Share

TUBUH BERSENTUHAN

Seruni merasa kepayahan  memapah Stenly yang tubuhnya jauh lebih besar daripada dirinya. Ia langsung saja membantu Stenly untuk duduk di kursi yang ada di ruang tamu. Napasnya ngos-ngosan karena kelelahan.

"Aduh!" Stenly mengaduh karena kaget saat terduduk di kursi yang material terbuat dari kayu.

Ia yang terbiasa duduk di atas sofa empuk jadi salah tingkah saat sadar sudah memberikan reaksi berlebihan di hadapan Seruni.

"Kamu kenapa? Mana yang sakit?" tanya Seruni khawatir.

“Tidak ada yang sakit. Hanya saja kursi ini keras sekali. Saya merasa tidak nyaman duduk di sini.”

 Seruni mengerutkan keningnya. "Kamu berbicara seolah tidak terbiasa duduk di kursi ini?"

"Bukan begitu! Tentu saja saya terbiasa duduk di sini. Hanya saja kali ini beda rasanya karena tubuh saya sekarang sedang sakit semua," kata Stenly memberi alasan.

 

"Oh!” Singkat Seruni memberi respon. “Jadi, sekarang mana dapurnya?” tanya Seruni tiba-tiba membuat Stenly sedikit salah tingkah. 

Pasalnya ia benar-benar tidak tahu dapurnya di mana. Lagi pula kenapa Seruni bertanya dapur kepadanya? Apa yang akan ia lakukan di dapur.

“Untuk apa kamu mencari dapur?" tanya Stenly akhirnya. Ia berusaha bersikap biasa saja.

“Tentu saja buat menyiapkan air hangat untuk mengompres luka-luka kamu.”

‘Mampus aku!’ ucap Stenly di dalam hati. 

Ia langsung memperhatikan sekeliling kontrakan mencari letak dapur yang ditanyakan Seruni. Tidak mungkin juga dia bilang tidak tahu dapurnya ada di mana 'kan?

"Di sana dapurnya," ucap Stenly menebak dengan asal. Ia menunjuk ruangan gelap di samping pintu belakang.

"Gelap sekali dapurnya," kata Seruni lalu segera berjalan menuju dapur yang ditunjuk Stenly. 

Ia berhenti di depan pintu belakang. Menekan saklar yang ia yakin kegunaannya untuk menyalakan lampu. Benar saja, dapur yang dimaksud Stenly lampunya menyala dan Seruni segera melakukan apa yang perlu ia kerjakan.

Agak lama Seruni berada di dalam sana membuat Stenly merasa tidak sabar. Apa benar ruangan yang ditunjuknya tadi itu adalah dapur? Akhirnya karena rasa penasaran ia berdiri dengan perlahan, lalu berjalan dengan tertatih untuk menghampiri Seruni.

Seketika Stenly bisa bernapas lega saat melihat ruangan yang ditunjuknya secara asal benaran dapur.

"Lama banget, sih! Memangnya apa saja yang kamu lakukan di dalam sini?" tanya Stenly yang berhasil membuat Seruni terkejut bahkan sampai memeluk tubuhnya dengan erat.

Arghhh!

Seruni berteriak sambil terus memeluk tubuh Stenly tanpa sadar. Stenly meringis menahan sakit karena Seruni memeluknya dengan sangat erat dan membuat luka-luka memar di tubuhnya ikut tertekan. Tapi, lama kelamaan Stenly mulai terbiasa. Ia balas memeluk tubuh Seruni. Mereka berdua seolah sedang menikmati moment langka ini. Cukup lama mereka berdua saling berpelukan, sehingga tercium bau gosong di dekat mereka barulah Seruni sadar dan segera melepaskan pelukannya.

"Ma—maaf," ucap Seruni tak enak hati. Ia salah tingkah sambil memalingkan wajahnya yang pasti terlihat merah di depan Stenly. Sungguh ia merasa malu. Untuk pertama kalinya tubuh mereka bersentuhan dengan cara berpelukan.

“It’s oke!" Stenly jadi ikut salah tingkah. Ia menggaruk belakang kepalanya yang sebenarnya tak gatal. 

