Share

1. Cermin Dua Sisi

Bertahun-tahun sudah berlalu sejak permintaan Kaila pada Kaisar waktu itu. Keduanya telah tumbuh jauh meninggalkan masa lalu. Juga, meninggalkan satu sama lain.

Pada akhirnya, rencana Kaila semasa SMA tidak berjalan mulus. Rahasianya dan Kaisar hanya bertahan selama satu semester penuh. Semua terkuak begitu saja di hari pembagian rapor kala mamanya sampai di kelas Kaisar setelah selesai mengambil rapor milik Kaila.

"Loh, Tante mamanya Kaila?" tanya si penjaga meja absensi kelas Kaisar ketika tanpa sengaja membaca nama Kaila Rashi Nismarasati di rapor yang dibawa ibu-ibu yang sedang membubuhkan tanda tangan di kertas absensi di hadapannya. Mata si penjaga—yang merupakan teman ekstrakulikuler Kaila—itu lantas mengikuti arah tangan sang ibu-ibu, tanpa sadar mencari tahu di sisi nama siapa tanda tangan beliau dibubuhkan.

Kaisar Aji Ragimandala.

"Iya. Papanya nggak bisa ikut, jadi Tante deh, yang ngambil rapor dua-duanya."

Jawaban itu ramah, seolah tengah mengabarkan hal yang lumrah. Tampaknya, sang ibu tidak menyadari sorot mata linglung dari gadis yang tengah ternganga di depannya.

"Kamu temennya Kaila, ya? Sekelas sama Kaisar?" Mama si kembar bertanya lagi, selagi menerima uluran kotak makanan ringan dari siswi lain yang tampak lebih cepat menguasai situasi daripada temannya.

"I-iya, Tante. Hehe," anak itu tertawa canggung. "Ini nomor urutnya. Silakan masuk, Tante."

Tentu saja setelahnya, kabar mengenai Kaila dan Kaisar tersebar ke seluruh sekolah. Mereka yang mengenal keduanya cukup terkejut dengan fakta baru tersebut.

"Gimana ceritanya Kaila sama Kaisar kembaran?"

Mereka tidak tahu saja, itu juga pertanyaan Kaila sejak kecil. Bagaimana bisa? Kenapa harus dirinya?

Kesal, Kaila mendengkus sebelum kembali menyibukkan diri berkutat dengan laptop. Ia bahkan tidak mengangkat muka pun menyapa ketika Ilma, salah satu karibnya selama hampir empat tahun berkuliah, mengambil duduk di hadapannya.

"Gimana, Ma?" Resya, yang duduk di sisi Kaila, yang pertama bersuara menyambut kedatangan Ilma. Gadis yang baru datang itu tampak kusut, Resya tahu, meski Ilma tidak akan bercerita jika tidak dipancing lebih dulu.

"Revisi semuanya, guys," cetus Ilma, setengah kesal. Ia baru saja kembali dari bimbingan skripsi perdananya dengan sang dosen pembimbing. "Lembur kayaknya gue malem ini."

"Santai aja, Ma. Emang bimbingan laginya besok?" sahut Resya.

"Minggu depan, sih," gadis itu mendesah. "Tapi, kan, banyak. Mesti dicicil dari sekarang," keluhnya.

Resya memasang wajah prihatin. Satu tangannya lalu terjulur demi mengusap pundak sang sahabat. Pandangan Ilma dan Resya lantas terarah pada Kaila, yang sejak tadi belum mengalihkan atensi dari layar laptop barang satu jenak pun.

"Kai?" Ilma memanggil.

Yang dipanggil hanya menanggapi dengan gumaman singkat.

"Kai sibuk revisian, ya?" Ilma bertanya lagi, dengan nada yang jauh lebih lembut.

Kali ini, bukan Kaila yang menyahut, tetapi Resya. Gadis itu mendesis demi mengambil perhatian Ilma. Kala Ilma menoleh padanya, lekas ia gelengkan kepala cepat-cepat.

"Jangan ditanya," bisik Resya dari tempatnya. Membuat Ilma memandang bertanya.

"Nggak usah ditanya," ulang Resya, masih dalam bisikan.

"Hah?"

"Kai lagi sibuk cari lowongan."

"Hah? Kan, baru juga mau bikin skrip—"

"Kalian bisa, nggak, nggak usah ngomongin gue?" Kaila akhirnya bersuara, napasnya lalu terhela.

"Sori, Kai. Kan, kita terbiasa ngomongin di depan. No munafik-munafik club," cengir Resya.

Kaila mendengkus. Ilma tersenyum manis.

"Kai kenapa?" Ilma bertanya lagi, tangannya lembut mengusap lengan Kaila. Dibanding dua temannya yang lain, Ilma-lah yang paling halus perilaku serta tutur katanya.

