Share

BAB 5 Kompensasi

Setelah pertanyaan serius tadi Prada menutup mulut. Diam meskipun sudah ada jawaban di dalam hatinya. Karena jawaban itu memberi luka yang berujung pada pertanyaan lain. 

Papa Prada melakukan hal yang sama. Memberi kesempatan pada anaknya untuk berpikir. Sepuluh menit kemudian baru dia bersuara lagi.

“Waktu enggak mungkin nunggu, Nak. Kamu makin tua tiap harinya, begitupun Papa dan Mama. Kami mungkin enggak punya cukup waktu untuk ngelihat cucu kami tumbuh, tapi seenggaknya pingin lihat anak kami menikah. Jadi kami tahu kalau kami pergi nanti, anak kami enggak sendiri.” 

Mulut Prada terkatup rapat. Giginya saling beradu. Saat ini dia merasa seperti anak yang tidak berguna.

Orang tua Prada, terutama Papanya tidak pernah membahas hal itu sebelum ini. Jadi dia tidak pernah berpikir kalau salah satu agenda penting mereka adalah melihatnya menikah. Dia kira mereka hanya butuh melihat kesuksesannya saja.

Hah ... Menjadi anak yang dimanja membuatnya kurang peka dengan perasaan orang tua sendiri. Dan ini membuatnya kesal setengah mati.

Dia senyap. Papanya pun begitu. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Bisa jadi situasi ini akan terus berlangsung kalau  Mamanya tidak segera datang.

Pintu kamar bergerak terbuka. Mama Prada muncul dengan membawa talam berisi semangkuk bubur, segelas air putih, dan secangkir besar susu.

Seulas senyum terlihat di wajahnya, namun tidak melirik Papa Prada. Tidak juga terganggu saat melihat suaminya itu ikut berbaring di atas kasur. Seolah sudah mengira suaminya akan melakukan itu.

“Ini buburnya udah matang,” ujarnya sembari duduk di sisi paling dekat dengan Prada. “Bubur oat tapi. Lama kalau bikin bubur nasi.” Talam diletakkan di atas pangkuannya. “Sekarang makan.”

Prada bergerak duduk. Dibantu Papanya, dia bersandar nyaman di kepala ranjang.

Mamanya masih bersikap tidak peduli. Papanya yang tidak ingin memperkeruh suasana berniat untuk berbaring kembali. Saat itulah—tanpa menoleh—wanita setengah baya ini mengulurkan cangkir besar berisi susu pada suaminya itu.

“Kebetulan ada susu low fat di lemari es Prada,” ujar Mama Prada membuat alasan.

Dia gengsi mengakui bahwa sengaja mencari benda itu diseluruh lemari pantry anaknya. Isi pantry yang masih berantakan bisa menjadi bukti.

Papa Prada tersenyum senang. Begitulah istrinya ... Meskipun sering kesal, namun tetap peduli dan tahu apa yang dia butuhkan.

“Terima kasih, Sayang!” seru Papa Prada genit sebelum meminum susu itu.

Mama Prada berdecak, pura-pura masih jengkel. Samar Prada dapat melihat senyuman di wajah wanita yang melahirkannya itu. Dia pun ikut tersenyum melihat tingkah kedua orang tuanya ini.

Yeah, tanpa perlu menyangkal saat ini dia iri, ingin juga menikah dan memiliki kehidupan rumah tangga bahagia seperti mereka. Mendapatkan orang yang tepat dalam hidup merupakan keberuntungan tersendiri. Tapi sepertinya dia bukan salah satu orang beruntung itu. Wanita yang dipikirnya merupakan orang yang tepat sudah menjadi milik seseorang. Bagaimana dia bisa menikah dengan orang yang tepat jika orang itu sudah menjadi istri orang lain? Dan pertanyaan inilah yang membuatnya benci memikirkan pernikahan.

