Share

Keributan di Spa

Sesampainya di SPA langganan kami, Tania memasukkan mobil ke area parkir. Akhir pekan lumayan ramai juga, mungkin banyak yang sedang berlibur atau kerja setengah hari. 

 

Setelah memarkirkan mobilnya, Aku dan Tania segera keluar dan masuk ke dalam gedung. Kami disambut baik oleh karyawan spa, mereka sudah hafal pada kami karena termasuk langganan dengan kartu VIP. 

 

Baru saja mendaftar dan akan masuk ke ruangan dalam, terdengar cekikan tawa wanita di belakang kami. Mungkin juga baru datang, aku yang sudah tau dari suaranya segera menoleh, ternyata memang dia. 

 

Saat mataku dan matanya beradu pandang, dia merasa terkejut. Mungkin tidak menyangka akan bertemu di spa. Aku juga kecewa ketemu di saat yang tak tepat. 

 

"Eh, Rara. Tumben ketemu di sini, ngapain kamu? Mau cari kerjaan ya, ckckck ... Kasihan sekali kamu," sindir Nilam sembari tertawa dengan temannya. 

 

Ya dia Nilam, wanita yang sudah merebut Mas Adam dari tanganku. Aku geram melihatnya, seolah tanpa rasa bersalah, kini dia malah menyindir aku. Dikiranya aku miskin sekarang, tapi sebaliknya kalo dia tau Mas Adam sudah kupecat pasti tidak akan berani menampakkan wujudnya lagi. 

 

Dia tak ubahnya seperti perempuan siluman, yang bisa merubah wujud menjadi sosok baik dan menyeramkan. Semua sikap dan kelakuannya penuh dengan kepura-puraan. 

 

"Siapa, Ra? Kamu kenal dia?" tanya Tania yang juga menoleh saat Nilam memanggilku. 

 

"Aku nggak kenal siapa dia, yuk akh kita ke dalam aja. Nggak usah meladeni rubah betina ini," kataku melengos sambil menatap sinis pada Nilam. 

 

"Apa kamu bilang, rubah betina? Kamu itu udah miskin jangan sok-sokan. Sudah sana kamu pergi dari sini," ujar Nilam mendorong kasar tubuhku. 

 

"Eh, perempuan nggak tau malu. Siapa kamu mengusir temanku, hah?" hardik Tania membelaku. 

 

Hingga terjadi keributan di ruangan itu, Tania dan Nilam saling dorong mendorong, akhirnya manajer spa datang menghampiri kami. 

 

"Maaf, tenang semua Mbak-Mbak! Jangan ribut, ntar semua dilayani baik-baik!" kata Manajer spa menghentikan pertengkaran kami. 

 

"Usir mereka, Pak! Mereka tak pantas berada di sini," ucap Nilam sembari menunjuk-nunjuk kami. 

 

"Enak aja, kamu tuh yang seharusnya pergi. Dasar perempuan rese," balas Tania tak mau kalah. 

 

"Sudah hentikan! Semua akan dilayani, silahkan daftar dulu ke meja sana," terang manajer memberi penjelasan. 

 

"Sudah yuk, Nia. Kita ke dalam aja," ajakku. 

 

Saat berjalan masuk aku sempat mendengar Nilam bertanya pada kasir. "Maaf, Mbak. Wanita dua yang barusan itu pakai layanan apa ya?" 

 

"Oh, mereka sudah langganan tetap di sini. Biasa memakai VIP kelas satu," jawab Mbaknya tersenyum. 

 

Aku sempat menoleh sebentar melihat ekspresi wajah Nilam yang melongo. Aku dan Tania hanya cekikan dan segera berlalu dari situ. 

 

Aku dan Tania masuk ke ruangan pijat, terdapat dua tempat tidur. Kami sengaja memilih agar bisa saling mengobrol, setelah berbaring Mbak yang tukang pijat segera menjalankan tugasnya. 

 

Wangi aroma terapi yang disuguhkan sungguh membuat relaks dan pikiran tenang. Ditambah pijatan di badan, rasa capek itu seketika lenyap. 

 

"Ra, siapa sebenarnya perempuan tadi itu? Kok sikapnya seperti rendahan gitu?" tanya Tania masih penasaran. 

 

"Memang iya, bahkan kamu sendiri bisa melihatnya dengan jelas kan, Nia," sahutku sambil tersenyum. 

 

"Memangnya siapa sih?" Tania masih heran. 

 

"Dialah perempuan yang dinikahi Mas Adam," balasku manyun. 

 

"Oh, pantas aja, perempuan seperti dia memang cocok untuk Adam," kekeh Tania senang. 

 

"Dia hanya belum tau, kalo Mas Adam sudah kupecat!" 

 

"Dipecat? Adam kamu pecat? Hahahaha ... Bagus, Ra. Biar kapok mereka semua, gegara ingin punya anak aja belagu," cemooh Tania. 

 

"Tapi, jika Adam kamu pecat trus dia kerja apa, Ra?" 

