Share

Berseteru

Author: Julli Nobasa
last update Last Updated: 2022-12-20 16:16:59

Siapa pun tolong jelaskan padaku, apa batasan ramah terhadap seseorang? Apakah membalas senyum dan menerima ajakan menonton bisa dikatakan genit? Bukankah genit adalah ketika kita sengaja mencari perhatian dari orang lain dan berusaha menggodanya? 

Bang Ayas adalah makhluk paling aneh yang aku temui sepanjang hidup dua puluh dua tahun di dunia ini. Baru bertemu dua kali, dia sudah berani ikut campur dan seolah menjadi orang yang paling tahu tentang aku. 

"Jangan ge-er," ucap Bang Ayas. "Saya tidak cemburu."

Dih. Siapa juga yang ge-er! Kalaupun dia cemburu, bukankah sangat aneh? Ingat, kami baru kenal. Ya, walaupun namanya sudah tidak asing lagi bagiku, tapi tetap saja dia adalah alien yang tidak seharusnya muncul ke kehidupanku. 

"Saya nggak mau Acha terkontaminasi kegenitan kamu."

Sumpah. Menyumpal mulut om-om dosa nggak, sih? 

Asal tahu saja, Acha jauh lebih ekspresif dan antusias jika berinteraksi dengan lawan jenis. Sifatnya yang supel membuat dia mudah bergaul dan memiliki banyak teman. 

Oh, iya. Mana mungkin Bang Ayas tahu. Di depan dia kan Acha menjelma menjadi adik baik yang penurut. Bahkan gadis itu menyembunyikan statusnya yang sekarang sudah tidak jomblo. Iya, Acha punya pacar anak kedokteran! Kalau Bang Ayas tahu, aku yakin tanduknya akan ke luar dan kedua telinganya menyemburkan api. 

"Kamu dengar saya ngomong?"

Aku mendengkus, lalu menoleh ke bangku kemudi. "Dengar, Om," jawabku tanpa minat. 

Detik itu juga Bang Ayas menoleh ke belakang. "Om?" 

Kening lelaki itu berkerut dalam, seperti tidak terima dipanggil om olehku. 

"Kan nggak mau dipanggil abang."

"Saya juga bukan om kamu." Bang Ayas kembali menghadap sepenuhnya ke depan, tapi kemudian melirikku dari kaca spion tengah. 

Serius, ya, berdekatan dengan makhluk bernama Ayas membuat aku seperti sedang uji kesabaran. Jangankan menanggapi ucapannya, hanya dengan mendengar debas napasnya saja aku sudah muak. 

Aku mengembuskan napas pelan, lalu bertanya dengan suara selembut mungkin. "Terus, saya harus manggil apa?"

Aku juga tidak lupa untuk menyunggingkan senyum paling manis agar dia lekas terkena diabetes. 

Bukannya menjawab dan memberi tahu panggilan apa yang ingin didengar dariku, Bang Ayas justru menoleh lagi. Dia diam sejenak sembari menatapku lekat-lekat. 

"Kamu ngeledek saya?"

Persetan dengan senyum semanis gulali. Kalau punya kantong ajaib Doraemon, sudah barang tentu kujejalkan bratawali ke mulut Bang Ayas. Biar dia sadar kalau mukanya sama pahitnya dengan tanaman obat tradisional itu. 

"Ngeledek apaan, sih?" 

"Itu barusan kamu senyum-senyum. Kamu sengaja ngeledek saya, kan?"

"Ih bodo amat sumpah, bodo amat!" teriakku sembari memukul kursi bagian depan. Stok sabarku benar-benar habis. Terserah dia mau menyimpulkan apa, aku tidak peduli! 

Aku sering berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, tapi tidak ada yang semenjengkelkan ini. Kalau diberi pilihan, aku lebih baik menghadapi kakek-kakek pikun ketimbang bujang lapuk yang tampangnya seperti talenan. 

"Cewek galak itu—"

Sekali lagi, aku memukul bagian belakang dari jok depan sehingga membuat dia berhenti bicara. 

"Dengar ya, Bapak Ayas. Kalau Anda belum move on dari kuyang, lebih baik Bapak pulang ke Kalimantan!"

Setelah mengatakan itu, aku membuka pintu, lalu turun dan membanting pintu sekencang-kencangnya. Semoga manusia yang masih tertinggal di dalam mobil langsung terguncang dan jantungan. 

"Lho, Va. Mau ke mana?" Dari arah pintu minimarket, Acha berlari kecil menghampiriku yang sudah berada di pinggir jalan. 

