Share

Bab 4

Rizka

Aku meninggalkan Langit yang baru saja menciumku. Tubuhku masih bergetar efek dari ciuman kami yang panas. Setelah tiga tahun, ternyata aku masih belum bisa lepas dari pengaruhnya. Tubuhku masih mendambakan sentuhannya, hatiku berkhianat karena ikut mendamba, tapi untungnya pikiranku masih bisa menguasai hasrat dan kerinduanku pada Langit. Aku mengambil minuman yang dibawa seorang pelayan yang lewat di hadapanku, aku butuh minuman saat ini.

"Bunga apinya tadi bagus ya?" Tiba-tiba kakakku, Ronan, berdiri di sampingku.

Aku yang sedang minum terbatuk karena terkejut.

"A-apa, Kak?"

"Bunga apinya bagus." Dia tersenyum menatapku sambil memainkan gelas di tangannya.

"Bunga api?" Aku bingung tak mengerti.

"Iya bunga api. Di langit." Sekarang dia terkekeh.

Bunga api? Astaga adalah saat aku berciuman dengan Langit! Ingin rasanya aku ditelan bumi sekarang, pasti kakakku curiga dengan menghilangnya aku tadi.

"Oh iya Kak. Bunga apinya memang bagus." Aku menjawab dengan sedikit gugup.

"Kau sakit?" Dia menyergit menatapku.

"Sakit? Tidak." Aku menggeleng.

"Kenapa badanmu gemetar?" Dia menatapku serius tapi ada kejahilan dimatanya.

"Kakak salah lihat." Aku minum menutupi kegugupanku.

"Yakin?" Ronan semakin cerewet.

"Iya."

"Tadi aku tidak melihatmu, kak Langit juga tidak kelihatan." Ronan mengangkat sebelah alisnya.

Aku mengangkat bahuku pura-pura tidak tahu.

"Kak, aku menemui Jace dulu," kataku berkelit dan meninggalkannya yang tersenyum menatapku. Ya Tuhan, apa Ronan melihatku dan Langit waktu ciuman tadi? Aku menghampiri Jace yang sedang berbincang entah dengan siapa.

"Jace ... "

"Hei, kau dari mana saja?" Jace terkejut melihat kedatanganku.

"Aku dari dalam rumah." Aku berbohong.

"Kau baik-baik saja kan?" Jace menatapku heran penuh selidik.

"Tentu saja."

Dia mengangguk, tapi dia tetap memandangku dengan tatapan tidak percaya. "Kau belum makan kan?"

Aku menggeleng.

"Aku juga belum, aku menunggumu dari tadi." Dia mengajakku untuk mengambil makanan.

Aku menatapnya dengan rasa bersalah. "Ayo kita makan, aku juga lapar." Sebenarnya aku tidak lapar.

Kami mengambil makanan di meja panjang yang penuh dengan berbagai makanan, lalu menuju meja untuk tempat kami makan. Saat kami sudah duduk, aku melihat Langit yang sudah muncul dari tempat kami berciuman tadi.

Aku kembali gemetar. Malam ini dia sangat tampan, yah, dari dulu dia memang tampan. Kemeja putih dari bahan sutra yang membungkus tubuhnya yang berotot dan jas potongan eropa buatan desainer luar negeri itu sangat pas di badan Langit dan membuatnya sangat sexy. Rambutnya yang panjang bergelombang di cepol, dan aku tadi meremasnya. Perutku tiba-tiba menghangat. Kakinya dibungkus celana dengan jahitan yang rapi, membentuk otot kakinya dan bokongnya yang seksi, dan kaki itu tadi bersentuhan dengan pahaku.

"Wajahmu merah Rizka." Jace kembali menatapku heran, lalu dia mengikuti arah pandanganku, dan dia tertawa. "Apa karena pria itu? Diakah orangnya?"

"Siapa?" tanyaku pura-pura bingung.

"Kakakmu yang namanya Langit, yang pandangannya seolah membakarku hidup-hidup?" tanya Jace sambil memasukkan makanan ke dalam mulutnya.

"Oh dia ... yah begitulah," ucapku seolah tak peduli.

Jace semakin tertawa dan aku menatapnya kesal.

"Kau tahu Rizka, aku takut tidak selamat pulang dari sini. Kau benar-benar membawaku dalam masalah"

"Kau berlebihan." Aku memutar mataku.

"Dan kau tadi hilang dengan Kakakmu." Jace sekarang berbisik sambil memandangku dengan tatapan menuduh.

Aku memandangnya terkejut, dan malu.

"Tidak usah pura-pura terkejut, aku-oh sial, dia kemari." Jace berbisik gusar.

"Siapa?"

"Kekasihmu. Jangan melihatnya." Jace makan dengan lahap dan membuatku penasaran.

"Kekasihku siapa?"

