Share

JUAL DIRI

"Tunggu apa lagi, cepat obati seluruh tubuh saya!" perintah Stenly tanpa rasa malu dengan posisi sudah berbaring di atas kasur busa.

"Mengobati seperti apa maksud kamu?" tanya Seruni gugup. Ia bahkan sampai menjatuhkan kotak P3K dari tangannya. Entah mengapa ada rasa takut berlebih. Ia selalu berpikir jika Stenly akan melakukan hal yang sama seperti Dante.

“Apa perlu saya memberikan contoh sama kamu cara mengobati tubuh saya?” ujar Stenly. Ia sedikit kesal melihat respon yang diberikan Seruni.

“Perlu. Agar saya tidak salah paham,” jawab Seruni sambil mengambil kotak P3K yang dijatuhkannya di lantai.

Stenly mendengus mendengar jawaban Seruni. “Cepat lanjutkan mengompres semua luka dan memar yang ada di seluruh tubuh dan wajah saya," ucap Stenly akhirnya. 

Seruni mengembuskan napas lega. Setidaknya apa yang ditakutkannya tidak menjadi kenyataan. Itulah yang ia tangkap dari ucapan Stenly dan entah mengapa dirinya percaya.

“Baiklah. Tapi, seharusnya tidak perlu sampai membuka baju seperti itu,” protes Seruni dengan suara pelan. Ia duduk di sebelah dan mulai mengompres dan mengobati luka-luka Stenly dengan sangat telaten.

"Kalau saya enggak punya inisiatif buka baju, kamu pasti akan kepayahan mengobati luka-luka saya yang ada dibagian dalam," jelas Stenly memberikan alasan. "Lihat saja tubuh saya yang penuh dengan luka lebam ini," lanjut Stenly sambil menunjuk tubuhnya sendiri yang memang dipenuhi luka lebam.

Seruni membuang napas pelan saat mendengar penuturan pria yang babak belur karena menolongnya tadi. Andai saja waktu bisa diputar ulang Seruni tak ingin menjadi anak dari seorang ayah yang hanya mementingkan harta sehingga rela menjodohkannya dengan seorang lelaki tak bermoral seperti Dante.

Mungkin, kalau bukan karena ibunya, sudah sejak lama Seruni pergi meninggalkan keluarga kecilnya.

“Aduh ... duh ... duh! Apa-apaan kamu. Sebenarnya“kamu niat nggak sih, ngobatin saya!” Stenly sewot. Ia mengaduh kesakitan saat Seruni yang tengah melamu tanpa sadar menekan luka lebam di bawah matanya terus menerus.

  

Sontak saja Seruni mengerjap karena suara Stenly seolah menyadarkannya dari lamunan tak berkesudahannya. 'Ma-maaf,” ujarnya gelagapan. Ia merasa bersalah.

“Sudahlah nggak perlu minta maaf. Saya hanya minta sama kamu fokus mengobati bukan menyakiti saya!” sindir Stenly tanpa ampun.

Seruni yang saat ini masih duduk di atas kasur di samping Stenly yang sedang berbaring hanya bisa mengangguk saja menanggapi ucapan Stenly yang jelas-jelas menyindirnya. Ia kembali fokus mengobati Stenly.

"Selesai," ucap Seruni setelah yakin tak ada luka lebam di tubuh Stenly yang terlewat ia obati.

"Cepat sekali," protes Stenly yang merasa keenakan di sentuh tangan halus Seruni.

Seruni hanya memutar bola matanya saat mendengar protes dari Stenly. Karena pada dasarnya sudah lebih dari setengah jam ia mengobatinya.

"Karena tugas saya sudah selesai, berarti saya sudah boleh pulang ‘kan sekarang?" tanya Seruni sama sekali tak menanggapi ucapan Stenly. Ia berdiri berniat untuk pergi.

"Tunggu!" ucap Stenly menahan pergelangan tangan Seruni.

"Apa lagi?" tanya Seruni. Ia  menarik paksa tangannya yang dipegangi Stenly.

"Kalau boleh tahu, kenapa tadi kamu diganggu sama mereka? Apa orang yang narik-narik kamu tadi, pacar kamu?" tanya Stenly serius. Sungguh ia ingin tahu.

