“Lucu, ya,” ucap Zain sambil mengaduk mie-nya yang sudah mulai dingin. “Kita dipertemukan lagi di tengah situasi yang absurd.”
Zura menyandarkan punggung ke kursi kayu yang mulai aus itu. “Mungkin semesta memang suka bercanda. Atau mungkin kita memang belum kelar.” Zain menatapnya. “Belum kelar?” Zura tidak langsung menjawab. Dia menatap keluar jendela, melihat hujan yang mengguyur trotoar. Ada sekilas murung di wajahnya, tapi cepat dia sembunyikan. “Aku juga kabur dari nama besar keluargaku,” katanya akhirnya. “Tapi aku nggak punya keberanian seperti kamu, ninggalin semuanya.” Zain mengangkat alis. “Kamu tahu soal itu?” Zura menoleh. “Tahu. Kamu nggak sadar, berita soal kamu keluar dari Juhar dua tahun lalu itu sempat viral di kalangan bisnis?” Zain mendesah. “Kupikir setelah keluar dari sana, aku bisa tenang. Ternyata tekanan lebih berat datang dari orang-orang yang harusnya paling ngerti.” “Termasuk Pak Barra?” tebak Zura tajam. Zain menatap gadis di hadapannya dengan mata menyipit. “Kamu tahu banyak, Zura.” Zura tidak menjawab. Dia hanya tersenyum samar, lalu beralih topik, “Aku juga nggak pengen hidup di bawah bayang-bayang orang tua. Tapi aku nggak punya pilihan. Amma—ya begitulah. Harapannya terlalu tinggi. Sama seperti Papi kamu ke kamu, mungkin.” Zain menunduk. Dia merasa bisa bicara tanpa perlu mengukur kata-kata. Di hadapan Zura, luka yang dia simpan dua tahun terakhir terasa sedikit menguap. “Aku takut,” ucapnya lirih. “Takut kalau nanti balik ke sana, aku kehilangan lagi kendali atas hidupku.” Zura menatapnya lekat. “Kamu bukan kehilangan kendali, Zain. Kamu cuma belum selesai menerima kenyataan.” Zain mengernyit. “Maksudmu?” “Kamu belum berdamai. Bukan sama orang-orang itu. Tapi sama diri kamu sendiri,” kata Zura pelan, tapi tajam. “Sampai kapan kamu mau hidup untuk membuktikan sesuatu? Bukan ke mereka. Tapi ke bayangan kamu sendiri yang pengen sempurna.” Kata-kata itu menghantam. Tepat di tempat yang seharusnya. Tiba-tiba ponsel Zura bergetar di meja. Sebuah nama muncul di layar, Amma. Dia langsung berdiri. “Maaf. Aku harus pulang.” Zain tertegun. “Baru juga mulai ngobrol.” Zura tersenyum, kali ini benar-benar tulus. “Kita ketemu lagi nanti. Di tempat yang sama, mungkin. Atau di pesta ulang tahun Juhar, minggu depan.” Zain mengangguk pelan. “Kamu datang?” Zura tak langsung menjawab. Dia hanya melangkah pergi, membayar pesanannya di kasir, lalu keluar tanpa menoleh lagi. Zain masih terpaku di tempatnya. Pintu kedai menutup perlahan di belakang punggung Zura yang semakin menjauh. Hujan belum reda, namun langkah kaki perempuan itu tetap pasti, seolah tak takut basah, seolah tak takut apa pun. Tapi Zain tahu, bukan berarti Zura tidak takut. Dia justru seperti seseorang yang sudah terlalu sering basah, hingga hujan tak lagi membuatnya gentar. “Kamu bukan kehilangan kendali, Zain. Kamu cuma belum selesai menerima kenyataan—” Suara itu mengendap dalam kepalanya. Menggema berulang-ulang, seperti gema langkah di lorong panjang yang tak kunjung selesai. Tangannya mengepal di atas meja. Di luar jendela, lampu jalan mulai menyala kekuningan, membias bersama rintik yang menari jatuh. Zain menarik napas dalam. Entah sudah berapa lama dia tak merasakan percakapan yang jujur seperti tadi. Bukan basa-basi kantor, bukan diskusi bisnis, bukan debat warisan. Tapi sesuatu yang nyata. Tentang rasa yang sering dipendam karena tak ada tempat pulang. Dia menatap ke arah kursi kosong di seberangnya. Masih ada bekas uap dari teh hangat yang belum sepenuhnya habis diminum Zura. Dia belum sempat bertanya, teh apa yang Zura pesan. Manis atau pahit. Tapi, mungkin itu tak penting. Karena yang pahit sebenarnya, bukan di cangkir, tapi di dada. “Zura—” bisiknya lagi, seolah memanggil seseorang yang berada di dekatnya.Ruang rapat tampak dingin, meski suhu ruangan pas. Bukan karena AC, tapi karena suasananya yang tegang. Beberapa staf dan manajer proyek duduk tegak, sebagian menghindari tatapan Zain yang berdiri di ujung meja.“Terima kasih sudah hadir,” suara Zain terdengar tenang tapi berlapis baja. “Kita langsung ke pokok masalah: proyek Altavira Tower. Audit internal menemukan sejumlah kejanggalan laporan keuangan dan progres kerja.”Semua menoleh ke layar. Zain menekan remote, menampilkan grafik perbandingan antara dana yang keluar dan kemajuan di lapangan. Ada gap besar—terlalu besar.“Saya ulangi pertanyaannya yang sudah saya kirim sejak kemarin,” lanjutnya. “Siapa yang menyetujui pembelian material tiga kali lipat harga pasaran?”Sunyi.Wajah Zain tak berubah. “Pak Roni?”Manajer lapangan, Pak Roni, menelan ludah. “Itu vendor pilihan divisi logistik, Pak Zain. Kami cuma eksekusi.”“Kalau begitu, kepala logistik mana?”
