"Anna, kami tahu ini memang tak mudah. Ya, pernah ada kesalahan di antara kita. Tapi, sebagai keluarga besar, kita pernah saling mengenal sebelumnya. Tentu, tidak bijak jika kita saling bermusuhan, karena ini. Kami meminta maaf, dan akan menebus semuanya."
Aku mengembuskan napas panjang, sambil menatap pada Ayah Danish. Aku tak tahu kenapa, orang tua Danish selalu saja merendahkan harga diri mereka, demi anak sebiji mereka yang brengsek!
Aku kembali mengarahkan pandangan ke arah Danish. Dia selalu berpijak pada orang tuanya, dia sudah berbulu, bukan lagi anak kecil. Aku benci laki-laki ini. Dia bersikap seenaknya, dan sekarang orang tuanya harus mengemis-ngemis seperti ini? Binatang seperti apa Danish itu?
"Bahkan, Danish bisa melakukan semuanya sendiri. Kenapa di sini terkesan Danish cuci tangan, dan menyuruh orang tuanya? Di saat dia bisa melakukan sendiri!"
"Kami tahu. Dari keluarga besar Danish, kami meminta maaf pada apa yang pernah
"Cucu aku yang cantik-cantik."Senyum terpaksa akhirnya kuulas, dan terlihat bahagia, walau mungkin beneran bahagia."Aku nggak bawa apa-apa, Mommy." Aku berkata dengan jujur. Saat masih di kantor, Ibunda Zyan, Mommy Danish meminta aku membawa anak-anakku, sebenarnya aku tak enak hati menolak, tapi tidak akan mengizinkan mereka dekat dengan anak-anakku, jika aku tak bisa mengawasi langsung. Setelah pulang kantor, aku langsung membawa ke dua anakku ke sini. Dan untuk pertama kalinya, Celine dan Celena datang ke sini.Anak-anakku selalu bersemangat melakukan apa saja, mereka mengelilingi rumah, dan bertingkah pernah ke rumah ini sebelumnya. Aku hanya berdiri, memperhatikan rumah yang sudah lima tahun tidak ke sini."Aku kira tadi nggak ingat lagi jalannya." Aku berkata untuk mencarikan suasana, keadaan masih sama, belum banyak yang berubah, kecuali mungkin TV yang makin lebar, warna sofa yang diganti, aku bisa menebak sofa ini digant
Hanya keledai yang jatuh ke dalam lubang yang sama. Nyatanya, aku lebih bodoh dari itu.Aku menyibukkan diri di balik meja kerja, walau pikiran berjalan ke mana-mana. Menghela napas berkali-kali, hanya meng-klik mouse berkali-kali tak tentu arah.Aku mengangkat wajahku, saat merasakan kepala Nora menyembul ke dalam kubikel, aku hanya menatapnya sekilas kembali menatap M!crosoft Word yang kosong, hanya menampilkan layar putih, aku tak punya kata-kata, belum ada deadline berarti, dan hari ini hanya tugas ringan."Rindu Abang? Kan tinggal nelpon aja. Aku punya nomor wasap Danish. Kamu pasti nggak punya." Aku tak menghiraukan kicauan Nora, dan kembali mengklik asal.Tak lama, notif pesan masuk ke dalam layar laptop, Nora beneran mengirim nomor Danish sialan. Sebenarnya, aku memang tak punya nomor laki-laki itu, dan tak peduli jika dia mau punya atau tidak.Tanganku tak sengaja meng-klik pesan dari Nora, dan membuka kontak
Aku tersenyum di depan cermin. Mengingat semua kebodohan demi kebodohan yang aku lakukan.Hanya tersenyum, dan sebentar lagi jadi gila.Aku merasakan kaki telanjang menginjak kaki yang dingin. Sudah berganti pakaian rumah lebih santai. Anak-anakku sedang berlarian di luar, tiada hari tanpa lari, kejar-kejaran, tertawa, dan menangis. Hanya itu masalah anak kecil.Danish sialan itu sedang bermain bersama anak-anaknya. Walau bagaimanapun dia terlihat bertanggung jawab, dan menyayangi anak-anaknya, walau memang wajib dia melakukan hal itu."Mama." Aku hanya mendelik tajam ke arahnya. Memilih duduk di sofa, dan menghidupkan TV."Ayah, mau menggambar aja." Celena meloncat dari punggung lebar Danish. Dan mulai mewarnai, Celine masih tertawa, dan ingin terus bermain kuda. Bahkan, mereka rela menunggu aku di kantor, dan akhirnya semua orang tahu Anna punya anak, kembar pula, bahkan sudah besar. Aku tak peduli orang-orang mau be
