Siapa pun tolong jelaskan padaku, apa batasan ramah terhadap seseorang? Apakah membalas senyum dan menerima ajakan menonton bisa dikatakan genit? Bukankah genit adalah ketika kita sengaja mencari perhatian dari orang lain dan berusaha menggodanya?
Bang Ayas adalah makhluk paling aneh yang aku temui sepanjang hidup dua puluh dua tahun di dunia ini. Baru bertemu dua kali, dia sudah berani ikut campur dan seolah menjadi orang yang paling tahu tentang aku. "Jangan ge-er," ucap Bang Ayas. "Saya tidak cemburu."Dih. Siapa juga yang ge-er! Kalaupun dia cemburu, bukankah sangat aneh? Ingat, kami baru kenal. Ya, walaupun namanya sudah tidak asing lagi bagiku, tapi tetap saja dia adalah alien yang tidak seharusnya muncul ke kehidupanku. "Saya nggak mau Acha terkontaminasi kegenitan kamu."Sumpah. Menyumpal mulut om-om dosa nggak, sih? Asal tahu saja, Acha jauh lebih ekspresif dan antusias jika berinteraksi dengan lawan jenis. Sifatnya yang supel membuat dia mudah bergaul dan memiliki banyak teman. Oh, iya. Mana mungkin Bang Ayas tahu. Di depan dia kan Acha menjelma menjadi adik baik yang penurut. Bahkan gadis itu menyembunyikan statusnya yang sekarang sudah tidak jomblo. Iya, Acha punya pacar anak kedokteran! Kalau Bang Ayas tahu, aku yakin tanduknya akan ke luar dan kedua telinganya menyemburkan api. "Kamu dengar saya ngomong?"Aku mendengkus, lalu menoleh ke bangku kemudi. "Dengar, Om," jawabku tanpa minat. Detik itu juga Bang Ayas menoleh ke belakang. "Om?" Kening lelaki itu berkerut dalam, seperti tidak terima dipanggil om olehku. "Kan nggak mau dipanggil abang.""Saya juga bukan om kamu." Bang Ayas kembali menghadap sepenuhnya ke depan, tapi kemudian melirikku dari kaca spion tengah. Serius, ya, berdekatan dengan makhluk bernama Ayas membuat aku seperti sedang uji kesabaran. Jangankan menanggapi ucapannya, hanya dengan mendengar debas napasnya saja aku sudah muak. Aku mengembuskan napas pelan, lalu bertanya dengan suara selembut mungkin. "Terus, saya harus manggil apa?"Aku juga tidak lupa untuk menyunggingkan senyum paling manis agar dia lekas terkena diabetes. Bukannya menjawab dan memberi tahu panggilan apa yang ingin didengar dariku, Bang Ayas justru menoleh lagi. Dia diam sejenak sembari menatapku lekat-lekat. "Kamu ngeledek saya?"Persetan dengan senyum semanis gulali. Kalau punya kantong ajaib Doraemon, sudah barang tentu kujejalkan bratawali ke mulut Bang Ayas. Biar dia sadar kalau mukanya sama pahitnya dengan tanaman obat tradisional itu. "Ngeledek apaan, sih?" "Itu barusan kamu senyum-senyum. Kamu sengaja ngeledek saya, kan?""Ih bodo amat sumpah, bodo amat!" teriakku sembari memukul kursi bagian depan. Stok sabarku benar-benar habis. Terserah dia mau menyimpulkan apa, aku tidak peduli! Aku sering berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, tapi tidak ada yang semenjengkelkan ini. Kalau diberi pilihan, aku lebih baik menghadapi kakek-kakek pikun ketimbang bujang lapuk yang tampangnya seperti talenan. "Cewek galak itu—"Sekali lagi, aku memukul bagian belakang dari jok depan sehingga membuat dia berhenti bicara. "Dengar ya, Bapak Ayas. Kalau Anda belum move on dari kuyang, lebih baik Bapak pulang ke Kalimantan!"Setelah mengatakan itu, aku membuka pintu, lalu turun dan membanting pintu sekencang-kencangnya. Semoga manusia yang masih tertinggal di dalam mobil langsung terguncang dan jantungan. "Lho, Va. Mau ke mana?" Dari arah pintu minimarket, Acha berlari kecil menghampiriku yang sudah berada di pinggir jalan. "Sorry, Cha. Aku duluan, ya!" seruku sembari masuk ke sebuah angkutan umum yang berhasil kuberhentikan.