“Aku nggak butuh itu, Papi,” ucap Zain pelan. Suaranya nyaris seperti gumaman, tapi cukup tajam untuk memecah ketegangan di ruang kerja mewah rumah keluarga Juhar.
Papi Barra memijat pelipis, menahan amarah yang sudah di ujung. “Kamu sudah buang waktu dua tahun di perusahaan kecil itu, Zain. Berapa proyek yang kamu pegang? Dua? Tiga? Bandingkan dengan apa yang bisa kamu capai di sini, pakai nama Juhar!” Zain mendongak. Tatapannya tenang. “Justru itu, Pi. Aku mau buktiin, aku bisa berdiri tanpa nama itu.” “Kamu ini keras kepala atau memang nggak mikir?” Suara Papi Barra meninggi. “Nama itu bukan beban, tapi warisan. Hidup ini bukan cuma soal ego, Zain.” Zain menarik napas panjang. “Kalau aku balik sekarang, semua yang sudah aku bangun bakal kelihatan sia-sia. Dan aku akan terus jadi bayang-bayang Mami dan Papi seumur hidup.” Sejenak ruangan hening. Papi Barra menatap anaknya tajam. Entah kecewa, lelah, atau diam-diam khawatir kalau Zain benar-benar bisa berhasil tanpa bantuannya. “Kamu tahu berapa banyak orang yang antri buat posisi yang bisa kamu raih dengan mudah? Dan kamu malah nolak? Demi idealisme yang nggak jelas arahnya?” Zain berdiri. Tegas. “Aku minta waktu enam bulan. Kalau dalam enam bulan ke depan perusahaanku nggak menunjukkan hasil, aku akan balik ke Juhar. Duduk di kursi yang Papi mau.” Papi Barra menyipitkan mata. “Dan kalau kamu gagal?” Zain mengangguk pelan. “Aku akan akui kalau aku memang cuma pewaris. Bukan perintis.” Papi Barra diam sejenak, lalu akhirnya mengangguk—meski terlihat berat. “Enam bulan. Jangan buat Papi kecewa lagi.” Setelah pertengkaran itu, seperti dua tahun lalu, Zain pergi ke tempat yang biasa didatangi saat butuh tenang—kedai mie legendaris di Jalan Sabang. Kedainya masih sama. Kursi kayu panjang yang kadang berderit, lampu neon remang-remang, dan aroma kaldu yang menyeruak dari luar pintu. Zain membuka pintu kaca, bel kecil berdenting. Dan di sanalah dia—Zura. Duduk sendirian di sudut favorit, menghadap jendela. Rambutnya terurai, blus putih polos, wajahnya sibuk menatap ponsel sambil menyuap mie. Zain terdiam sejenak. Setengah ingin pergi, setengah lagi—yang lebih kuat—memutuskan untuk maju. “Zura?” Zura menoleh. Wajahnya sempat kaku, lalu tersenyum. Tapi senyum itu tidak hangat. “Zain.” Suaranya datar. “Kebetulan. Atau kamu ngikutin aku?” Zain tertawa kecil. “Kalau aku bilang ini takdir, kamu percaya?” “Takdir nggak seambisius itu,” balas Zura. “Duduk aja kalau mau.” Zain duduk di hadapannya. Beberapa detik hening, hanya terdengar suara sumpit, sendok, dan riuh kedai. “Kamu sering ke sini?” tanya Zain. “Setelah aku memutuskan untuk hidup mandiri, ini tempat yang paling murah dan nggak ribet.” Zain mengangguk. “Kalimat kamu bagus. Tempat paling jujur. Karena mie nggak pernah pura-pura manis, ya?” Zura melirik, lalu mengangkat bahu. “Atau karena nggak kayak orang-orang, mie nggak punya dua muka.” Zain menunduk pelan. “Kamu masih marah?” “Enggak.” Zura minum es tehnya. “Cuma males drama. Hidup aja udah ribet.” “Gimana soal perjodohan?” tanya Zain. “Orangtuaku lagi nggak terlalu maksa. Mungkin nggak lama, tapi sekarang aku bisa napas lebih lega.” Dia lalu balik bertanya, “Kalau kamu?” Zain bersandar di kursi. “Setelah batal nikah, sekarang malah dijodohin