Share

Kyraka
Kyraka
Penulis: Catish13

Dewi Matahari dan Dewa Kegelapan

Langit terlihat mendung berat. Udara di Bandung pun terasa semakin dingin. Meski sudah memakai jaket tebal, Kyra masih bisa merasakan dinginnya udara yang menembus jaket hingga ke tulang-tulangnya. Ia harus segera pulang sebelum hujan turun. Ia tak bawa payung, padahal ia harus berjalan kaki 15 menit untuk tiba di apartemennya.

Ojek online? Tidak, Kyra lebih memilih untuk jalan kaki sehari-harinya. Baginya, itu buang-buang uang, sekalipun membayar 15-20 ribu tak akan membuatnya mendadak miskin. Menurutnya, jalan kaki lebih sehat.

"Loh, Neng Kyra."

Langkah Kyra terhenti, padahal baru lima langkah ia keluar dari gedung fakultas. Ia menoleh ke arah suara datang, mendapati sejumlah lelaki berkumpul. Kyra mengenal semuanya, meski mereka adalah senior-seniornya. "Halo, Aa-Aa," sapa Kyra sambil menebarkan senyumnya. Bukan karena ia perempuan kegatelan yang suka tebar pesona sana-sini, tapi ia memang seramah itu pada semua orang. Semua juga tahu bahwa Kyra seramah itu.

"Baru mau pulang, Neng? Padahal udah mau jam 5, loh. Mau dianterin, nggak?" tanya Agung, senior tahun akhir jurusan Seni Rupa itu. Kyra tahu bahwa lelaki itu memang selalu mencoba mendekatinya.

Kyra menggeleng. "Makasih, A, tawarannya. Tapi, Kyra jalan kaki aja. Biasanya juga Kyra jalan kaki, kok," jawab Kyra. "Kalau gitu, Kyra duluan, ya, Aa-Aa. Assalamu'alaikum." Kyra melambaikan tangannya, lantas melanjutkan perjalanannya.

Hari memang sudah cukup sore, tapi masih banyak mahasiswa yang masih berkeliaran di sini. Sambil melewati mahasiswa dan mahasiswi lainnya, Kyra menyapa mereka dengan sekedar anggukan kepala sambil tersenyum, atau menyapa mereka dengan menyebutkan nama. Sesekali berhenti untuk sekedar berbasa-basi. Bahkan, Kyra juga menyapa petugas kebersihan atau pekarya lainnya yang ia temui. Tak heran jika ia disebut-sebut sebagai Dewi Matahari, meski Kyra tak suka sebutan itu.

Jarak dari gedung Fakultas Desain dan Seni Rupa ke gerbang tidaklah jauh. Begitu keluar gerbang, ia berjalan di trotoar di sepanjang Jalan Ganesa yang telah sepi. Hanya ada penjual gulai di tikungan yang cukup terkenal, selebihnya ia harus berjalan di tempat yang cukup gelap dan sangat sepi, dengan pepohonan tinggi dan rimbun di kanan dan kirinya.

Sepertinya, keberuntungan sedang tidak berpihak padanya. Ia dengar, akhir-akhir ini di Jalan Ganesa setelah melewati Gultik (Gulai Tikungan), kerap terjadi musibah yang diterima mahasiswi-mahasiswi. Ada sejumlah preman yang sering berkumpul di sana yang menggoda mahasiswi yang lewat. Meski tidak terjadi hal-hal yang lebih buruk lagi, tentunya tak ada yang tahu bagaimana nasib seseorang hari itu. Banyak mahasiswi yang memilih memutar jalan, termasuk Kyra. Tapi, hari ini ia ingin cepat-cepat sampai apartemennya. Jadi, ia memilih melewati jalan ini. Dan, benar saja. Ia malah harus bertemu lima preman yang digosipkan.

"Wah, akhirnya ada cewek yang lewat," ujar salah seorang preman.

Kyra tak menggubris itu, ia bahkan terus berjalan tanpa menurunkan kecepatannya. Sebenarnya, di ujung jalan ini adalah gerbang Kebun Binatang Bandung, dan ada cukup keramaian di sana. Tapi, sepertinya tak akan ada yang tahu apa yang terjadi padanya jika tak ada yang lewat di jalan ini.

"Neng, temenin, dong," kata preman lainnya sambil berjalan mendekati Kyra, lalu menghentikan langkah Kyra. "Jangan jalan aja. Katanya, Neng yang paling ramah di kampus. Kok, kami nggak disapa?"

Kyra menatap kelima preman yang kini mengerubunginya. Tak ada satupun yang ia kenali, tapi bagaimana mereka tahu bahwa dirinya paling ramah di kampus? "Kalian mau apa?" tanya Kyra tanpa senyum, hanya tatapan sinis.

"Temenin, atuh, Neng. Bentar lagi, 'kan, malem. Cuacanya juga mendung. Dingin, 'kan? Mending sama kami, biar anget. Ya, nggak?" Preman ketiga semakin mendekat pada Kyra, bahkan ia berani mencolek dagu Kyra dengan gatal.

Plak!

"Breng*k." Kyra menepis tangan lelaki itu.

"Loh? Nggak nyangka, ternyata bisa ngomong kasar juga, ya," kata preman yang ketiga itu.