"Nggak pa-pa, Ma," balas Kaila, memaksakan satu senyum karena tidak sampai hati menyakiti hati kawannya. Di tempat, Resya memutar bola mata.

"Lagi cari-cari kerja, Ma, dia," katanya mengedik pada si objek pembicaraan. "Padahal revisi aja belum dikerjain."

"Diem, Resya!" salak Kaila.

Resya memasang cengiran minta maaf—yang tentu saja berpura-pura. Gadis itu lantas mengalihkan perhatian, lebih memilih fokus pada jus melonnya yang tinggal setengah.

"Kenapa tiba-tiba pengen cari kerja deh, Kai?" tanya Ilma.

"Pengen aja," lagi-lagi, Kaila menjawab dengan senyum tipis.

"Bohong, anjir!" sentak Resya, membatalkan niat untuk tidak mengikuti percakapan. "Kai tiba-tiba semangat cari kerja gara-gara tadi Zaki cerita Kaisar—"

"Resya. Anindira." Kaila menegur, nadanya tajam. "Nggak usah sebut nama dia, bisa?"

Malas, Resya memutar bola mata. "Kai, nggak usah benci berlebihan, deh. Nggak sehat," sarannya, kali ini terdengar cukup tulus. "Biar gimana juga, dia sodara lo."

Kaila menggeram. Ia tidak pernah suka menerima gagasan—yang sebenarnya bukan sebuah gagasan, melainkan kenyataan—bahwa ia dan Kaisar bersaudara, bahkan kembar. Kaila membenci keberadaan lelaki itu. Menyesali mengapa dulu, mamanya harus melahirkan bayi lain setelah dirinya. Terlebih, bayi yang kemudian tumbuh menjadi seseorang seperti Kaisar.

"Kai, I know you hate this," Ilma ikut menimpali, suaranya yang halus sedikit banyak membantu Kaila menenangkan diri. "Tapi Rere bener, Kai. Kebencian yang berlebihan itu nggak sehat. Lo juga sebenernya tahu itu, kan?"

Kaila menyerah untuk mendebat. Ditatapnya kedua sobatnya itu lekat-lekat. Gadis itu lalu mengembuskan napas. Tidak ada yang mengerti. Tidak pernah ada. Kebencian? Memangnya yang Kaila rasakan ini hanya sekadar kebencian?

Ini perasaan yang tidak bisa ia ungkapkan. Bahkan pada kedua orang tuanya. Semua orang hanya akan mengatakan kalau memendam rasa benci itu merugikan, menyakiti, membawa penyakit, dan bla bla bla lain yang tidak pernah Kaila dengarkan penuh-penuh. Semua orang menghakimi sikapnya yang mereka anggap tidak wajar karena memusuhi saudara kandung sendiri. Tapi, masalahnya, jika bersaudara dengan seseorang seperti Kaisar,

Memangnya kalian akan bisa bertahan?

***

Sejatinya, ungkapan yang menyatakan bahwa kaum Adam dapat dengan sangat mudah menjalin pertemanan mungkin memang benar adanya. Dimulai dari hal paling remeh, didasari alasan paling tidak penting. Serupa pertemanan Kaisar dan Zaki.

Pertama bertemu di tingkat Sekolah Menengah Pertama, Kaisar tidak berpikir dua kali kala ia membiarkan dirinya terlibat dalam adegan palak-memalak mengarah pada perundungan yang waktu itu tengah terjadi di toilet belakang sekolah—yang melibatkan Zaki selaku anak pindahan sebagai korban. Meski setelah bersikap sok jagoan itu, Kaisar baru menyadari Zaki bukan tipe korban rundungan karena anak lelaki yang sedikit lebih tinggi darinya itu ternyata bisa membela diri.

Kala Zaki berucap "Gue sebenernya nggak takut ngelawan mereka. Tapi thanks, ya, udah bantuin.", Kaisar sungguh ingin lari dari tempatnya demi menyembunyikan muka dan menyelamatkan harga diri. Namun, senyum Zaki setelahnya membuat ia bertahan.

Terlebih ketika Zaki kemudian mengulurkan tangan.

"Zaki. Lo?"

Seketika, Kaisar menyadari. Bahwa anak lelaki yang berdiri di depannya adalah anak lelaki yang seharian dibicarakan seluruh penjuru sekolah.

Si anak pindahan dari sekolah atlet.

Si anak yang didegradasi karena selama setahun tidak berprestasi.

Si anak yang ditendang dari asramanya karena tidak mampu menghasilkan medali.

Meski saat itu Kaisar tidak bertanya lebih jauh, ia menerima uluran Zaki. Lalu ikut tersenyum tipis—melupakan rasa malunya—kala kemudian menyebutkan "Kaisar." sebagai namanya.

Sejak itu, mereka berteman.

Hingga hari ini.

"Kenapa mesti FISIP, sih, anjir?"