***Seharusnya Acha mengambil jurusan jurnalistik, bukan ekonomi bisnis seperti yang selama ini dipelajari. Pasalnya, Acha menjelma menjadi wartawan jika rasa penasarannya belum terpuaskan. Walaupun kemarin sore aku sudah mengirim pesan bahwa aku pulang lebih dulu karena ada hal yang mendesak, tapi Acha tetap mencecarku dari akar sampai pucuk. Aku sampai kehabisan kata-kata untuk mengelabuinya. Bukannya tidak mau jujur, aku hanya menghargai Acha yang notabene adalah adik Bang Ayas. Dia pasti jadi serba salah jika mengetahui aku dan kakak sulungnya itu berseteru. "Kamu nggak suka sama Bang Ayas?""Enggak gitu, Cha." Aku membuka bungkus permen, lalu menyuapkan isinya ke mulut. "Aku cuma kurang nyaman aja."Pada akhirnya aku berterus terang meski tidak secara gamblang. Aku hanya ingin menghindari pertemuan dengan Bang Ayas. Ini demi kesehatan mentalku yang selalu terguncang setiap kali bersinggungan dengannya. Oke. Ini terkesan lebay. Tapi, siapa sih yang mau bersitegang dengan orang kolot seperti Bang Ayas? Aku yakin tidak ada! Dengan kedua mata yang memicing, Acha menatapku penuh rasa curiga. "Jangan bilang kalo Bang Ayas melecehkan kamu.""Enggak!" Aku menjawab cepat-cepat sebelum praduga Acha semakin liar. Walaupun menyebalkan, tapi sepertinya Bang Ayas bukan tipe lelaki mesum yang suka memanfaatkan keadaan. "Terus?" Acha masih belum puas. "Kami nggak cocok aja," ucapku dengan hati-hati. Kemudian, aku meralat, "Aku segan karena Bang Ayas lebih tua."Lebih tepatnya cara berpikirnya yang terlalu kuno. Tapi, tentu saja aku tidak mengatakan hal itu. Bisa-bisa Acha tersinggung dan persahabatan yang sudah kami jalin bertahun-tahun jadi rusak. Acha manggut-manggut. Semoga saja paham dengan maksudku. Jadi, kalau suatu hari nanti dijemput Bang Ayas, Acha tidak akan memaksa aku untuk turut serta dengannya. "Tapi, kalo Bang Ayas ngapa-ngapain kamu, langsung bilang ke aku ya, Va."Aku mengacungkan jempol sebelum akhirnya meninggalkan Acha di kantin. Aku harus pergi untuk menepati janji menonton film dengan Galih. Sementara Acha sendiri sedang menunggu pacarnya. Karena gedung fakultas teknik dan fakultas ekonomi lumayan jauh, kemarin aku dan Galih janjian untuk bertemu di taman dekat auditorium. Selain strategis, tempat ini lumayan nyaman untuk menunggu sembari membaca buku. Aku sudah terlambat lima menit dari waktu yang kemarin dijanjikan. Tak ingin membuat Galih menunggu terlalu lama, aku berjalan tergesa-gesa. Namun, begitu sampai di taman, aku sama sekali tidak menemukan sosok Galih. Mungkin dia belum keluar kelas. Jadi, aku memutuskan untuk duduk di sebuah gazebo sembari membaca buku hingga tanpa sadar setengah jam telah berlalu, tapi Galih tak kunjung datang. Aku tidak pernah berkomunikasi secara intensif dengan Galih. Kami hanya sesekali