Share

[2] Teman Sang Mantan

Bagi orang lain, "kamu" adalah kata ganti pihak kedua.

Bagiku, "kamu" adalah orang yang spesial.

Sayangnya, aku belum memiliki "kamu".

Sudah setahun (atau lebih, entahlah, aku juga lupa), aku sendiri. Terakhir kali aku memiliki hubungan spesial dengan laki-laki, laki-laki itu adalah kakak tingkatku.

Dan andai mobilku baik-baik saja, aku mungkin tidak akan menceritakan dirinya pada kalian semua.

Namanya Andra. Lebih tua tiga tahun dariku. Kami berkenalan sebagai seorang senior dan junior pada awalnya.

Dia adalah mahasiswa D3 yang telah lulus, lantas melanjutkan kuliah ke jenjang S1, masuk ke jurusan yang sama denganku. Awalnya, kami hanya bertukar pikiran karena secara tidak sengaja terdaftar di kelompok yang sama. Namun lama kelamaan, Kak Andra--begitu aku biasa memanggilnya--sering sekali menghubungiku dan menanyakan beberapa hal mengenai kehidupan pribadiku.

Kami punya ketertarikan yang sama, yaitu sama-sama menyukai film series. Akhirnya, jadilah setiap seminggu sekali kami membuat jadwal rutin untuk bertemu, saling bertukar series yang kami miliki.

Dan begitulah. Pendekatan yang ia lakukan berlangsung lancar tanpa kusadari sedikitpun. Sampai akhirnya aku merasa nyaman dengannya dan menerima pernyataan cintanya.

Aku dan Kak Andra putus beberapa hari sebelum hari jadi pertama kami.

Ia bilang, ia butuh waktu lebih banyak untuk bisa berkumpul bersama teman-temannya serta koleganya. Selama bersamaku, ia juga menerima banyak proyek pekerjaan, yang membuatnya tidak bisa fokus pada karirnya dan alasan-alasan lain.

Dia memang menyebalkan (jika dilihat dari alasannya menginginkan putus). Namun sampai sekarang, hubungan kami masih baik-baik saja. Maksudku, kami masih saling bertegur sapa satu sama lain, ia masih suka menepuk puncak kepalaku ketika kami secara tidak sengaja berpapasan.

Namun, aku sudah tidak menyukainya lagi.

Dulu Kak Andra pernah menjadi kamu-ku. Laki-laki yang nyaris selalu kuingat tiap hari, yang paras dan namanya muncul dari awal hari saat aku membuka mata sampai tengah malam kami chatting bersama.

Sejak putus, aku tidak lagi punya "kamu". Ada, sih, beberapa laki-laki yang mencoba mendekatiku, tapi jujur saja, aku sama sekali tidak tertarik.

Sejak putus dengan Kak Andra

pula, aku menjadi apatis dalam hubungan percintaan. Aku tidak lagi tertarik pada hubungan jangka pendek (bukan berarti aku ingin langsung menikah), aku ingin hubungan yang berkomitmen.

Aku selalu berpikir kritis dalam hal romansa. Rasanya memang menyenangkan ketika berada dalam sebuah hubungan, tapi aku juga lelah jika terus membayangkan sebuah pertengkaran yang berujung pada perpisahan.

Dan aku bukanlah orang yang ingin berjuang untuk hal-hal seperti ini.

Aku ingin diperjuangkan.

Banyak teman-teman yang mengkritikku karena hal ini. Mereka bilang tanpa usaha, aku tidak akan mendapatkan apa-apa. Mereka benar, tapi yang mereka tidak tahu, terkadang sebesar apapun usaha yang kita keluarkan demi mendapatkan sesuatu, jika sesuatu itu tidak ditakdirkan untuk kita, maka kita tidak akan pernah mendapatkannya.

Aku pernah berada di posisi seperti itu. Berjuang untuk mendapatkan sesuatu yang sangat kuinginkan, dan aku berhasil mendapatkannya. Namun, ada satu fase yang paling berat setelahnya, yaitu menjaga apa yang telah menjadi milik kita.

