Armand Bagaskara kembali ke rumah besarnya dengan lesu dan kepala tertunduk. Soraya yang sengaja menunggu kepulangannya di ruang tamu, segera bergegas menghampirinya.
“Pa, pulang makan malam bisnis, bukannya senang malah sedih begini. Kenapa?” Soraya mengelus lengan suaminya dan menggandengnya masuk.
Dari desahan napas yang terdengar berat, Soraya tahu bahwa perjamuan kali ini tidak membawa hasil sesuai harapan. Pijatan lembut di bahu membuat Armand menoleh ke samping.
“Tolong panggilkan Maura, Ma. Papa tunggu di ruang kerja.”
Soraya segera naik ke lantai dua, menuju kamar Maura. Pintu sedikit terbuka, menandakan pemilik kamar belum tidur.
“Ra, mama masuk ya?”
“Ya, Ma. Masuk aja,” sahut Maura dari dalam.
“Ra, Papa bilang mau bicara sama kamu. Papa tunggu di ruang kerja.”
Maura yang sedang tengkurap dan memainkan ponselnya, segera berbalik dan duduk. “Tumben, Ma. Ada yang penting memangnya?”
“Mama kurang ta
Selama hampir tiga bulan, Bayu bersembunyi hanya mengandalkan uang tunai yang Amelia berikan padanya. Kini persediaannya makin menipis, sedangkan Amelia tidak bisa dihubungi, Bayu mulai kebingungan. Lebih lagi, orang kepercayaannya memberi kabar kalau ada orang yang mencarinya ke kampung asalnya.“Kalau begini keadaannya, bisa mati kelaparan aku,” gerutunya sambil terus berusaha menghubungi Amelia.****Kelopak matanya begitu berat setelah semalam Maura tidak bisa tidur nyenyak. Benar kata papanya bahwa menemui Rangga bukan keputusan tepat. Maura turun ke bawah, bergabung dengan yang lain untuk sarapan.“Pagi.” Maura mengambil sepotong roti lapis dan memakannya dalam satu suapan besar.“Bagaimana perkembangan masalah hotel, Ra?”“Maaf, Maura tidak berhasil menemuinya kemarin.” Bohong adalah keputusan terbaik saat ini.“Papa lupa bilang padamu, dewan direksi sudah sepakat mengadakan
Aroma desinfektan dan cairan pembersih yang menyengat mengganggu penciuman Maura. Atap putih menyambut matanya yang segera terpejam rapat karena kepalanya kembali berdenyut.“Ish … di mana ini?”“Kamu di Rumah Sakit, Ra.” Sentuhan lembut di lengannya membuat Maura menoleh.“Ris, apa yang terjadi? Seingatku,”“Kamu pingsan setelah berteriak histeris dan kamu tahu, Rangga dengan sigap menggendongmu dan membawamu ke sini. Coba kamu bayangkan, sepuluh lantai plus lobi, apa gak pegel tuh? Menakjubkan!” Rissa begitu bersemangat menceritakan sikap heroik yang Rangga lakukan.“Cukup. Ocehanmu membuat telingaku berdenging!” sungutnya sembari menutup kupingnya.Rissa mencolek lengannya, menyeringai jenaka dan mengerjap. “Best couple ever.”“Diam!” Maura semakin marah.Pintu kamar terbuka, Armand masuk diikuti Rangga.“Rissa, b
“Kami mendapat telepon dari kantor sekretaris anda, memberitahukan bahwa anda akan melakukan konferensi pers tentang akuisisi Hotel Orion.” Salah satu reporter membuka suara.“Ya, benar. Maaf karena kalian harus jauh-jauh datang ke sini.”“Tidak masalah, Pak. Bapak adalah salah satu pebisnis sukses yang jarang bisa ditemui untuk wawancara, kami tersanjung menerima kesempatan ini.” Seorang reporter wanita menatap kagum ke arah Rangga.“Tentang akuisisi Orion, saya nyatakan dihentikan.”“Bisa anda berikan penjelasan mengapa dihentikan, Pak?”“Tujuan utama saya membeli dua puluh lima persen saham Orion adalah untuk mendapatkan cinta.” Rangga menyeringai merasakan Maura mencubit perutnya dengan keras.“Wah, siapa wanita beruntung itu, Pak? Boleh kami tahu?”“Maura Andromeda, putri pemilik Hotel Orion. Saham itu akan saya pakai sebagai mahar pernikaha
Bayu rela berganti kendaraan umum melintasi kota demi melakukan penarikan tunai di sebuah bank. Uang di tangan sudah menipis. Dia harus mengambil resiko tertangkap kalau tidak ingin mati kelaparan. Pesannya melalui kotak masuk sebuah sosial media milik Amelia, belum juga mendapat respon.“Kamu pikir, setelah mengirimku ke tempat terpencil begini, aku akan berhenti mengganggumu? Cih, selama uang yang aku minta belum kamu kirimkan, aku akan terus mengirim pesan padamu,” gerutunya pada layar ponsel.Di tempat berbeda, Amelia juga sedang memutar otak bagaimana cara mendapatkan uang yang Bayu minta. Sejak kejadian beberapa waktu lalu, praktis Amelia tidak diberikan mengakses keuangan hotel. Hanya menerima gaji sesuai dengan yang tercantum dalam kontrak kerja.“Kalau aku tidak bisa mendapatkan uangnya, aku khawatir Bayu akan muncul dan buka mulut. Habis aku.”Amel keluar kamar dan mencari Soraya. Hanya mamanya yang bisa menolongnya sekar
