Udara pagi ini terasa berbeda. Tidak terlalu dingin, tapi cukup menenangkan. Langit berwarna biru pucat, dan cahaya matahari menyusup perlahan melalui jendela ruang tengah rumah kecil milik Zura.
Untuk pertama kalinya setelah berminggu-minggu, Zura duduk di kursi rodanya tanpa bantuan siapa pun. Tangannya menggenggam roda, mendorong perlahan menuju halaman depan. Ada semacam kelegaan kecil saat dia bisa menghirup udara luar tanpa rasa takut jatuh atau sakit menusuk tulang.Bibi Sarti mengintip dari dapur, menyeka air mata diam-diam. “Alhamdulillah—”Zura memang belum sepenuhnya pulih, tapi pagi itu, dia memutuskan untuk tak lagi hanya menunggu sembuh. Dia ingin berjuang—untuk dirinya sendiri.Di pangkuannya, ada sebuah jurnal kosong. Hadiah dari Zain beberapa hari lalu, yang sempat hanya dia letakkan di meja tanpa disentuh. Tapi pagi ini, dia membukanya. Dan mulai menulis."Aku bukan Aletta yang dulu. Tapi aku juga bukan Zura yang tak menLangit Bandung tak pernah setabah malam-malam yang dilalui Zain akhir-akhir ini. Udara dingin yang menggigit tulang seakan tak seberapa dibanding dinginnya ancaman yang perlahan menyusup ke sela-sela hidupnya. Namun malam ini, ketegasan terpancar dari matanya—tanpa goyah, tanpa ragu.Villa itu berdiri seperti bayangan masa lalu yang enggan hilang dari ingatan. Bangunannya besar namun terasing, dikelilingi pagar besi hitam dan pepohonan pinus yang menjulang rapat. Nyaris tak terlihat dari jalan utama, nyaris tak terdeteksi, persis seperti perempuan yang tinggal di dalamnya—Karina Valenza.Mobil hitam yang dikendarai Niko berhenti beberapa meter sebelum gerbang utama villa. Mereka memilih tidak menampakkan diri secara terang-terangan.“Kita di sini,” ujar Niko, suaranya rendah namun tegas.Zain menatap ke luar jendela mobil. Pandangannya tajam, bukan karena amarah, tapi karena hasrat menyelesaikan semuanya tanpa meninggalkan serpihan.“Aku
Zura baru saja menyelesaikan sesi fisioterapinya di ruang keluarga. Nafasnya sedikit tersengal, meski gerakannya sudah jauh lebih stabil dibanding beberapa minggu lalu. Dia duduk bersandar di sofa panjang, menyeka peluh tipis di pelipisnya dengan handuk kecil yang disodorkan oleh Mami Narumi.“Pelan-pelan, Sayang. Jangan dipaksa. Kaki kamu memang sudah membaik, tapi belum kuat untuk latihan terlalu keras,” ujar Mami Narumi lembut sambil memijat ringan betis Zura.Zura mengangguk. “Aku cuma takut makin kaku kalau kelamaan nggak dilatih.”“Bukan begitu caranya,” Mami mendesah kecil, lalu tersenyum. “Biar pun kamu kepala batu, tetap harus dengerin omongan fisioterapis.”Zura terkekeh lemah. Tapi ada satu hal yang mengganggu pikirannya sejak bangun pagi tadi—dan rasanya makin membuncah usai sesi latihan ini. Biasanya, jam segini Zain sudah duduk di sebelahnya, menyuapi sarapan dengan gaya manja yang menyebalkan tapi manis. Tapi hari ini, sofa itu koso
“Minggu depan ada jadwal kontrol lagi?” tanya Zain sembari merapikan sabuk pengaman Zura yang duduk di sebelahnya.Zura mengangguk pelan. “Iya. Tapi cuma cek luka dan ganti perban. Kata suster, kondisiku sudah membaik.”Zain mengangguk tanpa berkata-kata. Tangannya memutar setir perlahan, membawa mobil keluar dari area parkir rumah sakit menuju jalan besar. Senja sudah turun sepenuhnya, menyisakan langit gelap yang mulai dipenuhi lampu-lampu kota. Jakarta, seperti biasa, tetap hidup bahkan setelah hari berganti malam.“Aku pengen ngajak kamu ke beberapa tempat,” ucap Zain akhirnya.Zura menoleh. “Tempat apa?”“Tempat yang punya kenangan. Kita butuh itu sekarang.”Zura tidak bertanya lagi. Dia tahu betul gaya bicara Zain—tak selalu panjang, tapi selalu penuh arti. Diamnya pun bicara. Jadi dia hanya duduk tenang, membiarkan mobil melaju di antara padatnya lalu lintas ibukota.Tujuan pertama mereka: sebuah kedai mie kecil d
