Reno duduk di balkon luar apartemennya, menikmati semilir angin ibukota sambil mengisap batang tembakau yang tersisa di sela jarinya. Matanya menerawang langit malam. Pikirannya gelisah sejak mendapat telepon dari nomor tidak dikenal beberapa hari lalu.
Dia harus segera menemukan cara yang tepat menyelesaikan masalahnya sebelum berubah makin besar dan rumit untuk ditangani. Cerita cinta masa lalu yang hadir kembali, seperti bom waktu yang akan menghancurkan masa sekarang bila ia salah melakukan penanganan.
****
Alarm berbunyi nyaring saat jarum menunjuk tepat pukul enam pagi. Vivian segera turun dari ranjang dan membenahi selimut Yuki yang berantakan di bawah kaki kecilnya. Putrinya itu masih tertidur lelap sambil memeluk boneka jerapah kesayangannya.
Vivian bergegas ke dapur, menyiapkan sarapan dan bekal untuk Yuki ke sekolah. Rumah masih sepi, Damian jarang pulang sejak bertengkar dengannya minggu lalu, memperlebar jarak antara mereka. Beberapa kali
Maura turun dari ranjang dengan tergesa. Semalam, ia gelisah dan tidak bisa tidur karena pertama kalinya tidur satu ranjang dengan Rangga. Ranjang dan pria yang sama dengan malam itu, minus kejadian memalukannya. Entah bagaimana, akhirnya ia tertidur bahkan sampai kesiangan.Suasana sepi, tidak ada suara orang beraktivitas. Maura bergegas memeriksa kamar mandi dan ruang kerja, kosong.ketika berbalik hendak kembali ke kamar, matanya menangkap sesuatu tersaji di meja lengkap dengan secarik kertas terselip di bawah nampan.[Pagi, Ra. Ini aku buatkan sandwich dan segelas susu untuk mengganjal perutmu. Aku berangkat ke kantor.] Begitu bunyi pesannya.Maura menarik kursi dan duduk, mengamati dua tangkap sandwich dan segelas susu di depannya. Matanya basah. Teringat mendiang ibunya yang selalu menyediakan sarapan seperti yang Rangga siapkan untuknya, sederhana namun bermakna.Tangannya meraih ponsel di samping gelas dan menekan nomor suaminya.
“Bagaimana kamu bisa tahu? Apa kamu memasang CCTV di dalam kamar?” “Tidak, penthouse adalah satu-satunya blind spot di gedung ini. Aku hanya menebak dari bibirmu yang cemberut.” “Apa semua wanita yang pernah bersamamu juga melakukan hal yang sama sepertiku?” Tangan Rangga yang memegang pena, berhenti seketika. “Tidak.” “Berapa banyak wanita yang bangun kesiangan dan ketahuan oleh pegawaimu saat keluar dari lift khusus milikmu?” Rangga tertegun. ‘Apa maksudnya dia bertanya seperti ini?’ “Kenapa diam, Kak?” “Apa yang pegawaiku lakukan padamu hingga kamu bertingkah begini?” “Tidak ada, mereka hanya memandangku dengan tatapan sinis dan merendahkan. Mungkin mereka mengira aku adalah teman wanitamu yang ke sekian. Maka aku tanya begitu padamu.” Nada ketus Maura membuat Rangga keluar dari balik meja, meraih lengan Maura dan menariknya keluar dari ruang kerja presdir. “Kak, apa yang kamu lakuka
“Siapa?” ulang Rangga meyakinkan dirinya.“Vivian Setiadi.”Rangga bergegas meninggalkan aula.“Siapa yang datang?” tanya Maura pada Wina.“Maaf, Bu. Saya kurang tahu. Mari, saya kenalkan Ibu dengan kepala bagian yang sudah hadir.”Maura terpaksa mengikuti acara yang sudah Rangga atur untuknya. Antusias yang hadir membuatnya mengabaikan Rangga yang tak kunjung kembali. Saat Maura meletakkan piring kosong bekas makannya, Rangga baru kembali dengan wajah cemberut.“Mau aku ambilkan makan?” sambut Maura.“Tidak, nafsu makanku hilang. Sebaiknya kita segera pulang setelah kau selesai.”Beberapa kepala bagian datang mendekat, berbasa-basi dengan presdir sebelum berpamitan kembali ke tempat masing-masing.“Siapa yang datang menemuimu?”“Seseorang dari masa lalu. Ayo, kita pulang.” Rangga meraih tangan Maura dan melangkah kelua
“Kamu terlalu gegabah. Kamu sangat mengenal Rangga, dia bukan orang yang mudah dibujuk atau berbelas kasihan. Apa kamu kira dengan membawa Yuki, dia akan iba padamu?” Reno membuang napas kasar.“Maafkan aku, Kak. Tapi aku bingung harus pergi ke mana.”Reno tahu betul, itu hanya alasan yang Vivian siapkan. “Bingung? Kamu tahu dengan pasti alamat apartemenku. Dan jangan kamu kira aku tidak tahu bahwa kamu sengaja mengelabui anak buahku agar tidak melihatmu di bandara.”“Mama, kenapa Paman ini marah padamu?”Vivian segera meraih Yuki dalam peluknya. “Tidak, dia tidak marah. Hanya kecewa karena tidak bisa menemukan kita di bandara.”“Apa dia teman lama yang kamu sebutkan?” selidik Yuki.“Tidak, dia bukan teman lama. Dia adalah saudara jauhku, kau bisa memanggilnya Paman Reno.”“Kalau begitu, pria yang kita temui di hotel tadi teman lamamu?”