berbalas pesan di I*******m. Bahkan untuk acara nonton siang ini pun terjadi karena ajakan kemarin. Semalam, dia sama sekali tidak menghubungiku.Aku yang terlalu gengsi untuk menghubungi laki-laki terlebih dahulu memutuskan untuk tetap menunggu. Begitu satu jam penuh waktuku terbuang sia-sia, aku menurunkan ego demi sebuah kepastian. Aku membuka ponsel dan mencari akun I*******m Galih, tapi … tidak ketemu! Rupanya aku telah diblokir oleh pemuda itu.Benar-benar keterlaluan! Berarti anak teknik tukang PHP memang bukan rumor belaka! Tanpa pikir panjang aku meninggalkan taman dan bergegas pulang. Kalau Acha sampai tahu, pasti aku akan ditertawakan habis-habisan. Seorang Resva Tsabila akhirnya di-PHP anak teknik! Sialan memang! Aku berjalan cepat sembari memesan ojek online. Karena tidak fokus melihat jalan, aku sampai menabrak seseorang. "Maaf—" Aku mendongak dan seketika terkesiap. Orang yang kutabrak adalah Galih! Galih tampak sama terkejutnya denganku. Tapi, pemuda itu seperti sadar akan sesuatu dan segera mengambil langkah seribu. "Gal!"Galih justru mempercepat langkahnya, seolah-olah ingin segera lenyap dari hadapanku. Walaupun sekilas, tapi aku bisa menangkap bahwa sorot matanya menyiratkan ketakutan yang mendalam. Aku masih berdiri sembari berpikir keras. Apa aku sangat menyeramkan sampai Galih ketakutan? Atau … dia tidak mau bertemu denganku karena wajahnya lebam-lebam? ***Benar saja, Acha tertawa terbahak-bahak begitu mengetahui aku gagal kencan dengan Galih. Kedua matanya sampai basah dan wajahnya memerah karena dari tadi tak kunjung berhenti tergelak. "Sumpah, Va …." Dia mengguncang lenganku. "Apa kabar mental kamu?" Wah, jangan tanya mental. Tentu saja harga diriku sangat terluka. Bukan karena gagal berduaan dengan Galih, bukan. Itu sih bodo amat. Tapi, karena aku diabaikan waktu memanggil pemuda itu. Banyak mahasiswa yang menyaksikan Galih lari terbirit-birit waktu kupanggil. Bayangkan! Apa yang mereka pikirkan tentang aku? Pasti mereka berasumsi macam-macam. Parahnya lagi kalau ada yang menduga aku naksir Galih. Atas dasar itu pula, karena takut Acha mendengar gosip yang bukan-bukan, aku memilih untuk jujur kepadanya hari ini. Lagi pula kalau belum cerita ke siapa pun, rasanya belum plong. Acha masih tertawa sembari merebah di kasur kos-kosanku. Dia baru berhenti setelah tersedak ludah sendiri dan terbatuk berkali-kali. "Kualat, sih," gerutuk
Semenjak video call sialan itu, aku berusaha lebih keras untuk tidak berinteraksi dengan manusia bernama Ayas. Jangankan mampir ke rumah, jalan bersama Acha ke parkiran kalau pulang kuliah pun aku tidak mau. Untuk jaga-jaga, aku selalu pulang lebih lambat dari gadis itu. Tentu saja Acha tidak tahu perihal apa yang terjadi seminggu lalu. Sebelum dia bangun, aku lebih dulu menghapus riwayat panggilan dan chat kurang ajar dari Bang Ayas. Kalau Acha sampai tahu, mau ditaruh di mana mukaku ini? Hari ini, sebelum pulang, aku memutuskan untuk pergi ke kantin terlebih dahulu. Aku berjalan sendirian, melintasi meja-meja yang hampir keseluruhannya terisi penuh. Maklum, ini adalah kantin lintas jurusan yang bisa dipastikan selalu ramai. Jadi, butuh effort yang lumayan untuk menemukan meja kosong. Biasanya sih aku tidak perlu susah payah karena pasti ada saja yang menawari bergabung, terutama kaum Adam. Bukan sok artis, tapi aku pernah bilang kan kalau aku cukup populer di kampus? Oke. Kembali