Keluhan itu terdengar bersamaan dengan suara kursi panjang yang berdecit akibat menerima beban. Pertanda si pengeluh baru saja mendudukkan diri, bergabung dengan dua temannya yang sudah lebih dulu berada di sana. Sembari mengipasi tubuhnya dengan bundelan kertas binder, Zaki memandangi kawannya satu per satu.

"Jangan melototin gue, dong. Kaisar, tuh." Fahril, yang diberi tatapan menuduh karena menjadi satu-satunya mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di antara mereka bertiga lantas melemparkan tuduhan pada Kaisar. Yang tengah sibuk memandangi layar laptopnya sambil cengengesan.

"FIA ke FISIP deket, Zak. Lo, sih, dulu nggak tembus Ikom, malah nyasar ke Mene."

Tawa Fahril pecah. Zaki, yang pada dasarnya sedang gusar karena kegerahan, lekas tersulut akibat gurauan dan tawa kawan-kawannya. Ia menatap Fahril sengit.

"Nggak usah ketawa lo, Ril! Lo juga nggak tembus Hukum malah nyasar ke FISIP! Kalo lo jadi tembus Hukum, fakultas lo yang paling jauh!" hardiknya galak.

Tetapi yang dihardik tidak tersinggung. Ketiganya mengenal satu sama lain terlalu baik hingga tidak terdapat celah untuk tersinggung menghadapi setiap ledekan yang terlontar. Maka Fahril hanya mengangkat bahu, sikapnya sok tenang.

"Minum dulu, Zak. Marah-marah mulu, aus pasti."

Emang! cetus Zaki dalam hati.

Tangannya menyambar cepat kala Fahril mendorong satu gelas di meja mendekat ke arahnya.

Di tempatnya, Kaisar hanya geleng-geleng kepala.

"Udah kelar belom marah-marahnya?" tanyanya, kala Zaki mengembuskan napas setelah menandaskan setengah isi gelas es teh pemberian Fahril tadi.

"Udah," putus Zaki. "Ada apaan?"

Meski belajar di tiga fakultas berbeda, pertemanan yang terbangun sejak kelas 3 SMA di antara mereka tidak mengalami hambatan berarti. Kembali satu sekolah setelah lulus dari SMP, Kaisar dan Zaki kemudian memilih tempat bimbingan belajar yang sama di kelas tiga. Di sanalah mereka bertemu Fahril, si ambisius yang mengejar Fakultas Hukum siang dan malam. Mimpinya menjadi pengganti Hotman Paris nampaknya membuat lelaki jangkung itu bersemangat menjalani hidup. Memiliki selera humor yang mirip serta kampus tujuan yang sama persis, ketiganya berakhir akrab tanpa ada yang ingat bagaimana awal mula keakraban itu. Meski pada akhirnya tidak ada mimpi yang benar-benar tercapai dari mereka bertiga—Fahril berakhir di jurusan Kriminologi, bukan Hukum seperti yang dicita-citakannya; Zaki yang memilih Ilmu Komunikasi dan memimpikan FISIP, terpaksa berkecimpung dalam ekonomi setelah tembus jurusan Manajemen; sedangkan Kaisar yang mengincar program diploma, akhirnya menerima program Strata 1 Ilmu Administrasi Fiskal sebagai tempatnya mengenyam pendidikan berkat bujukan keras kedua orang tuanya—ketiganya tetap berhasil lulus di kampus yang sama, mengeratkan apa yang sebelumnya memang sudah terjalin.

"Minggu depan gue seminar proposal. Pinjem kemeja, dong."

Zaki seketika melotot. "Gue disuruh jauh-jauh ke sini cuma buat denger lo ngomong gitu doang, anjing?" murkanya. "Chat aja, kan, bisa!"

Tawa Kaisar pecah. Jenis tawa keras dan lepas yang mampu mengganggu pendengaran. Di sisinya, Fahril menahan tawa sambil menyuruh kawannya diam. Sementara Zaki tampak tidak terkesan dengan perilaku kedua temannya.

"Kaga, kaga," Kaisar menggeleng, berusaha menghentikan tawa. "Ini, tadi gue abis nyari skripsi acuan buat bahan tinjauan pustaka. Terus nemu skripsi bagus, punya anak Mene. Gue pengen ngobrol sama penulisnya. Kata Fahril, kayaknya lo kenal. Baru lulus tahun lalu, sih," jelas Kaisar. "Kalo lo kenal, gue mau minta kontak. Sekalian minta kenalin kalo deket banget," cengirnya.

Zaki mengernyit. Khas Kaisar dan segudang cara anehnya dalam menjalani kehidupan. Sungguh, kadang Zaki tidak habis pikir. Kawannya itu sering kali mau menghabiskan waktu demi hal-hal yang menurut Zaki tidak terlalu penting. Siapa yang akan bersusah payah menghubungi penulis skripsi lain hanya untuk... Untuk apa?

