Share

Tanpa Jawaban

Ada kalanya waktu suka bercanda terkait beberapa hal yang seharusnya diletakkan pada porsi serius. Karena kadang untuk serius malah menjadikannya sebuah kata sulit yang tidak mampu untuk dileburkan. Hingga sampai pada akhirnya segala yang serius tidak mesti mati dalam definisinya, tetapi bisa hangat jika ada kata bercanda dalamnya.

Hampir dua tahun sekolah yang jauh dari Ayah, Bunda dan Abang menuntut si gadis kecil yang dulunya manja ini perlahan mulai mandiri dan dewasa dengan sendirinya. Menjalankan hari-hari dengan bertahan tanpa pernah bisa untuk mengungkapkan perasaan mengeluh sedikit pun pada siapa pun selain diri sendiri adalah hal luar biasa yang sepatutnya aku banggakan kepada diri sendiri.

Dari hal itu, banyak momen dan kejadian yang terjadi mewarnai perjalanan seorang Aline Clarissa Putri yang perlahan mengantarkannya mengenal sisi-sisi dunia dan sudut pandang yang berbeda. Dari menemukan sahabat-sahabat tersayang yang selalu ada bahkan sedia 24 jam untuk satu sama lain. Sampai kepada memahami kejengkelan masing-masing pembina asrama yang suka bikin kesal setiap pagi bahkan malam pun juga.

Perlahan hal tersebut mengantarkanku kepada pencarian jati diri akan sebuah kenyamanan dan ketenangan di sekolah yang tidak menjadikanmu pusat dari seluruh dunia. Kehidupan yang kau jalani sekarang itu tanggung jawabmu sendiri. Konsep seperti ini selalu di highlight di beberapa seminar-seminar kecil di asrama maupun sekolah. Jadi untuk apapun yang kita lakukan baik dari segi rajin, malas, nakal, bolos dan aksi-aksi lainnya itu akan mendapatkan pertanggung jawabannya dari diri sendiri ketika melanggar hal tersebut, tidak ada lagi kata orang tua. Jika simpelnya gini, ya mau gak mau kita yang ngurusin hidup sendiri sebisa mungkin dengan ikutin peraturan-peraturan sekolah yang sejibunnya nggak nanggung-nanggung.

Sampai kepada liburan nilai plusnya adalah aku jadi lebih menghargai waktu dengan keluarga yang selalu dihitung mundur oleh waktu libur yang tidak lama. Kali ini lagi-lagi aku kembali ke asrama setelah menikmati liburan beberapa hari karena murid kelas 3 sedang melaksanakan ujian.

Hari pertama sekolah setelah liburan aku disibukkan dengan aktivitas di UKS yang salah satu proker dari ekskul yang aku ambil. Kadang menambah wawasan terkait topik atau permasalahan kesehatan dengan Bu Rahmi. Seorang alumni sekolah ini dan lulusan fakultas kedokteran di Semarang. Jadi Bu Rahmi mengabdi di sekolah selama beberapa bulan, dan selama itu aku memanfaatkan waktu untuk mengenal lebih dalam tentang kedokteran yang merupakan impianku.

“Loh Rissa... ga ada kelas kamu?”, terdengar suara kak Alvin dari pintu UKS yang membuat obrolanku dengan Bu Rahmi terpotong saat sedang seriusnya membahas penyakit anak-anak asrama.

“Eh kak Alvin, lagi kosong soalnya gurunya lagi sakit kak. Jadi daripada aku bengong di kelas mending di UKS bantuin Bu Rahmi. Kak Alvin gak ada kelas?”.

“Aku baru selesai ujian susulan di kantor guru tadi, setelah itu ke UKS deh. Ternyata ada kamu”

“Iya kak, sekalian cerita sama Bu Rahmi nambah-nambah ilmu juga kan siapa tahu”

Bu Rahmi menoleh ke arah kak Alvin, sambil menunjuk ke hand sanitizer di depan pintu menginsyaratkan agar dia membersihkan tangannya dulu sebelum masuk ke dalam. “Gimana Vin, ujiannya?.. lancar?”.

“Begitulah Bu, ada lancar ada mempet”

“Mempet gimana kak, dikata toilet kali ya Bu”.

“Hahaha, ya gitu deh Buk, Rissa. Yang dapat ya ada juga, yang gak juga ada”.

Sambil menikmati waktu luang dan kosongku selama beberapa jam. Kami bercerita-cerita seru bersama Bu Rahmi sekaligus bertanya dan menghabiskan rasa antusiasku terhadap kedokteran.

Setelah bercengkerama beberapa jam, ada seseorang datang dengan wajah yang cukup tidak asing bagiku. Wajahnya pucat sambil memegang perutnya yang dia tahan seperti amat sangat kesakitan.

