Steven dan Mommy terdiam sejenak. Keringat mulai muncul di pelipis mereka, tapi Mommy masih mencoba mempertahankan sikap galaknya. Wanita gempal itu segera menggoyangkan kipas tangannya beberapa kali dengan gerakan canggung.
“Jangan coba-coba bermain api, gadis kecil.”
Dea menatap mereka dengan pandangan dingin. “Kau yang akan terbakar duluan.”
Ketegangan menggantung di udara, dan jelas sekali bahwa Steven dan Mommy tidak menyangka Dea bisa seberani ini. Jean, meski masih gemetar, merasa ada harapan untuk lolos dari situasi ini tanpa menyerah pada pemerasan.
Dia mengenal Dea dengan baik dan mereka bersahabat semenjak kecil. Watak seorang Dea tidak cepat mengalah terhadap keadaan. Kehidupannya yang keras selama ini, sudah mendidiknya agar mampu membela dirinya sendiri dan tidak menyerah terhadap keadaan.
Wanita gempal yang dipanggil Mommy itu tiba-tiba memukul meja denga
Dea hanya mengangkat bahu seolah mencoba bersikap santai, tapi rona merah samar muncul di pipinya. Sebelum Jean sempat berkomentar lebih jauh, ponsel Dea tiba-tiba berdering. Nama ibunya tertera di layar.“Halo, Bu?” jawab Dea.Suara ibunya langsung menggelegar dari seberang telepon. “Kau ke mana? Kenapa tidak bekerja? Biaya rumah sakit ini siapa yang bayar kalau kamu tidak bekerja?!”"Majikanmu menghubungi Ibu dan melaporkan dirimu yang absen! Cepat ke sana sekarang sebelum kau dipecat, gadis nakal!"Dea memejamkan mata, berusaha menahan emosi. Dia tidak suka dipanggil gadis nakal. Ibunya selalu mengomelinya dan membebaninya dengan biaya apa pun yang dibutuhkan keluarganya.“Baik, Bu. Aku akan segera ke tempat kerja.”Setelah menutup telepon, Dea berbalik ke arah Jean. “Sudahlah, aku mau pergi bekerja dulu. Nanti kit
Dia menatap Yama dengan lembut. Meisya telah mencintainya sejak kecil. Dan meskipun dia tidak bisa mencintai Meisya, Meisya tidak bisa berhenti peduli padanya.Yama yang tidak menyadari perasaan Meisya memalingkan wajah, menatap keluar jendela. Dalam pikirannya malah bayangan Dea lewat saat Dea mengambil celana panjang miliknya lalu melarikan diri.Tanpa sadar, Yama menaikkan sudut bibirnya kemudian berpaling ke arah Meisya, "kau tahu, seseorang yang mungkin akan mengisi posisi istri bagiku adalah seseorang yang unik dan itu bukan kamu, Meisya. Jadi berhenti menempel terus kepada Nenek karena kamu tahu jawabanku."Perkataan Yama sangat tajam dan langsung mengores hati Meisya, tetapi wanita itu hanya membalas dengan senyuman yang penuh kepalsuan."Ya, aku tahu. Sikapmu memang seperti itu sejak dulu. Tapi kamu juga harus mengerti, tidak ada seorang wanita pun yang akan tahan dengan sikapmu yang egois itu kecuali aku
Air mata segera mengalir dengan deras, membasahi kedua pipinya yang mulus."Tolong, jangan lagi membuatku takut. Aku sudah cukup lelah dengan pekerjaan yang tidak pernah habis ini! Berhenti sekarang juga!" pekiknya seolah-olah sedang memerintahkan hujan dan petir agar berhenti.Tidak lama kemudian, suasana menjadi adem kembali. Hanya terdengar suara air hujan menandakan gerimis. Dea segera melanjutkan pekerjaannya.Saat ia mengganti air di ember, pikirannya melayang pada apa yang dikatakan bosnya tadi."Kalau bukan karena Ibu... "Kata-kata itu menusuk hati Dea. Kenapa aku selalu harus bergantung pada Ibu? Kenapa aku tidak bisa membuat hidupku sendiri lebih baik?Hujan makin deras, dan Dea semakin khawatir. Jika dia tidak selesai sebelum jam delapan, lampu gedung akan dipadamkan secara otomatis, dan dia harus bekerja dalam gelap.Gelap, hujan badai dit
