"Ah... Kamu mah..."
Mendengar suara familiar, Zain membeku. Lewat celah pintu, dia dapat melihat Maretta—tunangannya—duduk di atas meja kerja. Bajunya setengah terbuka. Dan di hadapannya, seorang pria—Zain tahu betul siapa—Kepala Divisi Produksi, lelaki flamboyan yang dulu pernah dia curigai, tapi selalu ditepis Maretta dengan tawa kecil. Mereka terlalu tenggelam dalam kenikmatan untuk menyadari pintu tak sepenuhnya tertutup. Untuk menyadari tatapan lelaki yang hatinya remuk seketika. Zain menahan napas. Tapi tubuhnya menolak berpura-pura. Tangannya gemetar dan membuat kotak velvet itu terjatuh. Bros berinisial M itu meluncur ke lantai, menimbulkan bunyi kecil—namun cukup membuat Maretta menoleh. “Z-Zain?!” Bahkan, pria di hadapannya buru-buru menarik kembali resletingnya--membiarkan Maretta yang mencoba mengejar Zain. Langkah kaki Zain bergema di koridor lantai lima belas. Napasnya terengah, bukan karena lelah, tapi karena dadanya seperti ditekan batu besar. Suaranya tercekat, matanya buram oleh air yang enggan tumpah. Tangannya mengepal, menahan gemuruh amarah dan kecewa. “Zain!” suara Maretta terdengar dari belakang, tinggi, panik, pecah—membuat beberapa kepala muncul dari balik sekat kerja yang masih menyala. Beberapa karyawan yang lembur menoleh, bingung, lalu saling berbisik. “Zain, tolong dengar aku dulu—” Zain tak memperlambat langkah. Tapi Maretta berlari menyusul, menarik lengannya dari belakang, membuat tubuh Zain terhenti mendadak di dekat lift. “Apa lagi yang mau kamu jelaskan?” Zain berbisik, nyaris tak terdengar. Tapi nadanya cukup tajam untuk menusuk jantung siapa pun. “Itu bukan seperti yang kamu lihat—” Zain terkekeh sinis. Dia menatap Maretta, yang kini berurai air mata, dengan wajah setengah panik setengah tak percaya. "Oh? Jadi kamu cuma latihan buat malam pertama, gitu?" “Zain, aku khilaf. Aku salah. Tapi aku sayang kamu, aku tetap mau menikah dengan kamu.” Suara Maretta naik. Emosinya tumpah, tapi bukan penyesalan yang tulus, melainkan ketakutan kehilangan kenyamanan hidup yang telah dia bangun bersama Zain. Beberapa karyawan kini berdiri di lorong. Beberapa berusaha pura-pura sibuk dengan ponsel, tapi telinga mereka menangkap setiap kata yang keluar dari mulut Maretta. “Kamu sayang aku?” Zain tertawa pendek. Matanya merah. “Sayang kamu kayak gitu bentuknya? Di atas meja kerja, dengan pria lain? Di kantor tempat kamu digaji tiap bulan? Tempat aku selalu tunggu kamu pulang?” Maretta menggigit bibirnya, tubuhnya mulai gemetar. “Aku butuh perhatian, Zain. Kamu terlalu sibuk akhir-akhir ini.” “Aku sibuk karena aku menyiapkan masa depan untuk kita! Aku bahkan mau ajak kamu fitting baju pengantin hari ini!” Zain nyaris berteriak. Kotak velvet itu masih tergenggam di tangannya, remuk, basah oleh hujan dan keringat tangannya. Tangis Maretta pecah. Dia berlutut, di depan semua mata yang menyaksikan drama itu. “Aku mohon, Zain—jangan pergi. Aku mohon.” Tapi Zain hanya menatapnya kosong. Dia lalu berbalik dan menekan tombol lift. “Kamu nggak kehilangan aku, Maretta. Kamu kehilangan dirimu sendiri.” Ya, seharusnya mereka