah berusaha menghasut Mas Evan."Mudah? Setelah kedekatan hubungan kita mencuat ke permukaan, dan setelah Dinara kembali ke perusahaan, kamu pikir perusahaan lain mau menerimaku tanpa petimbangan? Astaga, Vania! Memangnya apa salahnya, sih, kalau aku tetap bekerja di sini? Jadi kepala HRD juga bukan hal ya
Meski ada raut kesedihan di wajahnya, tapi Selina berusaha menutupinya dengan senyum. Tipis tapi masih cukup untuk membuatnya terlihat baik-baik saja. Langkahnya mendekat lalu menyerahkan sebuah dokumen padaku."Kalau Pak Ravin sudah bersama wanita lain, ya itu artinya dia memang bukan jodoh saya, Bu Dinara," jawabnya.Setelah menandatangani dokumen, aku tak langsung mengembalikannya pada Selina. Kupeluk dokumen itu sambil menatap intens ke wajahnya."Sel, jujur sama aku. Sebenarnya kamu ada perasaan ke kakakku atau tidak? Apa benar kamu menolaknya hanya karena kamu berasal dari keluarga yang sederhana?" tanyaku langsung pada intinya.Selina terdiam. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, seperti menahan gemetar yang tak terlihat. Sementara tatapannya mengarah pada dokumen yang kupegang, tapi terlihat jelas jika pikirannya sedang berperang."Saya... saya takut, Bu Dinara. Saya merasa tidak pantas untuk bersanding dengan Pak Ravin," jawabnya sambil menunduk."Tapi kamu menyukainya, 'k
Perlahan tapi pasti, Kak Rafael membuka kotak kecil yang kuberikan itu. Sesaat ia mengintip lebih dulu sebelum membuka seluruhnya. Hingga senyum mengembang di bibirnya bersamaan dengan tangannya mengeluarkan benda yang ada di dalam kotak itu. Jam tangan."Dinara, ini... ini terlalu mewah," ujarnya dengan mata berbinar sekaligus takut untuk menerima hadiah itu."Aku sengaja mendesain jam tangan itu untuk kamu. Sudah lama aku meminta dibuatkan agar bisa aku ambil sewaktu-waktu," tuturku yang ikut merasa bahagia dengan hasilnya yang begitu mewah.Jam tangan itu terbuat dari bahan titanium hitam matte dengan finishing satin yang lembut saat disentuh. Memberi kesan elegan namun tegas, seperti karakter Kak Rafael. Bezel-nya ramping, melingkari kaca safir anti gores yang bening sempurna, sebening tatapan matanya. Dial-nya berwarna midnigt blue, gelap namun bersinar seperti langit malam setelah hujan. Seperti kehadirannya yang selalu membawa ketenangan.Yang paling istimewa adalah ujung ked
Senyum simpul terlukis di bibirnya. Namun ada tatapan getir dari sorot matanya. Aku bisa merasakan bahwa dia sedang bimbang mengenai hubungan cintanya."Sepertinya Revan sudah nyenyak, sebaiknya aku tidurkan dia dulu," ujar Kak Ravin, sepertinya ada niat untuk bicara lebih nyaman denganku.Aku mengikutinya menuju kamar evan untuk memastikan tempat tidurnya sudah nyaman. Setelah itu aku dan Kak Ravin kembali ke ruang tengah dengan posisi pintu kamar Revan yang aku biarkan terbuka. Sebelum duduk di sofa, aku mengambil minuman dingin dan juga camilan untuk menemani obrolan."Jadi, bagaimana kemajuannya? Apa Kakak akan menikah dalam waktu dekat ini?"Hebusan napas panjang menjadi pilihan Kak Ravin untuk mengurai kemelut dalam hati. Lalu menyandarkan punggung beserta kepalanya ke sofa. Menatapku dengan wajah tampak putus asa."Dia masih pada pendiriannya tidak ingin melanjutkan hubungan dengan Kakak," ujarnya dengan nada sedih."Lho, kenapa? Apa dia juga selingkuh?"Seketika tatapan Kak Ra
Tak terasa tiga hari telah berlalu sejak perpisahan resmiku dengan Mas Evan. Perasaan gelisah yang dulu serig kali hadir dalam hari-hari sepiku, kini berubah menjadi sebuah ketenangan. Perpisahan itu, menjadi perpisahan terindah sesuai dengan rencanaku.Meski sempat terlintas rencana untuk menggoda Mas Evan demi membuatnya menyesal dan menyakiti hati Vania, namun aku mengurungkan niat itu. Mas Evan sudah benar-benar menyesal tanpa aku menggodanya untuk menarik perhatian. Dia sudah menyesal tanpa aku menunjukkan sisi lain diriku yang lebih unggul dari Vania.Aku memutuskan lebih memilih berdamai dan memaafkannya. Dan keikhlasan inilah yang merupakan kunci dari ketenangan hatiku yang sebenarnya. Tak ada lagi air mata, tak ada kemarahan. Hanya kelegaan yang akhirnya menyapa setelah badai panjang.Hari ini, apartemen terasa hangat oleh tawa kecil Revan yang tengah duduk di karpet ruang tengah, di kelilingi mainan. Sementara aku duduk di belakangnya sambil sesekali menyesap teh hangat yan
Detik-detik menegangkan itu kini terasa semakin ringan. Sudut bibirku bahkan terus tertarik membentuk senyuman saat pertanyaan itu akhirnya keluar dari mulut Mas Evan. Pertanyaan akan kesimpulan sebuah hubungan yang terjalin di antara kami berdua. Dan jawaban yang telah kusiapkan ini, aku harap menjadi sebuah jawaban yang bisa membawa hubungan kami menjadi lebih baik lagi."Seperti yang sudah aku katakan tadi, Mas. Aku rasa di antara kita sudah tidak ada hubungan apapun lagi selain atasan dan bawahan. Untuk hubungan suami istri pun, aku sudah menganggap bahwa kita sudah berpisah sejak kabar kematianku itu. Kita sudah menemukan pasangan baru dalam hidup kita masing-masing. Jadi, mari jalani lembar baru itu dengan orang yang sudah menjadi pasangan kita.Dengan ini aku harap kamu juga bisa belajar bahwa kesetiaan itu sangat mahal. Jangan pernah berpikir bahwa kamu bisa menutupi perselingkuhan dengan sebuah kebohongan. Karena serapat apapun seorang suami menutupinya, tidak akan bisa menga