Share

Bab 6

"Hal sepele seperti ini saja tidak bisa kalian selesaikan! Apa aku harus turun tangan mengurus masalah ini?! Siapa yang menghalangi pengiriman perempuan-perempuan itu?!" Seorang Pria bertubuh tinggi besar berteriak marah pada anak buahnya.

"Maaf Bos, masalahnya yang membuat pekerjaan kita sulit bukan dari kepolisian atau aparat pemerintah." Anak buahnya menjawab dengan suara ketakutan.

"Lalu siapa?! Kau tidak bisa menemukan siapa orangnya atau kelompoknya? Aku rugi besar brengsek! Dua kali ... dua kali perempuan-perempuan yang akan kita jual gagal, obat-obatanku juga tertangkap! Sebentar lagi kita semua yang akan di gulung habis, dan kalian tidak bisa melakukan apa-apa?!"

"Bos, mereka ini sangat sulit dan licin, siapa pun mereka ini Bos, mereka lebih cerdik dari kita."

"Tidak ada yang lebih cerdik dari seorang Topan! Kau cari tahu siapa mereka! Aku beri kalian waktu dua hari. Dan selama dua hari ini, informasi tentang mereka harus sudah sampai padaku." Topan mengamuk sampai wajahnya memerah.

"Siap Bos!" Lalu anak buahnya pergi dari ruangannya.

Tentu saja Topan marah, karena bisnis gelapnya selama ini tidak pernah tertangkap, dia menguasai semua aparat pemerintahan dengan uangnya.

Pria itu tersenyum pongah dan licik, menurutnya tidak ada yang bisa menghalangi seorang Topan, bahkan kematian.

Topan sering kali berhadapan dengan kematian, bahkan dulu, seorang anak kecil pernah berusaha membunuhnya, tapi lihatlah, Topan tetap hidup dan tegak berdiri. Bahkan menjadi penjahat kelas kakap saat ini.

Topan meludah lalu menghisap cerutunya.

"Tidak ada yang bisa menghalangi keinginan Topan, bahkan Tuhasekalipun pun," katanya dengan penuh kesombongan.

                                                                                                             

                                                                ****

Aku sekarang berada di rumah Rizka, dan dia belum turun dari kamarnya. Tentu saja dia belum bangun, ini masih pukul setengah enam pagi.

Aku tadi membeli sarapan, karena aku tahu Rizka tidak memiliki pembantu yang menginap di rumah.

Tiba-tiba aku mendengar suara terkesiap.

"Astaga ! Kau mengejutkanku Langit!"

Kalau dia terkejut melihatku, aku terbakar melihatnya berdiri di pintu ruang makan dengan memakai gaun tidur satin berwarna putih sebatas paha, dan memakai kimono dengan warna yang sama tanpa mengikatnya, rambutnya disanggul tinggi keatas.

Pasti tidur dengannya sangat menyenangkan.

Sial!

"Ini masih terlalu pagi untuk menjemputku atau pun pindah." Rizka mengangkat alisnya sebelah.

Sepanjang malam ini aku dan timku mengurus kapal yang ditangkap oleh anak buahku, kapal-kapal itu membawa kontainer yang isinya perempuan-perempuan yang akan dijual sebagai pelacur, dan obat-obat terlarang.

Minggu lalu timku juga berhasil menangkap kapal dengan kasus yang sama.

Kami dibayar seseorang untuk melakukannya, tugas kami hanya menangkap kapal, membebaskan perempuan-perempuan itu dan juga memusnahkan obat-obatan yang kami temukan.

Hingga subuh kami menyelesaikan misi penangkapan kami. Setelah itu aku langsung ke rumah Rizka, lalu pagi ini mengantarkannya bekerja, setelah itu aku akan tidur hingga siang.

"Aku takut kau terlambat, jadi aku cepat datang," jawabku beralasan.

Dia menatapku curiga.

"Hmmm ... kau kelihatan kurang tidur, kau pasti bersenang-senang dengan perempuan tadi malam setelah mengantarkan," katanya berasumsi.

"Hmmm ... " Aku menjawab tidak peduli.

Rizka duduk di meja makan dan masih menatapku penuh selidik.

"kopi?" Aku bertanya padanya.

"Pakai susu sedikit," jawabnya sambil bertopang tangan.