"Astaga!" teriak Seruni panik karena baru sadar bau gosong itu berasal dari segelas air yang dimasaknya di dalam panci dan sekarang sudah mengering. Buru-buru Seruni mematikan kompor. Setelahnya barulah Seruni bisa mengembuskan napas lega.

"Ada apa, sih?" tanya Stenly yang tak paham apa yang sedang terjadi sampai membuat Seruni sepanik itu.

"Airnya gosong!" ucap Seruni merasa tidak enak. Ia menunjuk panci yang berubah warna menjadi hitam legam karena ulahnya yang memasak air sampai kering.

"Ya, sudahlah. Masak air lagi pakai panci yang lain.” Stenly memberi saran dengan entengnya. 

"Saya tunggu di kursi! Ingat jangan gosong lagi," kata Steven memperingatkan.

"Iya!" jawab Seruni.

Setelah Stenly pergi meninggalkannya sendirian di dapur. Seruni menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia malu karena sudah memeluk Stenly tadi.

[Kamu di mana Seruni! Kenapa belum pulang!]

Sebuah pesan singkat bernada bentakan seketika membuat rasa malu Seruni hilang seketika berganti rasa khawatir. Seruni membaca pesan itu tanpa berniat untuk membalasnya.

Seruni langsung melihat jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Seruni menghela napas. Pikirannya jadi semakin tak tenang.

‘Sudah hampir tengah malam dan aku masih ada di sini sama orang asing. Mau pulang jam berapa aku!’ ucap Seruni di dalam hati sambil menuangkan air hangat ke dalam baskom.

Setelah selesai ia segera keluar dari dapur dan mendapati pria yang babak belur karena menolongnya tadi sedang sibuk dengan gawainya. Seruni menggelengkan kepala sambil berjalan mendekat ke arah Stenly. 

Seruni menghentikan langkah kakinya saat jaraknya dengan Stenly hanya tinggal setengah meter. Entah mengapa Seruni tertarik memperhatikan wajah tampan penuh lebam di hadapannya.

"Kenapa kamu malah berdiri di situ terus?" tanya Steven sambil mendongakkan kepala. Ia tahu betul jika sejak tadi Seruni memperhatikannya.

"Maaf. Saya takut mengganggu ketenangan kamu," ucap Seruni jujur. 

"Duduk! Cepat obati semua luka-luka saya!" perintah Stenly lalu meletakkan gawainya di atas meja.

"Ada kotak P3K?" tanya Seruni. Ia kemudian duduk di sebelah Stenly.

"Saya enggak tahu!”

"Kok, enggak tahu, sih?" tanya Seruni tak habis pikir.

“Memangnya masalah kalau saya enggak tahu ada P3K atau tidak di sini. Lagi pula selama ini saya tidak pernah butuh kotak itu.”

"Astaga! Butuh atau enggak kotak P3K ... harus tetap selalu sedia! Setidaknya untuk persediaan kalau terjadi hal tidak terduga seperti ini," ucap sambil mengompres memar di wajah Stenly dengan hati-hati. 

"Ternyata kamu orangnya bawel juga," kata Stenly menahan tangan Seruni yang masih bersarang di wajahnya.

Seruni kaget. Reflek ia menarik tangannya menjauh dari wajah Stenly sehingga membuat pria itu mengaduh kesakitan.

"Bisa pelan nggak, sih?" protes Stenly sambil meringis kesakitan.

"Maaf! Saya enggak sengaja. Kamu, sih pegang-pegang tangan saya!" ucap Seruni jadi terdengar menyalahkan Stenly.

"Saya hanya pegang tangan kamu, ya! Sedangkan kamu malah peluk-peluk saya!" kata Stenly memberikan pembelaan.

Ucapan Stenly berhasil membuat wajah Seruni merona merah.

“Tadi, saya ‘kan udah bilang enggak sengaja. Itu reflek karena kaget itu,” jawab Seruni melakukan pembelaan.

"Terserah kamu mau kasi alasan apa. Intinya itu judulnya sama saja peluk saya," ujar Stenly tidak mau kalah.

"Terserah kamu mau mikir apa," ucap Seruni akhirnya lalu segera berdiri.

"Kamu mau ke mana?” 