Sudah saatnya bangun, mengangkat pantat yang malas ini untuk bekerja, dan melakukan aktivitas. Hawa pagi identik dengan semangat baru. Walau aku tak bersemangat.Aku menarik tanganku yang terasa keram, dan mengelus-elus wajahnya, sambil mendengar suara halus dengkurannya.Aku menusuk-nusuk pipi Danish. Sebenarnya sangat kesal padanya, tapi aku senang saat dia berada di sekelilingku."Kau tahu, sialan! Saat dulu kamu pergi, pagi-pagi gini aku bangun dan nangis. Kamu tuh jahat, Danish." Aku mengelus-elus rambutnya, sambil mencium pipinya. Mulai menganggunya, membuka matanya, membuka bibirnya, dan menghitung giginya. Menarik-narik hidung mancung tersebut, tapi laki-laki ini seperti sangat kelelahan.Saat tanganku menyusuri wajahnya, tanpa sadar tanganku sudah digigit. Aku terpekik, dan memukul dada Danish. Dia tersenyum, masih dengan menutupi matanya, aku menarik rambutnya. Akhirnya dia membuka matanya.Aku mengintip ke a
Tertawa lepas seolah tak ada beban.Senyum tak dapat terlepas dari bibir ini. Aku menatap Celine dan Celena yang bermain di taman, sudah mandi, berpakaian rapi. Mereka seperti malaikat bagiku."Kamu sebenarnya tahu, nggak? Kalau anak itu tak bisa di-download." Sumpah! Tanganku seketika ingin menabok wajah Danish, tapi kuurungkan dan hanya mendorong tubuhnya, yang sedang bersandar di bahuku sebenarnya kepalanya batu yang dia letakkan, sambil memeluk tubuhku dari belakang."Tapi pertemuan dua kelamin yang bersilaturahim." Aku berbalik dan menutupi mulut Danish, jika tidak dia akan terus mengoceh dengan hal-hal tak senonoh.Gara-gara sialan ini membuatku bolos kerja walau sudah meminta izin, dan anak-anakku tidak pergi ke sekolah. Momma sudah mengomel, menelponku, dan aku cukup pintar beralasan.Aku melihat wajah Danish dari dekat, bekas-bekas jambang yang menghitam bekas cukur. Masih melihat anak-anak yang sudah tertawa,
"Kamu punya anak laki-laki, nggak?" Aku mengangkat alisku, dengan perkataan ambigu tersebut, berbalik pada manusia laknat yang terus menempel ke tubuhku. Dia seperti tokek!Aku hanya menarik hidung mancung Danish."Ayok kita buat anak laki-laki!" Refleks, aku memukul dada Danish. Dia berbicara seperti manusia tanpa otak, oh ya benar, dia memang tak punya otak!Aku mengintip ke arah anak-anakku yang sedang bermain bersama neneknya. Konsep nenek, ayah, keluarga terasa asing dan aneh bagiku, karena selama ini aku tidak merasakan itu.Saat tiba di rumahku, Mommy Danish memeluk tubuhku erat, menciumku berkali-kali, betapa dia berterima kasih karena aku sudah mengabulkan doa-doanya selama ini, padahal aku bukan Tuhan. Aku bahkan bodoh, dan terus bersikap bodoh."Jadi, kamu akhirnya bersedia menikah denganku?" Aku mengangkat potongan cake itu ke nampan kecil, dan menyusunnya. Aku akan memberi ini pada tamu yang rasanya merepo
"Selamat pagi, istri." Mataku melotot, memastikan sekali lagi, dia benar-benar Danish bukan hantu, atau vampir jadi-jadian."Wait! Semalam kamu tidur di mana?""Di luar lah. Kan kamu tega sama suami sendiri, kualat entar. Nggak, deh, bohong, aku pulang!" Aku mendelik kesal, saat Danish hanya terkekeh. Kepalanya celingukan mencari sesuatu. Aku mengikuti arah pandanganya, sambil mengangkat alisku mengode padanya, apa yang dia cari."Mana anak kita?" Danish langsung memeluk tubuhku, sambil mencium pipiku. Sebenarnya risih, tapi Danish memang sangat suka menempel seperti anak koala. Danish kembali memeluk diriku, dan kami terduduk di sofa.Dia terus mengendus-endus leherku, walau aku mendorongnya, tapi dia tak peduli. Sekarang kepalanya tepat berada di depan perutku."Anak kita di sana ngapain, ya, dia? Apa dia main domino?" Aku mencubit Danish karena bicara sembarangan."Aku belum sikat gigi, jangan dekat-dek
Aku menatap Mommy Danish penuh permusuhan, aku benar-benar jadi pengangguran sekarang, dan aku benci itu!"Anna, Mommy tahu kamu kesal luar biasa pada Danish. Tapi, jika anak sudah lahir, kamu akan berpikir untuk resign. Kehilangan pekerjaan memang bisa dicari, tapi waktu bersama anak-anak, kehilangan saksi saat mereka tumbuh. Mommy tak ingin sok berguru, Anna sudah punya anak, dan tahu.""Aku sudah diajarkan mandiri sejak kecil sama orang tuaku. Aku bisa bekerja, mengurus rumah, mengurus anak!" Aku masih membantah, karena tak terima sama sekali, kehilangan pekerjaan begitu saja."Aku bahkan nggak mau nikah sama Danish! Aku benci diatur-atur!" Mommy Danish terhenyak, dia menganga."Aku serius. Selama ini, aku hidup menurut apa yang aku mau, dan saat ada orang asing yang masuk dalam hidupku, dan mengatur-atur hidupku, aku tak bisa menerimanya lagi.""Anna, Danish calon suami kamu. Pikirkan nasib anak-anak. Anak kalian udah ba