"Sorry, Cha. Aku duluan, ya!" seruku sembari masuk ke sebuah angkutan umum yang berhasil kuberhentikan.

***

Seharusnya Acha mengambil jurusan jurnalistik, bukan ekonomi bisnis seperti yang selama ini dipelajari. Pasalnya, Acha menjelma menjadi wartawan jika rasa penasarannya belum terpuaskan. 

Walaupun kemarin sore aku sudah mengirim pesan bahwa aku pulang lebih dulu karena ada hal yang mendesak, tapi Acha tetap mencecarku dari akar sampai pucuk. Aku sampai kehabisan kata-kata untuk mengelabuinya. Bukannya tidak mau jujur, aku hanya menghargai Acha yang notabene adalah adik Bang Ayas. Dia pasti jadi serba salah jika mengetahui aku dan kakak sulungnya itu berseteru. 

"Kamu nggak suka sama Bang Ayas?"

"Enggak gitu, Cha." Aku membuka bungkus permen,  lalu menyuapkan isinya ke mulut. "Aku cuma kurang nyaman aja."

Pada akhirnya aku berterus terang meski tidak secara gamblang. Aku hanya ingin menghindari pertemuan dengan Bang Ayas. Ini demi kesehatan mentalku yang selalu terguncang setiap kali bersinggungan dengannya. 

Oke. Ini terkesan lebay. Tapi, siapa sih yang mau bersitegang dengan orang kolot seperti Bang Ayas? Aku yakin tidak ada! 

Dengan kedua mata yang memicing, Acha menatapku penuh rasa curiga. "Jangan bilang kalo Bang Ayas melecehkan kamu."

"Enggak!" Aku menjawab cepat-cepat sebelum praduga Acha semakin liar. Walaupun menyebalkan, tapi sepertinya Bang Ayas bukan tipe lelaki mesum yang suka memanfaatkan keadaan. 

"Terus?" Acha masih belum puas. 

"Kami nggak cocok aja," ucapku dengan hati-hati. Kemudian, aku meralat, "Aku segan karena Bang Ayas lebih tua."

Lebih tepatnya cara berpikirnya yang terlalu kuno. Tapi,  tentu saja aku tidak mengatakan hal itu. Bisa-bisa Acha tersinggung dan persahabatan yang sudah kami jalin bertahun-tahun jadi rusak. 

Acha manggut-manggut. Semoga saja paham dengan maksudku. Jadi, kalau suatu hari nanti dijemput Bang Ayas, Acha tidak akan memaksa aku untuk turut serta dengannya. 

"Tapi, kalo Bang Ayas ngapa-ngapain kamu, langsung bilang ke aku ya, Va."

Aku mengacungkan jempol sebelum akhirnya meninggalkan Acha di kantin. Aku harus pergi untuk menepati janji menonton film dengan Galih. Sementara Acha sendiri sedang menunggu pacarnya. 

Karena gedung fakultas teknik dan fakultas ekonomi lumayan jauh, kemarin aku dan Galih janjian untuk bertemu di taman dekat auditorium. Selain strategis, tempat ini lumayan nyaman untuk menunggu sembari membaca buku. 

Aku sudah terlambat lima menit dari waktu yang kemarin dijanjikan. Tak ingin membuat Galih menunggu terlalu lama, aku berjalan tergesa-gesa. Namun, begitu sampai di taman, aku sama sekali tidak menemukan sosok Galih. 

Mungkin dia belum keluar kelas. Jadi, aku memutuskan untuk duduk di sebuah gazebo sembari membaca buku hingga tanpa sadar setengah jam telah berlalu, tapi Galih tak kunjung datang. 

Aku tidak pernah berkomunikasi secara intensif dengan Galih. Kami hanya sesekali berbalas pesan di I*******m. Bahkan untuk acara nonton siang ini pun terjadi karena ajakan kemarin. Semalam, dia sama sekali tidak menghubungiku.

Aku yang terlalu gengsi untuk menghubungi laki-laki terlebih dahulu memutuskan untuk tetap menunggu. Begitu satu jam penuh waktuku terbuang sia-sia, aku menurunkan ego demi sebuah kepastian. Aku membuka ponsel dan mencari akun I*******m Galih, tapi … tidak ketemu! Rupanya aku telah diblokir oleh pemuda itu.

Benar-benar keterlaluan! Berarti anak teknik tukang PHP memang bukan rumor belaka! 

