Share

Bab 2 Malam Petaka

Bagai disambar petir pada siang bolong. Soraya terbeliak kaget mendengar penuturan Amel tentang uang operasional hotel yang hilang.

“Bagaimana bisa itu terjadi, Mel? Uang sebanyak itu, dari mana Mama dapatkan?”

“Ma, dengar dulu! Amel melakukan itu untuk Rendra, salah satu petugas kebersihan di hotel. Dia butuh banyak biaya untuk ibunya berobat. Bukan untuk Amel sendiri, Ma,” cerocos Amelia membela diri.

“Rendra?” Soraya mengernyit. “Kenapa tidak kamu jelaskan saja pada mereka? Lalu sekarang, Rendranya ke mana? Minta dia segera mengembalikan uangnya!” Kini, giliran Soraya yang panik.

“Itu akan sangat merepotkan. Tolong bantu aku menjelaskan pada Papa. Please ….” Amel menangkup kedua tangannya dengan mata memohon.

“Apa benar yang Tante Amanda katakan tentangmu, Mel?”

Tanpa mereka sadari, Armand sudah pulang dari kantor dan berjalan masuk ke rumah. Maura berjalan di belakangnya dengan wajah datar, namun tetapi melempar tatapan tajam ke arah Amelia.

Amel segera bangkit dari kursi dan setengah berlari menghampiri Armand. Bergelayut di lengannya dengan puppy eye keahliannya. “Papa, maafkan Amel! Bukan Amel yang memakai uang itu.”

“Iya, Mas. Amel menolong salah satu petugas kebersihan yang butuh uang untuk pengobatan ibunya. Rendra namanya,” sambung Soraya begitu melihat Armand meragukan perkataan Amel.

“Rendra?” Maura berdiri menyejajarkan Armand dan menarik lengan Amel agar lepas dari lengan ayahnya. “Bukannya dia sudah dua bulan lalu mengajukan resign, ya?”

“Benarkah?” Amel memasang wajah terkejut hingga berhasil mengejutkan Maura.

“Ya, sudah, biar Papa yang jelaskan pada Amanda,” putus Armand tiba-tiba.

“Pa! Bukankah tadi kita sudah sepakat untuk mencari Rendra terlebih dulu dan menanyakan tentang kebenaran cerita Kak Amel?”

“Papa yakin, Amel tidak sedang berbohong.” Armand mengelus lengan Maura. “Kita tetap mencari Rendra, tapi Papa juga perlu jelaskan ke Tante Amanda bahwa ternyata bukan Amel yang memakai uangnya seperti sangkaan kita semua.”

“Makasih, Pa,” sambar Amel senang. Lengannya memeluk Armand, sedang mata dan lidahnya mengejek Maura dari balik punggung Armand.

“Sama-sama.” Armand menepuk punggung Amel penuh kelembutan.

Lagi-lagi, janji Armand untuk tetap mencari Rendra dan memperoleh cerita yang benar, sama seperti janji Armand untuk tidak mengurangi kadar sayangnya pada Maura, hilang diterpa angin. Sekali lagi, janjinya pada Maura tidak ditepati.

Lima ratus juta bukan hal besar untuk Armand. Namun, berarti segalanya untuk Maura. Bukan karena nominalnya, tetapi karena janji yang teringkari membuat Maura tidak terima. Begitu pula yang dirasakan Amelia, merasa kesal karena Maura mulai menunjukkan sikap menentangnya. Jelas sekali bahwa adik tirinya sangat ingin menjelekkannya di depan Papa.

“Aku tidak akan tinggal diam, Ra,” lirihnya seraya menutup pintu kamar.

****

Kejadian malam itu, menjadi awal dari semua cerita tragis dalam hidupnya. Berawal dari panggilan telepon Amelia yang memintanya datang ke sebuah café untuk membicarakan sesuatu dan berakhir dengan masa depannya yang hancur berantakan.

“Ra, malam ini bisa kita ketemu? Ada yang mau Kakak bicarakan sama kamu, penting,” ucap Amel mengawali pembicaraan.

“Bisa, Kak. Setelah jam delapan, ya. Karena aku ada rapat bersama tim Humas, membahas proposal yang akan kita ajukan ke beberapa artis yang kita undang untuk memeriahkan acara penghujung tahun di hotel kita bulan depan.”

“Oke, Fine! Kamu, 'kan memang Direktur Pemasaran sekarang. Gak bisa dibandingkan dengan aku yang hanya staf hotel biasa,” sungut Amel.

“Bukan gitu…”

Tutt. Tutt. Tutt.

