Share

LOVE is YOU, Ra!
LOVE is YOU, Ra!
Penulis: Dewi Purnamasari

Bab 1 Berbagi Cinta

“Sayang, kok diam di sini? Yuk, kita ke bawah!” Armand mengulurkan tangan kanannya ke arah gadis kecil berambut ikal dengan ekor kuda yang sedang meringkuk di atas ranjang, memeluk boneka panda yang ukurannya lebih besar dari tubuhnya.

Gadis itu hanya menggeleng tanpa suara.

Armand mendudukkan diri di tepi ranjang seraya mengusap kepala Maura—putri semata wayangnya. “Ada Kak Amel mau ketemu Maura. Yuk!”

“Pa! Apa benar mama Kak Amel mau jadi mamanya Maura?” tanya Maura polos.

Armand tersenyum memandang putrinya lembut. “Apa Maura keberatan?”

“Apa boleh Maura keberatan?”

Armand mengangkat Maura dalam pangkuannya. “Boleh Papa tahu alasannya?”

“Maura gak mau punya mama baru, Pa. Maura gak mau Papa sayang sama orang lain selain Maura dan Mama.”

“Sayang! Papa janji tidak akan mengurangi sayang Papa ke Maura.” Armand mengulurkan jari kelingkingnya sebagaimana biasa.

“Benarkah? Maura akan sangat sedih kalau papa tidak menepati janji.”

Armand mengangguk sungguh-sungguh, membuat Maura kecil luluh dan ikut turun menemui calon keluarga barunya.

Namun, semua itu hanya janji di bibir yang tak mungkin ditepati sepenuhnya. Armand hanya manusia biasa yang harus membagi perhatiannya pada keluarga barunya, walau tidak sepenuhnya perhatiannya pada Maura berkurang.

Bulan pertama mereka resmi menjadi keluarga, Amelia bersikap begitu manis sebagai seorang kakak. Setiap tindakannya selalu mendahulukan Maura, selalu mengalah dan bersikap melindungi.

Pernah suatu kali, mereka bermain berdua di taman dekat rumah. Datang dua bocah laki-laki. Membawa bola sepak di tangan. Salah seorang dari mereka sengaja menendang bola dengan keras ke arah Maura. Beruntung Amel cekatan, dengan sigap menghalau bola menggunakan tubuhnya.

“Kak!” Maura kecil berteriak histeris sambil menangis melihat tubuh Amel tumbang. Dua kaki kecilnya berlari menghampiri.

“Aku gak papa, Ra. Jangan nangis, nanti cantiknya hilang!” ucap Amel sambil mengusap darah dari hidungnya dan memaksakan bibirnya tersenyum.

“Kakak, maafkan Maura, ya. Hidungnya. Jadi berdarah.” Maura menatap marah ke arah dua bocah gembul yang lari terbirit meninggalkan mereka.

“Iya, gak papa. Ayo, kita pulang.”

Sesampainya di rumah

“Astaga! Kenapa ini, Mel?”

Soraya melemparkan selang air yang sedang dipakainya menyiram tanaman ke sembarang arah, begitu melihat Amel pulang dengan hidung dan pakaian depannya penuh darah.

“Kak Amel kena bola, Ma.”

“Kalian main bola?” tanya Soraya sambil menarik Amel mendekat. “Pasti kamu yang aneh-aneh!”

“Bukan, Ma. Bukan kita yang main bola. Mereka yang menendang bola keras-keras. Pas bolanya mau kena Maura, Kakak maju ke depan, terus mukanya kena bola,” jelas Maura.

“Kamu gak papa, Nak?” Soraya beralih pada Maura, mencermati wajah dan tubuh anak tirinya.

Maura merasa sedikit risih dengan perhatian Soraya padanya. Amel yang terluka, tetapi Soraya lebih peduli pada keselamatannya.

“Maura gak papa. Permisi, Maura mau ke kamar.”

Saat menaiki tangga, samar Maura dengar Soraya menegur Amel karena mengajaknya bermain keluar tanpa pengawasan. Sehingga menyebabkannya hampir terluka.

“Ma! Yang luka itu Amel bukan Maura. Kenapa Mama marahnya ke Amel? Bukan Amel yang menendang bolanya!” Begitu protes Amel yang sempat Maura dengar.

Di lain waktu, saat mereka duduk di bangku menengah pertama, Maura memaksa Amel untuk mengajarinya mengendarai sepeda. Karena terlalu semangat dan kurang hati-hati, Maura jatuh dari sepeda. Lutut dan sikunya terluka cukup lebar. Hingga tiga hari berikutnya, Maura terpaksa diam di rumah dan tidak pergi ke sekolah.

Armand memaklumi apa yang telah terjadi, tidak menyalahkan Amelia atau menegur Maura. Karena menurutnya, wajar bila terjatuh dan luka saat mengendarai sepeda.

“Kalau tidak mau terluka, maka diam saja di rumah. Tidak perlu naik sepeda atau pergi ke sekolah,” jawab Armand ketika Soraya menceritakan kejadian sore itu.

