Share

Kursi Kekuasaan

Author: Syamwiek
last update Huling Na-update: 2025-04-21 14:32:40

“Aku nggak butuh itu, Papi,” ucap Zain, suaranya nyaris seperti gumaman. Tapi cukup tajam untuk menusuk udara yang menegang di ruang kerja megah rumah keluarga Juhar.

Papi Barra memijat pelipisnya, menahan amarah yang hampir meledak. “Kamu sudah dua tahun buang waktu dengan perusahaan kecil itu, Zain. Berapa proyek yang kamu garap? Dua? Tiga? Bandingkan dengan apa yang bisa kamu capai di sini, dengan nama Juhar di belakangmu!”

Zain mendongak. Matanya tidak gentar. “Justru karena itu, Pi. Aku ingin buktiin, aku bisa tanpa nama itu.”

“Kamu ini keras kepala atau bodoh?” Suara Papi Barra meninggi. “Nama besar itu bukan kutukan, itu warisan. Kamu pikir hidup ini cuma soal membuktikan ego?”

Zain menghela napas. Dalam-dalam. Nyaris putus asa, tapi tetap tak ingin menyerah. “Kalau aku kembali sekarang, semua yang sudah aku bangun bakal dianggap gagal. Dan aku—akan benar-benar jadi bayangan Mami dan Papi seumur hidup.”

Hening beberapa detik.

Papi Barra menatap anak sulungnya dengan pandangan sulit diartikan. Lelah? Kecewa? Atau takut kalau Zain benar—bahwa anaknya memang bisa berdiri sendiri, tanpa bantuan siapa pun?

“Kamu tahu berapa banyak orang yang antri ingin menempati posisi kamu sekarang?” Papi Barra akhirnya bersuara lagi, lebih rendah, tapi tetap tajam. “Dan kamu tolak begitu saja? Hanya demi idealismemu yang kekanak-kanakan itu?”

Zain berdiri. Tegap. Dingin. “Aku minta waktu enam bulan lagi. Kalau dalam waktu itu perusahaan kecilku nggak bisa jadi apa-apa, aku sendiri yang balik ke Juhar dan duduk di kursi yang Papi mau.”

Papi Barra mengerutkan kening. “Dan kalau kamu gagal?”

Zain tersenyum tipis, getir. “Aku akan mengakui bahwa aku memang hanya pewaris, bukan pemimpin.”

Papi Barra memandangnya lama. Kemudian mengangguk pelan, walau dengan berat hati. “Enam bulan. Jangan kecewakan Papi, Zain.”

Seperti yang dilakukan Zain dua tahun lalu. Setelah berdebat panjang dengan Papinya langsung datang ke tempat favoritnya. Tempat dimana—orang-orang tak mengenal siapa dia.

Kedai mie legendaris di Jalan Sabang tidak banyak berubah. Masih dengan bangku kayu panjang yang sering berderit kalau orang duduk terlalu cepat, lampu neon yang remang-remang, dan aroma kuah kaldu yang menyergap dari dua meter sebelum pintu masuk.

Zain membuka pintu kaca, bel berbunyi nyaring.

Dan di sanalah dia. Duduk sendirian di sudut favorit yang biasa dia pilih dulu—yang menghadap langsung ke jendela. Rambut Zura di gerai, blus putih polosnya sederhana tapi terlihat pas. Wajahnya sibuk menatap layar ponsel sambil sesekali menyuap mie ke mulut.

Zain menghentikan langkahnya. Separuh dari dirinya ingin pergi. Separuh lagi—yang lebih keras—mendorongnya untuk maju.

“Zura?”

Zura menoleh. Sekejap wajahnya membeku, lalu tersenyum—senyum yang tidak sampai ke mata.

“Zain.” Suaranya datar. “Kebetulan. Atau kamu ngikutin aku?”

Zain terkekeh kecil. “Kalau aku bilang ini takdir, kamu percaya?”

“Takdir nggak pernah seambisius itu,” balas Zura santai. “Duduk, kalau mau.”

Zain menuruti. Duduk tepat di seberangnya. Sejenak hening. Hanya suara sendok, sumpit, dan hiruk pikuk kedai yang memenuhi ruang.

“Kamu sering ke sini?” tanya Zain, mencoba mencairkan suasana.

“Dari zaman masih ngutang buat bayar kost, ini tempat pelarian paling murah sekaligus paling jujur.”

Zain tersenyum. “Aku suka kalimat itu. ‘Tempat paling jujur’. Karena mie nggak pernah pura-pura manis, ya?”