Aku langsung memandang dadanya saat dia mengatakan susu. Astaga ... aku jadi bajingan penuh nafsu setiap di dekatnya.

"Susu yang ini belum ada," ujarnya dengan tatapan mengejek.

Aku terkejut gelagapan karena ketahuan melihat payudaranya.

Brengsek!

Lalu dia menatapku yang masih berdiri di depan mesin kopi dengan penuh penilaian.

"Kenapa melihatku seperti itu?" Aku melotot padanya.

"Kau seperti si Johnny eating sugar, ketahuan mencuri gula, dan kau ketahuan mencuri pandang ke payudaraku."

Aku melongo tidak mengerti.

"Johnny siapa? Dan siapa yang mencuri pandang payudaramu? Kau terlalu percaya diri Rizka." aku mendengus menutupi kebohonganku.

Lalu tiba-tiba dia bernyanyi.

"Johnny ... Johnny ...  yes Papa! Eating sugar ... no Papa ... telling lies ... no Papa ... open your mouth! Haahahaa ..."

"Langit Langit ... yes Mama! Looking my boobs .. no Mama ... telling lies ... no Mama ... open your Zipper ... hahahaha."

Mata Rizka menatap bagian bawahku.

Sialan ... dia mengejekku. Gadis penggoda kurang ajar.

"Kau pasti menganggap ini semua permainan kan Rizka?" Aku menatapnya marah sambil membawa kopi dan Roti ke meja.

"Apa maksud tuduhan yang menyenangkan itu?" Dia bertanya seperti tersinggung.

"Tiba-tiba aku merasa panas di sini." Rizka membuka kimono tidurnya dan sekarang dia hanya memakai gaun tidur bertali spageti dengan potongan rendah di bagian dadanya.

Dia pasti ingin membunuhku.

"Kau ingin menggodaku Rizka?" Aku meminum kopiku dan mengendalikan diriku. Tidak akan kubiarkan kucing kecil ini mencakarku.

Lalu dia tertawa mendongakkan wajahnya ke atas. Dan demi neraka jahanam, leher itu membuat mulutku kering.

"Kau terlalu memandang dirimu tinggi Langit," katanya dengan nada mengejek.

Aku memakan rotiku dan menjawabnya.

"Tentu saja aku begitu, dan semua wanita mengakuinya."

"Tapi aku belum mengakuimu," katanya sambil memakan rotinya penuh provokatif.

"Dan kau tidak akan pernah mendapatkannya," balasku sambil meminum kopiku dengan percaya diri.

"Mau bertaruh?"

Oh, kucing kecil ini menantangku!

"Aku tidak mempertaruhkan aksi ranjangku." Aku menjawabnya enteng sambil menatapnya lekat.

Lalu dia melipat tangannya dan memperlihatkan payudaranya naik ke atas, seketika celanaku mengetat.

Sial!

"Oh jadi kita sedang membahas aksi ranjang ya? hmmm ... menarik." Dia memandangku dengan cara paling nakal yang pernah kulihat.

"Kau tahu Langit, aksi ranjangku juga tidak kalah denganmu," katanya dengan sombong.

Aku tertawa terbahak-bahak. "Kau pembohong kecil yang nakal." Aku tertawa mencemooh.

"Yah ... terserah kau saja kalau tidak percaya, bisa saja aku mengajakmu untuk mencobanya, tapi kau tidak akan mendapatkannya." Rizka mengedipkan sebelah matanya padaku.

Sialan!

Dan aku sekarang terus mengumpat karena Rizka.

"Selama di Inggris kau sepertinya bukan belajar bisnis ya? aku yakin kau di sana belajar bagaimana cara menggoda pria." kataku sinis.

Dia tertawa lepas, tidak tersinggung dengan sindiranku.

"Aku menyelam sambil minum air." Sahutnya sambil mengedipkan matanya padaku. Lalu dia menghabiskan kopinya setelah itu dia menatapku lekat.

"Aku beritahu kau sebuah rahasia Langit." Rizka mendekatkan wajahnya padaku, lalu dia berbisik, "Aku sangat mahir menjepit dan menjilat, dan aku belajar keras untuk itu."

"Fuck!" Aku terkejut bukan main.

"Try me," ucapnya berbisik dengan nada sensual. “On your dreams.” tambahnya.