“Ihh, dimatiin. Sensi banget kalau bahas tentang kerjaan! Hhhh .…” Maura hanya menatap heran pada layar ponsel yang sudah gelap.

Tidak mau terbawa perasaaan terlalu lama, Maura memutuskan untuk segera memulai rapat. Selama bergabung bersama Hotel Orion, Maura belum pernah mengecewakan rekan kerja atau dewan direksi. Selain cerdas dan cantik, kemampuannya mengatasi masalah tidak perlu diragukan lagi. Terutama menata emosi dan memilah urusan kerja dan pribadi, sangat profesional.

****

Café Zoom

“Bay, aku mau kamu masukkan ini ke jus jeruk yang aku pesan. Jangan sampai salah. Aku pesan yang biasa, ya,” perintah Amel pada bartender café.

“Ini apa, Mbak?” tanya Bayu penasaran.

“Sudah, jangan banyak tanya. Yang paling penting, jangan sampai salah! Kamu masih mau ambil alih café ini, ‘kan, Bay?” pancing Amel.

“Oke! Saya tidak akan tanya lagi. Tapi, jangan ingkar janji, ya?”

Bagi Bayu, tidak penting lagi apa tujuan wanita ini dan siapa targetnya. Yang penting, dia hanya perlu melakukan sesuai perintah dan dia dapat imbalan yang besar untuk hal itu. Dalam hati kecilnya merasa bersalah terhadap musuh wanita ini. Namun, ambisinya memiliki sebuah café membuat mata Bayu dibutakan.

‘Suatu hari nanti, aku akan melakukan suatu hal besar untuk membayar kejahatanku saat ini,’ batinnya seraya mengaduk jus di tangannya. Wanita cantik di depannya ini memiliki aura yang sulit dijelaskan.

“Mikirin apa, kamu? Udah sana, keburu ada yang tau nanti!” tegur Amel ketus, membuyarkan pikiran Bayu.

Pukul 22.30

Sebuah taksi berhenti di halaman café. Maura segera keluar dari taksi sambil berlari kecil menuju pintu masuk. Dia tahu, kakaknya tidak akan mudah memaafkan keterlambatannya. Namun, memang tidak ada hal yang mudah saat berhadapan dengan kakaknya.

Setelah mamanya meninggal karena kecelakaan. Maura yang saat itu masih berusia delapan tahun, terpaksa menyetujui keinginan ayahnya untuk membangun keluarga baru yang utuh untuknya. Armand memutuskan menikahi sekretarisnya yang berstatus janda beranak satu.

Semua berjalan normal di tahun-tahun awal pernikahan. Namun, semua berubah drastis ketika Maura dan Amelia beranjak dewasa. Dari segi fisik dan kualitas otak, Amelia jauh tertinggal di belakang. Membuat Amelia beberapa kali harus kecewa karena pria yang disukainya secara kebetulan menyukai Maura dan ditolak oleh adik tirinya.

Luka yang tak berdarah.

Walau sering berselisih, dalam lubuk hatinya, Maura tulus menyayangi Amelia dan menganggapnya saudara.

“Kak, maaf aku telat,” kata Maura sambil menata napasnya yang tersengal.

“Tau diri dikit, lah, Ra! Bedakan urusan kerja dan pribadi! Aku masih tetap kakakmu, walau jabatanku jauh di bawahmu!” Amel mulai mengomel.

“Bisa gak, kita gak usah membahas masalah kerjaan? Kalau Kakak mau, aku akan bilang ke Papa untuk menukar posisi kita,” ujar Maura berusaha meredakan emosi Amel yang kurang tepat menurutnya.

“Halah! Nggak usah cari muka. Sok baik. Kalau memang mau tukar posisi, kenapa gak dari awal mulai kerja aja kamu bilang ke Papa. Sok, perhatian!” ucap Amel, makin tinggi nada bicaranya.

“Pelankan suaramu! Banyak orang yang melihat ke arah kita. Oke! Kakak mau bicara apa? Kalau hanya mau bertengkar, mending kita pulang aja,” jawab Maura mulai sebal.

“Oke! Aku minta maaf, Ra. Nih, minum dulu jusnya.” Amel menyodorkan jus jeruk yang sudah dipesan tadi.

Karena haus sehabis berlari, dilanjutkan berdebat, Maura meminum habis jusnya tanpa ada rasa curiga. Di seberang meja, Amel memperhatikan sambil tersenyum sinis. Di balik meja bar, seorang pria melihat adegan itu dengan perasaan yang campur aduk.

