Waktu di kafe seolah berhenti berdetak. Zain dan Zura, seperti yang dia sebut dirinya hari ini—sudah tidak sekedar duduk bersama. Mereka larut dalam percakapan. Aneh, sebab tidak ada dari mereka yang biasanya mudah membuka diri. Tapi entah kenapa, dengan orang asing ini, keduanya merasa aman.
“Aku baru batal nikah,” kata Zain, enteng. Tapi Zura menangkap nada getir di ujung kalimatnya. Zura menoleh, alisnya naik. “Baru saja batal? Kayak—minggu ini?” Zain tertawa pendek. “Tiga hari lalu. Tunanganku selingkuh di ruang kerjanya.” Zura membeku sejenak. “Kamu lihat sendiri?” Zain mengangguk. “Aku datang bawa kabar kalau fitting baju pengantin dipercepat. Tapi ternyata, dia sudah fitting—emosi dengan pria lain. Di kantor.” Dia menyeringai hambar. “Klasik, ya?” Zura menelan ludah. Ada rasa bersalah tak berdasar. Dia belum bisa percaya pria di depannya bisa bercerita setenang ini tentang luka sedalam itu. “Maaf—” bisiknya pelan. Zain hanya mengangkat bahu. “Udah lewat. ” Zura mengaduk cokelat panasnya yang sudah tinggal separuh. Hening sejenak. Dia merasa harus memberi sesuatu. Seimbang. Maka dia pun berkata, “Aku juga kabur hari ini. Dari perjodohan.” Zain mengangkat alis. “Serius?” “Iya. Orang tuaku tipe yang berpikir hidup bisa diatur lewat agenda dan koneksi. Hari ini aku harus bertemu dengan calon suami pilihan mereka. Tapi aku kabur dan masuk ke sini.” Zain menatapnya, lalu tertawa kecil. “Jadi kamu memilih kabur alih-alih bertemu dengan calon masa depan?” Zura tersenyum, menunduk. “Hmmm, seperti yang kulakukan setiap kali perjodohan mulai diatur.” “Kamu keren dan juga sedikit gila,” ujar Zain. “Ya, ku akui—aku memang gila. Dan, aku akan melakukan kegilaan ini sampai orang tuaku berhenti menjodohkanku dengan anak dari rekan bisnisnya.” Mereka kembali terdiam, tapi kini heningnya penuh pemahaman. “Untuk dua orang asing yang rusak, tapi berusaha tetap waras.” Zain mendadak mengangkat cangkir kopinya. Zura pun ikut mengangkat cangkirnya. “Cheers.” Entah mengapa, pertemuan di kafe membuat Zain kembali memberanikan diri. Siang ini, pria itu telah mengutus orangnya untuk mengadakan konferensi media di Hotel Juhar. Tampak kilatan kamera dan bisik-bisik penasaran para jurnalis yang menunggu kejelasan gosip telah meledak sejak minggu lalu. Sekretaris pribadi keluarga Juhar, Pak Gunawan, yang telah mengabdi selama dua dekade, dan pengacara keluarga, Ibu Saskia Rieka tampak begitu serius. “Terima kasih kepada rekan-rekan media yang telah hadir. Kami akan menyampaikan satu pernyataan resmi dari keluarga besar Juhar terkait pemberitaan yang telah ramai sejak minggu lalu,” ucap Pak Gunawan dengan suara tenang namun tegas. “Dengan berat hati, kami menyampaikan bahwa acara pernikahan antara Bapak Zain Virendra Juhar dan Ibu Maretta Avila tidak akan dilangsungkan sebagaimana yang telah direncanakan.” Seperti ledakan kecil, suasana ruangan menjadi riuh. Beberapa jurnalis langsung menyalakan perekam suara mereka, tangan-tangan terangkat mengajukan pertanyaan. Namun Pak Gunawan menengadahkan tangan, meminta waktu untuk menyelesaikan pernyataan. Ibu Saskia kemudian melanjutkan, suaranya mengandung kejelasan hukum dan keterusterangan yang tak bisa ditawar. “Alasan dari keputusan ini telah melalui pertimbangan panjang dan menyangkut masalah pribadi yang sangat sensitif. Namun, karena isu ini telah tersebar ke publik dan banyak pemberitaan yang tidak akurat, kami merasa perlu memberikan klarifikasi agar tidak menimbulkan spekulasi yang lebih liar.” Dia menarik napas, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih tegas. “Kami mengonfirmasi bahwa keputusan pembatalan pernikahan ini terjadi akibat pelanggaran moral dan komitmen dari pihak Ibu Maretta Avila. Dalam beberapa minggu terakhir, kami memiliki bukti kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan perselingkuhan, yang bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung oleh keluarga Juhar.” Seketika ruangan menjadi hening. Bahkan kamera yang sebelumnya berisik kini bergerak lebih hati-hati, menyadari