Suara monitor jantung membuat bulu kuduk Rissa meremang. Pasalnya, sudah tiga jam Elena tak sadarkan diri sejak pertama kali ia ditemukan tergeletak di lantai ruang tengah rumahnya. Ben memasang wajah muram sambil terus menggenggam tangan istrinya. “Hubungi kakakmu, suruh dia cepat kemari.” Tak ada nada ramah seperti biasa, hanya amarah dan kekecewaan. Rissa mengangguk, merogoh sakunya mengambil ponsel dan menghubungi Evan. “Kak, kamu di mana?” [Aku di apartemen. Kenapa?] sahut Evan dari seberang. “Datanglah ke Rumah Sakit, Mama pingsan.” [Apa?! Ya, aku segera ke sana.] Sambungan terputus. “Apa katanya?” “Dia di apartemen, sedang menuju kemari,” sahut Rissa lirih. Selang beberapa saat, Evan membuka pintu kamar perawatan dengan tergesa. “Mama!” serunya melintasi kamar hanya dengan tiga langkah lebar. Plakk. Tamparan Ben menyambut kedatangan Evan. “Pa, tolong jangan bertengkar dengan Kak Ev
Rangga meraih lengan Maura dan menariknya, membuat tubuh lembut itu beradu dengan otot dadanya yang liat. “Aku simpulkan, kau sudah bersedia membuka hati dan menerimaku.”Maura mengangkat jari manis yang dihiasi cincin pemberian Rangga. “Dengan memakai ini, aku rasa cukup untuk menegaskan simpulanmu.”Sejak mendengar Rangga berbicara di depan kamera tentangnya, Maura sudah memantapkan hati bahwa ia akan belajar mencintai Rangga yang pastinya tidak akan sesulit menyelesaikan masalah hotel.Sudut bibir Rangga tertarik ke samping bersamaan, menampilkan senyuman paling menawan yang pernah Maura lihat. Wajah tampan itu makin merapat mendekat seiring detak jantung Maura yang berlarian. Mengikuti nalurinya, Maura memejamkan mata saat hidung mereka bersentuhan.“Kau tidak sedang mempermainkanku ‘kan?” tanya Rangga tepat di depan bibir Maura.“Tidak,” jawab Maura yakin.Maura merasakan satu tangan
Rangga mengernyit heran. “Pinjamkan Reno, untuk?” “Untuk kebahagiaanmu.” “Maksudnya? Katakan dengan jelas.” “Bang, selama ini Reno tidak pernah pisah denganmu. Menurut mama, itu akan mengganggu perkembangan hubunganmu dengan Maura. Bukannya dia masih menutup hati untuk cintamu?” Rangga tertegun sejenak memikirkan kata-kata Alina. ‘Benar juga kata Alina. Lagi pula, aku bisa sekalian menjaga jarak dengan Reno sementara waktu sampai dia selesaikan masalah Vivian.’ “Oke.” “Semudah itu?” giliran Alina yang tercengang. “Ya, kalau bisa dipermudah kenapa harus dipersulit?” ucap Rangga mengutip perkataan Maura. “Oke, aku pamit dulu kalau begitu.” “Sudah mau pulang, Al?” “Iya, Kak. Aku tidak mengganggu kalian lagi.” Alina melambaikan tangan dan berbalik menuju pintu. “Aku sudah menyiapkan baju gantimu. Aku taruh di ranjang.” Maura melangkah menuju pantry. “Bantu aku berpakaian,” goda Rangg
Resor Ranggapati, KarangasemMaura dan Alina duduk lemas di sebuah sofa panjang yang tersedia di ruang tunggu resor. Entah karena terlalu bersemangat atau karena melewatkan sarapan, dua wanita itu kompak mabuk udara bersamaan.“Ada apa dengan kalian? Bukannya tadi sangat antusias saat pesawat akan mengudara? Kenapa sekarang lemes begini? Mabuk?”“Sudahlah, Bang. Jangan terlalu banyak bicara. Omelanmu membuat perutku mual.” Alina makin meringkuk malas.“Astaga, lemah sekali.” Rangga sedikit menekuk lututnya, menyusupkan dua lengannya di bawah lutut dan tengkuk Maura. “Ren, kau urus Alina!” perintahnya seraya menggendong Maura menuju buggy car yang akan mengantar ke kamar mereka di tepi pantai.Tubuh mungil itu menempel bak koala pada induknya. Duduk di pangkuan Rangga dengan patuh dan mata terpejam.“Apa rasanya sangat tidak nyaman?” bisik Rangga pelan.“Pening