Hah ... Membujang tampaknya pilihan yang paling sempurna untuknya saat ini. ***

Makan siang sudah lewat beberapa jam lalu. Saat ini merupakan waktu senggang bagi Rumi dan pegawai Prada lainnya. Kesibukan dimulai lagi ketika makan malam. Sedikit sibuk sekitar jam lima nanti, persiapan untuk jam makan malam.

Rumi sedang mengecek catatan pengeluaran bulan ini. Beberapa hari lagi akhir bulan, waktunya dia memberikan laporan manual yang ditulis tangan pada bos mereka. Bos aneh itu tidak suka menerima laporan berupa file softcopy. Juga tidak suka menerima print out benda itu.

Kadang gadis ini berpikir bagaimana orang bisa sekuno itu di zaman modern seperti ini. Tapi sebagai pekerja dia hanya bisa melakukan apa yang ditugaskan. Dia tidak berminat protes pada hal yang sederhana. Selama hal itu masih bisa ditoleransi, maka akan dilakukan.

Matanya yang bergerak lincah membaca satu-persatu tulisan tiba-tiba terhenti. Dia jadi teringat dengan Prada. Bagaimana keadaan lelaki itu?

Tadi pagi seperti biasa Rumi bangun jam empat subuh. Badan pegal karena tidur di sofa tidak menghalanginya untuk mandi sebelum azan subuh berkumandang. Hal ini sudah menjadi kebiasaan, meskipun sedang datang bulan.

Masalah muncul ketika akan mengganti pembalut. Dia tidak terbiasa menyimpan cadangan pembalut di kamar mandi. Satu-satunya tempat aman adalah kamar tidur. Tapi Prada sedang tidur di sana dan pintunya dikunci. Tidak ada pilihan lain kecuali membangunkan lelaki itu. Namun, digedor berapa kalipun tidak terdengar sahutan maupun gerakan di dalam sana.

Pikiran negatif melintas di otak Rumi. Bagaimana kalau Prada meninggal di kamarnya? Dia menggelengkan kepala kuat-kuat. Itu tidak boleh terjadi. Dia tidak rela harus direpotkan dengan masalah seperti itu.

Kembali digedor sekali lagi. Tetap tidak ada sahutan. Rumi panik. Dia berusaha mendobrak pintu, walakin tenaganya tidak cukup kuat untuk membuka paksa. Bosan melakukan tindakan percuma, dia memutuskan untuk menghubungi satpam restoran yang tentunya masih berjaga sampai jam enam pagi nanti. Meminta bantuan salah satu dari mereka untuk mendobrak pintu. Dan dengan menggunakan banyak tenaga, pintu pun berhasil dibuka.

Bibirnya mencebik, kecut. Mengingat itu membuatnya kesal. Cepat pikirannya teralih, secepat tangannya mengambil nota tagihan kosong yang tersedia di laci. Pintu kamarnya pasti sudah selesai diperbaiki, tapi urusan dengan Prada belum selesai. Dia akan memberikan nota tagihan ini untuk meminta ganti rugi perbaikan pintu dan kerepotan yang sudah dialami.

Prada harus bersyukur cepat dibawa ke rumah sakit. Kalau tidak, mungkin lelaki itu benar-benar akan menjadi mayat di atas tempat tidurnya. Tergeletak sekarat, tak sadarkan diri.

Rumi heran, mengapa Prada tidak mau dibawa ke rumah sakit. Pasti semalaman bosnya itu menderita kesakitan. Ditambah lagi demam tinggi.

Gadis ini mengetukkan kepala pulpen ke pipi sebelum kembali menulis di atas nota tagihan. Dia menambahkan biaya registrasi yang dibayar menggunakan uangnya.

Sebutlah dia matre. Namun jika ditilik lagi, mengurus Prada bukan kewajibannya. Terutama jika masalah tersebut memang dibuat sendiri oleh lelaki itu. Jadi meminta ganti rugi bukanlah hal buruk yang perlu diributkan.

Dia masih menimbang biaya apa lagi yang perlu dimasukkan dalam tagihan. Berpikir ulang tentang harga yang pantas diterima waktu pintu ruang kerjanya diketuk.