beratnya pernyataan tersebut. Beberapa jurnalis terlihat kaget, ada yang segera menuliskan tajuk berita, sementara yang lain masih tak percaya akan keberanian keluarga Juhar membuka aib sebesar itu. “Bukti-bukti yang kami miliki melibatkan rekaman visual dan saksi dari pihak ketiga yang menyaksikan kejadian tersebut secara langsung. Kami tidak akan menyebarkan detail lebih lanjut karena ingin menjaga martabat semua pihak yang terlibat, namun keluarga Juhar menyatakan bahwa keputusan ini tidak akan diubah.” Pak Gunawan menimpali dengan nada tenang namun menyiratkan kekecewaan yang dalam. “Bapak Zain Virendra Juhar dalam hal ini memilih untuk tidak memberikan komentar langsung, namun beliau sepenuhnya mendukung keputusan ini dan akan fokus pada pemulihan pribadi serta tanggung jawab profesionalnya.” Satu demi satu jurnalis mulai mengajukan pertanyaan, memohon konfirmasi apakah benar Maretta kedapatan berselingkuh dengan salah satu rekan bisnis Zain, apakah benar bahwa pernikahan mereka selama ini hanya bagian dari strategi merger dua perusahaan. Namun semua itu hanya dijawab dengan kalimat yang sama, “Kami tidak akan menjawab spekulasi yang tidak berdasar.” Yang jelas, satu dunia kini tahu: pernikahan megah yang digadang-gadang sebagai ‘wedding of the year’ hanya tinggal kenangan pahit. Zain mengamati konferensi itu dari TV dan mematikannya. Pikirannya mengembara dan entah mengapa Zain justru teringat akan sesuatu yang telah lama terkubur. Ucapan dari seseorang di masa lalu. Seseorang yang begitu dekat, namun kini namanya bahkan enggan disebutnya dalam batin. Saat itu mereka masih remaja, duduk di bawah pohon besar di halaman belakang sekolah. "Suatu hari nanti, kamu akan tahu rasanya dikhianati oleh orang yang kamu percaya. Saat kamu mencintai seseorang sepenuh hati—dia akan menusukmu dari belakang." Zain tidak pernah mempercayai takhayul. Dia dibesarkan dalam keluarga yang logis dan rasional. Tapi sekarang—setelah Maretta dan pengkhianatan yang begitu telanjang—dia bertanya-tanya. Apakah kutukan itu benar-benar bekerja? “Omong kosong,” gumamnya. Zain menghela napas panjang. Tapi kemudian, wajah gadis dari masa lalu terlintas. Memberanikan diri, Zain membuka ponselnya. Dia menulis pesan singkat pada gadis itu. “Hai, lama tak bertemu. Hampir 5 tahun. Kamu apa kabar? Terakhir bertemu aku membuatmu menangis. Apakah kita bisa bertemu?”Acara resepsi pernikahan Zura dan Zain digelar mewah dan meriah. Ratusan tamu undangan telah memenuhi ballroom ketika pasangan pengantin baru itu bersiap turun.Keduanya kini sedang berada di dalam lift— sebentar lagi akan membuat para tamu terpukau. Sayangnya, pengantin pria tumbang. Gara-gara setiap hari lembur di kantor. Alasannya ingin menyelesaikan pekerjaan agar bisa honeymoon dengan tenang. Zain masih terlihat pucat namun panasnya sudah turun. Meski masih demam tapi suhu tubuhnya tidak tinggi seperti tadi sore. Saat lift terbuka, keduanya telah ditunggu oleh Zivanya dan diarahkan menuju ke ballroom."Kamu yakin kuat?" bisik Zura sambil menggenggam tangan suaminya yang masih terasa hangat.Zain mengangguk pelan, senyum tipis mengembang di bibirnya. "Untuk kamu, aku pasti kuat."Zivanya segera mengecek penampilan keduanya sekali lagi. Make-up artist dengan cekatan memperbaiki riasan Zain yang sedikit luntur karena keringat demam. Sementara itu, Zura tetap terlihat sempurna dala
Akad nikah digelar di gedung yang sama tempat dilangsungkannya akad nikah. Dimulai pukul 7 malam— dan sekarang baru pukul 5 sore. Masih ada waktu dua jam untuk mempelai pengantin mempersiapkan diri.Namun, tiba-tiba saja Zain mengeluh sakit kepala. Suhu tubuhnya pun tinggi. Dia demam dan membuat istrinya khawatir. Lantas, Zura pun menghubungi Mami Narumi. Dia datang untuk memeriksa keadaan putranya. Meski tak bekerja lagi di rumah sakit— tetap saja dia seorang dokter. Hasil pemeriksaannya— Zain sepertinya terkena tipes. Baru gejala dan sebaiknya langsung dibawa ke rumah sakit. “Tapi, Mi— sebentar lagi acara resepsi dimulai. Bagaimana bisa pengantinnya tak hadir?” debat Zain untuk yang kesekian kalinya. Mami Narumi mendesah kesal. Putranya memang benar— tapi, kondisinya bisa semakin parah jika memaksa menyalami ribuan tamu undangan. “Atau gini aja,” ujar Zura sambil menggenggam erat tangan sang suami. “Kita keluar sebentar ke ballroom, acara inti minta dipercepat dan setelah itu k