Zura menatapnya. Lama. Lalu mengangkat bahu. “Atau karena nggak seperti orang-orang, mie nggak punya dua wajah.”

Zain mengangguk pelan. “Kamu masih marah?”

“Enggak.” Zura meneguk es tehnya. “Cuma malas ribet. Hidup sudah cukup ruwet tanpa harus drama-drama nggak penting.”

“Gimana soal perjodohan?” Tanya Zain.

“Untuk sementara waktu tak ada tekanan dari orang tuaku. Mungkin hari-hari tenang seperti ini tak akan bertahan lama. Tapi aku sangat bersyukur—setidaknya aku bisa bernafas sedikit lega,” jawab Zura. “Lalu kamu?”

Zain menyandarkan punggungnya setelah menghela nafas. Lalu menjawab, “Setelah batal menikah kini aku dijodohkan oleh Mami. Tak hanya itu saja—Papi juga semakin agresif.”

“Dunia orang kaya memang rumit,” balas Zura.

“Aku bukan orang kaya,” ujar Zain.

“Oh, iya kah?” Tanya Zura dengan mengangkat sebelah alisnya. “Aku kira hanya old money yang memakai jam tangan seharga satu unit rumah dikawasan elit. Tolong koreksi jika aku salah.”

Zain melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Senyumnya terbit. Namun, hanya sekilas. “Aku rasa kamu juga orang kaya. Tidak mungkin anak kos—hobi ngutang—tahu merk n harga jam tangan ini.”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (8)
goodnovel comment avatar
Ovy Mamanya Arum
hmmm berasa terbebani ya zain. sang mami ingin menjodohkannya sedangkan papi memintamu tuk meneruskan perusahaannya, padahal kmu ingin merintis usahamu sendiri dari nol ya,,
goodnovel comment avatar
Ovy Mamanya Arum
waaahh kynya emang zura jodoh masa depan zain dech yaaaa kebetulan bgt sama" suka nongkrong di kedai mie legendaris itu
goodnovel comment avatar
Shafeeya Humairoh
ahhh zura, siapa kamu sebenarnya
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Kutukan Mantan Terindah   Titik Nol

    Ruang rapat tampak dingin, meski suhu ruangan pas. Bukan karena AC, tapi karena suasananya yang tegang. Beberapa staf dan manajer proyek duduk tegak, sebagian menghindari tatapan Zain yang berdiri di ujung meja.“Terima kasih sudah hadir,” suara Zain terdengar tenang tapi berlapis baja. “Kita langsung ke pokok masalah: proyek Altavira Tower. Audit internal menemukan sejumlah kejanggalan laporan keuangan dan progres kerja.”Semua menoleh ke layar. Zain menekan remote, menampilkan grafik perbandingan antara dana yang keluar dan kemajuan di lapangan. Ada gap besar—terlalu besar.“Saya ulangi pertanyaannya yang sudah saya kirim sejak kemarin,” lanjutnya. “Siapa yang menyetujui pembelian material tiga kali lipat harga pasaran?”Sunyi.Wajah Zain tak berubah. “Pak Roni?”Manajer lapangan, Pak Roni, menelan ludah. “Itu vendor pilihan divisi logistik, Pak Zain. Kami cuma eksekusi.”“Kalau begitu, kepala logistik mana?”

  • Kutukan Mantan Terindah   Jarak yang Menghilang

    Kedai Kopi Tua di Sudut KotaPukul 18.45 WIBAroma kopi arabika dan kayu manis menyambut Zain ketika dia membuka pintu. Suasana kedai kecil itu hangat dan tenang, jauh dari hiruk-pikuk proyek dan tekanan keluarga. Di salah satu sudut dekat jendela, duduk seorang perempuan dengan rambut dikuncir rendah, menunduk menatap laptopnya.Zura.Zain berjalan mendekat, mengetuk meja pelan. “Sudah pesan?”Zura mengangkat kepala dan tersenyum kecil. “Sudah. Aku pesankan es kopi hitam buat kamu.”Zain duduk di seberangnya, meletakkan map kerja di kursi sebelah. “Kamu mulai hafal, ya?”“Kamu terlalu gampang ditebak, Zain.”Zain tertawa lirih. “Gitu ya?”Zura menutup laptopnya. “Tapi aku heran, kamu ngajak ketemu bukan di kantor atau site project. Aneh.”“Aku cuma—pengen ngobrol. Bukan sebagai project manager dan desain interior. Tapi sebagai Zain dan Zura.”Zura diam sejenak. Lalu mengangguk. “Baiklah. T

