Bagaikan sebuah pohon besar, semakin tinggi tentu semakin deras angin menerpa, keinginan dan hasrat seorang pendekar harus memiliki jiwa kesatria, agar kelak mampu melawan aliran hitam yang bertindak sewenang-wenang.
"Galuh, kenapa kamu tidak berlatih memaikan pedang Lintang Kuning, ku lihat kamu hanya memandang dan tidak mau mencabut pedang itu dari sarungnya.''ucap Ki Santa.
"Jika melihat pedang ini aku teringat akan temanku,dan pendang ini belum bisa kukuasai, karna belum terpikir olehku untuk mempelajari pendang ini."jawab Galuh Tapa.
"Kalau kamu tidak mempelajari pedang itu, kapan kamu akan mengusai pedang itu,bukankah pendang ini jadi incaran aliran hitam."ucap Ki Santa sembari memberi masukan.
Galuh tapa hanya menganggukkan kepalah dan memikirkan perkataan gurunya itu memang ada benarnya.
Ki Santa banyak mengtahui tentang pedang yang ada pada anak muridnya, lalu dia menceritkan tentang pedang Lintang Kuning, karna dia pernah mendengar tentang pedang itu, yang dimiliki pendekar hebat sakti mandraguna dikala itu.
Pendang Lintang Kuning mempunyai kesaktiaan yang luar biasa, karna pedang pusaka lintang kuning, bukan sembarangan pedang , dia memiliki jiwa.
Namun pedang pusaka Lintang Kuning, bisa menyedot energi tenaga penggunanya, karna jiwa yang ada dipedang itu belum bisa menyatu, pada orang yang memegang pedang itu.
Galuh Tapa masih ragu untuk mempelajari pedang pusaka Lintang Kuning, nampak dari raut wajah pemuda itu yang cemas.
Galuh Tapa dengan teliti memandang pendang pusaka Lintang Kuning yang ada ditangan nya, pemuda ini belum berani mencabut pedang itu dari sangkarnya.
Pedang pusaka Lintang Kuning memancarkan aura yang begitu kuat, terasa saat Galuh Tapa memegang pedang itu.
Galuh Tapa benar-benar nampak kayak orang kebingungan, karna pemuda ini belum pernah belajar memainkan teknik pedang,apalagi pedang pusaka Lintang Kuning.
Ki Santa melihat raut wajah Galuh Tapa, dengan kepolosannya, "Kenapa anak muridku kau nampak begitu bingung, apa yan kau pikirkan , ''tanya Ki Santa dengan rasa ingin tahu. ''sebenarnya aku ingin memainkan pedang ini, akan tetapi aku belum bisa memainkan teknik pedang. "jawab Galuh Tapa dengan lirih. Dengan bantuan seorang guru, akhirnya Galuh Tapa mau mempelajari ilmu pedang, dan pemuda ini berniat untuk memainkan pedang pusaka Lintang Kuning.Tanpa ragu-ragu Galuh Tapa membuka sarung pedang pusaka lintang Kuning.
Galuh tapa memegang gagang pedang itu, dengan perlahan lalu membuka pedang pusaka Lintang Kuning ,terpancar cahaya ke emasan yang menyilaukan mata, pemuda itu menyipitkankan kedua belah matanya, untuk menahan pancaran pedang itu.
Setelah itu Galuh Tapa mulai mengayunkan pedang itu, dengan rasa penasaran pemuda ini menebaskan pedang kearah kayu besar, hingga kayu itu putus terbelah dua, kena mata pedang pusaka Lintang Kuning.
''Sungguh luar biasa pedang ini, dengan satu tebasan langsung terbelah,dan kalau pedang ini megenai tubuh orang biasa, tentu akan membuat tubuhnya hancur. "Gumam Galuh Tapa seraya melihat pedang.
Setelah tiga puluh menit memaikan pedang, Galuh Tapa mulai merasakan aura pedang yang begitu kuat, pedang Lintang Kuning menyerap energi dari tubuh lelaki itu.
Sementara itu lengan tangan Galuh Tapa mulai bergetar menahan pedang itu, lelaki ini mulai merasakan keringat dingin keluar dari tubuhnya.Kini tangan kirinyapun membantu memegang gagang pedang pusaka Lintang Kuning, pedang itu mulai menyerap tenaga anak itu.
Jiwa yang ada dalam pedang Lintang Kuning, belum bisa menyatu dengan tubuh Galuh Tapa, pemuda ini menahan tarikan jiwa pedang.Sekarang pedang itu mengendalikan Galuh Tapa, tubuhnya mulai terhempas kepohon besar yang ada dibelakangnya, tetapi dia tetap bertahan,lalu dia terhantam kebatu, kini sekujur tubuhnya mengalami luka lecet, dengan gaga dia bertahan, karna dia ingin mengusai jiwa pedang itu.
"Teriak Ki Santa, "cepat masukkan pedang itu dalam berangka, kalau tidak seluruh energimu akan dihisap pedang, dan pedang itu akan membabi buta.
