Zain duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang berisi laporan proyek yang hampir gagal. Dia bukan lagi direktur utama di Juhar Group, perusahaan konstruksi besar milik keluarga. Keputusan itu dibuatnya dua tahun lalu, saat hatinya lebih memilih prinsip ketimbang kekayaan dan kekuasaan yang ditawarkan Papi Barra. Kini, dia memimpin sebuah perusahaan kontraktor kecil yang meskipun stabil, tak bisa dibandingkan dengan kemewahan Juhar Group.
Hidupnya terasa datar, seolah berjalan tanpa arah, meskipun di luar sana segala sesuatunya tampak sempurna. Keluarga besar, harta melimpah, dan semua yang seharusnya bisa membuatnya bahagia—kecuali satu hal: dirinya sendiri. Dia merasa terperangkap antara kenyataan yang harus dijalani dan mimpi-mimpi yang perlahan memudar. Tiba-tiba pintu kantornya terbuka dengan keras. Mami Narumi, ibu kandung Zain, masuk dengan ekspresi serius—lebih serius dari biasanya. “Mami, ada apa?” tanya Zain tanpa menoleh, matanya masih terpaku pada layar laptop. “Apa kamu sudah dengar kabar? Mami baru saja sampai dari Jepang,” kata Mami Narumi, dengan gaya berbicara yang penuh ketegasan. “Dan ada yang harus segera kita bicarakan.” Zain memiringkan kepalanya, bingung. “Bicara tentang apa?” Mami Narumi duduk di kursi depan meja kerjanya, menatap Zain dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. “Tentang kamu, Zain. Tentang kamu yang sudah terlalu lama menghindar dari kenyataan.” Zain mengerutkan kening. Dia sudah bisa menebak arah percakapan ini. Seperti biasa, Mami akan memaksanya untuk kembali ke Juhar Group atau menikahi seseorang yang dianggap layak oleh Mami. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Mami Narumi tampak sangat fokus. “Ada yang lebih penting dari itu. Kamu tahu Mami sudah tua dan ingin melihat kamu settle down, kan?” tanya Mami, memulai percakapan dengan nada serius. Zain mengangguk malas. “Aku tahu, Mami. Tapi aku belum siap untuk—” “Ini bukan soal siap atau tidak siap, Zain. Kamu sudah cukup lama sendiri. Mami ingin melihat kamu bahagia. Mami punya calon untukmu,” ujar Mami dengan penuh keyakinan. “Dia adalah seseorang yang sudah lama Mami kenal. Seorang gadis yang sempurna. Mami yakin kamu pasti cocok dengan dia.” Zain merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Calon? Mami, aku tidak butuh calon. Aku sedang fokus dengan pekerjaanku sekarang.” Mami mengabaikan penolakan Zain. Dia melanjutkan dengan penuh semangat, “Namanya Aisha. Gadis yang manis, cerdas, dari keluarga baik-baik. Mami yakin kamu akan sangat nyaman dengannya. Mami sudah bertemu dengannya beberapa kali, dan dia bisa jadi pasangan hidup yang baik untukmu.” Zain menahan napas. Ada sesuatu yang membuatnya teringat kembali pada masa lalu yang kelam. Dia tidak bisa memahaminya. Kenapa Maminya begitu yakin tentang perempuan itu? “Mami, aku tidak ingin ikut campur soal itu,” ujar Zain dengan suara datar, berusaha menahan kekesalannya. “Aku lebih memilih fokus pada pekerjaanku dan—” Sebelum Zain bisa melanjutkan, Mami Narumi mengeluarkan foto dari tasnya. “Lihat ini,” katanya, memperlihatkan gambar seorang wanita muda dengan senyum yang sangat memikat. “Gadis ini tidak hanya cantik, tapi juga pintar dan