"Kakakmu bodoh!" Dia mendesis kesal.

Aku melirik arah lirikan Jace, aku melihat Langit dan pasangannya Clara berjalan ke arah meja kami. Dari jauh orang pasti berpikir kalau aku dan Jace berbicara hal-hal romantis dengan posisi kami yang dekat, yang sedang berbisik-bisik.

"Aku harus bagaimana?" Aku jadi gugup.

"Jadi perempuan tangguh seperti yang sering kau katakan selama tiga tahun ini."

"Tapi-"

Tiba-tiba suara berdehem mengintrupsi bisik-bisik kami.

"Apa aku mengganggu?"

Kulihat Langit dan Clara menjulang di hadapan kami. Jace menginjak kakiku di bawah meja, aku menahan ringisanku.

"Bisa bergabung?" Wajah Langit kelihatan tegang, sedangkan Clara terlihat santai dan tersenyum memandangku dan Jace.

"Duduklah Kak." Aku tersenyum dan mengendalikan diriku setenang mungkin.

Perempuan tangguh. Aku merapal mantra itu terus menerus dalam hatiku.

"Kalian berdua manis sekali, aku jadi ingat waktu seumur kalian. Oh iya, berapa umur kalian berdua?" Clara memecahkan suasana yang terasa tegang. Mungkin hanya aku yang merasa tegang.

"Dua puluh dua, Kak." Aku menjawab.

Clara menatap kami geli, Clara memang sangat cantik, tipe perempuan kesukaan Langit, cantik dan seksi. Jace saja tertarik padanya, dan temanku ini sekarang salah tingkah di hadapan Clara.

"Masa muda memang masa yang berapi-api. Itu lirik lagu terkenal, pernah dengar?" Clara bertanya pada kami.

Aku menggeleng, lalu Clara menatap Jace, dan dia juga menggeleng.

"Itu lagu yang sangat terkenal, darah muda darahnya para remaja, masa muda masa yang ber api-api."

Aku dan Jace melongo tidak mengerti.

"Kalian tidak tahu api?"

Aku dan Jace bertatapan, lalu kami mengangguk.

"Seperti bunga api tadi, cantik, indah, di langit." Clara tersenyum dan menekan kata-kata langit penuh arti.

Sialan!

Clara ternyata menyindirku. Jace tertawa, dan langsung diam saat Langit menatapnya tajam dan langsung memasukkan makanan ke mulutnya.

Wajahku panas, dan pasti memerah, sepertinya perempuan ini mau bermain, baiklah aku terima.

"Api kalau di langit memang kelihatan indah Kak, indah dipandang, tapi sulit dijangkau." aku menjawab sesantai mungkin.

Langit menatapku tajam.

"Benar sekali Rizka, dan langit yang indah akan semakin indah saat ada percikan bunga api yang menghiasinya." Clara sepertinya menikmati permainan ini.

"Aku pernah memercikkan api seperti itu di langit, tapi aku sadar ternyata tidak seindah yang kubayangkan. Jadi aku sedang mencari langit lain, untuk bermain api." Aku tersenyum menatap Clara mengabaikan Langit yang menatapku tajam.

"Kau pernah main api di langit Lang?" Clara tiba-tiba bertanya pada Langit

"Aku langsung memadamkannya." Langit menjawab tanpa melepaskan pandangannya dariku.

Baiklah anak muda, perempuan tangguh akan membalasmu.

"Tapi api yang dipadamkan bisa menyala kembali dan membuat si pemadam terbakar hangus di dalamnya." balasku. Baiklah, aku merasa sikap kami ini sudah mulai kekanak-kanakan dengan saling menyindir seperti sekarang.

Clara tertawa puas. "Oke guys, cukup bermain apinya. Ayo kita makan."

Aku tersenyum ke arah Clara, dan kami makan sambil berbincang-bincang, sedangkan Langit tidak bersuara sedikitpun.

                                                       ****

Langit

Rizka membalasku telak, sialan Clara, dia berhasil menjebakku dalam permainan kata-katanya, dan Rizka mengikuti permainan dengan sangat baik.

Sepanjang kami makan di meja ini, tidak sedikit pun Rizka melirikku. Tidak lama mami Jenia datang memanggil Rizka yang ingin dikenalkan pada teman-temannya, yang sangat ingin menjadikan Rizka menantu mereka.

Aku mendengus.

"Kau terbakar Lang." Clara mengejekku setelah Rizka beranjak pergi.

"Diamlah." aku melotot padanya, Clara tertawa terbahak-bahak.

"Adikmu taringnya tajam juga ya. Hati-hati Lang, Simson jatuh karena Delilah."

"Dan aku bukan Simson," ucapku jengkel.

"Benar, kau adalah pahlawan Spartan yang kesepian dan butuh api untuk menerangi duniamu yang gelap." Clara terkikik.