akan fitting baju pernikahan. Tapi, Maretta menghancurkan segalanya! Mengingat kejadian beberapa hari lalu, Zain memejamkan matanya. Bahkan, wajahnya yang biasa bersih kini dipenuhi bayang lelah, jenggot tipis tak tersentuh pisau cukur sejak tiga hari lalu. Tiga hari sejak berita ‘Tunangannya Terciduk’ menyebar seperti api di ilalang kering. Semua mata memandangnya seperti korban tragis. Bagaimana bisa CEO sepertinya diselingkuhi seperti itu? Dan Zain benci dikasihani! “Maaf, tempat ini sudah ada yang duduk?” Suara perempuan terdengar lembut namun tegas membuat Zain mendongak. Wajahnya lelah tapi cantik. Cantik yang tidak dibuat-buat. Mengingatkannya pada seseorang yang sayangnya tak pernah berhasil ditemukan. “Silakan,” ucap Zain pada akhirnya. Perempuan itu duduk, lalu tersenyum sopan. “Makasih. Lagi penuh semua. Padahal ini bukan jam makan siang.” Zain mengangguk sekali lagi. Dia tak berniat ngobrol. Tapi perempuan itu seolah tak peduli. “Aku Zura.” “Zain.” “Nama kita mirip ya.” Zain mengangkat alis. “Iya juga.” Untuk pertama kalinya, ada sedikit senyum tipis muncul di sudut bibirnya. Zura—yang hari ini memilih menggunakan nama tengahnya—sedang dalam misi kecilnya sendiri. Dia melarikan diri dari pesta perjodohan yang diatur orang tuanya. Dia masuk ke kafe ini hanya untuk menenangkan diri dan ‘kabur’ dari settingan orang kaya. Siapa sangka dia bertemu seorang pria asing yang tidak mengenalinya sebagai putri dari pengusaha properti terkenal? “Kamu sering ke sini?” tanya Zura ringan. “Baru pertama,” jawab Zain. “Tadinya pengen ke tukang kopi pinggir jalan, tapi hujan.” Zura tertawa pelan. Tawa yang jujur. “Lucu, aku juga.” Hening sejenak. Tapi hening yang tidak membuat risih. Zain mengamati jemari Zura yang melingkari cangkir cokelat panasnya. Ada luka kecil di ruas ibu jarinya. Tidak seperti tangan perempuan-perempuan yang biasanya ditemui. “Kamu lagi sembunyi juga, ya?” Zura bertanya tiba-tiba. Zain menatapnya. “Kok tahu?” “Insting. Soalnya aku juga.” Mereka tertawa. “Zura,” Zain mengulang nama itu. “Nama yang cantik.” Zura hanya tersenyum. Nama aslinya bukan Zura. Tapi hari ini, dia ingin jadi seseorang yang berbeda. Tak apa, kan?Ruang rapat tampak dingin, meski suhu ruangan pas. Bukan karena AC, tapi karena suasananya yang tegang. Beberapa staf dan manajer proyek duduk tegak, sebagian menghindari tatapan Zain yang berdiri di ujung meja.“Terima kasih sudah hadir,” suara Zain terdengar tenang tapi berlapis baja. “Kita langsung ke pokok masalah: proyek Altavira Tower. Audit internal menemukan sejumlah kejanggalan laporan keuangan dan progres kerja.”Semua menoleh ke layar. Zain menekan remote, menampilkan grafik perbandingan antara dana yang keluar dan kemajuan di lapangan. Ada gap besar—terlalu besar.“Saya ulangi pertanyaannya yang sudah saya kirim sejak kemarin,” lanjutnya. “Siapa yang menyetujui pembelian material tiga kali lipat harga pasaran?”Sunyi.Wajah Zain tak berubah. “Pak Roni?”Manajer lapangan, Pak Roni, menelan ludah. “Itu vendor pilihan divisi logistik, Pak Zain. Kami cuma eksekusi.”“Kalau begitu, kepala logistik mana?”