"Saya harus pulang sekarang," kata Adiba tak berniat menjawab pertanyaan Stenly.

“Jawab pertanyaan saya Seruni!” titah Stenly yang paling tak suka diabaikan.

“Bukankah tadi saya sudah bilang kalau Dante bukan pacar saya! Jadi, apa masih perlu kamu menanyakan hal itu lagi kepada saya?”

“saya hanya perlu kejelasan saja,” jawab Stenly tanpa beban. "Biar saya antar kalau kamu mau pulang," lanjut Stenly karena merasa tidak tega melihat seorang wanita pulang sendirian. Apalagi sekarang sudah lewat tengah malam.

Kejahatan bisa saja kembali mengincar Seruni di luar sana. Stenly benar-benar tak ingin itu terjadi kembali.

"Jangan!” tolak Seruni. “Saya bisa pulang sendiri dan kamu lebih baik istirahat saja," ucap Seruni memberi saran. “Oh, iya. Terima kasih, sudah mau menolong saya tadi," lanjutnya sambil tersenyum tulus. Setelah itu Seruni segera keluar kamar dan meninggalkan kontrakan Stenly.

“Dasar wanita keras kepala!” gumam Stenly. Ia segera bangun dari posisi berbaring dan segera memakai kembali bajunya. Ia mengambil gawainya dan segera menghubungi William.

"Ya!"

"Siapkan mobil sekarang, lima menit aku keluar!" ucap Stenly memerintah lalu segera mengakhiri panggilan secara sepihak.

Dengan langkah cepat Stenly keluar dari kamar dan meninggalkan kontrakan. Ia segera masuk ke dalam mobil di mana William sudah bersiap melajukan mobil jika sudah mendapatkan perintah darinya.

"Ikuti dia, Will!" perintah Stenly begitu sudah duduk di kursi penumpang. “Dia itu wanita yang sangat keras kepala. Apa tidak takut terjadi sesuatu seperti tadi. Ini sudah lewat tengah malam dan dia menolak tawaranku untuk mengantarkannya pulang!” cerocos Stenly panjang lebar di depan William.

William langsung menjalankan mobil dengan pelan dalam keadaan lampu tidak menyala dengan tujuan agar tidak ketahuan kalau mereka sedang mengikuti Seruni yang terlihat sedang sibuk dengan gawainya. “Hanya karena wanita itu kamu jadi banyak bicara, Sten!” sindir William.

“Ck!’ Stenly berdecak menanggapi sindiran sahabatnya. "Dia tidak lihat mobil kamu ‘kan tadi?" tanya Stenly dengan pandangan lurus ke depan memerhatikan Seruni yang sedang berjalan sendirian di tengah gelapnya malam.

"Tentu saja tidak, aku ‘kan parkir di gang sebelahnya tadi," jelas William.

"Bagus!"

"Aku heran sama kamu, Sten!" ucap William akhirnya.

"Heran kenapa?"

"Apa pentingnya wanita itu sampai kamu rela babak belur demi menolong wanita itu, tadi. Apa sebelumnya kalian berdua memang sudah saling kenal?”

 Stenly menghela napas sebelum menjawab pertanyaan asisten sekaligus sahabatnya ini. "aku sama sekali belum mengenalnya. Aku hanya tidak tega melihat dia dikasari!" ujar Stenly menjelaskan.

"Sejak kapan kamu jadi orang yang tidak tegaan, Sten?" William sambil menggelengkan kepala.

William sebagai asisten sekaligus sahabat Stenly tentu saja  sudah paham dengan sikap tegas dan tidak pedulinya Stenly kepada orang lain jika mereka belum saling mengenal. Ia hanya akan peduli kepada orang-orang yang dikenalnya seperti, keluarga, sahabat dan kekasihnya yang kini sudah menjadi mantan-Kimberly.

Stenly adalah orang yang tega melakukan apa saja demi mendapatkan apa yang diinginkannya. 

"Apa aku terlihat aneh atau bahkan terlihat bodoh?" tanya Stenly yang sadar apa yang dikatakan William memang benar. Ini seolah bukan dirinya.

