Share

Bab 5

Rizka

Ponselku berdering, saat aku tiba di rumah. 

“Halo?“

"Rizka, Kakak akan menjemputmu nanti malam jam tujuh." 

Panggilan kami terputus tanpa menunggu jawabanku. 

Sebelumnya, tadi siang Langit menghubungiku dan memberitahu kalau Opa meminta kami berdua datang ke rumahnya. 

Kakak? kakak apa yang mencium adiknya penuh nafsu?

Aku tidak tahu apa yang ingin Opa bicarakan pada kami, dan kenapa harus bersama Langit?

Aku melihat jam menunjukkan pukul enam. Aku langsung mandi dan bersiap-siap. 

Setelah aku selesai mandi dan berpakaian, aku memakai riasan tipis. Ponselku berdering, aku mengangkatnya. 

"Kakak, di depan rumah, kau keluar sekarang." 

"Oke." 

Laki-laki ini, selalu menganggap dirinya berkuasa, memerintahku seperti anak kecil. 

Aku menatap diriku di cermin memastikan penampilanku. Aku memakai dress lace bermotif bunga dengan tali spageti berwarna mmerah maroon, dan aku menggerai rambutku. Lalu aku mengambil tas tangan kecil dan aku pun keluar dari kamarku, lalu turun ke bawah menemui Langit. 

Aku tinggal di salah satu rumah Papi, aku tidak suka tinggal di apartemen. Aku suka rumah ini karena memiliki kolam renang, dan aku bisa kapan saja melakukan hobby berenangku. 

Aku membuka pintu rumah dan menuju mobil Langit yang terparkir di teras rumah. 

Matanya menatapku seperti elang, aku mengendalikan diriku supaya tidak gemetar karena gugup. Cara Langit melihatku seolah-olah ingin melahapku . 

Kena kau Spartan!

Dia membuka pintu mobil untukku. 

"Terima kasih," ucapku lalu masuk ke dalam mobil, dan dia menutup pintu lalu memutari mobil dan masuk ke dalam mobil dan mengemudikannya. 

Aku merasa gerah, sudah jelas air conditioner di dalam mobil ini sangat dingin, tapi keberadaan Langit di sampingku membuatku gerah. 

"Bisa memutar musik?" Aku bertanya. 

"Silahkan." Langit menjawab kaku. 

Ya Tuhan perjalanan ini akan terasa panjang sampai ke rumah Opa. 

Aku memutar frekuensi radio, dan memilih saluran. Tanganku terhenti saat radio memutar lagu Send in the clowns, dari Judy Colins. 

"Jangan ganti lagu itu." Langit langsung reflek menghentikan tanganku. Dan saat tangan kami bersentuhan aku seperti terkena sengatan aliran listrik. 

Kami kembali diam. 

"Kau tahu kenapa Opa memanggil kita?" tanyanya padaku. 

Aku mengangkat bahuku. "Aku pikir kau tahu." 

Langit menggeleng. 

Lalu dia menatapku dari atas hingga bawah. 

"Kenapa kau memakai dress ini?" Dia tiba-tiba bertanya dan aku terkejut karena pertanyaannya. 

"Karena aku suka." Aku menjawab dengan tenang. 

"Aku tidak suka,” katanya ketus. 

"Dan kenapa aku harus memikirkan apa yang tidak kau sukai?" 

Aku menatapnya pura-pura bingung. 

"Ya, benar." Langit mengatupkan rahangnya, dan aku tersenyum dalam hati. Lihat, siapa yang terbakar sekarang. 

Dia berdehem. 

"Rizka yang kemarin malam antara kita, Kakak harap kau tidak salah paham." 

"Aku tidak salah paham, dan tidak usah menyebut dirimu Kakakku, karena tidak ada seorang kakak yang mencium bibir adiknya rakus, dan menjilat leher adiknya penuh nafsu." 

"Kau juga menikmatinya dan memberiku izin." Langit menatapku lalu kembali fokus memandang jalan. 

Aku tertawa mengejek. 