Lalu dia meninggalkan aku seperti remaja bodoh. Dan aku ingin meledak sekarang.

Aku tiba di rumah Rizka pukul sembilan malam, setelah tadi sore aku menjemputnya dari kantor dan mengantarkannya pulang, dan setelah itu aku pergi sebentar ke markas karena ada urusan yang harus aku selesaikan.

Aku membuka pintu dan langsung menguncinya. Ruang tengah terlihat gelap, hanya berkas cahaya dari lampu luar yang masuk.

Aku mendapati Rizka di ruang tengah sedang menonton televisi dan berbagai makanan, minuman soda serta semangkuk besar es krim di atas meja.

Rizka hanya mengenakan celana pendek dan tank top.

Dia melirikku sekilas, lalu kembali menonton film yang sedang di putar.

Aku duduk di sampingnya, lalu aku membuka sepatuku dan bersandar duduk di kursi.

Dia menyodorkan makanan yang sedang di pegangannya, aku pun mengambilnya dan memasukkan ke mulutku.

"Kenapa lampunya dimatikan?" Aku bertanya sambil memperhatikannya.

"Aku suka mematikan lampu kalau sedang menonton."

Dia mengambil botol minuman soda, lalu meminumnya.

"Kau mau minum?" Dia menyerahkan botol tersebut.

Aku menerimanya dan langsung meneguk minuman soda itu.

"Cerita film ini tentang apa?" Aku juga akhirnya ikut menonton.

"Pembunuhan, penjahatnya Psikopat." Matanya terus ke arah televisi.

"Kau tidak takut melihat film jenis ini?"

"Tidak, aku malah suka. Dan aku juga suka film horor," ucapnya sambil tertawa kecil, lalu mengambil mangkuk es krim dan menyendok es tersebut ke dalam mulutnya.

"Kau kuat sekali makan." Aku meliriknya yang lahap menelan es krim.

"Aku juga hobby makan, tapi lihatlah aku tidak gemuk kan?" Dia mencondongkan badannya padaku.

Aku tidak menjawab dan langsung melihat film yang sedang di putar.

Ruangan yang gelap hanya di terangi cahaya lampu dari teras luar, sedangkan film saat ini menayangkan di mana Si psikopat sedang mengejar korbannya, membuat suasana jadi tegang.

Kami berdua begitu serius menonton film ini.

Si psikopat mengejar korbannya yang seorang perempuan. Aku heran kenapa selalu perempuan?

Sound effect film terdengar mencekam. Suara nafas si korban yang terengah ketakutan membuat suasana semakin tegang. Perempuan pirang di film itu bersembunyi, sedangkan si psikopat berjalan-jalan di sekitarnya mencari si perempuan pirang.

Teriakan si korban yang tiba-tiba karena telah ditemukan si psikopat membuat kami terkejut.

Aku mendengar Rizka di sampingku mengumpat dan aku menoleh padanya.

Tapi kenapa es krimnya tumpah?

"Kau kenapa?" Aku ingin tertawa melihat tampangnya saat ini .

"Film sialan!, aku terkejut karena si pirang sampai es krim ini terlepas dari tangank. Lihat bajuku." dia terlihat marah dan kesal

Aku tertawa terbahak-bahak.

"Kau bilang kau tidak takut."

"Aku memang tidak takut, aku hanya terkejut ! Astaga.. bajuku jadi lengket."

Aku melihat es krim tertumpah di dadanya sampai ke perutnya. Payudaranya tercetak jelas di balik tank topnya. Dan ternyata dia tidak memakai bra!

"Langit, tolong ambilkan aku tissue itu." dia menunjuk tissue di ujung meja.

Aku langsung sadar dan mengambil beberapa lembar tissue lalu menyerahkan padanya.

Aku memperhatikannya yang sedang membersihkan es krim dari tubuhnya.

Sialan!

Es krim sialan!

"Ya ampun, ini benar-benar lengket, aduh.. dingin lagi, minta lagi tissuenya."

Aku kembali mengambil tissue dan menyerahkan padanya.

"Ini benar-benar lengket, aku harus mandi, jangan lupa mematikan televisi kalau kau sudah selesai nonton."