Ketika itu, Amel mengunci diri di dalam kamar, setelah Soraya memarahinya karena ceroboh saat menemani Maura bermain sepeda. Lagi-lagi Maura merasa Soraya terlalu berlebihan dalam memperlakukannya. Terkesan berat sebelah.

“Kak, maafkan aku! Gara-gara aku tidak hati-hati, Mama jadi marah sama Kak Amel.”

Biasanya, Amel akan segera bangkit dan memeluknya, memberinya tepukan menenangkan di punggung atau senyuman manis yang berarti dia sudah memaafkan Maura. Namun, kali ini, Amel tidak menanggapi perkataan Maura, melihat saja tidak. Hubungan mereka yang makin renggang, berimbas pada jadwal belajar yang biasanya mereka lakukan bersama. Sehingga Amel sempat satu kali tinggal kelas dan menjadi setingkat dengan Maura.

Puncaknya adalah ketika Maura berhasil meraih juara umum pada ujian nasional tingkat SMA se-Indonesia. Maura mendapatkan nilai sempurna pada semua mata pelajaran yang diujikan saat itu. Soraya benar-benar marah dan malu karena Amelia nyaris tidak lulus karena nilainya berada di garis demarkasi antara lulus dan tidak. Bukan karena Amelia bodoh, tetapi masa itu, Amel lebih fokus pacaran ketimbang pelajaran.

“Kamu ... lihat adikmu! Dia rajin belajar, makanya bisa membanggakan orang tuanya. Beda lagi denganmu, pacaran aja kerjanya. Untung Papa salah satu penyandang dana sekolah! Jadi, bisa mengusahakan supaya kamu bisa lulus. Bagaimana kalau tidak?”

“Terus saja Mama banggakan Maura. Ma! Yang anak kandung Mama itu Amel, lho. Bukannya menghibur Amel, Mama malah membanggakan Maura. Apa sih, yang Mama harapkan? Sebaik dan sesayang apapun Mama, Maura itu tetap anak tiri, gak akan jadi anak kandung Mama.” Amel melengos dan berlari meninggalkan Soraya dengan perasaan marah.

“Mama hanya merasa bersalah telah memaksanya menerima kita sebagai keluarganya, Mel,” lirih Soraya dengan mata berkaca-kaca.

****

Maura mendengus sambil menyandarkan kepalanya pada kursi. Memutar kursi besar berwarna krem sambil memejamkan mata. Pada usianya yang baru genap 25 tahun, Maura sudah dipercaya menjadi Direktur Pemasaran di Hotel Orion milik keluarganya.

Tiga tahun menghabiskan waktunya menempuh magister jurusan Manajemen Perhotelan di Singapura, membuatnya menjadi wanita cerdas, mandiri, dan sekaligus keras kepala

Terpaksa berbagi cinta papanya yang paling berharga, membuat Maura selalu bersikap realistis, bahwa hidup ini butuh bukti, bukan janji.

Maura membuktikan, bahwa dia mampu menduduki jabatannya sekarang dengan meningkatkan jumlah kunjungan dan pemasukan hotel pada tahun pertamanya menjabat.

“Permisi, Bu! Sudah waktunya makan siang. Mau saya bantu pesan makanan?” tanya Clarissa, sekretarisnya.

“Hmm?” Maura tersentak dari lamunan.

“Sudah waktunya makan siang,” ulang Rissa sambil tersenyum manis.

“Kita makan di kantin saja, sekaligus evaluasi akhir tahun.”

‘Astaga! Waktunya istirahat masih juga bekerja,' keluh Rissa di dalam hati, tetapi dengan muka tetap tersenyum.

“Jangan khawatir! Aku tidak akan mengganggu waktu makanmu.”

“Ma-maaf, Bu. Saya tidak bermaksud.” Rissa berubah pias.

“Aku bisa membaca pikiranmu dan ini sudah masuk waktu istirahat.” Maura dengan cuek melenggang meninggalkan sekretaris cantik yang juga sahabatnya.

“Ra! Bisa tidak kamu santai sejenak?” Rissa menyodorkan nampan berisi nasi lengkap dengan lauk, sayur dan sebotol air mineral.

“Tidak ada kata santai dalam kamus hidupku, Ris. Kalau tidak ingin kehilangan hotel peninggalan Mama!”

Rissa hanya bisa mengernyit bingung mendengar perkataan Maura. “Setahuku, kondisi hotel sedang bagus-bagusnya. Kenapa kamu pikir akan kehilangan hotel?”

“Aku akan kehilangan bila bersantai mengikuti saranmu,” sahut Maura seraya menyuap nasi ke dalam mulutnya.

“Hanya sesekali. Tidak akan membuat hotelmu merugi.”

“Aku pernah sekali memberikan kesempatan untuk bersantai dan percaya janji. Akhirnya, aku kehilangan.” Maura mengendikkan bahu.

“Hotel? Pria? Harta?”

“Cinta dan kepercayaan.”