"Setahuku, kau bukan anak sastra, Cla." Aku menatap kesal perempuan yang duduk di sampingku ini.

Dia tertawa.

"Aku Clara Shakespeare Wiraatmadja." Dia mengedipkan matanya.

"Pantas saja, Jack, gila menghadapimu." Clara tertawa terbahak-bahak menanggapiku.

"Kau harus ingat janjimu, mengatur kencanku dengan sahabatmu itu," ucapnya santai.

"Jack benar-benar sial." Aku mencemooh.

Clara kembali tertawa.

Malam semakin larut, aku pun mengantar Clara pulang. Besok aku harus menemani ayahku memancing, dan dia meminta kami semua anak-anaknya harus sarapan besok pagi di rumah. Jadi kami semua malam ini tidur di rumah utama Ray Tahitu. Setelah mengantar Clara aku singgah ke apartemenku mengambil baju ganti.

Pagi ini kami semua berkumpul di meja, minus mami Jenia yang pulang tadi malam ke rumahnya. Rizka sudah berpakaian rapi dan sepertinya siap pergi bekerja, kami saling diam.

"Kau hari ini langsung kerja sayang?" Ayah kami bertanya pada Rizka.

"Iya, Pi."

"Kakakmu Roe akan mengantarmu."

"Riri bisa berangkat sendiri, Pi."

"Oke. Tapi kalau opa memaksamu bekerja, beritahu pada papi."

Rizka tertawa geli.

"Opa, pasti semakin panjang umur karena Rizka mau bergabung mengurus perusahaan," kata Ringgo sambil tertawa

"Aku juga masih perlu banyak belajar Kak, kata opa dia akan lihat bahwa aku cocok atau tidak diberikan tanggung jawab," jawab Rizka sambil meakan rotinya.

Ayahku mendengus kesal.

"Dasar orang tua, bukannya menikmati masa tuanya, malah memikirkan pekerjaan terus."

Ayah kami memang tidak akur dengan Ayahnya itu.

"Papi, juga begitu, selalu memikirkan band, dan Papi, juga orang tua sama seperti opa." Ronan berkomentar yang kami sambut dengan tawa.

"Papi lebih keren dari Opa kalian." Ayah kami mendelik pada Ronan.

"Opa juga bilang kalau dia lebih hebat dari Papi, kalian berdua memang benar-benar ayah dan anak. Berdamailah kalian Papi." Ronan menggelengkan kepalanya sambil tertawa geli .

"Opa kalian itu yang keras kepala, sudah jelas papi seniman, masa dipaksa pakai dasi, yang benar saja." ucapnya mulai ketus. Dia memang selalu jengkel jika sudah menyangkut opa.

"Baiklah. Sekarang kita ganti topik," kata Ronan, lalu dia menatap Rizka.

"Rizka, kau pernah ditolak laki-laki yang kau taksir ya?" Tanya Ronan tiba-tiba.

Rizka langsung tersedak, dan Ayah kami memarahi Ronan. Ringgo tertawa terbahak-bahak, dan Rizka langsung menatap Ringgo kesal.

"Kenapa kau bicara seperti itu Roe?" Ringgo bertanya geli.

"Kau tidak lihat Kak? Rizka banyak berubah. Dia semakin cantik, tidak lagi manja. Dan perempuan itu bisa berubah, biasanya karena putus cinta atau cintanya ditolak."

Aku hampir tersedak. Ronan tertawa.

"Papi, Riri pergi kerja dulu ya. Kak Ronan sepertinya semakin kacau karena jomblo seumur hidup." Rizka melotot pada Ronan.

"Seperti kau pernah pacaran saja." Ronan tertawa terbahak-bahak, Ringgo menahan tawanya supaya Rizka tidak tersinggung.

Rizka langsung pergi meninggalkan kami dengan kesal.

"Kau jangan suka jahil pada adikmu Roe," ucap Ayah kami.

"Mumpung Rizka masih bersama kita Pi, siapa tahu besok-besok dia menikah, aku tidak bisa lagi menjahili dia."

"Apa maksudmu?" tanya ayah kami bingung.

"Tadi malam, Pap,i tidak tahu ya kalau ada laki-laki yang menemani Rizka melihat bunga api di samping rumah?" Ronan meminum kopinya.

"Apa?!" Ayah kami dan Ringgo kompak menjawab.

Kali ini aku benar-benar tersedak.

"Bercanda, Pi."

Ronan kembali tertawa terbahak-bahak dan menatapku penuh arti.

Sialan!

Berarti Ronan melihat kami.

Selesai sarapan, aku pergi memancing bersama Ayahku. Sebenarnya ini kolam buatan yang dibuat untuk hobbynya.