Rizka beranjak pergi tapi bukan ke kamarnya, tapi ke arah belakang. Aku mengikuti dengan mataku ke mana dia pergi, dan ternyata dia ke kolam renang!

Malam-malam dia berenang!

Aku langsung mematikan televisi dan menyusulnya ke belakang.

"Kau mau berenang malam-malam begini?" aku bertanya sambil berkacak pinggang, dia terkejut karena aku tiba-tiba mengikutinya.

Lalu dia tersenyum. "Aku kan memang suka berenang pada malam hari."

Dia langsung membuka tank topnya dihadapanku, dan payudaranya langsung terpampang tanpa tertutupi apa pun!

Aku menelan ludahku sseperti seorang seorang yang pertama kali melihat payudara. Dan aku sudah sering melihat payudara!

Dia membuka celana pendeknya, dan sekarang dia hanya mengenakan celana dalam berenda tipis dan kecil, dan celana itu seolah-olah mengejekku.

Dia berjalan ke arah kolam renang, bokongnya bergoyang mengoda saat dia berjalan. Rizka tidak memperdulikan kehadiranku, seolah-olah aku tidak ada di sana.

Rizka berjalan masuk ke kolam renang, cahaya bulan berkilau di permukaan air kolam itu, dan saat Rizka berdiri di bagian kolam yang hanya sebatas pinggang, dengan rambutnya yang tergerai panjang membuatnya terlihat sangat indah, kulitnya berkilau terkena pantulan cahaya air kolam. Dia seperti dewi malam saat ini.

Dan sang dewi tiba-tiba berenang dan masuk menyelam ke dalam air.

Sedangkan aku seperti orang idiot menunggu sang dewi muncul ke permukaan.

Aku melihatnya bergerak di dalam air yang jernih itu. Dan sekarang dia berenang ke arahku. Tepat saat mencapai pinggir kolam yang dangkal, dia muncul, lalu berdiri dan berjalan perlahan-lahan, sambil menatap mataku.

Rambutnya yang basah dan tubuhnya yang basah, berkilau terkena cahaya, payudaranya yang padat, besar dan indah berayun lembut menggodaku.

Tetesan air jatuh dari tubuhnya, perutnya yang datar dan kulitnya yang berkilau membuatnya sangat indah dan misterius.

Aku seperti terhipnotis. Aku membuka pakaianku dan hanya memakai celana dalamku, lalu aku masuk menyusulnya ke dalam kolam. Dia berdiri menungguku.

Sekarang Kami berhadap-hadapan dan saling memandang.

Tiba-tiba dia kembali masuk menyelam ke dalam kolam, lalu aku menyusulnya dan kami saling mengejar di dalam kolam.

Aku berusaha menggampainya, tapi dia bisa menghindar dengan gesit, si dewi penggoda memang hebat berenang.

Kami naik ke permukaan, nafas kami terengah-engah, karena terlalu lama di dalam air.

"Satu putaran lagi, siapa yang paling lama bertahan di dalam air dia lah pemenangnya."

Dia berujar seolah kami tadi ada membuat perlombaan.

"Dan apa hadiah untuk pemenang?" aku bertanya.

"Pemenang bebas meminta apa saja."

Tantangan penuh godaan, dan aku ingin memenuhi tantangan ini.

"Oke."

Lalu dia mulai menghitung, dan kami kembali menyelam ke dalam kolam.

Aku bertahan dalam dua putaran, hingga akhirnya aku menyerah. Aku keluar dan menuju pinggir kolam.

Aku bersandar di pinggir kolam, nafasku terengah-engah, tidak lama sang dewi penggoda muncul keluar dari air dengan nafas terengah dan tersenyum penuh kemenangan.

Aku kalah.

Dia menyusulku ke pinggir kolam, dia berenang dengan sangat indah seperti kupu-kupu.

"Aku menang." Katanya bangga dan dia sekarang berdiri di hadapanku dengan payudara yang menggantung indah berkilau.

Aku mencengkeram tubir kolam menahan gejolakku yang rasanya ingin meledak.

"Apa yang ingin kau minta?" Aku langsung bertanya karena dia lah pemenangnya.

"Hadiahnya tidak harus malam ini kan? Aku mau mengumpulkan poin dulu. Bagaimana menurutmu?"

"Terserahmu saja."