“Aku mau bicara, Ra. Kamu ada waktu?” ‘Astaga, Kak! Kamu sedang menggali kuburmu sendiri.’ Kali ini mulut Rissa ikut bergerak mengisyaratkan bahaya, tapi Evan melangkah makin dekat dengan percaya diri. “Kebetulan.” Maura menatap Rissa, melemparkan senyum lebar ala badut Ancol yang berhasil membuat Rissa tercengang. “Tolong tinggalkan kami berdua,” imbuhnya dengan tatapan tegas mengarah pada sekretaris andalannya yang masih diam. Rissa mengangguk cepat, menepuk bahu Evan dua kali ketika melewatinya. “Tabahkan hatimu,” bisiknya. Evan hanya tersenyum tanpa tahu maksud perkataan adiknya. Sepeninggal Rissa, Maura mempersilakan Evan duduk di sofa, berhadapan dengan tempatnya duduk. “Silakan bicara.” ‘Kenapa Maura bersikap formal? Apa karena ini di kantor?’ Evan berusaha menebak sambil mendaratkan pantatnya di kursi. “Apa Rissa sudah memberitahumu tentang solusi yang aku punya?” “Belum. Solusi tentang apa?” “Semalam, a
Siska menatap Maura dengan pandangan prihatin. “Tugas utamamu adalah memperhatikan kondisi ibunya, agar bayinya bisa tumbuh sehat.” “Maura kenapa, Tan?” “Berapa tinggi badanmu?” tanya Siska. “Seratus tujuh puluh,” jawab Maura seraya membetulkan kancing kemejanya. “Berat?” “Dua bulan lalu, lima puluh tujuh.” “Lihat ini.” Siska melingkarkan metlin ke lengan atas Maura. “Kurang dari 23 cm. Status gizi ibunya kurang baik.” “Apa yang harus dilakukan, Tan?” “Banyak mengkonsumsi makanan tinggi kalori dan protein.” Siska kembali ke mejanya dan mulai menulis. “Bawa surat ini ke Klinik Gizi, mereka akan membuatkan contoh menu makanan yang sesuai dengan kebutuhan ibu hamil.” Rangga menerima memo warna putih yang Siska ulurkan. Membacanya sejenak kemudian mengangguk mengerti. “Oh ya, kapan kalian menikah? Kenapa tidak mengundang tante?” “Sabtu depan,” sahut Rangga datar, mengabaikan ekspresi terkejut di waja
Maura kembali ke kantor, bingung harus pergi ke mana. Orang rumah akan curiga kalau dia pulang sekarang, setelah Rangga menyuruh ART-nya membereskan barang miliknya. Kembali ke rumah keluarga Rangga lebih tidak mungkin lagi. Begitu juga pergi ke tempat Rissa, hubungannya dengan Evan dan orang tuanya sedang rumit. Ada rasa lega begitu punggungnya mendarat aman di kursi besar miliknya. Ia tidak melihat Rissa saat memasuki ruangan, jadi untuk sementara ia aman. Tanpa sadar, kedua lengannya mendarat di atas perutnya, tetap di sana selama beberapa saat. “Apa nyaman berada di dalam?” Maura mengusap perlahan perutnya. “Maafkan aku. Aku tidak membencimu, tapi aku juga tidak yakin bisa merawatmu. Kehadiranmu tidak ada dalam rencana hidupku. Sekali lagi maaf,” gumamnya penuh sesal. “Hari ini, aku melihatmu hidup, bergerak di dalamku. Ada rasa haru dan takjub. Tapi itu saja tidak cukup untuk menerimamu.” Tangannya terus bergerak di atas perutnya. “Aku ingin, anak-anakku
Sejak pertengkaran terakhir mereka, Maura jarang bertegur sapa dengan Armand, hanya seperlunya untuk menjaga kesan di mata orang. Terutama hari ini, di mana ia telah resmi menjadi istri Rangga Danutirta dan sedang berdiri menyambut tamu undangan.“Senyumlah. Aku tidak ingin para tamu berpikir kamu terpaksa menikahiku.”“Memang begitu faktanya dan kita berdua tahu, itu benar,” balas Maura. “Lagipula, ini tamumu dan keluargamu.”“Tapi kamu sudah menjadi anggota keluarga Danutirta sekarang. Jadi mereka juga tamumu.” Rangga berbisik lagi, mulutnya gatal ingin berdebat dengan istri barunya.“Bagaimana bisa mereka tamuku, mereka diundang tanpa persetujuanku.”“Karena kamu pasti akan menolaknya. Ingat saat kamu kabur bersama Alina ke studio dan berakhir kabur lagi karena Alina menyinggungmu. Pada dasarnya, kamu memang berniat menggagalkan pernikahan ini, bukan?”Maura harus men