“Kita akan sampai dalam beberapa menit,” Bob berkata dengan nada ramah, memotong lamunan Dea. “Saya bisa mengantar Anda ke kamar Ayah Anda terlebih dahulu. Setelah itu, jika Anda siap, kita bisa naik ke lantai atas menemui Tuan Yama.”Dea mengangguk pelan. “Terima kasih. Itu rencana yang bagus.”Mobil terus meluncur mulus menuju rumah sakit, dan Dea merasa detak jantungnya semakin tak menentu. Ada terlalu banyak hal yang harus ia hadapi malam ini."Yama pasti akan menyalahkanku karena makanan yang meracuninya, padahal aku yang membayar nasi goreng. Sungguh sial sekali!" geram Dea dalam hati. "Pria tak tahu diri itu pasti akan meminta bayaran lagi. Kemanalah aku harus mencari uang lagi."Dea merasa semakin frustasi karena arus pengeluaran yang semakin banyak dari hari ke hari dan masalah yang terus menerus terjadi tanpa bisa dia cegah.Saat mobi
Dea menggigit bibir bawahnya, bingung bagaimana menjelaskannya. “Aku... aku juga tidak tahu banyak, Ayah. Tapi nanti aku akan menanyakannya langsung padanya. Setelah itu, aku pasti akan menjelaskannya pada Ayah dan Ibu.”Sang ibu menatap Dea dengan khawatir. “Berhati-hatilah, Dea. Orang-orang seperti itu biasanya membawa masalah. Jangan sampai seperti Tuan Zacky.”“Aku akan berhati-hati, Bu. Jangan khawatir,” jawab Dea dengan senyum kecil yang berusaha menenangkan.Bob merasa lega karena drama yang tidak terasa penting di hadapannya itu sudah selesai, dia segera membuka pintu dan menunggu Dea keluar dari ruangan. Dea menatap ayah dan ibunya untuk terakhir kali sebelum melangkah keluar.Pikirannya bercampur aduk antara rasa penasaran dan kecemasan. Dia takut Yama akan menagih banyak hal dan dalam pikirannya, berapa lagi jumlah yang dia harus bayar serta bagaimana cara mendapatkan
Dia segera membayangkan berapa banyak uang yang bisa digunakan untuk kebutuhan rumah tangga jika uang sebanyak itu jatuh ke tangannya. “Kalau Dea memang terlibat dengan pria seperti itu, masa depan keluarga ini akan terjamin!” pikirnya, meski ada kekhawatiran samar dalam benaknya.Sambil bergegas meninggalkan papan harga, Ibu Dea mulai menyusun rencana. “Aku harus memastikan Dea tidak hanya sekadar bermain-main. Pria itu harus serius! Jika dia berani mempermainkan anakku, aku sendiri yang akan menyelesaikan semuanya!” Tekad itu jelas terpancar di wajahnya."Mereka harus segera menikah dan aku... astaga aku akan menjadi Mertua yang kaya!"Wanita itu kegirangan setengah mati dan segera menutup mulutnya dengan sebelah tangan.Dia berbalik dan segera melangkah menuju ke kamar suaminya kembali untuk menyampaikan dugaannya.Sementara itu di dalam kamar Yama, Dea melangkah mendekati ranjang dengan perlah