"Tipikal laki-laki, suka cuci tangan dari perbuatannya." Aku menyipitkan mataku menatapnya. "Dan aku sepertinya tidak menyinggung ciuman kita kemarin malam, kau yang memulai, tapi kenapa aku merasa seolah-olah aku yang dipersalahkan di sini." 

Dia terlihat gusar.  "Bukan begitu maksudku. Aku-" 

"Langit, tadi malam kita sama-sama menikmati ciuman itu, dan aku senang kali ini kau tidak kesakitan karena tidak ada lagi kawat gigi, jadi hal ini tidak perlu di bahas lagi dan kau bukan, kakakku." Aku memotongnya perkataannya. 

Dia bergumam sesuatu yang tidak bisa kudengar. 

Lampu merah membuat mobil kami berhenti. 

"Rizka, perkataanku yang dulu ...," 

"Lupakanlah, kita sekarang sudah memiliki hidup masing-masing," ucapku kembali memotongnya, kenapa sih dia malam ini?

Dia tidak lagi bersuara, lagu Judy Collins sudah diganti oleh lagu lain. 

Lampu hijau menyala dan mobil bergerak berjalan. Kami terus diam sepanjang jalan hingga sampai ke rumah Opa.

"Silahkan masuk Mas Langit, Mbak Rizka, Bapak sudah menunggu dari tadi." Asisten pribadi Opa langsung menyambut kami di pintu. 

Kami tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dan kami pun memasuki rumah Opa, dan Opa sudah menunggu kami di ruang tamu. 

"Kau cantik sekali sayang." Opa mencium pipiku. 

"Thanks Opa." Aku menjawab sambil tersenyum. 

"Dan kau anak muda, kau jarang datang ke sini mengunjungimu. " Opa memeluk Langit sambil menepuk punggungnya. "Kalian ini, sama seperti Papi kalian yang tidak peduli padaku." Opa mendengus. 

"Kalian berdua juga mirip Opa." Langit menjawab sambil tertawa. 

Opa hanya tertawa. Rambut putihnya masih terlihat tebal. Wajah opa tetap terlihat berwibawa seperti dulu. Membuat siapa pun berpikir dulu sebelum bicara dengannya. 

"Kita makan dulu, setelah itu kita berbincang-bincang," ucap opa. 

Kami pun makan malam sambil mengobrol ringan, sedangkan aku dan Langit sedikit kaku, semoga opa tidak curiga. 

Selesai makan, kami menuju ruang tamu, opa yang sudah hampir berusia sembilan puluh tahun masih terlihat sehat. 

"Kalian pasti penasaran kenapa, opa, memanggil kalian bukan?" kata Opa sambil meminum teh Hijaunya. 

Aku dan Langit mengangguk. 

"Langit, Opa dengar kau yang mengurus yang kasus menantu keluarga Soetedja."

Langit mengangguk. "Iya, Opa." 

"Peristiwa itu benar-benar mengerikan, semoga istri Abraham cepat pulih. "Opa menarik nafasnya dalam. Lalu Opa menatap Langit serius. 

"Langit, sekarang ini orang gila semakin banyak berkeliaran dan mereka kelihatan normal, siapa yang menyangka kalau Daniel Fukada bisa melakukan hal gila seperti itu." 

Langit mengangguk dan kami sama-sama menunggu kemana arah pembicaraan opa. 

"Jadi tujuan Opa meminta kalian datang ke sini, Opa ingin kau menjaga adikmu Rizka." Aku terkejut, begitu juga dengan Langit. 

"Maksud, Opa?" Aku bertanya bingung. 

"Langit akan menjagamu selama dua puluh empat jam. Opa tidak mau kau mengalami kejadian seperti istri Abraham," kata opa padaku. 

"Opa aku tidak bisa, besok aku harus berangkat ke Moskow, pekerjaanku menungguku di sana, dan apa yang menimpa istri Abraham Soetedja tidak ada hubungannya dengan Rizka." Langit menjawab tegas dan menatap opa lekat. 

"Iya, Opa, aku tidak perlu dijaga oleh siapa pun," kataku menambahkan. Ini benar-benar kejutan. 

"Jadi kau lebih mementingkan pekerjaanmu daripada keselamatan adikmu?" Suara opa mulai meninggi dan menatap Langit marah. 