"Lang, kita sudah lama tidak menghabiskan waktu bersama ya?"

"Iya, Pi."

Kami melempar mata kail kami ke dalam kolam.

"Kalian semua sudah besar sekarang dan memiliki karir masing-masing walau pun Papi tetap berharap kau keluar dari duniamu yang berbahaya itu." ayahku melirik padaku.

Aku hanya tersenyum.

"Papi, hanya ingin memintamu untuk terus menjaga adikmu Rizka Lang." Kali ini dia menatapku serius.

"Papi mau mati ya?" Aku tertawa geli.

"Kurang ajar kau." Ayahku melotot padaku.

Aku tertawa. "Kenapa Papi memberi pesan aneh seperti orang yang akan mau mati?"

Ayahku pun ikut tertawa.

"Papi serius Lang." lalu dia diam sejenak. "Kalau menjaga, Rizka, papi bebankan pada Ringgo, sudah terlalu banyak tanggung jawab yang diembannya. Sedangkan adikmu, Ronan, masih mencari dunianya. Papi berharap dia mau bergabung di perusahaan opa kalian, yah ... walaupun papi, tidak akan pernah memaksa kalian untuk itu."

Aku terdiam.

"Hanya kau, yang papi percaya untuk menjaga, Rizka. Walaupun nanti dia menikah dengan pria yang dia cintai, kamu harus tetap menjaga adikmu, itu."

Ayahku menarik nafasnya dalam. Kami sudah lupa pada kail pancing kami. "Kau pasti bertanya apa yang membuat, papi, membawamu keluar dari panti dulu."

Aku mengangguk

"Kau itu cahaya yang dikirim Tuhan untuk papi, Lang. Saat itu, papi, bisa lihat di matamu, kalau kau juga sedang berjuang keluar dari trauma masa lalu. Sama seperti apa yang Papi, rasakan saat itu. Ada kemarahan, dan penderitaan."

Ayahku menatap jauh ke sebrang kolam sambil merenung.

"Saat itu, papi benar-benar hancur. Baru bercerai dari Jenia, mempunyai wanita simpanan yang baru meninggal dengan dua anak yang awalnya kusembunyikan dari dunia. Papi pecandu narkoba, alcoholic. Sebenarnya, papi sangat ingin berubah saat itu, tapi benar-benar sulit."

"Papi hari itu, papi sudah ingin bunuh diri Lang. Tapi kaki papi, membawa papi ke rumah harapan yang didirikan, mamiku, oma kalian. Hari itu tiba-tiba aku rindu padanya waktu papi kecil, oma kalian sering mengajak, papi ke sana, belajar makna hidup dari anak-anak di rumah harapan, dan hari itu, papi belajar darimu."

"Kepergiannya yang cepat membuat, papi kesepian, sedangkan opa kalian selalu sibuk dengan perusahaannya. Opa kalian melimpahi papi dengan uang tapi tidak dengan kasih sayang dan perhatian. Papi jadi anak pemberontak, dan terus melawannya."

"Tanpa papi sadari, papi, juga melakukan hal yang sama pada saudara-saudaramu. Dan setelah membawamu, papi pelan-pelan berubah, walau pun butuh waktu panjang untuk papi lepas dari semua kecanduan."

"Tanpa terasa kalian semakin besar dan dewasa sekarang, kalian tidak lagi perlu papi untuk menjaga kalian." lalu dia menarik nafasnya dalam. "Tapi Rizka, dia perlu dijaga Lang, terlebih sekarang dia bergabung dengan opa kalian. Karena banyak yang akan mengincarnya. Akan banyak yang memanfaatkannya, dan menghancurkannya."

Kami bertatapan. Ternyata ini tujuan ayahku mengajakku menghabiskan waktu hari ini dengannya.

Dia menepuk bahuku dan tersenyum. "Rizka tidak terlalu berat kan menjadi tanggung jawabmu Lang? Kau bisa kan?"

Aku memandang ayahku yang saat ini menatapku dengan penuh harap.

Aku mengangguk. "Bisa, Papi."

Lalu dia tersenyum padaku.

"Sekarang papi tenang, dan jangan bermimpi papi akan cepat mati."

Kami berdua pun akhirnya terawa. Ponselku tiba-tiba berbunyi, opa Edward menghubungiku.

"Ya Opa?"

"Malam ini kau dan Rizka datang ke rumah opa, kita makan malam di rumah, ada yang ingin opa bicarakan pada kalian berdua."

"Baik, Opa."

Aku menutup ponselku.

"Kenapa?" tanya ayahku.

"Opa minta aku dan Rizka ke rumahnya malam ini."

"Selamat bersenang-senang untuk kalian berdua, kalian pasti kuat menghadapinya." Ayahku tertawa mengejekku.

Aku menjadi tidak tenang, mengapa opa memanggil kami.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status