  • Kutukan Mantan Terindah   Di Balik Pilar Altavira

    Altavira Tower – Proyek Juhar Group Langit Jakarta belum sepenuhnya cerah ketika Zain tiba di lokasi proyek Altavira Tower. Angin pagi membawa aroma semen basah dan suara bising alat berat yang sudah mulai bekerja. Helm proyek telah terpasang di kepalanya, rompi kuning mencolok membalut tubuh tegapnya. Niko, sang asisten, menyusul dengan map dokumen di tangan. “Mas Zain, ini dokumen deviasi anggaran bulan lalu. Ada dua vendor yang belum kasih laporan lengkap.” Zain menerima map itu tanpa berkata apa-apa, matanya menelusuri setiap sisi proyek megah yang pernah digadang-gadang sebagai “permata masa depan Juhar Group.” Tapi dibalik kemegahannya, ada rasa ganjil yang terus mengusik. “Yang aneh,” lanjut Niko, “Vendor interior sempat ganti subkontraktor tanpa pemberitahuan. Dan progres pekerjaan di lantai 12–15 sangat lambat dibanding lantai lainnya.” Zain mengangguk. “Aku mau lihat langsung ke atas. Siapkan safety harness, kita naik ke la

  • Kutukan Mantan Terindah   Jejak dalam Kabut

    Di ruang rapat lantai dua gedung Juhar Group, Zain berdiri menghadap papan presentasi digital yang memuat jadwal proyek “Altavira Tower”, salah satu proyek prestisius perusahaan yang selama enam bulan terakhir justru berubah menjadi beban besar. Anggaran membengkak, kontraktor mundur, dan progres hanya berjalan tiga puluh persen. "Site engineer-nya mundur tiga minggu lalu. Project manager-nya malah cuti mendadak dan belum kembali," lapor Niko yang duduk di ujung meja, membuka catatan di tabletnya. “Dan—ada indikasi beberapa vendor fiktif yang disisipkan sejak awal tender.” Zain menarik napas pelan. “Berarti ada permainan kotor di dalam,” gumamnya, setengah pada dirinya sendiri. Semua kepala di ruangan diam. Beberapa menunduk, yang lain pura-pura sibuk melihat berkas. Zain mengalihkan pandangan. “Bu Retno, saya minta data lengkap semua transaksi keluar masuk untuk proyek Altavira sejak awal penandatanganan. Hari ini.” Wanita setengah

  • Kutukan Mantan Terindah   Pertemuan di Lantai Beton

    Debu tipis menari bersama angin siang di tengah lokasi proyek pembangunan gedung perkantoran di kawasan pusat kota. Suara dentuman palu, mesin bor, dan suara keras pekerja saling bersahutan membentuk harmoni khas dunia konstruksi. Zain berdiri di dekat papan denah proyek sambil menekuk lengan. Kemeja putihnya sudah ternoda sedikit debu, tapi tak mengurangi wibawa yang terpancar dari sikap tenangnya. Dia sedang berbincang dengan salah satu site manager ketika matanya terpaku pada sosok wanita di kejauhan. Gadis itu mengenakan helm putih dan rompi safety berwarna oranye terang. Rambutnya yang diikat rapi dan langkahnya yang penuh percaya diri begitu akrab. Dan ketika sosok itu menoleh— “Zura?” ucap Zain, nyaris tanpa sadar. Zura menoleh dan matanya sedikit membulat. “Zain? Kamu ngapain di sini?” “Aku yang harusnya tanya begitu,” jawab Zain sambil menghampiri. “Kamu ngapain di tengah-tengah proyek kayak gini?” Zura terse

  • Kutukan Mantan Terindah   Langkah Kedua

    Ruang rapat besar Juhar Group kembali terisi oleh ketegangan. Para petinggi duduk dalam barisan formal, namun wajah-wajah mereka tampak lebih cemas daripada biasanya. Koran-koran pagi membicarakan krisis arus kas di tubuh Juhar. Saham turun sedikit, tapi cukup untuk membuat kompetitor bersorak dalam diam. Zain berdiri di depan layar proyektor. Kali ini tanpa suara tinggi Papi Barra. Tanpa tekanan apapun—kecuali dari dalam dirinya sendiri. Semua mata tertuju padanya. “Saya tahu kepercayaan pada perusahaan ini sedikit terguncang,” suara Zain terdengar tenang. “Tapi ini bukan pertama kalinya kita menghadapi tantangan.” Dia melangkah pelan, menyisir pandangan ke seluruh ruangan. “Saya sudah meninjau ulang laporan dari divisi engineering, keuangan, dan legal. Dan satu hal yang paling mencolok adalah lemahnya komunikasi antar departemen selama enam bulan terakhir. Masalah kita bukan hanya soal dana, tapi soal koordinasi.” Tangan Zain menek