Aku sudah berjuang, mempertahankan sekuat yang aku bisa. Namun kenyataannya, aku menjaga milik orang lain. Aku melindungi sesuatu yang berharga, tapi sama sekali bukan milikku.

Kak Andra adalah laki-laki itu. Yang sekuat tenaga kupertahankan ketika selama liburan semester sama sekali tidak memberi kabar. Yang kuberi kesabaran ketika secara tiba-tiba dia menghilang tapi bisa membalas tiap pesan yang masuk ke akun media sosialnya.

Dan yang kuikhlaskan ketika beberapa bulan setelah kami putus, malah jadian dengan teman satu angkatanku--gadis manis yang dikejar laki-laki satu fakultas.

Hubungan kami saat ini memang baik-baik saja. Kelihatannya.

Kenyataannya, aku membenci dia setengah mati.

Dan kekasih barunya, tentu saja.

Aku yakin dia merasa bersalah, sebab tak lama setelah berita kalau ia punya pacar baru menyebar ke semua angkatan, ia langsung menemuiku dan meminta maaf, lantas mengatakan kalau aku bisa mengandalkannya sebagai seorang kakak yang akan menuruti semua permintaanku--selama masih masuk akal.

Tentu saja, tanpa pikir panjang, aku langsung mengangguk. Memanfaatkan kesempatan yang tidak akan ditawarkan dua kali padaku--memperbudak laki-laki yang aku benci.

"Kak, minta tolong jemputin di mal deket kampus bisa? Mobilku tiba-tiba mogok, manggil orang bengkel juga gak dateng-dateng, udah setengah jam nungguin," ucapku panjang lebar, setengah menggerutu karena beberapa detik setelah panggilan terhubung yang kudengar hanyalah sahutan dari suara serak Kak Andra yang baru bangun tidur.

[Gimana, Des?]

Aku memutar bola mata, lantas kembali mengucapkan kalimat yang sama. Butuh beberapa detik kemudian sampai aku mendengar suara seorang wanita, sama serak dengan suara Kak Andra.

[Siapa, Yang?]

Kemudian kudengar desisan, yang langsung membuat aku mendengus karena aku tahu apa yang sedang ia lakukan bersama kekasihnya sekarang.

[Des, sorry ya gak bisa jemput dulu. Biar aku telponin temenku, kamu dijemput sama dia. Gimana?]

Aku menghela napas, "Iya, gak apa-apa. Ketimbang nunggu taksi, lama."

[Hm, bentar, ya. Aku telponin dia dulu. Kamu nunggu di sebelah mana?]

Aku memandangi sekeliling, "Aku tunggu di dalam kafe aja, ya? Nanti tolong kasih tahu temenmu, aku di kafe biasa."

[Oke deh. Tunggu bentar, ya.]

Aku menyahut dan mengucap terima kasih sebelum akhirnya memutuskan panggilan. Tidak mau berlama-lama berdiri di tempat parkir, aku kembali memasuki mal, lantas memesan minuman di salah satu kafe sambil menunggu jemputanku datang.

Perhatianku terpusat pada ponsel sebelum akhirnya diganggu oleh sebuah tepukan pelan yang melayang ke bahuku. Begitu aku menoleh, aku dapati seorang laki-laki yang kini tengah menarik kursi kosong di hadapanku dan duduk di sana.

"Raya?"

Ia mengerling, "Rupanya gua gak salah lihat."

Entah kenapa tiba-tiba aku merasa salah tingkah.

"Sendirian?" tanyanya.

Kepalaku mengangguk kaku, "Iya."

"Boleh aku temenin? Gak ada salahnya nemenin calon kakak ipar, kan?" Ia tersenyum lebar, melihatkan deretan gigi putihnya.

Aku mendengus. Calon kakak ipar, katanya.

"Kalo kamu keberatan, aku bisa pergi sekarang."

"Gak," sergahku. "It's okay. You can stay here till someone come to pick me up."

Raya menaikkan satu alisnya dan terkekeh. Di hadapannya, aku menarik napas dan menghelanya pelan.

"Siapa yang jemput?" tanyanya, setelah meminum es kopi pesanannya.

Aku mengedikkan bahu, "Someone. Temennya temen."