“Kamu... Kamu mau aku membayar lebih ya? Dengar ya, aku bukan anak orang kaya!” ujarnya sambil terus tertawa. "Kau sudah menyaksikan sendiri bagaimana Tuan Zacky mau menikahiku dengan syarat yang sangat banyak, ohya... kamu tahu siapa yang membuatnya menjadi ketakutan seperti itu?"Yama menatapnya dengan ekspresi bingung campur geli. “Apa yang kamu maksud?” Berpura-pura tidak mengerti."Ah, sudahlah. Tidak mungkin kamu yang memberi pelajaran kepadanya, pasti ada seseorang yang hebat, mungkin salah seorang penggemarku," ucap Dea dengan percaya diri lebih. Sementara Yama hanya menatapnya dengan penuh arti.“Hei, kamu menginap di suite paling mahal di rumah sakit ini. Aku tidak bisa membayangkan tagihan satu malamnya! Kamu pikir aku punya uang sebanyak itu?” Dea menepuk dahinya sendiri.Yama mengusap lehernya, merasa agak salah paham. “Dea, Dea! Siapa yang menga
“Dea, kenapa kamu tidak bisa mempercayaiku?” gumamnya pelan sambil menunggu paramedis tiba di ruangannya. Dia memejamkan mata, berusaha mengumpulkan kembali kekuatannya untuk menghadapi hari esok.Bob kembali masuk ke kamar setelah beberapa menit, melaporkan perkembangan situasi.“Tuan, Dea sudah meninggalkan rumah sakit. Saya akan terus mengawasi gerak-geriknya,” ujar Bob dengan nada tegas.“Baik. Pastikan dia aman,” jawab Yama tanpa membuka matanya.Setengah jam kemudian, Dea tiba di rumah dengan wajah lelah. Begitu membuka pintu, ibunya sudah menunggunya di ruang tamu.“Dea! Apa yang sebenarnya terjadi denganmu? Mengapa kamu terlibat dengan pria-pria aneh seperti itu?” tanya sang ibu dengan nada cemas bercampur amarah."Tadi ada seorang pria eh, dengan seorang wanita gempal memakai kipas. Mereka mencarimu dan meminta uang. Katanya kau berhutang!""A-apa?" Dea sungguh terkejut. "Mereka sudah sampai di sini? Astaga!" pekik Dea mulai panik."... dan pria itu, tidak terlihat normal," l
“Saya bersedia.”Satu kalimat dari Dea. Ringan di bibirnya, tapi berat seperti batu karang di dada Yama.Tangannya yang memegang gelas bergetar. Getaran kecil yang hanya Meisya di sampingnya yang bisa rasakan.“Yama…” bisik Meisya lembut, menggenggam lengannya. “Tenanglah... Semua orang sedang melihat…”Tapi Yama tidak mendengar. Dia menunduk, menatap lantai marmer di bawah kakinya. Hatinya seperti dihantam ribuan pisau kecil—perlahan, tapi pasti mematikan.Meisya segera mengambil alih gelas yang dipegangnya agar tidak terjatuh.Tamu-tamu tertawa, musik berganti irama menjadi lebih cepat, champagne dituangkan lagi dan lagi. Namun bagi Yama, dunia menjadi sunyi. Ia merasa tidak berada di pesta. Ia merasa terjebak dalam neraka sunyi miliknya sendiri.Senyum palsu menyebar di seke
Karena keterbatasan waktu, Pangeran Frans membuat gaun yang lebih sederhana tetapi sangat elegan di banding gaun sebelumnya.Sebuah kalung berlapiskan permata biru melingkar di leher Dea. Betapa cantik dirinya saat ini dengan riasan make up yang natural.Pelayan berdiri terpaku. Bahkan mereka tak mampu menyembunyikan kekaguman. Tapi wajah Dea? Pucat. Matanya sedikit bengkak. Bibirnya diam, seolah menolak untuk ikut merayakan. Make up artist terpaksa menampakan gincu merah pada bibirnya supaya wajahnya terlihat lebih cerah.Seorang petugas mendekat dengan ponsel, bisik-bisik. Layar kecil itu menunjukkan siaran langsung dari pernikahan Yama.“Yama-sama… sudah tiba di altar…” lapor pelayan, setengah takut, namun itu adalah perintah Ratu. Ratu ingin Dea sadar bahwa pernikahannya hari ini adalah langkah yang benar karena pria yang dia harapkan juga melakukan hal yang sama.
