Alina masih duduk di depan TV, dengan kacamata bulat besar menggantung di hidungnya dan mulut mengunyah berondong jagung ketika ekor matanya menangkap bayangan orang berjalan menuju dapur.
“Mau apa kemari?” tanyanya sinis.
“Kang Asep meminta saya mengantarkan makan malam untuk Anda.”
Brak.
Alina meletakkan toples kaca dengan keras dan berjalan cepat ke depan Reno, memojokkan pria itu di antara kulkas dan dirinya. “Apa maumu sebenarnya?”
Reno mendorong bahu Alina menjauh. “Jangan seperti ini, Nona. Akan menimbulkan kesalahpahaman bagi yang melihat.”
“Biarkan saja, aku yang akan menjelaskannya nanti. Sekarang, jelaskan padaku kenapa sikapmu berubah?”
“Nona, kejadian di Bali murni kesalahan saya. Saya minta maaf.”
Plak.
Alina menampar Reno dengan keras. “Pengecut!” Alina mundur dua langkah. “Oke, sesuai janjiku saat kita di Bali. Itu t
"Deal?” Alina mengulurkan tangannya. Aldo hanya bisa tersenyum mengakui kehebatan Alina. Dia tahu betul kelemahan Aldo yang menggilai Ranggapati Danutirta dan arsitektur. “Apa dia pria yang mengantarmu pulang saat resepsi pernikahan kakakmu?” Alina mengangguk. “Dia pria beruntung karena berhasil mendapatkan cintamu. Apa hebatnya dia?” “Aku adalah wanita paling beruntung apabila bisa mendapatkan cintanya. Dia pria paling lurus dan setia yang pernah aku temui. Limited edition,” aku Alina penuh kekaguman dan binar di matanya. Aldo menangkap sosok yang Alina maksud. “Dia baru saja masuk dan sedang menatap ke arah kita. Apa yang perlu aku lakukan?” “Sialan! Kamu mau bantu atau tidak?!” geram Alina. “Jangan pernah katakan kamu menyesal berbisnis denganku.” Aldo meraih tangan Alina dan menariknya hingga gadis itu duduk di pangkuannya. Perlahan Aldo mendekatkan wajahnya membuat Alina terbeliak. “Apa yang kamu
“Apa yang kamu katakan padanya di bawah tadi?” tanya Rangga tiba-tiba setelah memarkir mobilnya di garasi. “Rahasia wanita.” “Aku perlu tahu, Ra.” “Untuk?” Maura menggeser bahunya menghadap Rangga. “Merencanakan sesuatu di belakangku?” “Hanya ingin tahu agar mudah bersikap.” “Akan sangat mudah menentukan sikap setelah kamu memutuskan siapa yang lebih penting untukmu, Kak.” Kata-kata dan tatapan Maura menohok Rangga tepat di ulu hati. “Kau tahu pasti siapa prioritasku, Ra.” “Aku belum tahu karena kamu belum mengatakannya padaku, Kak.” Maura terus menatap suaminya. “Keluargaku. Orang-orang yang terikat darah, hukum dan perasaan, adalah prioritasku.” Rangga meraih jemari Maura dan membawanya ke atas pangkuannya. “Yuki?” tanya Maura hati-hati. “Dia akan menjadi penting bagiku setelah tes DNA membuktikan bahwa darah yang mengalir di tubuhnya adalah darah Danutirta. Aku harap kamu mengerti yang aku maksud.”
Kediaman Danutirta, JakartaKedua lututnya tak berhenti bergerak sejak Yuni mempersilakannya duduk. Reno berangkat pukul tiga pagi dengan mengendarai mobil menuju Jakarta, memenuhi janji temu dengan calon mertuanya, kalau lamarannya diterima.“Diminum dulu kopinya, Den. Tegang sekali mukanya. Bapak biasanya sarapan roti, bukan orang,” canda Yuni sambil terkikik geli, menambah kecepatan debar jantung Reno.“Makasih, Teh Yuni.”Bibirnya baru saja menempel pada bibir cangkir menghirup aroma kopi yang menenangkan ketika Galih dan Hanna keluar dari kamar utama. Cepat-cepat diletakkannya cangkir, diusapnya celana denim dengan telapak tangan untuk mengurangi keringat yang tiba-tiba keluar.“Pagi, Ren. Sudah sarapan?”Deg.“Pagi, Pak, Bu. Sudah, tadi sebelum berangkat saya sempatkan untuk makan.”“Makan angin?” Galih menggeleng dan tersenyum melihat kegugupan pertama pria kepe
“Coba kamu ulangi lagi kata-katamu barusan. Kamu bilang apa?” “Mungkin kita perlu pikirkan ulang keputusan kita untuk bersama,” ulang Reno lebih lantang dari sebelumnya. “Pikirkan ulang? Batal maksudnya?” Reno tidak menjawab pertanyaan Alina, hanya menutup pintu rumahnya dan duduk di sofa, seperti tidak ada Alina di sana. “Reno, jawab aku. Apa maksud perkataanmu barusan? Tidak, beri aku alasannya kenapa kamu minta kita pikirkan ulang.” “Aku rasa kita tidak cocok bila bersama.” “Tahu dari mana? Pernah kita bersama sebelumnya?” Alina kesal dengan jawaban Reno yang dinilainya asal. “Beri aku jawaban yang sesungguhnya.” Reno berdiri berhadapan dengan Alina dengan wajah serius. “Oke, kalau itu maumu. Aku tidak terbiasa dipimpin seorang wanita.” Dahi Alina seketika berkerut dalam. Mulutnya sudah setengah terbuka ingin memprotes Reno, tapi diurungkannya. Ia pikirkan semua informasi yang didapatnya dari Hanna saat perjalanan ke