berbakat. Mami yakin dia yang kamu cari selama ini.” Zain menatap foto itu, dan dia berusaha mengalihkan pandangan, “Mami, aku—” “Mami sudah bicara dengan orangtuanya, dan kami akan bertemu dengan mereka akhir pekan ini. Sudah waktunya kamu bertanggung jawab, Zain. Jangan buang waktu lagi,” sahut Mami Narumi. Zain menatap Mami dengan tatapan penuh kebingungan. "Mami, aku butuh waktu untuk berpikir. Aku tidak mungkin menjalani hubungan serius secepat ini setelah pengkhianatan yang dilakukan oleh Maretta. Lagipula aku ingin fokus pada perusahaan ini.” Namun, Mami hanya mengangguk perlahan. “Terserah, Zain. Tapi ingat, umur tidak pernah menunggu. Jangan sampai kamu menyesal nanti.” Zain menghela nafas kasar. Lalu memijat keningnya yang terasa pening. Masalah perusahaan tak kunjung teratasi—kini bertambah lagi dengan masalah perjodohan. “Mami hanya ingin menantu, Zain—hanya itu saja. Apa susahnya?” Mami Narumi mulai memasang wajah sedih. “Maaf ya, Ma,” balas Zain dengan suara lirih. “Mungkin ini balasan atas perbuatanku dulu.”Ruang rapat tampak dingin, meski suhu ruangan pas. Bukan karena AC, tapi karena suasananya yang tegang. Beberapa staf dan manajer proyek duduk tegak, sebagian menghindari tatapan Zain yang berdiri di ujung meja.“Terima kasih sudah hadir,” suara Zain terdengar tenang tapi berlapis baja. “Kita langsung ke pokok masalah: proyek Altavira Tower. Audit internal menemukan sejumlah kejanggalan laporan keuangan dan progres kerja.”Semua menoleh ke layar. Zain menekan remote, menampilkan grafik perbandingan antara dana yang keluar dan kemajuan di lapangan. Ada gap besar—terlalu besar.“Saya ulangi pertanyaannya yang sudah saya kirim sejak kemarin,” lanjutnya. “Siapa yang menyetujui pembelian material tiga kali lipat harga pasaran?”Sunyi.Wajah Zain tak berubah. “Pak Roni?”Manajer lapangan, Pak Roni, menelan ludah. “Itu vendor pilihan divisi logistik, Pak Zain. Kami cuma eksekusi.”“Kalau begitu, kepala logistik mana?”
Kedai Kopi Tua di Sudut KotaPukul 18.45 WIBAroma kopi arabika dan kayu manis menyambut Zain ketika dia membuka pintu. Suasana kedai kecil itu hangat dan tenang, jauh dari hiruk-pikuk proyek dan tekanan keluarga. Di salah satu sudut dekat jendela, duduk seorang perempuan dengan rambut dikuncir rendah, menunduk menatap laptopnya.Zura.Zain berjalan mendekat, mengetuk meja pelan. “Sudah pesan?”Zura mengangkat kepala dan tersenyum kecil. “Sudah. Aku pesankan es kopi hitam buat kamu.”Zain duduk di seberangnya, meletakkan map kerja di kursi sebelah. “Kamu mulai hafal, ya?”“Kamu terlalu gampang ditebak, Zain.”Zain tertawa lirih. “Gitu ya?”Zura menutup laptopnya. “Tapi aku heran, kamu ngajak ketemu bukan di kantor atau site project. Aneh.”“Aku cuma—pengen ngobrol. Bukan sebagai project manager dan desain interior. Tapi sebagai Zain dan Zura.”Zura diam sejenak. Lalu mengangguk. “Baiklah. T