“Makin lapar aku jadinya, Ra.”

Maura hanya tersenyum seraya menunjuk piring Rissa dengan sendoknya, mengisyaratkan Rissa untuk melanjutkan makannya.

Sepuluh menit kemudian, Maura sudah berdiri sambil mengangkat nampan bekas makan. “Kamu selesaikan makanmu. Aku akan ke dapur meletakkan nampan sekalian evaluasi.”

Rissa hanya bisa terlolong memandangi punggung Maura yang menghilang di balik pintu.

“Ke mana dia?”

Rissa mendongak melihat ke samping kiri. Amelia sedang berdiri menatap arah yang sama dengannya sambil melipat tangan di depan dada.

“Mengembalikan nampan,” sahut Rissa singkat.

“Apa yang mau dia tunjukkan? Rajin? Ulet? Tekun? Cih!”

“Kerja keras!” Rissa berdiri sambil mengangkat nampannya menghadap Amel. “Permisi!” Bahunya dengan sengaja menyenggol bahu Amel hingga wanita itu terdorong ke samping.

“Puih!”

****

Amelia menutup pintu kantornya dengan kasar. Hatinya dongkol, dan marah setelah menghadiri rapat tahunan. Dia kembali mendengar pujian Armand sebagai presdir Hotel Orion yang ditujukan untuk Maura di depan seluruh jajaran manajerial hotel.

“Maura! Maura! Maura! Selalu saja Maura! Apa hebatnya anak itu?!”

Amelia berjalan hilir mudik mengitari ruang kantornya. Menggigit jari, menyugar rambut dengan kasar dan terus menggerutu tiada henti.

“Kenapa aku selalu saja kalah darinya? Apa yang harus aku lakukan agar bisa mendapat kepercayaan Papa dan menjadi direktur?” Amelia berkacak pinggang menghadap jendela kaca.

Tok. Tok. Tok.

“Masuk!”

“Permisi, Bu. Ibu diminta menghadap Ibu Amanda bagian keuangan.”

“Bagian keuangan? Kenapa, Tam?”

Tamara yang ditanya hanya bisa menggeleng. “Saya kurang tahu, Bu. Bu Amanda sendiri yang menghubungi saya untuk menyampaikan ini pada Ibu.”

“Oke! Makasih. Kamu bisa keluar.”

Tamara mengangguk dan berbalik pergi.

“Sial! Apalagi sekarang?” Amelia meraih ponsel dari meja dan keluar ruangan memenuhi panggilan Amanda.

Dengan anggun dan penuh wibawa, Amelia masuk ke ruang Amanda. “Permisi!”

“Hai, Mel. Masuk!” Sapa Amanda ramah. “Kita santai, aja, ya.”

Amelia memilih duduk di kursi jauh dari tempat Amanda duduk. “Ada apa, nih?” ketusnya.

“Tante dapat laporan masuk dari staf keuangan. Ada pengeluaran tidak terduga yang kamu tanda tangani bulan lalu, sebesar lima ratus juta. Boleh Tante tahu untuk apa?”

Amelia menegakkan punggungnya. “Itu bukan urusan Tante! Toh, yang Amel pakai bukan uang pribadi Tante!”

“Justru karena itu uang operasional hotel, maka Tante sebagai orang yang dipercaya untuk mengawasi keuangan, wajib tahu arus masuk dan keluar keuangan hotel.” Amanda tetap tenang menghadapi emosi Amelia yang mulai naik.

“Jadi bawa-bawa jabatan gini, sih?! Tante, apa Tante lupa siapa Amel ini?!”

Amanda menggeleng. “Justru karena Tante tahu bahwa Amel adalah salah satu putri dari pemilik hotel. Besar harapan Tante bahwa Amel bisa memberi contoh yang baik bagi karyawan lainnya.”

Amelia berdiri cepat. “Amel akan laporkan Tante pada Papa!” ancamnya garang.

“Boleh. Silakan saja kalau itu menurut Amel perlu. Jadi, Tante tidak perlu melaporkan sendiri pada presdir.” Amanda masih mempertahankan senyuman yang terlihat seperti seringai culas di mata Amel.

Sesampainya di rumah. Amelia segera menemui mamanya.

“Ma! Mama!”

“Sayang, kenapa panik begitu?” Soraya tergopoh menghampiri Amel yang sudah duduk sambil menekuk wajahnya.

“Ma! Mama harus bantu Amel bilang ke Papa,” ujar Amelia manja seraya meraih tangan mamanya.

“Bantu apa, Sayang?” Soraya bingung menanggapi permintaan Amelia yang panik.

“Ma! Amel menghilangkan uang operasional hotel.” Amelia mengaku sambil menunduk.

“Apa, Mel? Menghilangkan uang? Berapa banyak?” Soraya mengangkat dagu Amelia agar melihat padanya. “Jawab Mama, Mel.”

“Lima ratus juta.”

“Hah!” Soraya terbelalak kaget. “Bagaimana bisa?”

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status