Kedai Kopi Tua di Sudut KotaPukul 18.45 WIBAroma kopi arabika dan kayu manis menyambut Zain ketika dia membuka pintu. Suasana kedai kecil itu hangat dan tenang, jauh dari hiruk-pikuk proyek dan tekanan keluarga. Di salah satu sudut dekat jendela, duduk seorang perempuan dengan rambut dikuncir rendah, menunduk menatap laptopnya.Zura.Zain berjalan mendekat, mengetuk meja pelan. “Sudah pesan?”Zura mengangkat kepala dan tersenyum kecil. “Sudah. Aku pesankan es kopi hitam buat kamu.”Zain duduk di seberangnya, meletakkan map kerja di kursi sebelah. “Kamu mulai hafal, ya?”“Kamu terlalu gampang ditebak, Zain.”Zain tertawa lirih. “Gitu ya?”Zura menutup laptopnya. “Tapi aku heran, kamu ngajak ketemu bukan di kantor atau site project. Aneh.”“Aku cuma—pengen ngobrol. Bukan sebagai project manager dan desain interior. Tapi sebagai Zain dan Zura.”Zura diam sejenak. Lalu mengangguk. “Baiklah. T
Altavira Tower – Proyek Juhar Group Langit Jakarta belum sepenuhnya cerah ketika Zain tiba di lokasi proyek Altavira Tower. Angin pagi membawa aroma semen basah dan suara bising alat berat yang sudah mulai bekerja. Helm proyek telah terpasang di kepalanya, rompi kuning mencolok membalut tubuh tegapnya. Niko, sang asisten, menyusul dengan map dokumen di tangan. “Mas Zain, ini dokumen deviasi anggaran bulan lalu. Ada dua vendor yang belum kasih laporan lengkap.” Zain menerima map itu tanpa berkata apa-apa, matanya menelusuri setiap sisi proyek megah yang pernah digadang-gadang sebagai “permata masa depan Juhar Group.” Tapi dibalik kemegahannya, ada rasa ganjil yang terus mengusik. “Yang aneh,” lanjut Niko, “Vendor interior sempat ganti subkontraktor tanpa pemberitahuan. Dan progres pekerjaan di lantai 12–15 sangat lambat dibanding lantai lainnya.” Zain mengangguk. “Aku mau lihat langsung ke atas. Siapkan safety harness, kita naik ke la
Di ruang rapat lantai dua gedung Juhar Group, Zain berdiri menghadap papan presentasi digital yang memuat jadwal proyek “Altavira Tower”, salah satu proyek prestisius perusahaan yang selama enam bulan terakhir justru berubah menjadi beban besar. Anggaran membengkak, kontraktor mundur, dan progres hanya berjalan tiga puluh persen. "Site engineer-nya mundur tiga minggu lalu. Project manager-nya malah cuti mendadak dan belum kembali," lapor Niko yang duduk di ujung meja, membuka catatan di tabletnya. “Dan—ada indikasi beberapa vendor fiktif yang disisipkan sejak awal tender.” Zain menarik napas pelan. “Berarti ada permainan kotor di dalam,” gumamnya, setengah pada dirinya sendiri. Semua kepala di ruangan diam. Beberapa menunduk, yang lain pura-pura sibuk melihat berkas. Zain mengalihkan pandangan. “Bu Retno, saya minta data lengkap semua transaksi keluar masuk untuk proyek Altavira sejak awal penandatanganan. Hari ini.” Wanita setengah
Debu tipis menari bersama angin siang di tengah lokasi proyek pembangunan gedung perkantoran di kawasan pusat kota. Suara dentuman palu, mesin bor, dan suara keras pekerja saling bersahutan membentuk harmoni khas dunia konstruksi. Zain berdiri di dekat papan denah proyek sambil menekuk lengan. Kemeja putihnya sudah ternoda sedikit debu, tapi tak mengurangi wibawa yang terpancar dari sikap tenangnya. Dia sedang berbincang dengan salah satu site manager ketika matanya terpaku pada sosok wanita di kejauhan. Gadis itu mengenakan helm putih dan rompi safety berwarna oranye terang. Rambutnya yang diikat rapi dan langkahnya yang penuh percaya diri begitu akrab. Dan ketika sosok itu menoleh— “Zura?” ucap Zain, nyaris tanpa sadar. Zura menoleh dan matanya sedikit membulat. “Zain? Kamu ngapain di sini?” “Aku yang harusnya tanya begitu,” jawab Zain sambil menghampiri. “Kamu ngapain di tengah-tengah proyek kayak gini?” Zura terse