Bab. 6Perempuan bodoh mana yang mau sama bujang lapuk seperti Bang Ayas? Aku yakin sepuluh dari sepuluh wanita yang ditawari pun akan serempak menolak jika ditawari untuk menjadi istri Bang Ayas. Dan aku adalah orang yang tentu saja menolak paling keras tanpa berpikir dua kali, walaupun pada akhirnya Acha ngambek tiga hari tiga malam karena rahasianya kubongkar. Ya, bagaimana, daripada aku harus menjadi istri Bang Ayas. Akibat dari kejujuranku, Acha dimarahi habis-habisan oleh Bang Ayas. Gadis itu dilarang membawa mobil sendiri ke kampus dan ke mana-mana harus diantar. Penjagaannya lebih ketat ketimbang tahanan korupsi kasus proyek E-KTP. Aku sudah meminta maaf ribuan kali, tapi Acha belum juga mau bicara. Dia masih diam seribu bahasa walaupun kami bersama selama di kampus. "Sumpah, Cha. Bang Ayas pinter banget jebaknya biar aku jujur." Entah tampangku seperti apa di depan Acha. Mungkin mirip dengan emak-emak yang membujuk anaknya untuk makan siang. "Cha …." Aku mengguncang bahu
Bab 7Tolong jangan membayangkan akan ada adegan romantis atau apa pun itu yang membuat kesan bahwa aku dan Bang Ayas sudah akur. Tidak. Suara lembutnya adalah awal dari perseteruan kami yang berujung pada saling menyalahkan satu sama lain. Sudah tahu aku ini pemula dan sedang belajar menyetir, eh Bang Ayas malah mengganggu konsentrasiku. "Bukan begitu. Yang benar begini." Sebenarnya tidak apa-apa kalau hanya berkata demikian, tapi tolong itu tangan dikondisikan! Tidak perlu pegang-pegang tanganku! Memang ya, laki-laki itu makhluk yang membahayakan. Ada kesempatan sedikit saja langsung beraksi. Pegang tangan, pundak, dan …. "Dipangku aja apa gimana?"Kontan saja aku melotot. Mana ada sih orang latihan mobil dipangku? Dikira aku ini anak kecil? Kukira kalem. Ternyata mesum! Bang Ayas menghela napas. "Jangan kaku, jadi nggak gugup injek gas atau remnya.""Bodo, ah!" Karena pada dasarnya keinginan untuk bisa mengemudi sudah hilang, maka aku sama sekali tidak antusias. Kalau bukan
Bab 8Sekarang giliran aku yang ngambek kepada Acha. Pokoknya aku kapok membantunya jika harus mengalihkan perhatian Bang Ayas. Pria itu terlalu buas untuk dijinakkan. Sayangnya, begitu aku cerita kalau Bang Ayas membawa aku masuk ke KUA, Acha malah tergelak. "Jangan baper, Va. Bang Ayas emang bercandanya suka kelewatan."Aku menghela napas. Kalau memang kemarin hanya bercanda, sumpah itu tidak lucu sama sekali. Coba kalian bayangkan, bagaimana malunya aku saat diseret ke KUA, dipegangi erat-erat, dan diakui sebagai calon istri. Tidak hanya itu, Bang Ayas juga menanyakan persyaratan apa saja jika hendak menikah dengan perempuan yang berasal dari luar daerah. Dengan seksama lelaki itu menyimak penjelasan petugas KUA, sama sekali tidak menghiraukan aku yang menginjak kakinya berkali-kali. Itu yang dinamakan bercanda? Atau Bang Ayas sedang menguji apakah aku baper atau tidak diperlakukan seperti itu? Mohon maaf. Aku tidak baper. Kalau jengkel setengah mati sih, iya. "Tenang aja, Va.