Kyra menggeram rendah. "Kalian nggak tahu berurusan sama siapa, hah?" Tak ada ekspresi ramah di wajah Kyra. Hanya ada tatapan dingin yang mengintimidasi.

"Hoi!"

Perhatian Kyra teralihkan pada seruan seorang lelaki dari arah belakangnya, arah kampusnya. Kyra memiringkan sedikit tubuhnya, lalu menoleh ke sana. Ia melihat seorang lelaki dengan pakaian warna gelap, rambut panjang yang dikuncir setengah di belakang, dan memiliki aura yang terasa gelap dan kelam. Saat diamati baik-baik, Kyra ingat wajah itu. Dia senior di fakultas lain, tapi sangat terkenal se-institut ini. Dia Dewa Kegelapan, Raka Akmana.

***

"Ka, lo serius nggak mau nebeng aja?" tanya Vino.

Raka tengah merapikan barang-barangnya. Mereka baru saja selesai makan di Gultik ITB sepulang kuliah. "Hm. Deket, cuma 15 menit," jawab Raka dengan suara yang pelan dan hampir tak bernada. "Lo juga mau nge-date sama Jess, 'kan."

"Iya, sih," jawab Vino. "Yaudah, lo hati-hati. Belakangan di Jalan Ganesa lagi banyak preman. Jangan cari masalah." Ia menuding wajah Raka dengan tegas.

Kesal. Raka menepis tangan Vino pelan. "Kalau mereka nggak cari masalah, ngapain gue nyari masalah. Gue nggak seberandalan itu," ujarnya, tetap bersuara datar meski kesal. "Gue duluan."

"Iye, iye."

Berlawanan arah, Raka pergi ke Jalan Ganesa menjauhi gerbang ITB, sementara Vino pergi menyeberang jalan dan masuk ke dalam mobilnya, lalu membawa mobil itu masuk ke dalan ITB untuk menjemput kekasihnya yang berada di Fakultas Desain dan Seni Rupa.

Ia dan Vano tidak dari kampusnya hari ini. Mereka baru saja selesai mengumpulkan data untuk skripsi mereka. Sejak pagi, mereka sudah berencana untuk makan di Gultik ITB begitu urusan mereka selesai. Harusnya, Vano mengantarnya pulang ke apartemennya. Tapi, mendadak pacar Vano mengajak kencan, jadilah Raka harus pulang sendiri ke apartemen mereka. Sebenarnya, mobil yang Vano pakai adalah mobilnya, tapi ia meminjamkannya karena tahu Vano akan berkencan. Ia sudah biasa dengan sahabatnya yang minim modal iu.

Raka ingat bahwa ada kabar beredar tentang preman-preman yang sering berkumpul di Jalan Ganesa ini pada sore menjelang malam yang kerap mengganggu mahasiswi-mahasiswi. Dan, ia tak menyangka akan menyaksikan kejadian itu. Awalnya, ia ingin pura-pura tak tahu. Tapi, ia tak bisa.

Plak!

Langkahnya terhenti begitu mendengar suara nyaring sebuah pukulan. Dalam suasana yang tidak begitu terang, ia melihat perermpuan itu dikerumuni lima preman dan sepertinya baru saja mendapatkan tamparan. Raka tidak bisa diam saja, meski ia tidak mau membuat masalah di tahun terakhirnya.

"Hoi!"

Perempuan itu memutar sedikit badannya dan menatap ke arahnya dengan tatapan dingin dan kesal. Apakah ia sudah mengganggu? Atau, apa ada kesalahpahaman? Raka tidak tahu. Melihat ekspresi perempuan itu, Raka merasa seperti telah melakukan kesalahan.

"Wah, ada yang mau jadi sok pahlawan," kata salah seorang preman.

Grep!

Preman itu tiba-tiba saja menarik tangan perempuan di sana, lalu memeluknya dari belakang dengan posisi mengancam leher menggunakan pisau lipat. Raka terkejut, tak menyangka bahwa akan ada pengguna senjata di sana. Dan, tampaknya perempuan itu juga sempat terkejut, namun ekspresinya tetap terlihat cukup tenang.

"Nggak usah ganggu. Pergi aja, pura-pura nggak lihat. Dia mainan kami," kata preman itu. Ia mendekatkan wajahnya ke samping wajah perempuan itu, bahkan mengendus pipi wanita itu dengan penuh nafsu. "Dia Dewi Matahari kampus kalian, loh. Pasti seru." Lalu, ia menyeringai.

Raka ingat sebutan itu, tapi ia tak pernah tahu seperti apa wajah mahasiswi yang disebut-sebut sebagai Dewi Matahari itu, dan ia memang tidak peduli. Tapi, siapapun itu, Raka akan tetap menolong perempuan itu.

Buakh!!

"Eh?"

Raka tercengang melihat perempuan itu tiba-tiba saja menghantamkan tinjunya pada wajah preman di belakangnya tanpa menolehkan kepala atau memutar badannya. Tampaknya, Raka telah melakukan hal yang sia-sia. Sebab, perempuan yang disebut sebagai Dewi Matahari itu tampaknya tak membutuhkan bantuannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status