Mendengar ucapan seorang guru, pemuda ini langsung memasukan pedang lintang Kuning dalam sangkarnya, karna sebagai murid tentu dia menuruti perkataan sang guru, walaupun anak ini masih ingin tetap mengusai pedang itu.
Nampak dari raut wajah Galuh Tapa, yang begitu lelah menahan pedang tadi, napasnya pun tersekal-sengkal.
Namun Galuh Tapa melanjutkan latihan lagi. Latiahan kali ini tidak memakai pedang, hanya memainkan sebuah tongkat dari kayu.
Tongkat itu mulai memutar, kadang kekiri, kekanan bahkan kedepan, dengan memainkan jari-jari tangan.
Memang sekil pemuda ini sangat luar biasa, Galuh Tapa memang pemuda yang berbakat, segalah sesuatu yang dicernanya mudah terserap.
Galuh Tapa bekerja keras hari ini sampai menjelang sore dia tetap berlatih mengasa kemampuannya.
"Anak muridku, hari ini sudah sore dan akan menjelang malam sebaiknya kau istirahat dan lanjutkan lagi esok pagi".
Sebenarnya Galuh Tapa masih sanggup untuk melanjutkan latihan sampai tengah malam, akan tetapi menuruti perintah seorang guru merupakan prioritas paling utama.
Akhirnya Galuh Tapa menghentikan latihannya dan membersihkan diri.
Setelah malam tiba seketika mereka berdua menyantap makanan, dengan rasa letih Ki Santa lebih dahulu tidur, karna mungkin hari ini membuat dirinya merasa lelah akan pekerjaannya.
Semetara itu Galuh Tapa beranjak pergi meninggalkan Ki santa yang sedang tidur pulas, pemuda ini duduk diatas pance yang terbuat dari bambu, sembari di temani singkung rebus dan secangkir air putih hangat.
Malam itu bulan bersinar cukup terang, ada banyak bintang yang terlhat dilangit, menerangi jagat semesta.
Setelah satu jam menikmati udara malam, Ki Santa membangun dari tidurnya, menemani Galuh Tapa yang duduk sendiri diluar gubuk.
"Bagaimana dengan lukamu,dan apa yang kamu rasakan saat memainkan pedang litang kuning? ucap Ki Santa
"Ini hanya luka gures, pedang itu membuat saya begetar dan pedang ini belum bisa saya kuasai Eyang Guru." jawab Galuh Tapa.
"Itu karena kau terlalu bebas dari diri, perlahan-lahan engkau akan terbiasa
dengan semua itu." sambung Ki Santa.''Jika ingin cepat mengusai pedang lintang Kuning, kau harus fokus kepedang itu, karna jiwa dalam pedang itu harus menyatu denganmu dan jangan dipaksan."Ucap Ki Santa dengan memberi semangat.
Galuh Tapa hanya mendengarkan dan menyerap perkatan seorang guru, mereka masuk kegubuk lalu beristirahat, karna hari larut malam.
"Aku tidak sempat menanyakan hal itu pada ayahku, kedatangan kita bersamaan dengan surat panggilan dari Negri Singunan untuk Ayahanda" ucap Ringgina."Surat dari Negri Singunan?" Galuh Tapa terlihat kecewa."Negri Singunan memberi informasimengenai Putra bungsu mereka. Pangeran Rengkeh dikabarkan belum kembali setelah melakukan Kunjungan ke Negri Bumi Besemah.""Rengkeh?" Galuh Tapa bergumam pelan."Apa kau mengetahui nama itu?" Ringgina bertanya."Ah, aku belum pernah mengenal namapangeran dari Negri Singunan." Galuh Tapa berbohong, tentu saja dia mengetahui Pangeran Rengkeh, karena dia sendirilah yang berhasil mengalahkan pemuda licik itu beserta senopati dan anak buahnya."Tapi jangan risau, Ayahku memang sedang kembali lagi ke Negri Singunan, disini ada tabib hebat yang bisa membuat penawar racun itu, dia adalah kepercayaan Ayahku.""Benarkah?""Ya, aku akan menemui tabib itu besokpagi" Ringgina tersenyum kecil, meski diatidak begitu yakin dapat meminta sangtabib untuk membua
Sehingga Angsa Putih mendesah pelan, lantas menepuk pundak temannya tiga kali. "Ki Santa tidak di undang dalam rapat itu, ketentuan nasip para tawanan tergantung Paduka Raja Jaya Negara beserta pejabat kerajaan. Kita hanya persatuan Hulubalang, bahkan Damar Tirta tidak di undang dalam rapat itu."Ki Jangga menatap mata Angsa putih dengan tajam, untuk beberapa saattidak berkedip sedikitpun. Lantasmengalihkan pandangan pada seributawanan dengan kebencian."Tenangkan perasaanmu kawan! Tidak ada gunanya kau menaruh dendam padatawanan yang tidak lagi berdaya." AngsaPutih menuangkan arak pada dua cawan,kemudian salah satunya disodorkan kepada Ki Jangga. "Akan ada waktunya kau bisa mengamuk sesuka hatimu, tentu saja bukan pada seribu orang di sana yang tidak memiliki kemampuan, atau pula pada tua bangka Ki Santa.Ki Jangga terdiam lagi, kali iniurat-urat di keningnya keluar bak cacingdibalik kulit, tampak sedang berpikirmungkin pula mencerna perkataansahabatnya."Perang belum berhe