Dia Theo, pria yang kujumpai beberapa hari yang lalu. Dengan teka-teki yang dia tinggalkan yaitu “Kotak Waktu” yang sampai sekarang akupun tak paham apa maksud dia mengungkapkan itu.

“Kenapa dek?”, tanya Bu Rahmi pada Theo. Beliau memang memanggil kami dengan sebutan adek, karena Bu Rahmi juga masih muda. Tapi tidak satupun dari salah seorang murid di sekolah boleh memanggil Bu Rahmi dengan sebutan kakak. Supaya terkesan lebih menghormati beliau para guru melarang kami untuk berbicara santai.

“Badan saya lemas Bu, sedikit sesak napas”.

“Ada riwayat penyakit kamu dek?”

“Nggak Bu, hanya lemas saja Bu”

Aku mendengarkan dari jauh keluhan Theo, karena tidak enak menghampirinya. Dan juga Bu Rahmi dan Kak Alvin sudah ada untuk menanganinya. Setelah dikasih obat sama Bu Rahmi, Theo dibiarkan berbaring di UKS hingga dia terlelap karena sudah meminum obat yang dikasih Bu Rahmi.

Kak Alvin kemudian pamit pulang, karena kegiatannya di sekolah sehabis ujian tidak ada. Kemudian Bu rahmi meninggalkan Theo bersamaku, karena ada rapat guru yang harus dia hadiri sebentar.

Sesekali siswa kelas lain datang ke UKS ada yang minta obat magh, ada yang sekedar mampir untuk menimbang berat badan sehabis dari toilet. Sampai pada suasana canggungku melihat Theo yang terbaring karena kami hanya berdua saja di UKS. Untuk menghilangkan rasa gabut dan canggung, aku membaca buku-buku catatan medis tentang penyakit di meja Bu Rahmi.

“Aline” , terdengar suara Theo yang lirih memanggilku beberapa kali, karena aku yang terlalu fokus membaca buku medis ini daritadi. Aku langsung bergegas menghampirinya.

“Iya ada apa?.. butuh sesuatu?”.

“Boleh tolong ambilkan aku air minum Al”, kemudian aku mengambilkannya air minum yang sedikit hangat agar membuat perutnya yang sakit tadi agar lebih enakan.

“Ini, hati-hati panas, aku campur sama air panas soalnya. Biar kamu bisa lebih enakan perutnya” lalu aku kembali duduk ke meja Bu Rahmi,melanjutkan bacaanku.

“Al, kamu ga ingat aku?”

“Ingat, kamu yang beberapa hari yang lalu kan, yang meninggalkanku dengan rasa penasaran. Tapi tidak juga, ini bukan rasa penasaran. Cuman sedikit bingung saja”.

“Berarti kamu tidak ingat, bukan itu maksudku”

“Lalu apalagi?”.

Dia diam meninggalkanku sekali lagi dengan pertanyaan yang tidak dia jawab. Aku terlalu malas mengganggunya yang sedang terbaring sakit. Jadi aku memilih diam, dan melanjutkan bacaanku. Sepuluh menit berikutnya Bu Rahmi datang, dan aku meninggalkan Theo bersama Bu Rahmi, dan berjalan menuju kelas, karena sebentar lagi pelajaran selanjutnya akan dimulai.

Sebelum menuju kelas, aku menyempatkan diri menuju kamar mandi, karena daritadi menahan pipis di UKS sambil menunggu Theo ada yang jagain. Tiba-tiba ketemu dengan Tania di kamar mandi.

“Tania,, tumben-tumbenan ketemu di UKS bisa barengan gini”. Sapaku sambil mengejutkannya yang lagi bengong di depan kamar mandi menunggu antrian.

“Aaaline..ih bikin kaget... Pas banget. Daritadi aku nyariin kamu kekelas pas waktu istirahat tapi gak ada, trus Nana juga gak masuk kelas”.

“Aku daritadi piket di UKS Tann, Nana katanya lagi sakit jadi gak masuk hari ini”

“Ada apanih, pasti ada something happened nih?”,

“Tahu aja, inii...” Tania menyodorkan sebuah surat berwarna pink seperti titipan surat biasanya padaku. Wangi parfumnya yang semerbak menandakan surat ini adalah surat cinta yang selalu dia titipkan padaku si pembawa pesan.

“Hmmm apanihh, sepertinyaa ini. Lagi-lagi ya Tan, perasaan baru beberapa hari kemarin aku bantu sampaikan ke penerima pesanmu itu. Sekarang muncul surat baru lagi ya”

“Eh iya hampir sama, tapi ini beda dan cukup istimewa. Dimohonkan kerahasiaan negaranya ya bund”.

“Buat siapa nih, hayoo. Pasti sudah tokoh baru lagi nih penerima pesannya”.

