“Sudah sampai. Kerjakan ujian dengan baik, ya!“ ucap Dokter Darel memecah keheningan. “Dok, kenapa Dokter diam setelah tahu nama lengkapku dan Dika?“ tanyaku sebelum keluar dari mobil. “Kalau kamu anak yang pintar, kamu pasti bisa menebak apa yang sedang aku pikirkan. Sudah sana, fokus dengan ujianmu dulu! Nanti selesai ujian kita bahas soal ini.“Aku hanya menggaruk kepala. Aku masih tidak mengerti apa yang sebenarnya tengah terjadi. Entahlah! Dokter Darel memang senang membuat teka-teki. Aku hanya ingin ujian hari ini segera berakhir dan bertemu dengan Dika.Enam jam berlalu, ujian sekolah hari ini cukup membuatku memeras otak. Tentu saja karena aku tidak bisa belajar sedikit pun. Beruntung, aku masih tetap bisa mengerjakannya. Aku menghubungi nomor Dika. Dua kali tidak dijawab. Namun, yang ketiga kalinya aku bisa mendengar suara Dika dari seberang. “Halo.““Dik, ini aku. Aku pengen ketemu. Kamu bisa jemput ke sekolahku? Atau aku naik angkot ke sekolahmu?““Kamu tunggu saja di h
Bab 15Setengah jam berlalu. Dokter Darel benar-benar datang. Ia membawa makan siang, makanan ringan dan beberapa botol soft drink merk terkenal. ”Makasih untuk ponselnya, Dok. Ini pasti mahal,” ucap Dika begitu Dokter Darel datang. ”Pakai saja. Yang penting bisa untuk berkomunikasi dengan Vio. Kamu tinggal di sini, Dik?” tanya Dokter Darel. ”Sementara, iya, Dok. Ini kosan temen, saya cuma numpang. Nantilah sampai selesai ujian baru saya cari tempat kos sendiri.””Mau kubantu untuk mencari?” Dokter Darel kembali menawarkan bantuan. ”Nggak usah, Dok. Anak laki-laki harus mandiri. Lagian kosan ini kosong. Temanku berangkat dari jam 6 pagi pulangnya kadang sampai larut malam.””Baiklah kalau begitu. Kalau ada apa-apa, kamu bisa hubungi aku.””Katanya, Dokter mau menunjukkan sesuatu?” aku mengingatkan tujuan Dokter Darel kemari. ”Kalau aku mengajak kalian menemui seseorang, apa kalian mau?” tanya Dokter Darel. Ia menatap kami bergantian.”Siapa, Dok?” tanyaku penasaran. ”Ayo kita ke
Dokter Darel mengajak kami duduk di taman belakang, sembari menunggu Kesya yang sedang asik bermain ayunan. Dokter Darel mulai menceritakan kehidupan masa lalunya. Ketika ia sekolah, sampai ia bisa menjadi seorang dokter. “Istri Dokter ke mana?“ pertanyaan yang sama. Karena aku sangat penasaran dengan Mama Kesya. “Sebenarnya aku belum punya istri, tepatnya aku belum menikah.““Loh, kata Dokter ...?““Benar, Mamanya Kesya adalah orang Spanyol. Tapi dia bukan istriku. Melainkan mantan istri Kak Mahes. Dan dia pergi, satu minggu setelah melahirkan Kesya.“Lagi, aku dibuat terkejut olah pengakuan Dokter Darel. Jadi, bukan Dokter Darel Papanya Kesya, tetapi Om Mahesa. “Ibuk dulu sering ke sini, Om?“ tanyaku lagi. “Iya, sering. Bahkan Ibu kalian sangat dekat dengan almarhumah Mama. Mungkin karena Mama tidak memiliki anak perempuan, dan kebetulan Ibu kalian bisa membuat Mamaku jatuh hati. Bukan hanya Kak Mahesa. Namun, semua penghuni rumah sudah dibuat jatuh hati oleh Mbak Ningsih. Terma
“Dok ....?““Aku akan menemanimu masuk.““Nggak usah, Dok. Nanti Bapak bisa memukul Dokter.“Dokter Darel tidak menghiraukanku. Ia membuka pintu mobil, aku pun ikut membuka pintu. Dokter Darel meyakinkan bahwa ia tidak akan pergi sebelum aku masuk. Aku berjalan lebih dulu. Dokter Darel di belakangku. Mita yang baru saja muncul di depan pintu, langsung memasang muka garang sambil berkacak pinggang. “Dari mana kamu, hah? Bukankah harusnya pulang awal karena sedang ujian? Tapi kenapa sampai jam segini? Siapa laki-laki ini?“ Mita memberondongku dengan banyak pertanyaan. Belum sempat aku menjawab, Dokter Darel sudah lebih dulu maju. Dokter Darel mengulurkan tangannya. “Maaf, Bu. Vio pulang terlambat karena tadi saya minta tolong untuk menemani menengok seorang teman yang sedang sakit. Perkenalkan, saya Arka. Saya temannya Viola.“ Mita menerima uluran tangan Dokter Darel. Ia mengamati Dokter Darel dari kaki sampai ujung kepala. Tak lama ia teriak memanggil Bapak. “Maaasss, lihat, nih!