 

"Itulah, Adam merengek minta kerja apapun di perusahaan agar istri dan ibunya tidak tau. Padahal selama ini Adam tak pernah merengek untukku," keluhku muak. 

 

"Lah, jadi apa yang Adam kerjakan di perusahaan?" 

 

"Aku kasih tugas jadi cleaning servis," kataku ngakak. 

 

"Ish ... Kejamnya dikau, Ra. Tapi bagus juga setimpal, biar dia balik ke dulu lagi. Laki-laki seperti Adam memang perlu dikasih pelajaran supaya insyaf." 

 

Mbak-mbak tukang pijat hanya tersenyum mendengar obrolan kami. Mungkin mereka maklum, rumah tangga siapapun bisa diterjang badai. Hanya bagaimana kita bisa bangkit setelah badai itu mereda, itulah yang mesti kita raih. 

 

Setelah pemijatan rasanya relaks, lalu kami berendam di air hangat. Masih dengan aroma terapi membuat pikiran menjadi fresh kembali. 

 

"Ra, kalo kamu butuh bantuan bilang aja padaku. Aku akan bantu semampunya, oh ya kamu jangan lupa masih ada Randy, dia pasti siap kapan aja untukmu," goda Tania sembari menyipratkan air ke wajahku. 

 

"Stop, sekarang jangan katakan siapapun. Baik itu Adam maupun Randy, kita nikmati aja ketenangan ini," ujarku sambil menarik napas lalu menghembuskan pelan. 

 

Usai di spa, kami segera keluar lalu membayar biayanya. Tak lupa aku menanya pada petugas kasirnya. "Mbak, wanita yang teriak-teriak tadi di mana?" 

 

"Oh, mereka pergi nggak jadi masuk," jawab Mbaknya. 

 

Aku dan Tania akhirnya tertawa puas. Ternyata cuma wanita mental miskin saja sudah sok-sokan. 

 

Kemudian kami keluar dan menuju restoran. Karena setelah di pijat perut jadi keroncongan, tadi pun belum sempat makan siang. "Ra, kita mampir makan dulu ya! Aku udah lapar," ucap Tania membelokkan mobilnya menuju restoran. 

 

Aku dan Tania segera memesan makanan dan kami makan dengan lahap. Saat makan, ponselku berdering kulihat di layar Pak Budi memanggil. 

 

"Halo, ada apa Pak Budi?" 

 

"Maaf, Bu. Itu wanita yang bernama Nilam datang lagi ke kantor," lapornya. 

 

"Biarkan aja dia, Pak. Dia nggak akan bisa berbuat macam-macam lagi," kataku menenangkan. 

 

"Tapi, Bu. Pak Adam minta tolong supaya saya berpura-pura kalo Pak Adam masih menjabat direktur dan papan nama ibu ditukar Pak Adam. Ini bagaimana? Saya takut ibu nanti marah," gugup Pak Budi menerangkan. 

 

"Untuk sementara, Pak. Kamu awasi aja tingkah mereka dan jika mereka akan berbuat mesum segera Pak Budi larang mereka," titahku sedikit jengkel lalu mematikan ponsel dan melanjutkan makan. 

 

"Kenapa, Ra?" tanya Tania. 

 

"Wanita itu datang lagi ke kantor dan terpaksa Adam harus berpura-pura masih jadi direktur. Dia nggak mau kehilangan Nilam seperti aku dulu." 

 

"Kamu jangan terlalu menuruti permintaan Adam, Ra. Ntar dia keenakan terus, depak aja dia dari perusahaan sebelum tambah parah," saran Tania. 

 

"Aku sengaja masih memperkerjakan Adam, ingin melihat Nilam dan ibu shock. Mereka pikir semua itu punya Adam, hingga bisa berbuat sesuka hati." 

 

"Aku akan mengembalikan Adam seperti semula, saat dia tidak mempunyai apapun. Aku juga nggak peduli kalo mereka anggap diriku kejam. Karena aku juga bersalah pada almarhum Papaku," kataku sendu lalu mengaduk jus dan menyeruputnya. 

 

Teringat sebelum meninggal, Papa memanggilku duduk dekat di sampingnya dan juga saat itu ada Mas Adam. Papa menyerahkan diriku pada Mas Adam dan memberi nasehat agar Mas Adam dapat menjaga dan menyayangi diriku seperti Papa menyayangi anaknya. 

 

Mas Adam berjanji di hadapan Papa sebelum menghembuskan napas terakhirnya. Tapi kini, Mas Adam telah mengingkari janji dan menyakiti perasaanku. Sia-sia semua pengorbanan yang telah kulakukan untuk dirinya. 

 

"Ra, kok melamun? Sudah selesai makannya, yuk kita balik. Suamiku udah menelpon," kata Tania menyadarkan lamunanku. 

 

"Oke, yuk! Kamu antar aku ke perusahaan lagi ya!" pintaku pada Tania yang dibalas anggukannya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status