"Tawanan?" Ki Jangga berkata geram.Wajah pak tua itu terlihat tergores tipisakibat panah yang melesat ke arahkepalanya. "Aku akan membunuh kaliansemuanya, semuanya!" Dia berteriak keras."Musuh sudah mengaku kalah, tidak adayang berhak untuk membunuh mereka." Ki Santa membantah keputusan Ki Jangga."Tua Bangka, kau bukan orang suci yangbisa menentukan siapa yang layak dan tak layak hidup di sini." Ki Jangga beteriak kesal, ya diantara Sesepuh tua hanya dia yang terluka, bagaimana wajah orang itu tidak merah karena marah atau pula karena malu?"Tidak ada yang boleh membunuh siapapun yang mengaku kalah, menyerah dan mengangkat bendera putih" Ki Santaberkata lagi, menegaskan bahwaucapannya tidak main-main.Orang tua itu melirik beberapa pendekarhebat yang berada di hadapannya satupersatu, bahkan Damar Tirta selaku ketua Persatuan Hulubalang. Terlihat tiada orang yang membantah keputusan orang tua itu, kecuali Ki Jangga."Meski kita dalam medan perang, tapitoleransi hidup haru
Baru saja berdiri, -menyeka darah yangmengalir dari luka di dada akibat tebasan Ki Santa, Angsa Putih segera mematukkepala mereka hingga mati.Hingga Ki Santa tersenyum kecil di kejauhan, dia memang sengaja tidak membunuh mereka berdua agar Angsa Putih tidak merasa kecil hati atau, tidak terlalu terhina. Sudah cukup perselisihan selama ini hanya karena beranggapan-siapa paling hebat dari siapa?Namun terlihat Angsa Putih meludah dua kali, orang tua itu lalu menyapukan pandangan di sekitarnya mencoba menemukan Ki Santa tapi tidak berhasil.Kemudian senyum kecil tersungging dibibirnya yang peot dan berkerut, lalusemenit kemudian terkekeh. "Sekarang aku mengakui, dia lebih hebat dariku. Tuabangka Ki Santa itu, sudah sepatutnyanamanya di kenal di seluruh dunia Persilatan di tanah Pasmah."Hingga kemudian Angsa Putih kembali memasuki kerumunan pertempuran. Dia bergerak cepat, melawan orang-orang yang terlihat cukup kuat. Orang tua itu juga membantu beberapa prajurityang sedang dalam
"Senjatamu besar sekali, tapi bergeraklambat." Kerangka Ireng berkata datar, lali melepaskan kembali dua serangan hingga dua larik cahaya keluar dari matatombaknya, melesat cepat.Damar Tirta harus rela merebahkantubuhnya, menopang dengan telapaktangan kanan. Dua larik cahaya tipis itulewat satu jengkal di atas wajah, terusnyasar dan mengenai lima tubuh di belakang Damar Tirta.Hingga lima detik setelah tubuh orang itu dilewati cahaya -meledak seperti terpanggang.Damar Tirta berdecak kesal, dia memutartubuhnya kemudian secara bersamaanmenjentikkan jari telunjuk. Pedang cahaya miliknya melesat ke arah Krangka Ireng, tapi pria itu memiliki tubuh yang licin, dengan mudah dia menghindari serangan Damar Tirta.Tidak menarik kembali pedangnya Damar Tirta terus melajukan pedang hingga menembus dua puluh orang bawahan Kerangka Ireng. empat kali lipat lebih banyak dibandingkan serangan Pria berzirah perang itu.Baru dalam beberapa menit saja, telahterjadi pertukaran ratusan serangan
Sehingga sontak saja semua prajurit yang mendengar perkataan pria itu berteriak penuh semangat, seolah tubuh mereka mendidih karena marah. Dada mereka berdetak lebih cepat dari sebelumnya, mata mereka nanar tajam menyambut derap penjajah."Teriakan keberanian" Pekik Candi Jaya. "Hidup kita untuk mati, mati kita untuk hidup.""Hidup kita untuk mati, mati kita untuk hidup."Sontak pula para prajurit Jalang Pasmahmengikuti teriakan yang bergema darimulut prajurit Bumi Besemah, hingga dalam hitungan detik saja seisi benteng pertahanan dipenuhi teriakan bergema.Ki Santa dan dua orang bersamanya tersenyum kecil di atas tiang menara tertinggi, sebuah kata bijak yang membangkitkan semangat juang, pikirnya.Lalu dua menit kemudian, terdengar suara terompet dari tanduk kerbau berbunyi di sisi paling selatan kemudian disusul suara terompet di sisi paling utara. Lalu setelah itu, genderang perang bertabuh-tabuh, tanda musuh sudah berada di depan mata.Bak semut hitam, musuh berbaris rapimele