Share

BAB 4 Obrolan Serius

Prada sedang berpikir siapa yang membawanya ke rumah sakit. Bangun-bangun sudah mencium aroma khas tempat itu, membuatnya tertekan. Mengabaikan badan yang terasa kaku dia mencari gawainya, lalu segera menelepon Dokter Gunawan.

Dia ingin Dokter pribadi keluarganya itu mengeluarkannya sesegera mungkin. Beruntung Dokter itu cepat tanggap. Setengah jam kemudian dia sudah berbaring nyaman di kamar sendiri meskipun masih harus dipasangkan infus di tangan kiri.

Dia sedang berjanji dalam hati akan membuat perhitungan pada orang yang membawanya ke sana ketika pintu kamar dibuka dengan kasar. Lelaki ini kaget; refleks melihat ke arah pintu. Seorang wanita paruh baya masuk tergesa-gesa. Gamis dan kerudung lebarnya bergoyang mengikuti gerak langkah itu. Wajahnya sangat cemas.

Prada tersenyum seceria mungkin—meskipun tidak lebih dari mengangkat sedikit kedua sudut bibir—menyambut wanita itu. Dia ingin menunjukkan bahwa kondisinya sudah sangat baik sehingga tidak perlu dicemaskan.

Namun si wanita paruh baya kepalang khawatir. Melihat usaha Prada—agar tampak baik-baik saja—membuatnya semakin cemas campur kesal. Matanya menyipit tajam. Bibirnya membentuk satu garis tipis.

Sampai di samping kanan Prada, dia meneliti wajah penuh lebam itu. Membolak-balik kepala lelaki ini, memastikan tidak ada luka di sana. Lalu berlanjut pada tangan dan kaki.

Alhamdulillah, syukur enggak ada luka serius!” seru wanita itu lega, walau sedih juga melihat permukaan kulit membiru dimana-mana.

Dia memegangi dahi sendiri sembari duduk di pinggir tempat tidur. “Kamu bikin Mama cemas. Kenapa bisa begini sih, Prada?”

Prada memutar bola mata. “Prada udah bilang baik, 'kan? Mama aja yang enggak percaya.”

Si wanita yang dipanggil Prada dengan Mama itu menyentil dahinya. Tidak peduli melihat Prada mengaduh dan menggosok-gosok dahi kesakitan.

Wanita ini berkata, “Bagaimana Mama bisa tenang? Tiba-tiba Dokter Gunawan bilang kamu di rumah sakit dan dirawat.”

Prada menghela napas. Inilah susahnya jika memiliki dokter keluarga yang begitu loyal pada orang tua. Padahal dia sudah menekankan berkali-kali agar jangan memberitahu Mama-Papanya.

“Tapi Prada juga udah bilang sedang berada di rumah dan baik-baik aja,” balas Prada membuat Mamanya itu cemberut.

“Kamu selalu gitu. Enggak ngerti ya kalau Mama cemas?”

Wajah Mamanya terlihat sedih, membuat Prada tak enak hati. Tapi sebagian dirinya membatin pasti Mamanya mulai lagi.

“Kamu itu anak Mama satu-satunya, Prada. Ibu yang punya banyak anak aja khawatir dengan anaknya, apalagi Mama. Kalau hidup sendiri bikin kamu sering sakit lebih baik pulang aja ke rumah. Mama enggak rela kalau anak Mama terlantar.” Mata itu mulai berkaca-kaca. “Mama cuma punya kamu, Prada.”

Tepat seperti dugaan. Mamanya selalu membesar-besarkan masalah, terutama jika menyangkut dirinya.

“Ya ... aku ini hanya supir.” Seorang lelaki berusia sekitar enam puluh lima tahun masuk ke kamar Prada. 

Lelaki itu membawa dua koper kecil di tangan. Satu miliknya dan satu milik Mama Prada.

Prada dan Mamanya menoleh. Dia menyeringai geli melihat wajah kecut lelaki tadi yang tidak lain adalah Papanya, sedangkan Mamanya mesem-mesem aneh merasa bersalah.

“Tampan sekali,” sindir Papa Prada saat melihat wajah anaknya setelah meletakkan koper.

 Dia duduk di sisi yang sama dengan Mama Prada. Tampak gurat kelelahan di raut itu.