lagi sama Mami. Papi juga makin maksa buat aku balik ke perusahaan keluarga.” “Dunia orang kaya memang ribet,” komentar Zura. “Aku bukan orang kaya,” sahut Zain. “Oh ya?” Zura menaikkan alis. “Jam tangan yang kamu pakai harganya bisa buat beli rumah tipe 60. Kayaknya cuma old money yang bisa bilang ‘aku bukan orang kaya’ sambil pakai barang kayak gitu.” Zain menatap jam tangannya. Lalu tersenyum, tipis. “Aku rasa kamu juga orang kaya. Soalnya nggak mungkin anak kos yang suka ngutang tahu harga jam ini.”Apartemen Zain dan Zura di pagi hari sudah dipenuhi suara-suara yang tidak asing lagi. Alvaro yang kini berumur tiga bulan telah menjadi magnet bagi para kakek dan neneknya. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, dimulai dengan "perebutan" halus antara Opa Barra dan Kakek Ravi melawan Mami Narumi dan Amma Gista."Alvaro, lihat Opa. Opa bawain mainan baru," kata Opa Barra sambil mengeluarkan rattle berwarna-warni dari kantong belanjanya. "Ayo main sama Opa.""Eh, kemarin kan Opa udah gendong duluan," protes Mami Narumi sambil menghampiri cucu kesayangannya. "Sekarang giliran Mami."Kakek Ravi tidak mau kalah. "Alvaro, Kakek bawa boneka panda. Main sama Kakek aja ya.""Kakek Ravi, dia masih bayi," tegur Amma Gista sambil tertawa. "Belum bisa main mobil-mobilan."Alvaro yang sedang berbaring di bouncer-nya hanya menatap dengan mata bulatnya yang jernih, sesekali mengeluarkan suara "aaa" dan "ooo" seolah memahami perdebatan para orang tuanya.Zain dan Zura yang sedang sarapan di meja mak
Hari begitu cepat berlalu. Kini, di tengah malam yang sunyi, Zura mulai merasakan kontraksi yang berbeda dari sebelumnya. HPL masih satu minggu lagi, tapi sepertinya putranya ingin lahir ke dunia lebih cepat."Mas Zain," bisik Zura sambil mengguncang pelan bahu suaminya. "Aku rasa ini kontraksi yang beneran."Zain langsung terbangun dan duduk. "Serius? Seberapa sering?""Setiap sepuluh menit sekali," jawab Zura sambil menarik napas dalam-dalam saat kontraksi lain menyerang. "Udah sejam yang lalu."Zain langsung melompat dari tempat tidur dan menyalakan lampu. "Oke, kita ke rumah sakit sekarang. Tas hospital bag udah siap kan?""Udah, di sudut kamar," jawab Zura sambil mencoba berdiri. "Ahhh—" dia memegang perut saat kontraksi lain datang.Zain panik tapi berusaha tenang. Dia membantu Zura duduk kembali sambil menelpon sopir pribadi mereka."Pak Budi, tolong siapkan mobil. Istri saya mau melahirkan."Sementara menunggu, Zain menelpon Mami Narumi."Mami, maaf ganggu tengah malam. Zura m
Zain dan Zura telah membuat kamar khusus untuk putra mereka. Kamar yang didesain sendiri oleh Zura dengan nuansa hangat berwarna cream dan coklat muda. Dinding kamar dihiasi dengan wallpaper motif awan-awan putih yang lembut, sementara di sudut ruangan terdapat rocking chair kayu berwarna natural yang akan digunakan Zura untuk menyusui nanti.Perlengkapan bayi pun telah dibeli oleh Mami Narumi, Amma Gista dan Zivanya. Ketiganya setiap hari pasti datang membawa paper bag berisi perlengkapan bayi—mulai dari baju-baju mungil, popok, mainan, hingga perlengkapan mandi khusus bayi."Zura, sayang, ini Mami belikan jumper yang lucu," kata Mami Narumi sambil mengeluarkan jumper berwarna biru muda dengan gambar gajah kecil di bagian dada."Wah, bagus sekali, Mi," Zura tersenyum sambil mengelus perutnya yang sudah semakin membesar. Usia kandungannya kini menginjak 8 bulan."Amma juga bawain ini," Amma Gista menyodorkan kotak berisi sepatu bayi yang sangat mungil. "Ini sepatu prewalker, buat nant