Bab 18Seperti hari-hari biasanya, aku bangun sebelum subuh dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Hari itu pun Mita bangun pagi. Aku melihatnya keluar dari kamar mandi sambil bernyanyi. Perutnya makin membuncit, tetapi tingkahnya justru makin menyebalkan. “Hey anak kecil? Semalam lihat apa? Kenapa dipanggil-panggil Bapak nggak keluar?“Ingin rasanya membungkam mulut nenek sihir itu. Bagaimana ia bertanya tentang hal memalukan itu. Meski mereka sudah sah menjadi suami istri, tetapi harusnya mereka tahu tempat. Apalagi ada aku yang sudah mendapatkan edukasi tentang seks di sekolah. Dan sebentar lagi aku lulus sekolah. Aku bukan anak kecil lagi. Aku tak menjawab apa pun. Mita masih berdiri di sana mengawasiku. Aku menaruh sendok secara kasar sehingga menimbukan suara yang sedikit gaduh. “Kenapa? Marah? Nggak bisa naruh dengan bener? Atau memang sengaja mancing emosi? Mentang-mentang punya pacar kaya terus mau sok-sok gitu, hah?“Aku mengambil pisau kecil. Aku berjalan ke arah Mita. “Kam
Bab 19Ujian selesai. Dua hari kulewati tanpa kabar dari Dokter Darel. Sejak kejadian tempo hari, Dokter Darel seperti memberi jarak. Ia tidak menghubungiku sama sekali. “Vi, buatkan Bapak kopi! Kopi buatan Mita terlalu manis. Ke mana lagi tuh orang? Habis bikin kopi langsung kabur.“ Bapak beranjak ke teras sambil membawa ponsel. Aku segera ke dapur, membuat kopi kesukaan Bapak. Dua sendok kecil kopi hitam ditambah satu sendok gula untuk satu cangkir. Aku membawanya ke teras. Bapak tampak sedang asik memainkan ponsel sambil tertawa sendiri. “Tunggu, Vi! Duduk dulu sebentar,“ ucap Bapak saat aku beranjak meninggalkannya. Tak ingin ribut, aku duduk di kursi berseberangan dengan Bapak. “Si Arka, kenapa nggak ke sini lagi?“ tanya Bapak. “Dia kan Dokter, Pak. Pasti sibuklah.““Kamu pacaran sama dia?““Enggak,“ jawabku singkat. “Nggak mungkin. Mana ada lelaki yang mau ngasih uang secara cuma-cuma kalau nggak pacaran,“ sangkal Bapak. “Aku dan Dokter Darel, maksudku Dokter Arka memang
“Maaf, Bu. Kalau boleh tahu berapa jumlah uang yang hilang?“ tanya Dokter Darel sopan. “Ini bukan masalah jumlah uangnya, tapi masalah kejujuran! Siapa yang mengajarimu jadi pencuri? Ibumu, hah?““Jaga mulutmu! Sudah kuperingatkan, Kamu boleh menghinaku, tapi jangan bawa-bawa Ibuk! Aku tidak mencuri, dan Ibuk tidak pernah mengajariku hal-hal buruk.““Mana ada maling ngaku!“ seru Mita. “Maaf, Bu. Berapa uangnya? Biar saya yang ganti,“ sela Dokter Darel. “Jangan, Dok! Kalau Dokter mengganti, itu sama saja Dokter menuduh saya yang mencuri uang itu. Jangankan mencuri, masuk kamarnya saja saya nggak pernah.““Bukan begitu, Vi. Aku hanya nggak mau ribut-ribut. Malu didengar tetangga.“ Dokter Darel masih berusaha menghentikan adu mulut antara aku dan Mita. “Kalau begitu, mana uangnya! Aku perlu belanja kebutuhan bayi. Bapakmu mana pernah mikir soal kebutuhan bayi.“ Mita mendekati Dokter Darel yang sedang mengeluarkan dompet dari saku celana. “Jangan, Dok! Bukan Dokter yang harus ngasih
“Di mana kalian ketemu Mahesa?“ Bapak mengulangi pertanyaannya. “Pak Mahesa direktur rumah sakit tempat saya bekerja, Pak,“ jawab Dokter Darel tanpa gugup. “Tapi, kenapa Vio memanggilnya, Om? Apa Vio pernah bertemu dengannya?“ Bapak menghempaskan tubuhnya di kursi seberang. Menatap kami bergantian. “Maaf, Pak. Kasus keluarga Bapak tempo hari viral. Kebetulan, Vio dan Bapak pasien di rumah sakit kami. Karena itu direktur rumah sakit ingin menemui Vio. Saya yang menemani beliau mengunjungi Vio, dan soal Vio memanggil beliau dengan sebutan Om, itu karena beliau sendiri yang minta.““Apa Mahesa menunjukkan gelagat aneh saat menemui Vio?“ tanya Bapak sembari menghisap rokoknya. “Tidak!“ jawab Dokter Darel singkat. Bapak diam beberapa saat. Sesekali melirikku seolah sedang mengamati bekas luka akibat pukulannya beberapa jam yang lalu. “Kalian pacaran?“ Pertanyaan Bapak membuat mukaku memerah. “Belum, Pak. Saya memang menyukai Vio, dan saya ingin serius dengannya. Kalau Bapak mengizin