Steven dan Mommy terdiam sejenak. Keringat mulai muncul di pelipis mereka, tapi Mommy masih mencoba mempertahankan sikap galaknya. Wanita gempal itu segera menggoyangkan kipas tangannya beberapa kali dengan gerakan canggung.
“Jangan coba-coba bermain api, gadis kecil.”
Dea menatap mereka dengan pandangan dingin. “Kau yang akan terbakar duluan.”
Ketegangan menggantung di udara, dan jelas sekali bahwa Steven dan Mommy tidak menyangka Dea bisa seberani ini. Jean, meski masih gemetar, merasa ada harapan untuk lolos dari situasi ini tanpa menyerah pada pemerasan.
Dia mengenal Dea dengan baik dan mereka bersahabat semenjak kecil. Watak seorang Dea tidak cepat mengalah terhadap keadaan. Kehidupannya yang keras selama ini, sudah mendidiknya agar mampu membela dirinya sendiri dan tidak menyerah terhadap keadaan.
Wanita gempal yang dipanggil Mommy itu tiba-tiba memukul meja denga
Malam itu, mereka bercinta seperti dua jiwa yang kembali bertemu, mengulang malam pertama mereka dengan intensitas baru. Napas saling memburu, bisikan-bisikan rindu memenuhi sela waktu, dan pelukan itu… terasa seperti pelukan terakhir dari dunia yang mereka bangun ulang bersama.Ketika akhirnya mereka terbaring saling memeluk, Yama mencium dahi Dea dan membisikkan,“Terima kasih telah kembali padaku.”Dan Dea menjawab lirih, “Terima kasih karena tidak menyerah padaku.”"Dea, aku ingin anak yang banyak."Dea mengangguk kecil lalu menjawab, "paling banyak empat ya, aku tidak sanggup kalau terlalu banyak."Yama memperat pelukannya, "Kalau bisa sepuluh."Mendengar itu, Dea segera mencubit pinggang Yama."Jangan bergerak lagi atau sisi lain dari diriku bangun lagi dan aku akan membuat bayi kembar sekarang."Dea segera menghentikan gerakanny
Perkataan Yama lebih terasa seperti bintang yang jatuh melewati bumi, tampak di mata Dea dengan bekas-bekas sinarnya.Dengan mata memerah, Dea mengangguk kecil.Saat itu juga, Dea yang berinisiatif untuk mencium Yama dengan ciuman penuh cinta dan kerinduan."Aku mencintaimu, Dea.""Ohya? Sejak kapan?"Yama berpikir sejenak lalu menjawab, "sejak pertama kali melihat dirimu yang tidak berdaya di bawah kukunganku. Malam itu, saat bawahanku salah tangkap."Dea mempererat pelukannya."Tidurlah, besok kita menikah."***Langit sore itu cerah, seolah turut merestui hari yang dinanti. Di halaman luas mansion modern milik keluarga besar Yama, pernikahan mewah tengah berlangsung. Tenda-tenda putih berhiaskan bunga mawar dan anggrek langka menjulang megah, sementara para tamu—pejabat tinggi negara dan pengusaha ternama—berlalu-lalang dengan setelan formal dan gaun-gaun berkelas.
Pagi itu, langit cerah. Angin membawa aroma rumput dan bunga dari taman vila.Dea duduk di kursi roda, wajahnya menghadap jendela besar dengan selimut menyelimuti kakinya. Di pangkuannya, bayi kecil mereka duduk dengan lengan mungil memeluk boneka kain.Yama duduk di dekatnya, menyeruput teh hangat sambil membaca laporan kerja. Tapi matanya sesekali mencuri pandang pada dua orang yang ia cintai di dunia.“Aku pikir… hari ini aku bisa latihan berdiri sedikit lebih lama,” kata Dea pelan, membelai rambut anaknya.“Kamu sudah luar biasa, Sayang.” Yama tersenyum. “Tapi jangan terlalu memaksa. Perlahan. Langkah kecil.”Dea hanya mengangguk. Tapi dalam matanya, ada api kecil yang tak padam. Api seorang ibu yang tak ingin kehilangan satu detik pun dari tumbuh kembang putrinya.Tiba-tiba, bayi mereka, yang tadinya hanya mengo
Tubuhnya masih terasa berat dan pusing, tapi luka di hati jauh lebih berat.Yama perlahan mendekat, lalu berlutut di samping ranjang.“Aku sudah hampir kehilanganmu. Aku... kehilangan akal. Tapi aku tidak kehilangan rasa hormat padamu. Tidak sedetik pun.” Ia menggenggam sisi ranjang, menunduk. “Aku minta maaf karena kamu terbangun dalam situasi yang membingungkan. Aku salah karena terlalu egois karena sudah melakukannya. Tapi tolong, Dea…”Suara Yama parau. “…jangan tinggalkan aku. Bukan lagi.”"Maaf..."Dea menutup mata. Air matanya jatuh diam-diam. Dalam hati, masih ada kemarahan.“Aku haus…” bisiknya akhirnya.Yama langsung berdiri. “Tunggu. Aku akan ambil air.”***Udara pagi masuk melalui jendela yang dibuka setengah. Aroma embun, matahari, dan daun basah bercampur dengan kelembuta
Ia berdiri, melangkah pelan mendekat. Tangan gemetar menyentuh lengan Rahel.“Aku… lelah sekali. Kesepian. Kenapa dia tak bangun-bangun… kenapa?”Rahel menunduk, ingin menjauh. Tapi Yama menahan.Dia menatap wajah Rahel—mencari pelarian, bukan cinta. Mencari kehangatan sesaat yang bisa menghapus rasa kehilangan yang tak tertanggungkan.Wajah mereka makin dekat. Nafas Yama hangat, tercium samar aroma mabuk dan luka batin.Dan saat hanya berjarak sejengkal…TANGISAN BAYI terdengar dari kamar sebelah.Kuat. Seperti suara langit yang memanggil jiwa Yama kembali ke bumi.Ia membeku.Rahel terdiam. Tangisan itu… begitu familiar.Yama menutup matanya. Napasnya tercekat. Ia menoleh ke arah pintu kamar bayi, lalu melepaskan Rahel seketika.Langkah
Yama perlahan berdiri dan mendekat. Ia menatap Dea dengan perasaan yang campur aduk—rasa syukur, haru, dan luka yang belum kering. Bibir Dea masih tertutup rapat, tapi rona pipinya sedikit berubah. Mungkin hanya cahaya. Atau mungkin…Yama menyentuh rambut Dea yang tergerai.“Lihat, Sayang… putri kita kembali ke pelukmu. Walau kamu diam… dia tahu ke mana harus pulang.”Setelah menyusui, Rahel perlahan membetulkan pakaian Dea, lalu membungkus bayi kembali.Yama menatap bayinya yang kini tertidur dengan tenang di lengannya.“Terima kasih,” ucapnya kepada Rahel. “Aku… tidak akan lupakan ini.”Rahel tersenyum. “Mungkin ini bukan tentang saya, Tuan. Tapi tentang cinta yang terlalu dalam, yang masih melekat meski tubuh sudah diam.”Yama mengangguk, lalu duduk di te