  • Kutukan Mantan Terindah   Hujan di Tengah Kota

    Zain berdiri di depan gerai kopi tua di sudut Jalan Cempaka, tangannya sibuk menutupi layar ponsel dari tetesan hujan gerimis. Hari ini benar-benar kacau. Setelah berhasil menyelamatkan wajah Juhar Group, pagi ini dia harus menelan pil pahit—perusahaan kecilnya hampir bangkrut. Investor utama mundur. Klien potensial juga menunda semua proyek. Pukulan bertubi-tubi membuatnya nyaris kehabisan napas.Dia mengangkat wajah. Aroma kopi, roti bakar, dan hujan seolah menariknya masuk ke dalam kedai yang tampak sepi itu. Sebuah pelarian kecil sebelum dia memutuskan langkah besar berikutnya.Dan di sanalah dia.Zura.Duduk di pojok ruangan, mengenakan sweater abu-abu, tangan kanannya memegang buku catatan yang penuh coretan tinta. Kepalanya sedikit tertunduk, rambutnya dikuncir asal-asalan. Tapi wajahnya damai, seperti biasa. Dunia boleh gaduh, tapi Zura seperti tidak pernah terbawa gelombang.Zain ragu beberapa detik sebelum akhirnya menghampiri.“Kamu pengikut cuaca hujan juga, ya?”Zura meno

  • Kutukan Mantan Terindah   Guncangan Tak Terduga

    Suasana pagi ini seharusnya biasa saja. Tapi tidak bagi Zain. Kemarin, ia tak berhasil menemukan Zura.Belum lagi, ponselnya berdering berkali-kali sejak fajar, bersamaan dengan satu notifikasi berita berhasil membuatnya kehilangan selera makan: “Proyek reklamasi Juhar Group di pesisir Selatan ditolak! Nilai kerugian diperkirakan mencapai triliunan.” Tanpa pikir panjang, dia mengambil jas dan kunci mobil, lalu meluncur menuju kantor pusat Juhar Group. Tangannya mengepal di kemudi, kepalanya penuh asumsi. “Kenapa Papi nggak bilang? Kenapa baru tahu dari media?” Sampai di gedung Juhar, dia tak peduli pada resepsionis yang mencoba menahannya. “Maaf, Pak Zain, direksi sedang rapat tertutup!” “Tertutup kepala kamu,” gumam Zain. Dia melangkah cepat. Setiap langkahnya penuh desakan emosi. Tangannya mendorong pintu ruang rapat besar, membuat semua kepala di ruangan sontak menoleh. Papi Barra ada di sana, duduk di tengah deretan direksi. Wajahnya lelah, matanya merah. Tapi sorot mata

  • Kutukan Mantan Terindah   Di Balik Sorot Lampu

    Ruang ballroom hotel bintang lima itu dipenuhi cahaya hangat dan denting gelas kristal. Ornamen megah bergaya klasik menghias langit-langit, sementara alunan musik live jazz mengisi udara dengan atmosfer elegan. Ulang tahun ke-75 Juhar Group benar-benar digelar besar-besaran. Zain datang mengenakan setelan abu gelap tanpa dasi, rapi tapi tidak terlalu resmi, seperti ingin menunjukkan bahwa dia hadir bukan sebagai pewaris keluarga Juhar, melainkan sebagai dirinya sendiri. Banyak mata meliriknya—beberapa dengan rasa ingin tahu, lainnya dengan penghakiman diam-diam. Dia menyusuri ruangan, menyapa beberapa orang yang dia kenal, lalu berhenti di dekat meja minuman. Sekilas matanya menangkap sosok Papi Barra yang sedang berbicara dengan seorang pria berkepala botak, jas mengkilap, dan senyum sinis. Zain mengenalnya: Adrian Yasa, pemilik PT Sentraco, kompetitor lama Juhar, yang pernah tersandung kasus tender proyek rumah sakit. Zain meneguk air putihnya. Entah kenapa firasatnya buruk. Be

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status