Altavira Tower – Proyek Juhar Group Langit Jakarta belum sepenuhnya cerah ketika Zain tiba di lokasi proyek Altavira Tower. Angin pagi membawa aroma semen basah dan suara bising alat berat yang sudah mulai bekerja. Helm proyek telah terpasang di kepalanya, rompi kuning mencolok membalut tubuh tegapnya. Niko, sang asisten, menyusul dengan map dokumen di tangan. “Mas Zain, ini dokumen deviasi anggaran bulan lalu. Ada dua vendor yang belum kasih laporan lengkap.” Zain menerima map itu tanpa berkata apa-apa, matanya menelusuri setiap sisi proyek megah yang pernah digadang-gadang sebagai “permata masa depan Juhar Group.” Tapi dibalik kemegahannya, ada rasa ganjil yang terus mengusik. “Yang aneh,” lanjut Niko, “Vendor interior sempat ganti subkontraktor tanpa pemberitahuan. Dan progres pekerjaan di lantai 12–15 sangat lambat dibanding lantai lainnya.” Zain mengangguk. “Aku mau lihat langsung ke atas. Siapkan safety harness, kita naik ke la
Di ruang rapat lantai dua gedung Juhar Group, Zain berdiri menghadap papan presentasi digital yang memuat jadwal proyek “Altavira Tower”, salah satu proyek prestisius perusahaan yang selama enam bulan terakhir justru berubah menjadi beban besar. Anggaran membengkak, kontraktor mundur, dan progres hanya berjalan tiga puluh persen. "Site engineer-nya mundur tiga minggu lalu. Project manager-nya malah cuti mendadak dan belum kembali," lapor Niko yang duduk di ujung meja, membuka catatan di tabletnya. “Dan—ada indikasi beberapa vendor fiktif yang disisipkan sejak awal tender.” Zain menarik napas pelan. “Berarti ada permainan kotor di dalam,” gumamnya, setengah pada dirinya sendiri. Semua kepala di ruangan diam. Beberapa menunduk, yang lain pura-pura sibuk melihat berkas. Zain mengalihkan pandangan. “Bu Retno, saya minta data lengkap semua transaksi keluar masuk untuk proyek Altavira sejak awal penandatanganan. Hari ini.” Wanita setengah
Debu tipis menari bersama angin siang di tengah lokasi proyek pembangunan gedung perkantoran di kawasan pusat kota. Suara dentuman palu, mesin bor, dan suara keras pekerja saling bersahutan membentuk harmoni khas dunia konstruksi. Zain berdiri di dekat papan denah proyek sambil menekuk lengan. Kemeja putihnya sudah ternoda sedikit debu, tapi tak mengurangi wibawa yang terpancar dari sikap tenangnya. Dia sedang berbincang dengan salah satu site manager ketika matanya terpaku pada sosok wanita di kejauhan. Gadis itu mengenakan helm putih dan rompi safety berwarna oranye terang. Rambutnya yang diikat rapi dan langkahnya yang penuh percaya diri begitu akrab. Dan ketika sosok itu menoleh— “Zura?” ucap Zain, nyaris tanpa sadar. Zura menoleh dan matanya sedikit membulat. “Zain? Kamu ngapain di sini?” “Aku yang harusnya tanya begitu,” jawab Zain sambil menghampiri. “Kamu ngapain di tengah-tengah proyek kayak gini?” Zura terse
Ruang rapat besar Juhar Group kembali terisi oleh ketegangan. Para petinggi duduk dalam barisan formal, namun wajah-wajah mereka tampak lebih cemas daripada biasanya. Koran-koran pagi membicarakan krisis arus kas di tubuh Juhar. Saham turun sedikit, tapi cukup untuk membuat kompetitor bersorak dalam diam. Zain berdiri di depan layar proyektor. Kali ini tanpa suara tinggi Papi Barra. Tanpa tekanan apapun—kecuali dari dalam dirinya sendiri. Semua mata tertuju padanya. “Saya tahu kepercayaan pada perusahaan ini sedikit terguncang,” suara Zain terdengar tenang. “Tapi ini bukan pertama kalinya kita menghadapi tantangan.” Dia melangkah pelan, menyisir pandangan ke seluruh ruangan. “Saya sudah meninjau ulang laporan dari divisi engineering, keuangan, dan legal. Dan satu hal yang paling mencolok adalah lemahnya komunikasi antar departemen selama enam bulan terakhir. Masalah kita bukan hanya soal dana, tapi soal koordinasi.” Tangan Zain menek