Tiba-tiba tangannya menyentuh dadaku dan membelai pelan ke arah putingku.

"Kapan kau menindik ini?" Dia membelai tindik di dadaku.

Darahku berdesir hebat, nafasku tiba-tiba tersengal, mataku berkabut karena gairah.

Aku mengendalikan diriku.

"Saat kuliah di Amerika."

"Oh." Dia bergumam pelan.

Dewi penggoda ini benar-benar menyiksaku.

Dia menatap mataku sedangkan tangannya masih membelai putingku yang tertindik dengan jarinya.

"Apakah sakit kalau aku menyentuhnya?" dia bertanya dengan wajah polos.

"Tidak." aku menjawab dengan nafas tertahan.

"Tindik ini sangat seksi." Lalu dia mendekatkan mulutnya ke mulutku dan berbisik pelan. "Aku suka tindikmu Spartan."

Aku mendesah dan mencengkeram kuat pinggir kolam, karena kalau aku melepas pegangannku, maka aku tidak akan bisa menghentikan diriku saat ini.

Lalu dia menunduk dan menjilat putingku yang ditindik.

"Rizka." Aku menahan nafasku.

Dia memandangku, lalu kembali menjulurkan lidahnya menjilat tindikku.

Aku menggenggam rambutnya yang panjang dan menarik wajahnya menengadah ke arahku.

"Jangan menggodaku." Aku membelai bibirnya dengan jariku.

Dia tersenyum dan menghisap dua jariku yang membelai bibirnya.

Sialan!!

Dia merapatkan tubuhnya padaku, payudaranya yang padat dan lembut menekan dadaku, lalu dia menggesekkan payudaranya ke putingku yang di tindik.

"Bagaimana menurutmu kalau aku menindik puting payudaraku?" Dia bertanya malu-malu.

"Jangan! Jangan coba-coba, siapapun tidak boleh menyentuh payudaramu!"

"Kalau kau yang menyentuhnya?" dia berbisik di mulutku.

Aku menggeram.

"Semoga Tuhan mencabut nyawaku setelah ini." aku langsung menciumnya, dan memeluknya erat, dia juga membalas ciumanku.

Aku memutar tubuhku, sekarang dia yang bersandar di pinggir kolam. Aku meletakkan kedua tangannya di pinggir kolam.

"Lihat aku gadis nakal." Dia menatapku dengan mata sayup dan membusungkan dadanya, nafasnya yang terengah membuat payudaranya naik turun.

Aku menyentuh puting payudaranya.

"Ini bukan untuk di tindik, tapi untuk di sentuh seperti ini." Aku melingkari putingnya dengan jari telunjukku, lalu kutekan pelan dan kujepit dengan jariku lalu menariknya lembut.

Dia mendesah dan memejamkan matanya.

"Dan Ini bukan untuk ditindik, tapi diperlakukan seperti ini." aku menundukkan kepalaku dan menjilatnya pelan dengan melingkar, ujung lidahku menekan putingnya, lalu aku menghembusnya pelan.

Dia semakin melengkungkan tubuhnya. Aku pun langsung menjilat payudaranya. Aku menghisap kuat payudaranya di bagian atas, dan aku meninggalkan tandaku di sana. "Dan ini harus aku tandai agar siapa pun tidak bisa menyentuhnya."

Lalu aku melahap payudaranya bergantian, jarinya menyusup ke dalam rambutku. Dan aku memegang kedua payudaranya dan meremasnya, lalu kumasukkan ke mulutku.

Tiba-tiba kakinya melingkar di kakiku, aku memegang bokongnya dan mengangkatnya. Kejantananku yang bengkak tepat di depan intinya yang terasa hangat walau kami sekarang di dalam air.

Dia mengalungkan tangannya di leherku, kami berciuman seperti orang kelaparan.

Aku menjauhkan wajahku, kami saling menatap, aku menekan bokongnya sehingga pusat diri dalam saling merasakan dibalik celana kami.

"Kau mau kita keluar?" Aku bertanya.

Dia mengangguk.

Kami keluar dari kolam, dan aku masih menggendongnya.

Aku membawanya ke kamarku. Sesampainya di kamar dia melepas kakinya dari pinggangku dan kami kembali berciuman sambil berdiri.

Kami berciuman seolah tidak ada hari esok.