Ia berbalik cepat, melangkah keluar tanpa menunggu tanggapan, meninggalkan keheningan yang menyiksa. Bahkan gaun itu tidak diambilnya. Gaun mahal itu dibuang seperti layaknya kotoran tak berharga.Para desainer tak tahu harus berkata apa. Beberapa mengalihkan pandangan, pura-pura sibuk dengan kertas sketsa. Yang lain hanya menunduk, memberi waktu agar Dea bisa menenangkan diri. Atau menunggu perintah selanjutnya. Mereka benar-benar bingung harus melakukan apa.Dea berdiri mematung. Beberapa pelayan segera memberikan handuk untuk membersihkan wajah dan tubuh Dea dari muntahan, tetapi Dea masih juga tidak percaya apa yang sudah diucapkan Pangeran itu.Dadanya naik turun cepat, antara menahan malu, sakit hati, dan perasaan hancur yang sulit dijelaskan. Ia memegangi perutnya. Kandungan menjijikkan? Apakah itu yang orang pikirkan tentang bayi yang tumbuh dalam rahimnya?Air mata mulai menggenang di pelupu
Yama membaca setiap kata dalam berita itu seperti sedang menelan racun bersamaan dengan mata belati yang tajam. Pandangan matanya mengeras. Sesuatu dalam dirinya berdesir. Sakit yang dipendam terlalu lama mulai meledak dalam bentuk yang tak terkontrol.“Baik,” ujarnya datar. “Lakukan saja.”Meisya langsung memeluk lengan Yama, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih... terima kasih, Yama. Aku janji akan menjadi istrimu yang paling setia...”Yama tidak memeluk balik. Ia hanya membiarkan Meisya bersandar di bahunya, sementara dirinya membeku seperti patung. Tatapannya kosong, dan tubuhnya seolah bukan miliknya sendiri.***Malam itu, Dea menangis dalam tidurnya. Ia bermimpi melihat Yama berjalan menjauh darinya di lorong istana yang gelap. Ia berlari, memanggilnya, tapi suara tak keluar. Hanya gema langkah Yama yang menjauh, dan tiba-tiba... tangan Meisya menggenggam tangan Yama dan menariknya pergi. Semua begitu jelas.Saat ia terbangun, bantalnya basah oleh air mata. Tapi tak ada yang tah
"Anak yang tidak bersalah itu harus mendapat kedudukan di kerajaan daripada menjadi budak bagi Nenek munafik itu!" geramnya.Ratu mulai memikirkan taktik untuk tetap mempertahankan Dea di sisinya."Atur pernikahan Dea dengan Pangeran Frans dalam dua hari lagi!" perintahnya kepada seorang asistennya.***Dea menghela napas panjang saat lagi-lagi langkahnya dibatasi oleh bayangan hitam para pengawal kerajaan. Di mana pun ia berada, entah itu taman belakang istana, ruang baca, bahkan lorong menuju kamarnya, selalu ada setidaknya dua pasang mata yang mengawasi. Entah sada berapa banyak pengawal yang berkeliaran di dalam rumah besar yang dia tempati saat ini.Ia tahu maksud Ratu baik. Pengawalan itu adalah bentuk perlindungan, katanya. Alasannya adalah karena Dea adalah seorang Lady yang dihormati dan akan memiliki status tinggi saat menikah dengan Pangeran Frans.Tapi bagi Dea
Pintu terbuka, seorang pelayan masuk, membawa kabar bahwa Yama sudah selesai terapi pagi dan sedang membaca buku di taman.Wanita tua itu segera menenangkan ekspresinya lalu memberikan isyarat dengan tangan agar pelayan itu kembali ke posisinya.“Kamu boleh pergi sekarang,” katanya pada pria itu. “Dan pastikan laporan ini tidak bocor ke siapa pun, termasuk Meisya.”"Baik, Nyonya."Setelah ruangan kembali sepi, wanita tua itu duduk dengan perlahan di kursi empuknya. Rasa lelah mulai merambat ke seluruh tubuhnya, tapi pikirannya terus bekerja. Ia tidak akan membiarkan satu momen pun luput dari perhitungannya.***Tiba-tiba, telepon antik di meja berdering. Nenek Yama mengangkatnya dengan cepat.“Ya?”“Yang Mulia Ratu Inggris ingin berbicara,” ujar suara di ujung sana.