Setelah jus habis, Amel memulai obrolan dengan suasana yang berbeda. Menanyakan kemajuan proyek yang sedang Maura tangani, membahas tentang hal-hal yang tidak penting, tidak seperti yang dikatakan di telepon tadi sore.

Maura mulai menguap. “Kak, hal penting apa yang ingin Kakak sampaikan? Aku ngantuk, nih,” ujarnya seraya menguap lagi.

Amelia tersenyum melihat Maura sudah hampir tertidur. “Oh, iya, sampai lupa mau bahas apa. Sebaiknya, kita pulang aja, Ra. Kayaknya kamu capek banget. Kamu bareng mobil Kakak aja, ya?” ajak Amel. Namun, yang diajak bicara sudah lebih dahulu menjatuhkan kepalanya di meja café. Maura tertidur.

“Bagus! Semua berjalan sesuai rencana sejauh ini. Rasakan kamu, Ra. Setelah ini, kamu gak akan pernah bisa berjalan dengan kepala tegak lagi. Saatnya kamu merasakan kekalahan demi kekalahan yang sejak dulu selalu aku rasakan!” Senyum kemenangan mengembang di bibir Amel.

Menoleh ke arah bartender, Amel melambaikan tangannya. Dengan sigap, Bayu berjalan menghampiri meja Amel sambil membawa amplop berisi perjanjian bermaterai.

“Apa ini?” tanya Amel saat Bayu menyodorkan amplop cokelat di depannya.

“Ini surat perjanjian, Mbak. Tolong ditandatangani,” jawab Bayu.

“Heh! Tugasmu belum selesai!” ketus Amel. “Sudah kamu siapkan pria yang akan menemani wanita ini menghabiskan malam?”

“Sudah, Mbak. Sudah siap di kamar, seperti yang Mbak perintahkan.”

“Bagus! Sekarang kamu bantu aku mengurus wanita ini.”

Tanpa menunggu lama, Amel mengalungkan lengan Maura ke bahunya. Sementara Bayu mengambil kunci dan menyiapkan mobil di dekat pintu keluar. Amel membantu Maura ke mobil dan memerintahkan Bayu segera menjalankannya menuju hotel.

****

Penthouse Hotel Galaksi

Seorang pria tampan dengan tubuh atletis sedang terbaring bertelanjang dada. Selimut hanya menutupi sebatas pusar. Otot dadanya terbentuk sempurna, bukti bahwa dia rajin merawat tubuh dan menjaga kebugarannya. Amel langsung terpesona dengan sosok di atas ranjang saat Bayu membuka pintu kamar hotel.

“Pria tampan, beruntungnya kamu malam ini. Aku serahkan adikku yang masih suci ini padamu. Selamat menikmati malam indah.” Bibir Amel tak henti menyungging senyuman, membayangkan yang akan terjadi malam ini.

Keluar dari kamar hotel, Amelia menyerahkan amplop milik Bayu yang sudah dia tandatangani. “Kerja sama kita selesai sampai di sini. Apa yang terjadi dengan mereka berdua, sudah bukan tanggung jawab kita. Dan, satu hal lagi, hapus semua jejak tentang kita. Anggap kita tidak saling kenal. Segera tinggalkan kota ini, atau .…”

“Sudah cukup! Saya paham. Terima kasih,” potong Bayu seraya mengambil amplop dari tangan Amel dan melangkah pergi meninggalkan Amel di depan kamar hotel.

Sebelum beranjak pergi, sekali lagi Amel menoleh pintu kamar hotel dan membatin, ‘Andai saja kamu tidak selalu unggul. Andai kamu mengalah sekali saja, mungkin aku tidak sebenci ini padamu, adikku.’ Senyum sinis kembali mengembang di bibirnya.

Pikiran Amel melayang pada sosok pria di kamar tadi. ‘Andaikan kita bertemu dalam kondisi yang lain, mungkin aku dengan senang hati menemanimu menghabiskan malam. Tapi, garis nasib membawamu ke dalam drama ini dan menjadi salah satu alatku membalas dendam pada Maura.’ Sambil menggelengkan kepala, Amel berjalan keluar hotel menuju mobilnya.

"Selamat menyambut kehancuranmu, Ra!" seru Amel di dalam mobilnya dengan penuh kemenangan.

Drtt. Drtt. Drtt.

Amel menatap layar ponselnya dengan perasaan was-was. 'Bukankah ini terlalu cepat untuk terbongkar?' batinnya seraya mempersiapkan diri menjawab panggilan.

"Ya, Pa?" tanya Amel ragu-ragu.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status