Kedai Kopi Tua di Sudut KotaPukul 18.45 WIBAroma kopi arabika dan kayu manis menyambut Zain ketika dia membuka pintu. Suasana kedai kecil itu hangat dan tenang, jauh dari hiruk-pikuk proyek dan tekanan keluarga. Di salah satu sudut dekat jendela, duduk seorang perempuan dengan rambut dikuncir rendah, menunduk menatap laptopnya.Zura.Zain berjalan mendekat, mengetuk meja pelan. “Sudah pesan?”Zura mengangkat kepala dan tersenyum kecil. “Sudah. Aku pesankan es kopi hitam buat kamu.”Zain duduk di seberangnya, meletakkan map kerja di kursi sebelah. “Kamu mulai hafal, ya?”“Kamu terlalu gampang ditebak, Zain.”Zain tertawa lirih. “Gitu ya?”Zura menutup laptopnya. “Tapi aku heran, kamu ngajak ketemu bukan di kantor atau site project. Aneh.”“Aku cuma—pengen ngobrol. Bukan sebagai project manager dan desain interior. Tapi sebagai Zain dan Zura.”Zura diam sejenak. Lalu mengangguk. “Baiklah. T
Altavira Tower – Proyek Juhar Group Langit Jakarta belum sepenuhnya cerah ketika Zain tiba di lokasi proyek Altavira Tower. Angin pagi membawa aroma semen basah dan suara bising alat berat yang sudah mulai bekerja. Helm proyek telah terpasang di kepalanya, rompi kuning mencolok membalut tubuh tegapnya. Niko, sang asisten, menyusul dengan map dokumen di tangan. “Mas Zain, ini dokumen deviasi anggaran bulan lalu. Ada dua vendor yang belum kasih laporan lengkap.” Zain menerima map itu tanpa berkata apa-apa, matanya menelusuri setiap sisi proyek megah yang pernah digadang-gadang sebagai “permata masa depan Juhar Group.” Tapi dibalik kemegahannya, ada rasa ganjil yang terus mengusik. “Yang aneh,” lanjut Niko, “Vendor interior sempat ganti subkontraktor tanpa pemberitahuan. Dan progres pekerjaan di lantai 12–15 sangat lambat dibanding lantai lainnya.” Zain mengangguk. “Aku mau lihat langsung ke atas. Siapkan safety harness, kita naik ke la
Di ruang rapat lantai dua gedung Juhar Group, Zain berdiri menghadap papan presentasi digital yang memuat jadwal proyek “Altavira Tower”, salah satu proyek prestisius perusahaan yang selama enam bulan terakhir justru berubah menjadi beban besar. Anggaran membengkak, kontraktor mundur, dan progres hanya berjalan tiga puluh persen. "Site engineer-nya mundur tiga minggu lalu. Project manager-nya malah cuti mendadak dan belum kembali," lapor Niko yang duduk di ujung meja, membuka catatan di tabletnya. “Dan—ada indikasi beberapa vendor fiktif yang disisipkan sejak awal tender.” Zain menarik napas pelan. “Berarti ada permainan kotor di dalam,” gumamnya, setengah pada dirinya sendiri. Semua kepala di ruangan diam. Beberapa menunduk, yang lain pura-pura sibuk melihat berkas. Zain mengalihkan pandangan. “Bu Retno, saya minta data lengkap semua transaksi keluar masuk untuk proyek Altavira sejak awal penandatanganan. Hari ini.” Wanita setengah
Debu tipis menari bersama angin siang di tengah lokasi proyek pembangunan gedung perkantoran di kawasan pusat kota. Suara dentuman palu, mesin bor, dan suara keras pekerja saling bersahutan membentuk harmoni khas dunia konstruksi. Zain berdiri di dekat papan denah proyek sambil menekuk lengan. Kemeja putihnya sudah ternoda sedikit debu, tapi tak mengurangi wibawa yang terpancar dari sikap tenangnya. Dia sedang berbincang dengan salah satu site manager ketika matanya terpaku pada sosok wanita di kejauhan. Gadis itu mengenakan helm putih dan rompi safety berwarna oranye terang. Rambutnya yang diikat rapi dan langkahnya yang penuh percaya diri begitu akrab. Dan ketika sosok itu menoleh— “Zura?” ucap Zain, nyaris tanpa sadar. Zura menoleh dan matanya sedikit membulat. “Zain? Kamu ngapain di sini?” “Aku yang harusnya tanya begitu,” jawab Zain sambil menghampiri. “Kamu ngapain di tengah-tengah proyek kayak gini?” Zura terse