Bab 9Kehangatan di ruang makan seketika lenyap tepat setelah Bang Ayas memujiku di depan keluarga dan perempuan yang dijodohkan dengannya. Aku yang tak menduga akan dipuji oleh Bang Ayas, rasa-rasanya ingin sekali menghilang, tenggelam ke dasar bumi dan tak pernah muncul lagi. Denting sendok yang dihempaskan ke piring membuat aku menggigit bibir kuat-kuat. Tante Windi menatapku lebih tajam dari siapa pun. Sorot matanya berkilat-kilat seakan hendak mengulitiku hidup-hidup. Aku menahan napas ketika perempuan itu berdiri dan meninggalkan meja makan tanpa permisi. Kemudian, diikuti oleh Clarisa dan kedua orang tuanya yang sempat berpamitan dengan terburu-buru. Sepeninggal tamu-tamu itu, aku masih belum berani untuk mendongak. Kedua tanganku yang sedingin es kini hanya bisa saling bertaut di bawah meja. "Ayas." Baru kali ini aku mendengar suara Tante Fatma jauh dari kata lembut dan ramah. "Iya, Ma?"Sahutan itu sama sekali tidak mencerminkan rasa bersalah dari seseorang yang telah m
Lemas, mual, menggigil, sakit kepala, dan berhalusinasi adalah beberapa gejala dari penyakit rabies. Sialnya, sekarang aku merasakan itu semua setelah digigit Bang Ayas. Aku curiga, di kehidupan sebelumnya, Bang Ayas adalah seekor anjing gila. Buktinya aku langsung demam begitu diantar dia pulang malam itu. Entahlah. Ini efek digigit Bang Ayas atau efek diajak memutari Kota Jakarta hingga pagi buta. Iya. Laki-laki itu tidak langsung mengantar aku pulang, melainkan jalan tanpa tujuan. Tolong kalian jangan membayangkan kalau aku dan Bang Ayas menghabiskan perjalanan dengan gelak tawa atau minimal senyum malu-malu. Tidak. Kami justru saling membisu dan duduk dengan kaku. Ketika aku protes untuk segera diantar ke kos-kosan, dia hanya bergumam tak jelas. Gara-gara kejadian itu pula, aku sampai diinterogasi satpam kos-kosan. Bang Ayas yang pada akhirnya menjelaskan. Aku tidak tahu bagaimana dia pada akhirnya meyakinkan petugas keamanan karena aku lebih dulu disuruh masuk ke kamar. "Resv
Karena tahu kalau Acha akan ada acara keluarga malam ini, jadi aku tidak berani mengajaknya hangout sepulang kuliah. Dia juga sepertinya buru-buru sekali ketika berjalan ke parkiran. "Bang Ayas udah nunggu. Duluan ya, Va!"Aku hanya mengangguk saja ketika gadis itu melambaikan tangan sembari berlari. Beberapa saat kemudian, aku melihat sebuah notifikasi di ponsel. Ada sebuah pesan balasan dari Agam untuk Acha. Belakangan ini Acha memang sering meminjam ponselku untuk berkomunikasi dengan pacarnya. Itu adalah cara teraman bagi Acha agar hubungan mereka bisa langgeng karena Bang Ayas masih saja menyadap handphone-nya. Dengan sangat terpaksa, aku membalas pesan Agam dan mengatakan kalau Acha baru saja pulang. Seharusnya, pemuda itu tak perlu mengirim chat lagi, tapi anehnya dia malah bertanya, "Bisa ketemuan?""Aku Resva," balasku agar dia tidak lupa bahwa aku bukanlah Acha. Selang beberapa detik kemudian, Agam kembali mengirim pesan. "Iya, tau. Gue mau minta tolong. Bisa ketemuan?"