Aku turunkan celananya, begitu juga sebaliknya. Kami sama-sama telanjang, aku menjatuhkan tubuh kami di atas tempat tidur, kami masih saling berciuman.

Nafsu menguasai kami, saat aku menatap matanya yang tulus menatapku, kesadaran menghantamku.

"Kau mau kita melakukannya sayang?" aku bertanya lembut.

Dia mengangguk dengan wajah memerah.

"Kalau begitu kita harus menikah, aku akan bicara pada keluarga kita." Aku tahu ini keputusan yang gila, tapi aku tidak bisa melakukan ini tanpa komitmen dengan Rizka. Dia tidak sama dengan perempuan-perempuan yang kubayar selama ini memenuhi kebutuhan seksku.

Tiba-tiba dia mendorongku, dia langsung berdiri dengan tubuh telanjang.

"Menikah?!" dia terbelalak terkejut.

"Iya, kita harus menikah untuk melakukan ini." Aku menatapnya serius.

"Kau tidak sama dengan perempuan-perempuan tolol yang aku bawa selama ini ke ranjangku Rizka, jadi kita harus dalam ikatan komitmen melakukan ini." Aku melanjutkan.

"Aku tidak mau menikah." Katanya dengan suara bergetar. "Dan kenapa kita harus menikah Langit?"

Aku terkejut dengan penolakannya.

"Karena kau dan aku sama-sama tertarik dalam gairah ini Rizka."

"Aku tidak mau menikah." dia membalas tatapanku.

Aku terkekeh.

"Jadi kau hanya ingin bermain kan?"

"Siapa yang bermain?!" dia melotot padaku.

"Kau terus menggodaku, di pesta Papi, tadi pagi dan malam ini." Aku mengangkat alisku.

"Aku tidak menggodamu, kau yang menyusulku masuk ke dalam kolam itu." Dia melawan dengan tidak yakin.

Aku mendengus.

"Kau melakukan hal-hal provokatif padaku, semua laki-laki sehat pasti akan melakukan apa yang aku lakukan tadi."

Wajahnya merah, lalu dia mengangkat wajahnya tinggi menantangku.

"Kalau begitu, itu karena kau sehat!, bukan karena aku menggodamu! kenapa kau selalu menuduhku? padahal kau yang tidak bisa mengendalikan dirimu!" Suaranya meninggi.

Benar, aku yang tidak bisa mengendalikan diriku, aku menjadi merasa bersalah.

"Maafkan aku, maksudku_"

"Aku tahu maksudmu, aku yang menggodamu jadi aku yang salah." Dia menyelaku, dan terlihat seksi sekaligus menggairahkan saat dia marah.

Aku mendekatinya.

"Jadi kau tidak mau menikah?"

"Tidak." Dia menatapku yakin.

"Jadi kita akan terus terbakar seperti ini tanpa komitmen?"

"K-kalau begitu kita harus menjaga jarak." Suaranya terdengar kurang yakin.

Aku tersenyum.

"Rizka, sebulan kedepan aku akan menjagamu, dan kita belum sampai dua hari bersama, kau lihat kan apa yang terjadi antara kita?" dia diam.

"Aku yang akan bicara pada Papi, Ringgo dan Opa." Aku melanjutkan.

"Kita belum melakukan apa-apa!, untuk apa kau bicara pada mereka?" Rizka membentakku.

"Banyak yang sudah kita lakukan Rizka." Jawabku sambil terkekeh.

"Tidak! aku__" tiba-tiba pintu terbuka.

"Lang, apa kalian _" Ronan berhenti berbicara.

Ringgo dan Ronan berdiri di pintu dengan mata terbelalak melihatku dan Rizka di kamarku.

Dan kami masih telanjang.

Sempurna!

"What the hell !!" Ringgo berteriak dan ingin menerjangku tapi langsung di tahan Ronan.

"Pakai baju kalian!" Ronan menarik Ringgo menjauh dari pintu.

"Lepaskan aku Roe!" Ringgo berteriak dan memukul Ronan.

Aku langsung menutup pintu dan menguncinya, pintu di gedor dan di tendang, Ringgo memakiku dari luar.

Rizka mematung, terlihat pucat dan terkejut.

Aku langsung memeluknya. "Aku akan mengurusnya Sayang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status