"Mau coba cari kotak P3K siapa tahu ada.”

Stenly mengangguk. “Coba saja cari di kamar. Barangkali teman saya punya kotak ajaib itu,” ucap Stenly.

Ia berpikir siapa tahu pemilik lama kontrakan ini memiliki dan meninggalkan kotak yang dimaksud oleh Seruni.

“Biar saya cari, semoga saja ada," kata Seruni. " Boleh, ya, saya masuk ke kamar kamu?" lanjut Seruni meminta ijin.

“Boleh!" jawab Stenly lalu ikut berdiri.

"Kamu mau ke mana?" tanya Seruni bersikap waspada.

"Ikut ke kamar. Di sini udaranya dingin sekali. Saya enggak sanggup,” kata Stenly memberikan alasan. 

Untung saja keadaan kontrakan yang dindingnya bolong-bolong mendukung alasan Stenly agar bisa dipercaya Seruni.

"Kamu tunggu di sini saja dulu. Nanti, kalau sudah selesai saya obati baru masuk ke dalam kamar,” ucap Seruni memberikan saran.

Jujur ia keberatan sekaligus takut jika harus berduaan dengan Stenly di dalam kamar. Ngeri mereka khilaf. Kan bahaya.

"Obati saya di kamar saja. Di sini udara malam masuk dengan bebas, bisa-bisa saya masuk angin nanti," kata Stenly sambil menunjuk dinding yang dipenuhi lubang.

 "Ta—tapi kamu enggak akan ngapa-ngapain saya ‘kan?" tanya Seruni takut. 

Apa yang dilakukan Dante sudah berhasil membuatnya merasa trauma.

"Tentu saja tidak. Saya bukan pacar kamu yang tidak punya moral itu. Tapi, kalau kamu mau saya apa-apain, tentu saja saya tidak akan keberatan,” kata Stenly sengaja menggoda Seruni. 

“Enggak mau! Dan saya beritahu sama kamu ya, dia bukan pacar saya!”

“Bukan pacar, tapi berani ajakin kamu ke hotel?”

“Berhenti bahas Dante!” teriak Seruni tiba-tiba sambil menutup kedua telinganya. Matanya bahkan sampai berkaca-kaca.

 Melihat reaksi yang diberikan Seruni membuat Stenly jadi merasa bersalah. 

"Ya, sudah. Ayo kita masuk ke kamar," ujar Stenly akhirnya. Ia menarik tangan Seruni untuk masuk ke dalam ruangan yang ia yakin adalah kamar.

 Dengan terpaksa Seruni mengikuti langkah kaki Stenly yang terlihat masih sangat kepayahan. Ia hanya bisa berdoa semoga pria yang sedang bersamanya ini bukanlah orang jahat.

"Itu kotak P3K-nya,” seru Seruni saat mereka berdua sudah berada di dalam kamar.

Ia menunjuk meja kayu di samping jendela dan segera mengambilnya. 

Stenly langsung membuka seluruh pakaiannya selagi Seruni mengambil kotak P3K untuk mengobati semua lukanya.

Seruni baru berbalik badan dan langsung menjatuhkan kotak P3K. Ia membelalakkan matanya melihat Stenly yang ada di hadapannya sudah tak menggunakan baju. Ini kali pertama Seruni melihat seorang pria tanpa baju berada di hadapannya. Seruni bisa melihat dengan jelas tubuh Stenly yang sangat proporsional dipenuhi banyak luka di sekujur tubuh Stenly. Seketika Seruni semakin merasa bersalah.

"Tunggu apa lagi, cepat obati seluruh tubuh saya!" perintah Stenly tanpa rasa malu dengan posisi sudah berbaring di atas kasur busa.

Sungguh seumur-umur baru pertama kali ia berbaring di atas kasur lusuh yang kondisinya sangat tidak layak baginya. Tapi, demi menutupi identitas aslinya Stenly akan berusaha bersikap santai.

"Mengobati seperti apa maksud kamu?" tanya Seruni gugup. Ia bahkan sampai menjatuhkan kotak P3K dari tangannya.

“Apa perlu saya memberikan contoh sama kamu cara mengobati tubuh saya?”

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status