Prada nyengir tipis merespon ucapan itu terutama saat Papanya berkata, “Kamu lihat, 'kan, Sayang? Dia baik-baik aja.”

“Baik-baik gimana, Yang? Lihat itu wajahnya udah kaya wajan penyok. Bisa-bisanya ada yang tega bikin anak kita begini.” 

Mama Prada mengatakan itu sembari menekan pipi Prada dengan telunjuk. Dia kesal mendapati suaminya begitu santai melihat kondisi anak mereka.

Prada meringis merasakan nyeri menyerang akibat ulah Mamanya ini. Tetapi delapan puluh lima persen ringis itu akibat mendengar kedua orang tuanya menggunakan panggilan kesayangan. Seumur hidup mendengar hal tersebut tidak membuatnya terbiasa.

“Sesekali dapat lebam enggak masalah, 'kan? Anak kita ini laki-laki.” Papa Prada menepuk bahu istrinya ini. “Malah aneh kalau Prada enggak pernah berkelahi.”

“Sayang selalu aja manjain Prada.” Protes Mama Prada, disambut dahi berkerut—enggak salah nih—suaminya.

Prada semakin meringis, pura-pura mual. Mereka memang tidak pernah malu saling panggil 'sayang' meski di depan keluarga besar atau sedang bercekcok hebat sekalipun. Apalagi disaat sekarang ketika mereka sedang memulai adegan pertengkaran.

“Selalu enggak tegas. Selalu ngebiarin Prada ngelakuin yang dia mau. Karena Sayang kaya' gitu makanya Prada sempat jadi peminum.” Mama Prada melanjutkan dengan tak lupa menabur bubuk drama dalam perkataannya.

Papa Prada menghela napas. Prada sendiri bingung harus melakukan apa agar jangan sampai orang tuanya benar-benar perang untuk hal yang sudah lama berlalu. Terutama karena dia tidak pernah jadi 'peminum' seperti yang dimaksud Mamanya. Itu hanya kesalahpahaman yang belum mendapat ruang penjelasan.

“Mama, Prada lapar.” 

Kalimat itu yang terlintas di otak Prada agar bisa keluar dari bencana yang akan tercipta. Dia tersenyum dalam hati bisa menemukan alasan masuk akal yang lumayan bagus.

Bagaimanapun dia lelaki lajang yang punya harga diri. Pantang baginya menunjukkan sikap iri. Sebab itu, tidak akan dibiarkan orang tuanya memainkan babak perselisihan yang ujung-ujungnya hanya wasilah kemesraan.

Mamanya tersenyum lembut. “Baiklah, kesayangan. Mama masakin bubur yang enak buat kamu.” 

Wanita paruh baya ini mengelus rambut Prada. Dia lupa kalau anaknya sudah kepala tiga. Baginya, Prada tetap lelaki kecil tercinta yang manis.

Prada mengangguk manja. Dia sengaja melakukan itu agar Papanya dengki. Memanas-manasi lelaki tua ini adalah salah satu hobi yang masih ditekuni.

Salahkan Papanya yang selalu umbar kedekatan setiap ada kesempatan; Salahkan dirinya yang gemas melihat keakraban itu sebab belum bisa melakukan hal yang sama—ingat calon istri yang dia inginkan masih menggenggam status sebagai istri ornag lain; Salahkan Mamanya yang tidak bisa memilih siapa diantara mereka berdua yang lebih dicintai.

“Aku juga haus sayang,” Papa Prada  ikut bermanja ria, tak mau kalah.

Mama Prada melengos, berlalu begitu saja. Belum puas melampiaskan kekesalan.

Prada sedikit merasa kasihan meskipun tahu hal ini tidak akan berlangsung lama. Jadi dia membuka pembicaraan. 

“Pasti kabur lagi dari acara.”

Papanya mengangguk. “Baru sampai gapura Selamat Datang di Semarang, langsung putar balik ke Jogja. Alhamdulillah punya supir. Kalau enggak, Papa bakalan mati kelelahan.”

“Kebiasaan Mama, nih. Bikin heboh suasana.” Prada bersimpati pada Papanya. “Lalu, keluarga di sana gimana?”

Papa Prada menepuk-nepuk badan anaknya itu agar bergeser. “Udah diberitahu kalau kami enggak jadi datang. Tapi Arum sempat mencak-mencak, walau akhirnya diam juga pas dikasi beberapa juta sebagai ganti ketidakhadiran kami.” 