Raya menganggukkan kepala, lantas menyilangkan kaki kanannya ke kaki kiri. Aku langsung meneguk smoothies-ku ketika aku merasakan tatapan menilai yang ia lemparkan padaku. Tiga menit, atau lebih, ia memandangiku sebelum akhirnya tertawa kecil.

"Kak Rendra emang luar biasa. Kamu emang cantik, gak salah kalau dia suka sama kamu."

Pipiku memanas. Smoothies yang kusedot secara tiba-tiba tersendat di tenggorokan. Ketika aku menarik napas, minuman dingin itu justru terasa seperti masuk ke dalam paru-paruku.

Yang kemudian menyebabkan aku terbatuk hebat, sampai membuat beberapa orang memandangiku sambil terkekeh.

"Des, Des, kamu gak apa-apa? Ini... minum es kopi."

Aku menerima uluran minuman dari Raya, lantas meneguknya sampai habis.

"Wah...."

Di hadapanku, mulut Raya membentuk lingkaran takjub. Aku mengangkat alis, memperhatikan arah pandang laki-laki tersebut.

"Kenapa? Apaan?" tanyaku, tak paham.

Raya menggeleng. Ia lantas bangkit dari duduknya, "Ayo!"

"Kemana?"

"Nganterin kamu pulang. Memangnya mau kemana lagi?" Kemudian terdengar tawa kecilnya.

Aku masih bingung, "Aku nungguin temennya temenku, kamu duluan aja."

Laki-laki itu menghela napas, lantas merunduk dan memasukkan barang-barangku--yang berserakan di atas meja--ke dalam tas. Ia menyodorkan tangannya, "Aku temennya temen kamu itu. Andra minta tolong aku buat jemput kamu karena dia lagi ada urusan."

Urusan yang super penting, aku mencibir dalam hati.

Tapi, "Kamu temannya Kak Andra?"

Raya mengangguk. Lalu karena uluran tangannya tak kunjung kuterima, ia langsung menggenggam pergelangan tanganku. "Teman kerja, lebih tepatnya. Ayo, Calon Kakak Ipar, jangan lama-lama."

Setelahnya, ia menggiringku ke arah mobilnya. Kami bercerita banyak selama perjalanan pulang. Aku pun akhirnya tahu kalau pekerjaannya selama ini adalah sebagai seorang DJ--Disc Jockey.

Karena pekerjaannya, ia jadi sering pulang balik ke luar negeri. Dan karena pekerjaannya pula, ia terpaksa cuti kuliah dan hanya bisa mengambil kelas tambahan.

Selama di perjalanan, Raya beberapa kali menyenandungkan lagu yang terputar di radio. Suaranya merdu dan lembut, nyaman sekali didengarkan.

"Aku gak tahu kamu besok berangkat bareng siapa, tapi kalau kamu kesulitan cari teman bareng, aku bisa ngantar dan jemput kamu besok... atau selama mobil kamu ada di bengkel," ucapnya, setelah mobilnya berhenti di depan gerbang rumahku.

Aku tersenyum, "Gak usah, nanti malah ngerepotin."

"Aku lagi berusaha deket ke calon kakak iparku. Gak boleh, ya?"

Bibirku mencebik diam-diam. Tidak membalas, aku tersenyum dan meraih tas yang kuletakkan di jok belakang. "Terima kasih banyak, ya. Maaf sudah ngerepotin."

Raya hanya balas tersenyum, tapi beberapa detik sebelum aku menutup pintu, aku bisa mendengar pekikan pelannya. "Kamu abis ngabisin es kopi... sama segelas gede es smoothies. Jangan sampai kembung, ya. Jangan lupa minum obat."

Aku menggigit bibir. Kemudian menatap kepergian mobil berwarna silver itu dengan tatapan kosong.

Jangan sampai kembung... jangan lupa minum obat....

Ucapannya sepele, sih.

Tapi gara-gara itu, aku jadi tidak bisa tidur karena terlalu asik stalking semua akun media sosial milik Naraya Hendrawan--yang semua followers-nya kebanyakan wanita bule cantik dan seksi.

[ ]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status