Share

4

James bernafas lega, setelah dia mengusapkan minyak kayu putih ke hidung Bulan, wanita itu mulai membuka matanya.

Tatapan kaget, canggung menguasai Bulan, tapi dia belum berniat beranjak dari pangkuan laki-laki itu.

"Apa yang terjadi denganmu?" James mulai tak nyaman, Bulan akhirnya memutuskan untuk bangkit walaupun penglihatannya masih berkunang-kunang. Dia menarik dirinya, lalu duduk di atas ranjangnya sendiri. James bangkit, ekspresi menunggu terlihat dari wajahnya.

"Oh, aku merasa pusing, kemudian mendadak pandanganku menjadi gelap, sekarang sudah tidak apa-apa." Bulan memaksakan senyum dibibirnya yang pucat.

"Tunggu di sini! Aku akan buatkan teh hangat untukmu."

Bulan mengangguk, matanya berbinar, seolah rasa sakit menguap begitu saja saat perhatian kecil James membuatnya tersanjung. Memang, mereka tak memiliki pembantu di apartemen ini. James pernah menawarkan pada Bulan, tapi wanita itu menolak, dengan alasan dia akan bosan jika tak ada pekerjaan yang dilakukannya. Dan bagi Bulan, mengurus rumah yang hanya memiliki dua kamar dan tidak begitu luas itu, tidak berat. Dia sudah biasa mengurus rumahnya saat tinggal bersama orangtuanya dulu.

Belum habis lamunan Bulan, James datang dengan segelas teh hangat di tangannya. Dia duduk di samping Bulan.

"Minumlah!" Bulan menatap wajah James, ada bunga-bunga yang seolah tumbuh bermekaran di hatinya. Perhatian kecil itu, sangat berarti. James balik menatapnya, tapi wajahnya tak menunjukkan reaksi apa pun, hanya Bulan sendiri yang salah tingkah, dia yakin, pipinya sudah merona saat ini.

"Terimakasih."

"Maafkan aku!" James mengalihkan pandangannya ke arah lain. Sedangkan Bulan menunduk dalam.

"Tapi aku harus jujur padamu, aku tak suka disentuh."

Bulan tak berani mengangkat wajahnya. Dia merasa bersalah dan malu bersamaan. Andaikan waktu bisa diputar, tentu dia takkan melakukannya, dia hanya mengikuti kata nuraninya untuk mencoba.

"Maafkan aku! Aku takkan mengulanginya lagi. Maaf!" Suara Bulan bergetar.

"Bulan, kau wanita yang lembut dan sangat baik, tak ada satu kekurangan pun ada pada dirimu, yang bersalah di sini adalah aku, aku yang lahir tak sempurna, memiliki kelainan yang tak semestinya. Aku tak bisa memberikan apa pun untukmu selain materi, jika nanti kau sudah tidak tahan, kau bisa mengajukan surat cerai. Aku bicara sungguh-sungguh."

Bulan mengangkat wajahnya, mata polosnya menatap nanar wajah James.

"Aku takkan bercerai sampai kapan pun."

"Bulan," James memanggil lembut nama wanita itu." Aku takut kau memiliki perasaan padaku, karena aku takkan mungkin membalasnya."

Bulan memaksakan senyum.

"Apa kita tak bisa berteman? Dengan begitu, kita tak perlu memikirkan masalah perasaan, dan kau juga takkan menjauhiku. Aku berjanji takkan menyentuhmu."

James menatap wajah polos itu dengan senyum kecil.

"Kau takkan betah berteman denganku, karena aku orang yang menyebalkan."

"Kamu cukup baik. Aku bisa berteman dengan siapa saja, jadi jangan khawatir," wajah pucat bulan terlihat ceria.

"Jangan terlalu baik padaku, Bulan. Aku akan semakin merasa bersalah."

"Hei," Bulan mengikut lengan James. "Sesama teman tak ada perasaan seperti itu, oke?"

"Kau wanita yang baik."

"Kamu sudah mengatakan itu berulangkali hari ini," jawab Bulan.

"Ayo kita periksakan dirimu ke dokter,"

"Tidak usah, aku sudah sering begini, nanti akan membaik dengan sendirinya. Jangan khawatir."

"Baiklah!" James pasrah.

"Hmmm, sebagai sesama teman, kita harus saling terbuka, bisakah kau berjanji takkan menyembunyikan apa pun dariku? Walaupun hal kecil sekali pun?"

"Aku batu tau, kau wanita yang cerewet."

"Aku bukannya cerewet, hanya saja aku memang begini kalau berteman dengan seseorang."

"Itu sama saja," jawab James.

"Apa yang ingin kamu ketahui dariku?" tanya Bulan. James berpikir sejenak.

"Tidak ada," jawabnya cuek.

"Wah, sebegitu tak menariknya aku di matamu, tapi tidak apa-apa. Hmm, kau mengatakan sudah memiliki kekasih, kalau boleh tau, siapa dia?"

James menoleh cepat ke arah Bulan, sedangkan Bulan tersenyum tak enak.

"Maaf! Kalau kau tak ingin bercerita, aku takkan memaksamu."

"Namanya Riyan,"

Bulan mencoba menjaga ekspresi wajahnya agar tetap terlihat antusias. Padahal, di dalam sana, di hatinya, dia merasa sakit.

"Kami bertemu enam bulan yang lalu, saat aku menyelamatkannya ketika dia hampir menjadi korban begal."

Bulan mengangguk-angguk.

"Dia laki-laki yang baik, tidak banyak menuntut, dia sebatang kara, aku kasihan melihatnya, saat itu aku memutuskan untuk menawarinya tinggal bersama."

"Oh?" Bulan tersenyum pahit. Tapi dia memaksakan diri untuk tetap mendengarkan penjelasan James. Bukankah dia yang memulai lebih dulu?

"Lama kelamaan, kami saling menyukai." James bangkit dan mengakhiri percakapan mereka. "Tidak usah memasak malam ini, kondisimu belum begitu baik, kita delivery saja." James berjalan ke luar kamar Bulan.

Setelah pintu kamarnya ditutup laki-laki itu, Bulan melepaskan nafasnya yang sejak tadi dia tahan.

"Ini sudah benar, apa yang aku lakukan sudah benar." Bulan mencoba meyakinkan dirinya berulang kali, baginya, tak menjadi orang yang dicintai James sudah cukup, asal bisa bersama dengannya.

Tapi apakah dia bisa bertahan lebih lama? Karena sebagian besar cinta itu egois, ingin memiliki orang yang dicintainya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status