Senja mulai merambat perlahan ke langit Jakarta, mewarnai jendela rumah sakit dengan semburat jingga keemasan. Lorong-lorong sepi bergema oleh langkah kaki para perawat dan suara lirih mesin medis yang tak pernah berhenti. Di depan ruang ICU, dua pria muda berdiri sejenak menatap ke dalam, memastikan tak ada yang janggal.Beberapa menit lalu, tiga pria berbadan tegap—anak buah kepercayaan Zain—telah berdiri di titik-titik tak mencolok. Satu menyamar sebagai petugas kebersihan, satu lagi duduk tenang di ruang tunggu dengan surat kabar terbuka, dan satu sisanya menyamar sebagai pengunjung biasa yang mondar-mandir dengan ransel kamera. Mereka tidak mencolok, tapi siaga sepenuhnya.Zain mengangguk pelan setelah memastikan semuanya sesuai rencana, lalu menepuk bahu Bagas pelan. “Ayo ke bawah sebentar. Aku butuh kopi.”Bagas mengangguk. “Kita juga butuh waktu untuk menyusun strategi selanjutnya.”Keduanya berjalan menuruni tangga darurat menuju kantin rumah sakit yang sederhana namun bersih
Langit siang di Jakarta tak terlalu terik, namun udara di ruang kerja Papi Barra terasa lebih menekan dari biasanya. Di balik meja besar berlapis kayu mahoni tua, pria paruh baya itu duduk dengan wajah penuh pertimbangan. Tangannya yang biasa tenang kini mengepal pelan di atas meja, setelah mendengar laporan dari Zain yang berdiri di hadapannya.Zain meletakkan secarik kertas di atas meja. Surat tanpa nama, tulisan tangan yang rapi namun berisi ancaman yang tajam, dingin, dan memuakkan.“Ini ditemukan pagi tadi, terselip di pagar rumah. Kalimatnya sederhana, tapi cukup untuk membuat Zura gelisah sepanjang pagi. Ditambah, semalam juga masuk pesan serupa ke ponselnya,” jelas Zain, suaranya rendah namun tegas.Papi Barra menatap tulisan itu lama, matanya menyipit seolah ingin mengurai siapa pemilik jemari yang berani mengganggu ketenangan calon menantunya. Wajahnya berubah keras, tapi juga mengandung luka. Luka seorang ayah yang tak mampu sepenuhnya melindungi anaknya.“Sepertinya Andria
Pagi ini, matahari belum tinggi. Udara masih sejuk, menyisakan embun yang menggantung di ujung dedaunan. Dari balik jendela kamarnya, Zura hanya memandang langit yang perlahan berganti warna. Biasanya, pagi seperti ini dia habiskan dengan duduk termenung, tapi hari ini berbeda.Zain berdiri di ambang pintu kamarnya, membawa sesuatu yang bahkan lebih hangat dari secangkir teh—senyuman dan keyakinan."Yuk, keluar sebentar," ajaknya pelan.Zura menoleh, menatap pria itu dengan keraguan yang tak bisa disembunyikan. “Keluar rumah?”Zain Mengangguk. “Hanya keliling komplek. Kita beli bubur ayam yang biasa mangkat di depan komplek. Nggak jauh, janji.”Zura menggigit bibir bawahnya. Dia menunduk menatap kursi rodanya, seakan benda itu adalah batas tak kasat mata yang memisahkan dirinya dari dunia luar.“Aku belum siap,” gumamnya.Zain menghampiri, jongkok di hadapannya. “Aku tahu. Tapi kamu nggak sendiri. Aku di sini, temenin ka