“Tetap di sini sebentar lagi,” potong Yama pelan. Suaranya berat, masih serak pagi.Meisya membeku. Lalu tersenyum tipis, dan kembali menyandarkan kepala di dadanya. Memeluk pinggang pria itu dengan erat.Namun, diam-diam, Yama hanya ingin mencoba membangunkan sesuatu dalam dirinya.Beberapa menit berlalu dan Yama kembali merasa kesal dengan dirinya serta ketidakmampuan yang dia miliki saat ini. Bagian bawah celananya sama sekali tidak beraksi walau kedua bukit depan milik Meisya menempel erat di tubuhnya.Hari itu, sesi terapi Yama lebih semangat dari biasanya. Ia mulai bisa berjalan beberapa langkah tanpa tongkat, hanya dengan bantuan tangan Meisya yang menggenggamnya erat dari samping. Walau beberapa kali terjatuh dan peluh keringat membasahi wajah dan pakaiannya, Yama tidak menyerah.“Bagus, Tuan Yama,” ucap fisioterapis dengan kagum. “Luar biasa untuk pasien
Meisya tertegun. “Kenapa kamu bertanya seperti itu?” Hati Meisya berdebar, sangat takut terhadap penolakan untuk kesekian kalinya.Yama diam. Menunggu kelanjutan kalimat wanita itu.“Karena... aku tidak tahu sampai kapan aku akan seperti ini. Aku tidak bisa berpaling darimu," sahut Meisya beberapa saat kemudian.Meisya tersenyum, menatap bintang. “atau mungkin karena aku tidak mencintai orang lain. Hanya kamu, Yama.”Yama menatap wajah Meisya dalam keremangan cahaya. Gadis itu terlihat sangat cantik dan tanpa celah. Secara keseluruhan melebih Dea yang mencuri hatinya selama ini.Lalu perlahan, ia menyentuh jemari gadis itu.Untuk pertama kalinya, sentuhan itu bukan karena ingin dibantu berjalan. Tapi karena keinginan untuk berterima kasih.“Kalau waktu bisa menyembuhkan kakiku,” bisik Yama, “apa waktu jug
Hari-hari itu panjang, melelahkan, dan penuh luka yang tidak pernah benar-benar terucap. Namun Meisya bertahan. Dia mencintai Yama sejak kecil. Semua kelicikan yang dia perbuat kepada Dea adalah karena kecemburuannya.Adapun kesalahan terbesarnya adalah bahwa dia mencelakakan hidup mendiang ibu Yama, namun semua itu adalah karena perintah Nenek Yama sendiri dan dia hanya melakukan beberapa tugas yang tanpa sengaja mencelakakan wanita malang itu. Meisya berada dalam ketakutan setiap mengingat kapan waktunya Yama mengetahui rahasia terdalamnya, namun lebih takut lagi bila kehilangan diri Yama.Ketika dokter mengatakan Yama harus mulai menjalani terapi jalan agar saraf di kakinya kembali aktif, Meisya adalah orang pertama yang menawarkan diri untuk membantu. Dengan sabar, ia menggenggam tangan Yama, melangkah pelan-pelan menyusuri lorong rumah sakit.“Kamu tidak harus cepat. Satu langkah saja sudah cukup hari ini,” ucap Meisy