Cahaya chandelier kristal menerangi ruangan mewah yang dihiasi dengan rangkaian bunga putih dan emas. Aroma melati dan mawar berpadu dengan wangi dupa yang dibakar khusus untuk upacara sakral ini. Tamu undangan duduk rapi dalam balutan pakaian adat yang elegan—para pria dengan beskap atau jas tradisional, sedangkan para wanita cantik dalam kebaya dengan warna-warna lembut.Di sebelah kanan, keluarga besar Juhar duduk dengan wajah bangga dan haru. Mami Narumi mengenakan kebaya biru navy dengan bordir emas, sesekali mengusap mata yang berkaca-kaca. Di sampingnya, Papi Barra tampak gagah dalam beskap coklat, dadanya membusung penuh kebanggaan melihat putra sulungnya.Di sebelah kiri, keluarga Zura hadir lengkap. Amma Gista duduk di barisan terdepan dengan kebaya cream yang anggun, mata beliau tak lepas dari putrinya. Ayah Ravi dalam balutan jas tradisional hitam, sesekali tersenyum sambil mengangguk pada para tamu yang menyapanya. Dia sengaja menyusup pada barisan keluarga Zura untuk me
H-1: Kediaman JuharPagi yang SibukRumah keluarga Juhar dipenuhi barang-barang seserahan. Kotak-kotak berisi perhiasan, tas, dan perlengkapan seserahan lainnya memenuhi ruang tamu. Mami Narumi berlalu-lalang dengan checklist di tangannya, memastikan tidak ada yang terlewat."Zivanya, kenapa tasnya cuman satu?" tanya Mami sambil mencentang item di listnya.“Nanti siang diantar sama tokonya, Mi. Karena tas pilihan Mami limited edition jadi agak lama datangnya," jawab Zivanya sambil sibuk mengatur letak bunga hias yang kurang simetris.Di sudut ruangan, Papi Barra sedang sibuk membalas ucapan selamat dari kolega bisnisnya. "Perasaan Zain yang menikah dan masih besok. Kenapa ucapan sudah berdatangan. Terlebih Papi yang diteror ratusan pesan?""Zain mana mau balas pesan selain dari Zura," Mami tersenyum. "Ingat, besok Papi akan lebih sibuk lagi.""Astaga, pesan-pesan ini saja belum semua aku balas."Sementara di kam
Papi Barra duduk di kursi kerjanya, menatap layar ponsel dengan ragu. Nomor telepon Appa Gio sudah disimpan sejak lama, tapi baru kali ini dia akan menghubunginya setelah sekian lama tidak berkomunikasi."Demi Zura," gumamnya sambil menekan tombol panggil.Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara familiar menjawab dari seberang sana."Halo?""Gio, ini Barra. Barra Juhar."Hening sejenak. "Oh, Barra. Sudah lama sekali. Ada apa?"Papi Barra menarik napas dalam. "Gio, aku menelepon ingin membicarakan soal Zura. Putrimu, dia akan menikah minggu depan.""Menikah?" Suara Appa Gio terdengar terkejut. "Dengan siapa?""Dengan putraku, Zain. Mereka sudah bertunangan. Dan, kami membutuhkan kamu sebagai wali nikahnya."Hening lagi. Kali ini lebih lama."Gio, kamu masih di sana?""Iya, aku masih di sini. Tapi Barra, aku tidak bisa.""Tidak bisa kenapa?""Aku ada
Hari kelima pingitan, dan Zain sudah sampai di level desperasi yang mengkhawatirkan. Dia terbangun dengan mata bengkak—efek dari empat hari menangis sambil memeluk boneka Teddy—tapi kali ini ada kilat aneh di matanya."Aku harus ketemu Zura hari ini," gumamnya sambil membuka lemari. "Aku nggak sanggup lagi."Zain mengeluarkan kaos polo orange dan topi baseball. Dia juga mengambil tas delivery yang diberikan oleh Niko—atas permintaannya kemarin, lengkap dengan stiker aplikasi ojek online palsu yang dia buat sendiri."Perfect," dia menatap pantulan dirinya di cermin. "Siapa yang bakal curiga sama kurir makanan pesan antar?"Di dapur, Zain mengambil beberapa box makanan kosong dan memasukkan foto mereka berdua ke dalam salah satu box."Zain, mau kemana pagi-pagi begini?" Mami Narumi muncul sambil menyiapkan sarapan."Aku mau nganterin makanan ke teman, Mi."Mami Narumi melirik kostum anaknya dari atas sampai bawah. "Teman y