Zain berdiri di depan gerai kopi tua di sudut Jalan Cempaka, tangannya sibuk menutupi layar ponsel dari tetesan hujan gerimis. Hari ini benar-benar kacau. Setelah berhasil menyelamatkan wajah Juhar Group, pagi ini dia harus menelan pil pahit—perusahaan kecilnya hampir bangkrut. Investor utama mundur. Klien potensial juga menunda semua proyek. Pukulan bertubi-tubi membuatnya nyaris kehabisan napas.Dia mengangkat wajah. Aroma kopi, roti bakar, dan hujan seolah menariknya masuk ke dalam kedai yang tampak sepi itu. Sebuah pelarian kecil sebelum dia memutuskan langkah besar berikutnya.Dan di sanalah dia.Zura.Duduk di pojok ruangan, mengenakan sweater abu-abu, tangan kanannya memegang buku catatan yang penuh coretan tinta. Kepalanya sedikit tertunduk, rambutnya dikuncir asal-asalan. Tapi wajahnya damai, seperti biasa. Dunia boleh gaduh, tapi Zura seperti tidak pernah terbawa gelombang.Zain ragu beberapa detik sebelum akhirnya menghampiri.“Kamu pengikut cuaca hujan juga, ya?”Zura meno
Suasana pagi ini seharusnya biasa saja. Tapi tidak bagi Zain. Kemarin, ia tak berhasil menemukan Zura.Belum lagi, ponselnya berdering berkali-kali sejak fajar, bersamaan dengan satu notifikasi berita berhasil membuatnya kehilangan selera makan: “Proyek reklamasi Juhar Group di pesisir Selatan ditolak! Nilai kerugian diperkirakan mencapai triliunan.” Tanpa pikir panjang, dia mengambil jas dan kunci mobil, lalu meluncur menuju kantor pusat Juhar Group. Tangannya mengepal di kemudi, kepalanya penuh asumsi. “Kenapa Papi nggak bilang? Kenapa baru tahu dari media?” Sampai di gedung Juhar, dia tak peduli pada resepsionis yang mencoba menahannya. “Maaf, Pak Zain, direksi sedang rapat tertutup!” “Tertutup kepala kamu,” gumam Zain. Dia melangkah cepat. Setiap langkahnya penuh desakan emosi. Tangannya mendorong pintu ruang rapat besar, membuat semua kepala di ruangan sontak menoleh. Papi Barra ada di sana, duduk di tengah deretan direksi. Wajahnya lelah, matanya merah. Tapi sorot mata
Ruang ballroom hotel bintang lima itu dipenuhi cahaya hangat dan denting gelas kristal. Ornamen megah bergaya klasik menghias langit-langit, sementara alunan musik live jazz mengisi udara dengan atmosfer elegan. Ulang tahun ke-75 Juhar Group benar-benar digelar besar-besaran. Zain datang mengenakan setelan abu gelap tanpa dasi, rapi tapi tidak terlalu resmi, seperti ingin menunjukkan bahwa dia hadir bukan sebagai pewaris keluarga Juhar, melainkan sebagai dirinya sendiri. Banyak mata meliriknya—beberapa dengan rasa ingin tahu, lainnya dengan penghakiman diam-diam. Dia menyusuri ruangan, menyapa beberapa orang yang dia kenal, lalu berhenti di dekat meja minuman. Sekilas matanya menangkap sosok Papi Barra yang sedang berbicara dengan seorang pria berkepala botak, jas mengkilap, dan senyum sinis. Zain mengenalnya: Adrian Yasa, pemilik PT Sentraco, kompetitor lama Juhar, yang pernah tersandung kasus tender proyek rumah sakit. Zain meneguk air putihnya. Entah kenapa firasatnya buruk. Be