"Entahlah," jawab William mengangkat bahu. "Bisa jadi, keanehan kamu sekarang karena sedang frustasi diputusin sama Kimberly."

"Shiiit!" umpat Stenly saat nama Kimberly kembali disebut William. Ia jadi ingat saat asisten sekaligus sahabatnya mengirim sebuah video Kimberly sedang bersama pria lain setelah memutuskannya.

Stenly mengepalkan kedua tangannya saat dirinya kembali mengingat adegan Kimberly dan lelaki itu masuk ke dalam sebuah kamar hotel. Stenly bukanlah orang polos yang tidak tahu apa yang akan mereka lakukan setelah itu.

"Aku punya tugas lagi buat kamu, Will!” ucap Stenly  berusaha mengendalikan emosi dan sakit hatinya. “Cari sampai dapat lelaki yang tadi bersama Kimberly dan bawa dia kehadapanku!" perintah Stenly dengan suara datarnya. "Waktu kamu hanya satu hari!" lanjutnya tanpa berpikir.

 Stenly bersumpah akan membuat hidup pria itu hancur karena sudah berani mengambil miliknya.

"Hah! Yang benar saja, Sten!" protes William.

"Tidak ada protes, Will! Aku akan memberi kamu bonus jika kamu bisa melakukan tugasmu dengan baik," lanjut Stenly yang sudah paham dengan apa yang dipikirkan sahabatnya.

William langsung tersenyum saat Stenly membahas tentang bonus. “Baiklah. Nanti akan saya kerjakan, Boss!” 

“Dasar mata duitan!” sindir Stenly.

William hanya tertawa terbahak menanggapi sindiran boss-nya. Zaman sekarang mana ada manusia yang tidak mata duitan. Memang benar uang bukan segalanya. Tapi, segalanya butuh uang. Itulah yang dipikirkan William.

 Tidak ada obrolan lagi setelah itu. Mereka sama-sama diam sambil memperhatikan Seruni yang berjalan kaki sendiri tengah malam seolah tanpa rasa takut. 

"Jadi ini rumahnya?" ucap Stenly saat melihat wanita yang diikutinya memasuki gerbang sebuah rumah yang memiliki halaman luas.

"Sepertinya, iya,” jawab William sambil mematikan mesin mobil. 

"Ternyata, dia benar-benar sudah ditunggu," ucap Stenly saat melihat dua orang sedang duduk di kursi teras rumah di mana Seruni masuk. Ia meyakini pasti kedua orang itu adalah orang tua wanita yang ditolongnya.

"Apa kita sudah bisa pulang sekarang?" tanya William yang merasa urusan mereka di sini sudah selesai.

 "Tunggu sebentar, Will!" Stenly mencegah saat William hendak menyalakan mesin mobil. Ia bisa melihat kalau wanita yang ditolongnya itu sedang dimarahi seorang lelaki paruh baya yang Stenly duga adalah ayahnya Seruni.

"Tunggu apalagi, Stan?" 

"Jangan banyak tanya. Kamu tunggu di sini, jangan banyak protes!" ucap Stenky lalu segera turun dari mobil. 

Ia berjalan mengendap menuju gerbang rumah wanita itu untuk mencuri dengar apa yang sedang diributkan di dalam sana.

"Sudah gila kamu, Sten!" cibir William dari dalam mobil saat melihat tingkah aneh sahabatnya.

"Dari mana saja kamu! Hah!" bentak pria paruh baya kepada wanita yang diketahui Stenly bernama Seruni. "Kenapa kamu tidak pergi sama Dante!" lanjut bertanya dengan wajah merah penuh emosi.

Stenly yang melihat semua itu jadi merasa panas di telinga dan hatinya. Ia tak habis pikir ada seorang ayah yang sangat kasar pada anaknya.

"Pu—pulang kerja, Yah," jawab Seruni sambil menunduk takut.

"Jam segini baru pulang kerja? Kerja apa kamu? Jual diri!" bentak lelaki paruh baya itu lagi. Kali ini sambil melayangkan sebuah tamparan ke pipi Seruni.

Plakkk!

Awww!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status