Zain dan Zura pergi ke rumah sakit untuk periksa kandungan. Zura menceritakan keanehan yang dialami oleh sang suami. Dengan sabar dan lembut dokter menjelaskan bahwa hal yang dialami Zain wajar."Jadi, Pak Zain mengalami couvade syndrome atau yang biasa disebut sympathetic pregnancy," jelas Dr. Siska sambil melihat catatan medis. "Ini kondisi yang cukup umum dialami oleh suami dari ibu hamil.""Tapi dokter, perut saya kok beneran buncit? Rasanya kayak ada yang bergerak-gerak," kata Zain sambil mengelus perutnya.Dr. Siska tersenyum lembut. "Pak Zain, dari hasil pemeriksaan fisik tadi, perut buncit bapak disebabkan oleh penumpukan lemak dan gas di perut. Bapak bilang sering makan tengah malam kan?""Iya, dok. Saya nggak bisa tidur kalau nggak makan dulu. Rasanya lapar terus.""Nah, itu dia. Ditambah bapak juga bilang jarang olahraga sejak Bu Zura hamil. Kombinasi makan berlebihan dan kurang gerak menyebabkan perut buncit."Zura mengangguk-angguk. "Pantas aja. Sejak saya dinyatakan hami
Usia kandungan Zura telah menginjak empat bulan. Ada acara selamatan 4 bulanan. Diadakan di kediaman utama Juhar. Mami Narumi dan Amma Gista membuat acara besar dan sangat mewah."Kak Zura, kamu tau nggak? Kak Zain udah jadi bahan obrolan seluruh keluarga," kata Zivanya sambil tertawa kecil."Kenapa emangnya?" tanya Zura sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit."Dia lebih ngidam dari kamu! Tadi pagi dia minta Mami Narumi bikinin rujak buah yang ada taburan keju parut. Siapa coba yang makan rujak pakai keju?"Zura ikut tertawa. "Jangan diketawain dong. Dia udah stress sendiri dengan kondisinya.""Tapi lucu banget sih. Kemarin Amma Gista bilang, Kak Zain telepon jam 3 pagi nanya ada nggak yang jual sate padang. Katanya lagi pengen banget.""Astaga, dia nggak cerita sama aku. Kasihan banget Amma Gista.""Nggak apa-apa. Amma malah seneng, katanya lucu punya menantu yang ikut 'hamil'. Eh, ngomong-ngomong, perut Kak Zain kok makin buncit ya?"Zura menoleh ke arah dapur dimana Zain sed
Dua minggu setelah kabar kehamilan Zura, hal-hal aneh mulai terjadi. Bukan pada Zura—melainkan pada Zain.Pagi ini, Zain bangun dengan perasaan mual yang aneh. Dia berlari ke kamar mandi dan muntah, tepat seperti yang dialami Zura minggu lalu. Zura yang sedang menyiapkan sarapan mendengar suara muntah dari kamar mandi."Sayang! Kamu kenapa?" tanya Zura sambil mengetuk pintu kamar mandi."Aku mual," jawab Zain lemah dari dalam kamar mandi.Zura mengerutkan kening. "Jangan-jangan kamu tertular penyakitku?"Zain keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat. "Mungkin. Tapi aneh, aku nggak demam.""Udah minum obat belum? Atau mau aku buatkan teh jahe?" tawar Zura sambil menyentuh dahi Zain."Nggak usah, nanti juga hilang sendiri," kata Zain sambil berjalan ke meja makan.Tapi saat melihat nasi gudeg yang disiapkan Zura, Zain langsung menutup hidung. "Ampun, sayang. Kok baunya aneh banget sih?"Zura mencium gudegnya. "Biasa aja kok. Kemarin kamu malah minta dibuatkan gudeg.""Sekarang aku ngg