"Buat apa?" Zaki menyuarakan isi kepalanya. "Mana, sini, gue liat. Namanya siapa?"

"Revan siapa, gitu," balas Kaisar, menghadapkan layar laptopnya pada sang kawan.

"Bang Revan," cetus Zaki, manggut-manggut. "Kenal, sih, gue. Mau ID Line apa nomor WhatsApp?"

"Eh, gila, dia masih pake Line?"

"Ya, udah, sih. Hak orang."

"Gue aja udah nggak pake Line sejak semester empat, anjir!"

"Ya, itu kan, lo. Bukan si Revan."

"Ini jadi minta kontak apa nggak?" Zaki bertanya frustrasi, menengahi perdebatan tidak penting dua manusia di hadapannya. Baik Fahril maupun Kaisar lantas menoleh padanya, cengengesan.

"Jadi, Zak," Kaisar menyahut. "Tapi lo tanyain orangnya dulu, dia mau apa nggak. Nanti lo dituduh melanggar privasi orang karena ngasih nomor orang lain sembarangan."

Zaki mengerling malas sambil menyalakan ponselnya di tangan. Ia bukan orang awam. Ia sudah paham betul standarisasi penyebaran kontak personal orang lain. Tentu saja, ia akan meminta ijin terlebih dahulu tanpa Kaisar beritahu.

Fahril, yang sudah berpindah duduk menjadi bersebelahan dengan Zaki, lekas menjulurkan leher melihat layar ponsel lelaki itu.

"Mau apa lo?" tanya Zaki curiga, rautnya tidak bersahabat.

Yang ditanya tidak menjawab, melainkan menyentuh layar ponsel Zaki yang sedang membuka ruang obrolan dengan kontak bernama “Bang Revan FE” hingga detail nomor ponsel kontak itu terlihat. Tak lama, Fahril tergelak.

"Sama, anjir, Sar, sama kontak yang dia cantumin di profil penulis," katanya, menoleh pada Kaisar.

Seketika, Zaki merasa sedang dikerjai.

"Bener juga," Zaki bersuara, mengurungkan niatnya untuk mengirim pesan. "Kenapa lo gak kontak sendiri aja? Kan, di skripsinya pasti ada profil penulis," dengkusnya, kesal.

Kaisar menyeringai. "Masa gue tiba-tiba nge-chat gitu aja. Random amat."

"Pake email, Bego, biar kesannya formal."

"Ogah, ah! Gue mau pake jalur orang dalem aja!"

"Tolol!"

Tawa Fahril dan Kaisar pecah bersamaan. Zaki melempari kawan-kawannya itu dengan potongan keripik singkong yang tergeletak di meja, tepat mengenai pelipis Kaisar, yang justru membuat tawanya kian mengeras. Kala Fahril menarik napas panjang—pertanda usaha menetralisir keinginan untuk tertawa—Kaisar mengikuti langkah yang sama.

"Ya, udah, bentar. Gue udah chat orangnya, belum di-read," lapor Zaki akhirnya.

Kaisar mengangguk.

Suasana kembali tenang. Kaisar kembali fokus pada laptopnya, Fahril sibuk menghabiskan es teh di gelasnya, sedangkan Zaki baru hendak mengunci kembali ponselnya kala ia mendadak teringat sesuatu.

"Sar," panggilnya pada Kaisar yang lantas mengedik samar. "Tadi sebelum ke sini gue ngobrol sama Ila."

Mendengar nama itu disebut rupanya mampu membuat jemari Kaisar terhenti canggung di atas keyboard laptopnya. Untuk sesaat, lelaki itu diam, sebelum jemarinya kembali bergerak normal dan ia bertanya sambil lalu, tanpa menoleh,

"Oh, ya? Ngobrol apaan?"

Zaki menggaruk belakang kepalanya. "Soal lo ditawarin join YC sama Pak Imam."

Kaisar mengangkat kepala. Menatap Zaki sebentar, lalu angkat bahu. "Terus? Palingan dia nggak peduli juga, kan?"

Tidak ada jawaban. Zaki memutuskan untuk diam. Ia mengenal Kaisar sebaik ia mengenal Kaila. Menurutnya, mereka adalah dua orang bodoh yang mendewakan ego serta keyakinan buta masing-masing. Sebelum keduanya sepakat untuk bertemu di titik tengah dan saling bicara, tidak akan pernah ada jalan keluar bagi dua jalur bersisian itu. Jadi, bagi Zaki, apa yang hendak ia sampaikan tidak akan ada gunanya. Maka bungkamlah lelaki itu sembari mengangguk ringan, seolah mengiyakan.

Tidak menyadari betapa perasaan Kaisar seketika berubah gelisah.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status