Lelaki tua ini menoleh pada anaknya. “Jangan lupa diganti, ya. Gara-gara kamu, nih! Hafal nomor rekening Papa, 'kan?”  bercanda dengan wajah serius sebelum berbaring setelah melepas sepatu. “Ah, enaknya!”

Awalnya Prada memutar bola mata karena masalah ganti-mengganti uang, namun tak lama kemudian mendengus geli. “Kaya' enggak pernah ketemu kasur, Pa.”

“Punggung Papa sakit dari tadi. Kelamaan duduk, nih.” Lelaki tua ini diam sejenak setelah mengatakan itu. Matanya menatap langit-langit kamar. Dia menghela napas. “Jadi tua itu menyedihkan.”

“Papa masih kelihatan muda dan sehat, kok,” ujar Prada. “Jadi, tadi serius Arum cuma mencak-mencak doang? Dia kan udah dari jauh hari minta Papa-Mama hadir dipernikahannya.”

“Sempat nangis-nangis memang, tapi bisa diatasin lah.” Papanya masih menatap langit-langit kamar. “Papa awalnya niat enggak ikut balik. Minimal salah satu dari kami hadir. Cuman enggak tenang pas liat wajah Mamamu. Panik banget!” 

Lelaki tua ini bernapas sejenak. Lalu melanjutkan kalimat. “Tapi kamu bisa tenang. Enggak perlu merasa bersalah ke Arum. Arum bilang pasti bikin perhitungan. Minimal minta mobil baru. Kalau enggak, ya ... mungkin beberapa lebam di wajah lagi.”

Prada mendengus geli. “Anak itu.”

“Dia juga titip salam. Katanya, 'semoga mengalami proses sembuh yang lama'.”

“Itu kutukan?”

Papa Prada menggedik bahu, kembali lagi menatap langit-langit kamar. Matanya menerawang. “Padahal rasanya baru kemarin anak itu lahir. Hari ini malah udah jadi istri orang.”

Prada melirik Papanya. Terdengar sirat kesedihan dari kalimat itu. Hal yang dikenang sudah barang tentu lebih dalam. Suasana ini mau tidak mau juga menyeretnya dalam perasaan yang sama, sedih akan kehilangan. Namun khusus untuknya ditambah dengan rasa bersalah.

Biasanya jika mulai terseret perasaan seperti ini dia akan mengambil dompet. Memandangi foto seorang gadis di balik plastik mika di dalam sana. Merenung; mengenang masa lalu.

“Dia setingkat lebih hebat darimu,” canda Papanya lagi berusaha menutupi kesedihan. “Dua puluh tiga tahun udah berumah tangga. Kamu sendiri ...” Lelaki baya ini sengaja membuat lanjutan kalimatnya terdengar mencela. “Membujang diusia tua.”

“Aku belum tua. Barutiga puluh empat tahun ini.” Prada mendengus.

Papanya menghela napas sebelum bicara, “Dulu, belum sampai seumuran kamu, Papa udah khawatir karena enggak nikah-nikah juga." Tampak sebuah senyum terukir di wajah itu. "Teman-teman yang lain udah pada bawa anak dan keliatan bahagia. Bisa dibilang Papa termasuk telat nikah. Keluarga juga selalu ngajuin pertanyaan 'kapan nikah', gitu terus sampai akhirnya Papa nekat ikutin ide gila Mamamu. Kami sepakat nikah walau satu sama lain hanya menganggap sahabat."

Lelaki tua ini diam. Terlihat sekali kalau sedang bernostalgia mengingat masa lalu.

"Bayangin aja, dua puluh tahun tahun bersahabat dan akhirnya nikah karena keadaan.” lanjutnya semenit kemudian. Mata itu berbinar membayangkan hal yang dahulu rumit terasa lucu dewasa ini. “Kamu bisa lihat ... Kami bahagia. Kami punya kamu. Dan Alhamdulillah kami tetap akur sampai sekarang.”

Kembali lelaki baya ini memberi jeda sesaat. “Nikah itu awal kebahagian kami sebenarnya.” Dia menoleh pada anaknya lagi. “Lalu kamu ... Apalagi sebenarnya yang kamu cari?” ***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status