Ruang rapat besar Juhar Group kembali terisi oleh ketegangan. Para petinggi duduk dalam barisan formal, namun wajah-wajah mereka tampak lebih cemas daripada biasanya. Koran-koran pagi membicarakan krisis arus kas di tubuh Juhar. Saham turun sedikit, tapi cukup untuk membuat kompetitor bersorak dalam diam. Zain berdiri di depan layar proyektor. Kali ini tanpa suara tinggi Papi Barra. Tanpa tekanan apapun—kecuali dari dalam dirinya sendiri. Semua mata tertuju padanya. “Saya tahu kepercayaan pada perusahaan ini sedikit terguncang,” suara Zain terdengar tenang. “Tapi ini bukan pertama kalinya kita menghadapi tantangan.” Dia melangkah pelan, menyisir pandangan ke seluruh ruangan. “Saya sudah meninjau ulang laporan dari divisi engineering, keuangan, dan legal. Dan satu hal yang paling mencolok adalah lemahnya komunikasi antar departemen selama enam bulan terakhir. Masalah kita bukan hanya soal dana, tapi soal koordinasi.” Tangan Zain menek
Zain berdiri di depan gerai kopi tua di sudut Jalan Cempaka, tangannya sibuk menutupi layar ponsel dari tetesan hujan gerimis. Hari ini benar-benar kacau. Setelah berhasil menyelamatkan wajah Juhar Group, pagi ini dia harus menelan pil pahit—perusahaan kecilnya hampir bangkrut. Investor utama mundur. Klien potensial juga menunda semua proyek. Pukulan bertubi-tubi membuatnya nyaris kehabisan napas.Dia mengangkat wajah. Aroma kopi, roti bakar, dan hujan seolah menariknya masuk ke dalam kedai yang tampak sepi itu. Sebuah pelarian kecil sebelum dia memutuskan langkah besar berikutnya.Dan di sanalah dia.Zura.Duduk di pojok ruangan, mengenakan sweater abu-abu, tangan kanannya memegang buku catatan yang penuh coretan tinta. Kepalanya sedikit tertunduk, rambutnya dikuncir asal-asalan. Tapi wajahnya damai, seperti biasa. Dunia boleh gaduh, tapi Zura seperti tidak pernah terbawa gelombang.Zain ragu beberapa detik sebelum akhirnya menghampiri.“Kamu pengikut cuaca hujan juga, ya?”Zura meno
Suasana pagi ini seharusnya biasa saja. Tapi tidak bagi Zain. Kemarin, ia tak berhasil menemukan Zura.Belum lagi, ponselnya berdering berkali-kali sejak fajar, bersamaan dengan satu notifikasi berita berhasil membuatnya kehilangan selera makan: “Proyek reklamasi Juhar Group di pesisir Selatan ditolak! Nilai kerugian diperkirakan mencapai triliunan.” Tanpa pikir panjang, dia mengambil jas dan kunci mobil, lalu meluncur menuju kantor pusat Juhar Group. Tangannya mengepal di kemudi, kepalanya penuh asumsi. “Kenapa Papi nggak bilang? Kenapa baru tahu dari media?” Sampai di gedung Juhar, dia tak peduli pada resepsionis yang mencoba menahannya. “Maaf, Pak Zain, direksi sedang rapat tertutup!” “Tertutup kepala kamu,” gumam Zain. Dia melangkah cepat. Setiap langkahnya penuh desakan emosi. Tangannya mendorong pintu ruang rapat besar, membuat semua kepala di ruangan sontak menoleh. Papi Barra ada di sana, duduk di tengah deretan direksi. Wajahnya lelah, matanya merah. Tapi sorot mata
Ruang ballroom hotel bintang lima itu dipenuhi cahaya hangat dan denting gelas kristal. Ornamen megah bergaya klasik menghias langit-langit, sementara alunan musik live jazz mengisi udara dengan atmosfer elegan. Ulang tahun ke-75 Juhar Group benar-benar digelar besar-besaran. Zain datang mengenakan setelan abu gelap tanpa dasi, rapi tapi tidak terlalu resmi, seperti ingin menunjukkan bahwa dia hadir bukan sebagai pewaris keluarga Juhar, melainkan sebagai dirinya sendiri. Banyak mata meliriknya—beberapa dengan rasa ingin tahu, lainnya dengan penghakiman diam-diam. Dia menyusuri ruangan, menyapa beberapa orang yang dia kenal, lalu berhenti di dekat meja minuman. Sekilas matanya menangkap sosok Papi Barra yang sedang berbicara dengan seorang pria berkepala botak, jas mengkilap, dan senyum sinis. Zain mengenalnya: Adrian Yasa, pemilik PT Sentraco, kompetitor lama Juhar, yang pernah tersandung kasus tender proyek rumah sakit. Zain meneguk air putihnya. Entah kenapa firasatnya buruk. Be