Tanpa pikir panjang aku meninggalkan taman dan bergegas pulang. Kalau Acha sampai tahu, pasti aku akan ditertawakan habis-habisan. Seorang Resva Tsabila akhirnya di-PHP anak teknik! Sialan memang! 

Aku berjalan cepat sembari memesan ojek online. Karena tidak fokus melihat jalan, aku sampai menabrak seseorang. 

"Maaf—" Aku mendongak dan seketika terkesiap. Orang yang kutabrak adalah Galih! 

Galih tampak sama terkejutnya denganku. Tapi, pemuda itu seperti sadar akan sesuatu dan segera mengambil langkah seribu. 

"Gal!"

Galih justru mempercepat langkahnya, seolah-olah ingin segera lenyap dari hadapanku. Walaupun sekilas, tapi aku bisa menangkap bahwa sorot matanya menyiratkan ketakutan yang mendalam. 

Aku masih berdiri sembari berpikir keras. Apa aku sangat menyeramkan sampai Galih ketakutan? Atau … dia tidak mau bertemu denganku karena wajahnya lebam-lebam? 

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
Reni
Jangan bilang perbuatan bang Ayas
goodnovel comment avatar
Kikiw
wajah lebam? wah si om main kasar nih
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kutukan Perjaka Tua   Kutukan, Burger Diskonan, dan Kuasa Tuhan

    Secara medis, Bang Ayas mengalami sindrom couvade atau sering disebut kehamilan simpatik. Sejak pertama aku hamil, bahkan sebelum kami mengeceknya ke dokter, Bang Ayas lebih dulu menunjukkan gejala-gejala aneh seperti morning sickness, perubahan selera makan, dan ngidam. Iya. Bang Ayas ngidam. Sering kali malam-malam, saat tengah tertidur, dia terbangun karena ingin makan sesuatu. Alhasil, aku ikut terjaga dan menemaninya makan. Pernah suatu ketika, saat kami harus ke Bali untuk mengurus distro miliknya, tengah malam dia minta garang asem buatan Ibu. Sumpah sih, ngidamnya itu tidak melihat tempat! Aku yang hamil malah anteng-anteng saja. Tidak ada keluhan berarti yang aku derita. Pun tidak ada makanan tertentu yang membuat aku bad mood jika belum keturutan. Demi ngidamnya terpenuhi, keesokan harinya kami langsung bertolak ke Jakarta, sementara Ibu pun terbang dari Semarang. Beruntungnya ngidamnya itu tergolong awet, tidak musnah setelah makanannya tersedia. Jadi setelah dimasakkan

  • Kutukan Perjaka Tua   Ayam Pop Versus Nasi Goreng Udang

    Maldives. Jangankan menginjakkan kaki di sana, bermimpi untuk berlibur ke salah satu negara terkecil di Asia itu saja aku tidak pernah berani karena kemampuanku masih sebatas beli cilok yang keliling komplek. Itu dulu. Sebelum menikah dengan Bang Ayas. Sekarang, setelah menggelar resepsi di Jakarta, tiba-tiba Bang Ayas menunjukkan tiket honeymoon ke Maldives! Entah, aku harus koprol, guling-guling, atau jingkrak-jingkrak. Yang jelas … rasa lelah setelah menjalani semua proses panjang pernikahan telah terbayar tuntas begitu aku sampai di negara yang memiliki nama resmi Republik Maladewa. Tadinya, aku sempat tidak percaya Bang Ayas akan mengajak aku bulan madu ke tempat sebagus ini, mengingat dia adalah pria kaku yang sama sekali tidak romantis. Saking tidak percayanya, aku sampai meminta bantuan Acha dan Mama Fatma—begitu sekarang aku memanggilnya—untuk mengecek tiket. Aku takut ternyata diprank Bang Ayas. "Aku nggak sejahat itu, Yang," kata Bang Ayas begitu mengetahui aku meraguka

  • Kutukan Perjaka Tua   Seperti yang Kalian Inginkan

    Nikah? Serius? Jujur, sampai detik ini aku terkadang masih merasa kalau semua ini hanya mimpi. Sebelumnya, awal-awal diakui sebagai calon istri Bang Ayas pun aku belum kepikiran akan menikah di usia kurang dari dua puluh lima tahun. Ini kayak … kecepetan, tapi ditunda juga sayang. Bukan. Bukannya aku plin plan atau ragu dengan keputusan menerima Bang Ayas sebagai suami. Tapi, aku hanya berpikir, kok bisa ya, Tuhan memberikan aku jodoh seperti Bang Ayas yang ternyata sudah menyimpan perasaan selama tiga tahun. Ingat tiga tahun! Itu kalau kredit mobil juga pasti sudah lunas! Bayangkan. Selama tiga tahun itu, saat aku enak-enak tidur ternyata Bang Ayas sedang berdoa minta dijodohkan denganku. Saat aku sedang asyik haha hihi mengagumi cowok lain, ternyata Bang Ayas sedang stalking akunku. Kalau dibayangkan, kok jalur langit itu agak-agak ngeri, ya. Aku berpikir kalau Bang Ayas memiliki kepercayaan diri tingkat dewa. Bisa-bisanya selama tiga tahun itu dia diam anteng, giliran pulang d