Langit terlihat gelagapan. 

"Opa, Rizka baru tiba di sini, dan tidak ada yang mengancam keselamatannya." Dia berusaha menjelaskan sambil memandangku. Aku memasang ekspresi tidak tahu apa-apa. Aku memang tidak tahu rencana Opa!

"Benar, Opa, ini terlalu berlebihan.” Aku menambahkan. Ini adalah kesempatan bagus untuk menaklukkan si Pria sombong ini, dan aku tidak boleh terlihat kentara mengambil kesempatan dalam situasi ini. 

"Begini saja, Opa, aku akan mengirim orang terbaikku untuk menjaga Rizka kalau Opa kuatir keselamatannya." 

Opa menghentakkan tongkatnya ke lantai dan membuat kami terkejut. 

"Opa, mau kau yang menjaga adikmu! Kau kirim saja orang terbaikmu itu ke Rusia! "Opa melotot marah pada Langit. 

"Opa-" Opa menatapku sengit, aku langsung menutup mulutku. Lanjutkan Opa!

"Langit, opa menyekolahkanmu ke Amerika untuk bisnis, tapi di sana kau malah ikut gengster entah apapun namanya, dan saat sekolahmu selesai, kau tidak mau bergabung di perusahaan Opa. Tetapi selama ini, opa diam saja dan tidak memaksamu. Tapi kali ini, opa memaksamu untuk menjaga adikmu." Opa memandangnya penuh intimidasi. 

"Opa, memberimu waktu sebulan menjaga adikmu, kalau semua baik-baik saja, kau bisa pergi dan mengirimkan orangmu untuk menjaganya." 

Opa menarik nafasnya dalam. 

"Aku berulang kali ingin dibunuh orang-orang dalam saingan bisnisku Langit, dan Rizka sekarang target mereka. Tadinya, opa akan menjual perusahaan keluarga kita karena di antara kalian tidak ada berminat, tapi setelah Rizka mau bergabung dan mengurus perusahaan ini kelak, rencana opa berubah, dan pasti banyak yang tidak menyukai keputusan opa ini. Dan Rizka akan menjadi target." 

"Belum lagi ancaman lain yang tidak bisa opa prediksikan, jadi opa berharap kau bersedia melakukannya." Opa menatap Langit lekat penuh harap. 

Langit tampak berpikir keras, dan aku berdoa dalam hati agar dia bersedia. 

"Baik, Opa," jawab Langit sambil memandang Opa. Dan aku mengendalikan diri agar tidak bersorak senang. 

Opa tersenyum penuh kemenangan. 

"Oh iya, ngomong-ngomong, opa setuju kau menjalin hubungan dengan putri Jerry Wiraatmadja." Opa tersenyum pada Langit. 

Dan ucapan Opa membuat kegembiraanku lenyap seketika. 

Baiklah, kita akan mulai permainan ini. 

                                                       ****

Langit 

"Besok pagi aku akan menjemputmu dan besok aku akan pindah ke rumahmu. Jadi katakan pada asistenmu menyiapkan kamar untukku." Aku memberi perintah pada gadis di sampingku ini saat kami pulang dari rumah opa. 

Dia mengangguk. 

Aroma lavender dari tubuhnya memenuhi udara dalam mobil. 

Lehernya yang mulus hingga diatas payudaranya membuatku tidak tenang. 

Dress sialan!

Dress itu membuatnya terlihat sangat menggiurkan. 

Safety belt yang terpasang semakin memperjelas bentuk payudaranya yang meminta untuk disentuh. 

Tidak pernah seumur hidupku seorang perempuan membangkitkan gairahku seperti ini. 

Dan ini terlarang, sangat terlarang. 

Aku memegang kemudi sangat kuat, aku menahan tanganku untuk tidak menyentuhnya. 

Dan Opa menyuruhku menjaga Gadis nakal penggoda ini selama satu bulan. Aku bukan biarawan atau pun biksu!

Aku tahu Rizka menggodaku, membalas sakit hatinya padaku. Dan yang menjadi masalah, dia sekarang sangat menggoda dan aku terjerat. 

Ini benar-benar sialan! 