Ruang rapat besar Juhar Group kembali terisi oleh ketegangan. Para petinggi duduk dalam barisan formal, namun wajah-wajah mereka tampak lebih cemas daripada biasanya. Koran-koran pagi membicarakan krisis arus kas di tubuh Juhar. Saham turun sedikit, tapi cukup untuk membuat kompetitor bersorak dalam diam. Zain berdiri di depan layar proyektor. Kali ini tanpa suara tinggi Papi Barra. Tanpa tekanan apapun—kecuali dari dalam dirinya sendiri. Semua mata tertuju padanya. “Saya tahu kepercayaan pada perusahaan ini sedikit terguncang,” suara Zain terdengar tenang. “Tapi ini bukan pertama kalinya kita menghadapi tantangan.” Dia melangkah pelan, menyisir pandangan ke seluruh ruangan. “Saya sudah meninjau ulang laporan dari divisi engineering, keuangan, dan legal. Dan satu hal yang paling mencolok adalah lemahnya komunikasi antar departemen selama enam bulan terakhir. Masalah kita bukan hanya soal dana, tapi soal koordinasi.” Tangan Zain menek
Zain berdiri di depan gerai kopi tua di sudut Jalan Cempaka, tangannya sibuk menutupi layar ponsel dari tetesan hujan gerimis. Hari ini benar-benar kacau. Setelah berhasil menyelamatkan wajah Juhar Group, pagi ini dia harus menelan pil pahit—perusahaan kecilnya hampir bangkrut. Investor utama mundur. Klien potensial juga menunda semua proyek. Pukulan bertubi-tubi membuatnya nyaris kehabisan napas.Dia mengangkat wajah. Aroma kopi, roti bakar, dan hujan seolah menariknya masuk ke dalam kedai yang tampak sepi itu. Sebuah pelarian kecil sebelum dia memutuskan langkah besar berikutnya.Dan di sanalah dia.Zura.Duduk di pojok ruangan, mengenakan sweater abu-abu, tangan kanannya memegang buku catatan yang penuh coretan tinta. Kepalanya sedikit tertunduk, rambutnya dikuncir asal-asalan. Tapi wajahnya damai, seperti biasa. Dunia boleh gaduh, tapi Zura seperti tidak pernah terbawa gelombang.Zain ragu beberapa detik sebelum akhirnya menghampiri.“Kamu pengikut cuaca hujan juga, ya?”Zura meno
Suasana pagi ini seharusnya biasa saja. Tapi tidak bagi Zain. Kemarin, ia tak berhasil menemukan Zura.Belum lagi, ponselnya berdering berkali-kali sejak fajar, bersamaan dengan satu notifikasi berita berhasil membuatnya kehilangan selera makan: “Proyek reklamasi Juhar Group di pesisir Selatan ditolak! Nilai kerugian diperkirakan mencapai triliunan.” Tanpa pikir panjang, dia mengambil jas dan kunci mobil, lalu meluncur menuju kantor pusat Juhar Group. Tangannya mengepal di kemudi, kepalanya penuh asumsi. “Kenapa Papi nggak bilang? Kenapa baru tahu dari media?” Sampai di gedung Juhar, dia tak peduli pada resepsionis yang mencoba menahannya. “Maaf, Pak Zain, direksi sedang rapat tertutup!” “Tertutup kepala kamu,” gumam Zain. Dia melangkah cepat. Setiap langkahnya penuh desakan emosi. Tangannya mendorong pintu ruang rapat besar, membuat semua kepala di ruangan sontak menoleh. Papi Barra ada di sana, duduk di tengah deretan direksi. Wajahnya lelah, matanya merah. Tapi sorot mata
Ruang ballroom hotel bintang lima itu dipenuhi cahaya hangat dan denting gelas kristal. Ornamen megah bergaya klasik menghias langit-langit, sementara alunan musik live jazz mengisi udara dengan atmosfer elegan. Ulang tahun ke-75 Juhar Group benar-benar digelar besar-besaran. Zain datang mengenakan setelan abu gelap tanpa dasi, rapi tapi tidak terlalu resmi, seperti ingin menunjukkan bahwa dia hadir bukan sebagai pewaris keluarga Juhar, melainkan sebagai dirinya sendiri. Banyak mata meliriknya—beberapa dengan rasa ingin tahu, lainnya dengan penghakiman diam-diam. Dia menyusuri ruangan, menyapa beberapa orang yang dia kenal, lalu berhenti di dekat meja minuman. Sekilas matanya menangkap sosok Papi Barra yang sedang berbicara dengan seorang pria berkepala botak, jas mengkilap, dan senyum sinis. Zain mengenalnya: Adrian Yasa, pemilik PT Sentraco, kompetitor lama Juhar, yang pernah tersandung kasus tender proyek rumah sakit. Zain meneguk air putihnya. Entah kenapa firasatnya buruk. Be