  • Kutukan Perjaka Tua   Satu Langkah Lagi

    Setelah sekian bulan mengerjakan tugas akhir dan mengikuti sidang, hari ini akhirnya Resva mengambil hasil kelulusan. Selama menunggu, jantungku tidak hentinya bertalu. Aku mondar-mandir di parkiran, masuk ke mobil, lalu berujung ke toilet. Ini lebih mendebarkan dari apa pun. Padahal sebenarnya aku percaya, Resva telah memenuhi serangkaian persyaratan sehingga seharusnya dinyatakan lulus. Sebenarnya, kalaupun dia belum dinyatakan lulus pada hari ini, aku tidak perlu risau. Seharusnya. Namun, entah mengapa bagiku justru sebagai penentuan hidup dan mati. Resva lulus, berarti kami langsung menentukan tanggal pernikahan. Seandainya belum, berarti aku diwajibkan memperbanyak stok sabar. Berat. Menunggu hitungan bulan terasa lebih berat daripada tiga tahun memendam perasaan.Tawaran Resva waktu itu dengan sangat terpaksa aku tolak karena aku ingat pendidikannya harus diutamakan ketimbang perasaanku. Aku bisa menunggu sampai kapan pun meski hari yang terlewat terasa begitu lama. Selain k

  • Kutukan Perjaka Tua   Meminta Restu

    "Yas, bisa ketemu?""Yas. Respon dong.""Aku sama Hanif mau cere, Yas.""Dia nggak sebaik kamu.""Kita bisa memulai semuanya dari awal lagi, Yas. Aku janji bakal bikin kamu bahagia."Serentetan pesan itu masuk tepat setelah Resva meminta istirahat—sebuah kata yang teramat halus untuk mengakhiri hubungan kami. Walaupun menggunakan nomor baru, tapi aku bisa menebak kalau yang barusan mengirim pesan adalah Diandra. Aku segera menolak dengan tegas, lalu memblokir nomor itu tanpa berpikir lagi. Tidak ada tempat bagi Diandra atau siapa pun karena di hatiku hanya ada Resva meski hubungan kami saat ini berada di titik nadir. Seandainya Resva tidak kembali, aku bertekad akan tetap sendiri karena ini adalah hukuman terbaik bagiku setelah menyakitinya. Jika kelak Resva menemukan laki-laki terbaik, aku akan merelakan dia pergi, hidup dengan imam yang bisa membuatnya bahagia. Aku ikhlas. Biar saja segala kenangan indah bersama dia akan membersamai diriku sampai tua, sampai malaikat merenggut

  • Kutukan Perjaka Tua   Salah Kutukan

    Awan tebal itu masih menaungi hidup Resva. Duka teramat kental terasa di setiap postingan yang dia unggah di media sosial. Foto kebersamaan ayah dan ibunya disertai caption-caption yang mewakili isi hatinya membuat aku ingin merengkuh gadis itu ke dalam pelukan, menghapus air matanya lagi seperti beberapa minggu lalu. Sayangnya, aku telah kembali lagi ke Kalimantan, berkutat dengan padatnya jadwal pekerjaan. Dan kalaupun aku masih di Jakarta, rasanya mustahil aku bisa mendekati Resva yang sedang berduka. Terlalu lancang. Tidak sopan. "Ayam gepreknya ditutup. Ibunya mau pulang ke Semarang," kata Mama melalui sambungan telepon. "Resva juga ikut pulang?" Aku bertanya dengan perasaan kalang kabut. Bagaimana jika Resva memilih kembali ke Semarang? Bagaimana kuliahnya? Dan … untuk alasan apa jika aku ingin menemuinya? "Resva tetap kuliah di sini. Kemarin Mama sudah bantu carikan kos-kosan yang bagus karena dia menolak tinggal sama kita."Aku mengembuskan napas lega. Terlalu berbahaya ji

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status