“Buat ketua kelasmu. Ian”. Sontak saja aku kaget mendengar Tania menyebut nama Ian.

“Haa, Ian?.. Serius Tan?”, Aku spontan kaget mengulang nama Ian, seolah tak percaya yang akan menerima ini adalah Ian.

“Iya Al, bantuin yaa All, please”, pintanya dengan wajahnya yang memohon dengan sangat sampai membuatku tidak tega tapi juga tidak percaya.

“Gimana ceritanya bisa Ian?”. Candaku sekaligus penasaran akan jawaban dari Tania.

“Jadi kemarinn Al, aku lagi jajan jagung bakar yang enak di depan sekolah itu sendiri. Tiba-tiba uangku hilang Al, tapi nyadarnya setelah jagungnya udah siap, trus aku kebingungan gimana bayarnya. Tiba-tiba Rian ini dia datang nalangin pas dia juga mau beli jagung. Trus aku mau ganti uangnya sambil ngucapin makasih, itu ada uangnya didalam kertas.

“Oowh gitu paham, tapi ada bau-bau harum ni suratnya, apakah ini...”

“Hahaha, tau aja kamu, coba aja dulu kan... “

“Jadi ini beneran surat cinta, Tan?”

“Iya begitulah kira-kira Aline Clarissa Putri, sepertinya aku tiba-tiba jatuh cinta pada pandangan pertama pada Rian”

“Cukup sering juga ya Tan, jatuh cintanya. Hmm okedeh, nanti aku berikan ya”

“Thank you sahabat terbaik aku”. Peluk Tania sambil meninggalkanku dan bahkan aku lupa bahwa ingin ke kamar mandi tadi. Karena rasa penasaran dari pernyataan Tania yang sangat random itu.

Tania memang orang yang cukup bar bar terkait masalah perasaan. Tapi aku gatau apakah dia hanya cuman main-main saja atau bisa saja kali ini serius. Aku sudah melihatnya berbalas pesan dengan beberapa cowok yang berbeda setiap bulannya. Tania memang cantik, dan dia pun sadar akan hal itu. Tidak sedikit laki-laki di sekolah yang suka dengannya. Bahkan kakak tingkat pun pernah menjadi salah satu dari list mantan Tania. Menurut dia hal tersebut menyenangkan, ya begitulah kira-kira definisi rasa bahagianya.

Sambil menunggu bel pulang sekolah aku memperhatikan sesekali surat yang dititipkan Tania tadi. Ada semacam rasa bingung dan tidak nyaman melihat surat ini. Tapi aku hiraukan saja, lagian tugasku hanya untuk memberikan surat ini, itu saja. Untuk hal lainnya tidak mesti memenuhi kepalaku. Aku menghiraukan segala perasaan dan kebingungan yang tak kupahami sendiri.

“Ian, tunggu bentar” aku menahan dirinya yang terburu-buru keluar kelas.

“Iya Al, ada apa. Aku duluan ya Al, ada mamaku di bawah soalnya”.

“Owh iya, eh tapi ini ada surat..”. Ian langsung mengambil surat yang kuberikan,

“Oke al”

“itu surat darii...” dia sudah pergi sebelum aku menyelesaikan perkataanku. Bahwa itu surat dari Tania”

Mungkin Tania juga sudah menuliskan namanya di surat yang dia titipkan padaku tadi. Setelah memberikan surat tadi, aku melihat para petugas piket kelas sudah beres membersihkan kelas. Aku mengunci kelas dan menitipkan kunci ke ruang tata usaha seperti kebiasaanku setiap harinya sebagai sekretaris kelas. Kemudian pulang ke asrama untuk beristirahat.

Sambil membaringkan badanku di kasur setelah mengganti baju aku kembali memikirkan hal-hal yang sudah tejadi di sekolah tadi. kadang terlintas surat Tania untuk Ian, kadang terlintas perkataan Theo yang selalu membuat teka-teki yang tidak kupecahkan dari kemarin. Seperti biasa aku mencoba melatih tulisanku dengan beberapa puisi yang kutuliskan di catatan harianku.

Suara Lavender 2

Teka-teki dari suara lirih

Dengan bingung yang tidak bertujuan

Terlalu banyak hal untuk dipaksa menjadi tuan

Dari bungkamnya mulut yang dipaksa jawaban

Sampai rasa yang heran kebingungan, bertanya

“Kenapa kau permasalahkan suratnya?.

Cemburukah wahai rasa?

*******************

Terimakasih yang sudah mau membaca cerita ini,

Maaf untuk segala kekurangan penulisan, maklum penulis pemula yang akan terus belajar dan memperbaiki agar menuju kata sempurna.

Bantu cerita ini dengan cara vote dan comment ya, jangan lupa.

With Love, Aponi line❤️

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status