“Jangan berlebihan. Pegang ini!” Reno mengarahkan satu tangan Alina untuk menyatukan kedua sisi kemeja, selagi ia masuk ke kamar dan mengambil sebuah kaos besar. “Pakai ini!” Alina tetap diam dengan mata merah dan berkaca-kaca. Melihat sikap memberontak yang Alina tunjukkan, Reno memasangkan kaosnya melewati kepala Alina hingga menutup hampir setengah pahanya. “Ganti bajumu.” Alina menepis kasar tangan Reno yang menyentuh bahunya, kemudian melangkah masuk ke dalam kamar dan membanting pintunya hingga kaca rumah itu bergetar. Dua puluh menit Reno berdiri diam di depan pintu kamarnya, waspada bila terdengar suara-suara yang mencurigakan. Tok tok tok. “Alina.” Tidak ada jawaban. “Al, kau baik-baik saja?” Reno memegang gagang pintu, tapi tidak segera membukanya. Ia terlalu takut menghadapi kenyataan di dalam yang sedang menunggunya. Bagaimana kalau Alina bersikap seperti tadi, nekat telanjang di hadapannya? Atau bahkan mungkin sekarang Alina sedan
Tiga puluh menit setelah Alina pergi. Reno berjalan bolak-balik di halaman rumahnya, berulang kali membuka dan menutup pintu mobilnya, berulang kali menghubungi ponsel Alina namun tidak ada jawaban. Dalam satu tarikan napas, Reno menarik gagang pintu mobil dan menyalakan mesinnya. “Pasti dia belum terlalu jauh,” gumam Reno menghibur diri. Alina bukan tipe pengendara yang suka kecepatan tinggi, maka akan lebih cepat terkejar bila Reno memacu mobilnya lebih cepat dari biasa. Beruntung jalanan lumayan sepi, jadi Reno bisa menambah kecepatannya. Setelah satu jam berkendara, Reno melihat seorang wanita sedang ditarik paksa keluar dari mobil. ‘Bertengkar di tepi jalan, sangat memalukan,’ ucapnya membatin. Namun, hati kecilnya menggerakkan matanya untuk melirik dari spion samping hanya sekedar ingin memastikan bahwa wanita yang sedang memakai kaos miliknya itu baik-baik saja. ‘Kaos milikku?!’ batin Reno tersentak menyadari hal penting yang te
“Apa yang membuatmu tersenyum?” heran Reno. “Apa kau sudah melihat wajah cemberutmu? Kau nampak sepuluh tahun lebih tua dari usiamu, Ren.” Alina terkikik membayangkan Reno berjalan dengan bantuan tongkat di tangannya. “Apa nyawamu bisa dipakai bahan candaan?!” bentak Reno marah. “Aku tidak bercanda dengan nyawaku, aku hanya merasa lucu melihat wajah pucatmu yang sedang cemberut itu.” Alina menarik lengan Reno. “Aku belum mati, Ren. Dan tidak akan mati semudah itu sebelum aku mendapatkan cintamu. Lagipula, ada kau yang akan menjagaku, bukan begitu?” Bruk. Reno menarik Alina. “Aku hampir mati rasanya saat menyadari bahwa wanita itu kamu, Al.” “Aku tahu,” bisik Alina seraya membalas pelukan Reno. “Aku pikir, aku tidak akan bisa melihat wajahmu lagi.” Alina bukan gadis cengeng, tapi berada dalam hangat pelukan Reno, membuat Alina rapuh. “Al, lihat aku.” Reno mangangkat dagu Alina. “Maafkan aku tentang hal tidak penting yang aku kat
Istri Asep, Cucun, sedang menggerus bumbu saat Maura turun ke dapur. Kepalanya hanya menoleh sejenak dan menyapa Maura kemudian kembali menekuni pekerjaannya.“Masak apa hari ini, Teh?” sapa Maura basa-basi.“Ini, Den Rangga minta dibuatkan ayam bakar madu dan sambal terasi untuk sarapan.”“Sini, Maura bantu.” Diraihnya sayuran segar yang baru selesai dicuci. “Ini mau dimasak apa, Teh?”“Mau dibikin salad Sunda, Neng.”“Hemm?” Maura mengernyit bingung. “Salad Sunda, maksudnya?”“Hehehe, lalapan, Neng. Ada yang dibiarkan mentah, ada yang direbus sampai matang. Nanti dimakan bareng sambal terasi dan ayam bakar, hmm ….” Cucun memperagakan salah satu iklan di TV lengkap dengan ekspresi yang membuat orang ingin mencoba.“Jadi ngiler,” ucap Maura setelah melihat aksi Cucun.“Iya, Neng. Memang menggugah selera. Ini