Matanya melirik pada jam digital samping tempat pulpen di atas meja kerja. Hampir jam tiga sore. Siapa yang ingin menemuinya di jam begini?

Pintu diketuk kembali. Tamu kali ini pantang menyerah. Rumi menutup buku catatan pengeluaran dan menyimpan benda itu sekaligus nota tagihan ke dalam laci. “Silahkan masuk!”

Kepala Koki restoran Prada masuk. Lelaki Perancis berusia sekitar lima puluh tahun itu tersenyum hormat. Ditangannya memegang sebuah amplop coklat. 

Dengan pelafalan Bahasa Indonesia yang hampir sempurna dia menyapa, “Siang, Bu Rumi.”

“Siang, Chef.” Rumi berdiri dari duduknya sebagai bentuk menghargai. Tangannya mengarah pada kursi di depannya. “Silahkan duduk.”

Kepala Koki mengangguk. Menarik kursi yang ditunjuk Rumi tadi sedikit, memberi celah padanya untuk duduk.

Rumi kembali duduk setelah si Kepala Koki duduk. “Ada apa, Chef?”

Kepala Koki tegang ketika meletakkan amplop surat yang dibawa ke atas meja. Lalu mendorongnya kehadapan Rumi. Ragu, namun akhirnya mampu berkata, “Surat pengunduran diri saya, Bu.”

Rumi menatap benda itu. Tidak menyentuh sama sekali, hanya memperhatikan sebelum menghela napas. “Saya tidak bisa menerima ini, Chef. Kami membutuhkan Anda di sini. Lagipula saya belum sempat membicarakan ini pada Pak Prada.”

“Tapi, Bu ...” Kepala Koki itu gusar.

“Tidak ada alasan bagi saya untuk menerima surat pengunduran diri Anda, Chef. Juga belum ada pengganti saat ini.” Rumi memotong ucapan si Kepala Koki.

“Maaf, Bu. Tapi saya tetap harus berhenti. Saya ingin menikmati masa tua di kampung halaman.” Kepala Koki—memberanikan diri—bersikeras. “Saya sudah membicarakan ini pada Pak Prada. Beliau sudah menyetujui keputusan saya. Seminggu lagi pengganti saya akan datang. Sembari menunggu pengganti saya datang, saya akan tetap bekerja seperti biasa. Jadi Bu Rumi tidak perlu khawatir.”

Rumi sedikit tersinggung mendengar penjelasan si Kepala Koki. Merasa kurang dihargai karena lelaki itu memilih menemui sendiri bos mereka tanpa melalui dirinya. Bukan berarti dia gila hormat. Hanya saja mempekerjakan dan memecat karyawan adalah haknya sebagai manajer. Meskipun, tentu saja pemilik lebih berhak lagi melakukan itu. Rasa kecewa bertambah sebab bos mereka sudah menemukan pengganti Kepala Koki mereka tanpa memberitahunya.

Kembali dia menghela napas. Berusaha memerangi emosi agar tetap tenang menghadapi masalah. Urusan dengan bosnya akan dikesampingkan terlebih dahulu. Dia akan mengurusnya nanti. “Baiklah kalau begitu, Chef. Tapi saya mengharapkan kerjasama yang baik seperti biasa selama sisa masa kerja Anda.”

Kepala Koki itu sumringah. Semangat dia menyalami Rumi. “Terima kasih, Bu. Saya pastikan tetap profesional dalam bekerja.”

Rumi mengangguk. Dia dapat percaya Kepala Koki mereka akan melakukan yang terbaik. Lelaki itu baik dan bertanggung jawab. Rumi mengagumi pekerjaannya. Juga menghormatinya sebagai senior di restoran ini. Terlebih lelaki itu memang lebih dulu bekerja di sini daripada dirinya.

Si Kepala Koki undur diri; berjalan keluar dari ruangan Rumi. Rumi sendiri lagi-lagi menghela napas saat pintu tertutup. Banyak hal langsung menyerang pikirannya. Salah satu yang terpenting adalah daftar perhitungan pada Prada bertambah lagi satu. ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status