Kami tiba rumah yang ditempati Rizka, gerbang dibuka oleh penjaga. 

Aku mematikan mesin mobil saat sudah di teras rumah. 

"Kenapa ini susah dibuka." Rizka mengomel saat berusaha membuka safety belt. 

"Biar aku buka., ucapku sambil mengulurkan tanganku ke arah sabuk tersebut. Dan benar saja, safety belt itu ternyata memang susah dibuka, dan ini tidak pernah terjadi. Tanpa kusadari wajah kami sudah sangat dekat saat aku membantunya. 

Payudaranya terangkat dan kemerahan. 

Aroma lavender memasuki hidungku, nafasnya yang beraroma segar terasa hangat di pipiku. 

Aku mencoba sekali lagi membuka safety belt sialan ini. 

Klik!

Akhirnya. 

Tapi aku enggan menjauhkan tubuhku dari hadapannya. 

Kami saling bertatapan. 

"Persetan!" Aku menariknya dan dia tidak menolak. 

Aku mendudukkannya di pangkuanku. 

Tangannya melingkar di leherku, aku melumat bibirnya, dan dia membalas ciumanku. Aku membuka mulutku, lidah kami saling melilit. 

Saat aku mengisap bibir bawahnya, Rizka semakin memelukku erat. 

Tanganku membelai pahanya yang halus. 

Dia mendesah pelan. Kejantananku tiba-tiba keras, dan aku menekan bokongnya ke arah bukti gairahku. Dirinya bertemu dengan kejantananku yang membengkak karena gairah. 

"Langit," ucapnya lembut sambil mendesah.

 

Mulutku mengecup lehernya dan tanganku menyelusup kedalam celana dalamnya dan membelai bokongnya

Dia semakin menekan kepalaku saat aku menjilat lehernya. Sekarang tanganku membelai punggungnya yang mulus dan halus.

Mulutku mengisap payudaranya di bagian atas dan meninggalkan tanda merah di sana. 

Dia merintih. 

Satu tanganku memeluk pinggangnya, lalu aku menurunkan tali dressnya yang kecil, yang sudah menggodaku sejak tadi. 

Payudaranya terpampang dihadapanku, aku langsung menatapnya lapar. Kuhisap puting payudaranya untuk memenuhi hasratku yang lapar. Tanganku meremas payudaranya yang bulat, penuh dan kenyal. Lalu aku menyelusupkan wajahku di antara ppayudaranya yang hangat dan indah. 

Dia mendesah dan menggerakkan pinggulnya. 

Aku melepaskan tanganku dari payudaranya dan memeluknya erat, tapi aku masih membenamkan wajahku di sana. 

Dia menekan kepalaku dan meremas rambutku. 

"Sayangku." Aku berbisik dengan nafas terengah. 

Tiba-tiba kesadaran memukulku. 

Aku menjauhkan wajahku dari payudaranya. 

Nafas kami berpacu, payudaranya menggantung menggoda dihadapanku. 

Aku menarik wajahnya dan menyatukan kening kami, tangannya masih melingkar di leherku. 

Aku mencium bibirnya lembut. 

"Aku benar-benar menginginkanmu, Rizka, tapi ini harus dihentikan.” 

"Tidak." Dia menjawab serak. 

"Harus, Sayang." 

Aku menariknya dan memeluknya erat, lalu mencium bahunya yang telanjang. 

"Kau bisa rasakan gairahku?" Aku berbisik di telinganya dan dia mengangguk. 

"Aku si pemadam yang sudah terbakar hangus, Rizka." 

Lalu dia menarik dirinya dan membuat jarak di antara kami, payudaranya masih menggantung dan aku menatapnya tanpa sungkan. 

"Pasang kembali dressku yang sudah kau turunkan,” perintahnya padaku.

Aku berdehem menenangkan diriku, lalu mengangkat tali dressnya dan memasangkan kembali kebahunya. 

Saat dia ingin beranjak dari pangkuanku, aku menahannya. 

"Ini tidak akan terulang lagi." Aku menatapnya serius. 

Dia mengangkat bahunya, dan dia hanya tersenyum, lalu beranjak keluar dari mobil. 

Aku ingin menembak diriku saat ini. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status