Share

Legenda Pedang Direnc
Legenda Pedang Direnc
Author: Mark Aksan

Bab 1. Hutan Yasakli

Seolah terjatuh ke dasar lembah dan tersesat di hutan Yasakli yang terlarang belum cukup membuat hariku sial. Aku masih harus menyaksikan kejadian mengerikan di depanku.

Saat ini aku tengah bersembunyi di balik akar pohon yang sangat besar setelah mendengar suara teriakan yang serak serta lolongan hewan yang mengerikan. Aku meringkuk sambil memegang pedang karatan yang baru saja aku temukan.

Diantara hutan yang gelap terdapat satu daerah yang lapang di hadapanku. Seolah hutan sengaja digunduli agar cahaya bulan bisa masuk ke sana dan memperlihatkan kejadian yang seram itu.

"Bersiaplah," kata seseorang yang berparas tampan, tinggi, dan berambut putih pada kedua temannya yang berpenampilan serupa.

Beberapa saat yang lalu mereka baru keluar dari hutan gelap di belakang mereka.

"Cahaya bulan!" kata pria yang satu sambil menengadahkan kepalanya menatap langit.

"Ini akan menguntungkan kita," jawab yang lainnya.

Mereka bersenjata busur dan pedang yang masing-masing menggantung di punggung mereka. Semakin lama aku semakin sadar bahwa ketiganya bukan manusia. Tidak ada manusia yang bertelinga panjang dan berkulit pucat seperti mereka.

Aku yakin bahwa ketiganya adalah seorang Elf. Penampilan mereka sama dengan apa yang sering aku dengar dari para pendongeng di desa Zirve.

Sekarang pertanyaannya adalah siapa atau apa yang mereka tunggu dari hutan yang gelap. Ketiga nampak siap dengan busur mereka.

"Tembak!" teriak Elf yang berdiri di tengah. Aku tebak dia adalah pemimpinnya.

Ketiga panah melesat ke dalam hutan yang gelap.

"Bagus!" kata si Pemimpin.

"Cahaya bulan akan menggandakan kekutan kita," timpal Elf yang berdiri di sebelah kiri. Elf itu terlihat paling pendek dari yang lainnya.

Aku yakin para Elf itu menggunakan sihir, sebab saat anak panah itu mengenai sasarannya, tercipta sebuah ledakan yang membuat hutan gelap itu menjadi terang menerang dan api dari ledakan itu membakar dahan dan batang dari pohon-pohon di sekitarnya. Bau kayu terbakar memenuhi udara sekitar.

Ledakan seperti itu ternyata tidak membuat musuh mereka mundur. Satu persatu makhluk itu menunjukan diri. Mereka berbentuk seperti manusia dengan kepala seperti percampuran babi dan kera.

"Tetap waspada!" kata Elf pemimpin.

Cahaya dari api membuat penglihatanku semakin jelas. Mereka juga bertaring dan kulit mereka berwarna coklat kehijauan. Tidak salah lagi mereka adalah bangsa Orc.

"Tembak!" ucap ketiganya serentak.

Para Elf melesatkan panah ajaib mereka pada pasukan Orc yang datang menyerang.

Aku semakin ketakutan dan memeluk erat pedangku dan berharap ada sebuah keajaiban lagi. Bahkan aku merinding saat orang-orang di desa menceritakan tentang Orc. Apalagi sekarang, semuanya tampak nyata di hadapanku.

Tiba-tiba saja aku merindukan rumah dan toko Aftal tempatku bekerja dari pagi sampai malam. Anehnya aku juga merindukan omelan Paman Aftal. Kalau bisa memilih, aku lebih baik diomeli Paman Aftal seharian dari pada harus melihat Orc.

"Arkan! Kau harus pergi berburu kalau masih mau tinggal di rumahku!" ucap Paman Aftal tadi pagi yang masih terngiang-ngiang di kepalaku.

Aku mengucek mataku yang belekan dan merapikan rambutku yang kusut ke belakang. "Paman bercanda, ya?" jawabku.

Paman Aftal memberengut. "Daging di tokoku sudah mau habis dan para pemalas itu sudah tidak pergi untuk berburu. Itu artinya kau yang harus pergi berburu." Pria buncit itu kemudian keluar dari kamar sambil membanting pintu agar tetap terbuka.

Berburu? Ini pasti bercanda. Umurku baru enam belas tahun dan meski sudah dianggap dewasa, aku sama sekali belum pernah pergi untuk berburu. Lagian selama ini aku terus disibukan bekerja di tokonya.

Selang beberapa saat perempuan cantik datang ke kamarku. "Aku akan bicara dengan Ayah," katanya. "Arkan, kamu tidak harus pergi berburu. Terlalu berbahaya untukmu." Kemudian perempuan cantik yang satu tahun lebih muda dariku pun kembali ke luar.

Berbeda dengan pria buncit ayahnya, Yasemin sangat baik dan perhatian padaku, apalagi setelah dua tahun silam. Saat ibuku meninggal. Yasemin seolah-olah ingin menggantikan perannya.

Saat di meja makan Yasemin meminta ayahnya untuk tidak mengirimku berburu yang sama saja dengan mengirimku untuk mati. Yasemin memijit  lengan ayahnya dengan lembut. "Arkan belum pernah berburu, itu akan berbahaya untuknya."

"Justru, itu akan menjadi pengalaman pertamanya. Tunjukan kalau dia benar-benar seorang pria." Aftal terkekeh.

"Tapi tidak sekarang Ayah. Sekarang musim hujan dan aku mendengar rumor banyak orang hilang saat ini. Aku harap Ayah tidak memaksa Arkan," jelas Yasemin yang tidak kalah keras kepala dengan ayahnya. Yasemin nampak dewasa di umurnya yang masih lima belas. Rambutnya panjang ikal berwarna hitam yang terurai menghiasi gaun merahnya yang cerah.

Berbeda dari sang anak yang menawan, Aftal pria buncit berkumis dan bertubuh pendek. Dia seperti Dwarf dalam buku-buku dongeng. Paman Aftal benar-benar bertekad mengirimku untuk mati. Perdebatan pagi itu membuahkan kesepakatan, aku boleh tinggal di rumahnya asalkan mau pergi berburu.

"Janga jauh-jauh. Cari saja kelinci jangan hewan besar seperti rusa atau apapun," kata Yasemin di ujung pintu rumah kami.

"Semoga banyak kelinci liar yang bosan hidup," jawabku tidak percaya diri.

"Pergilah sebelum hujan dan cepat pulang," titahnya.

Aku mengerutkan keningku. "Haruskah aku memanggilmu Ibu mulai sekarang?"

Yasemin memukul bahuku. "Jangan bercanda, Arkan."

"Akan aku bawakan hadiah dari hutan," kataku sambil tersenyum.

Setidaknya ada yang mengharapkanku untuk pulang. Yasemin beberapa tahun kebelakang dia sangat manja, seperti halnya adik perempuan. Sekarang, dia menjelma menjadi perempuan dewasa dengan penuh tanggung jawab dan perhatian. Benar kata orang-orang, perempuan akan lebih cepat dewasa.

Aku kembali tersentak oleh sebuah ledakan. Kali ini Elf pemimpin menembakan anak panahnya ke langit kemudian meledak dan membuat hujan panah kecil berapi.

Orc mengerang. Banyak diantara mereka yang mati begitu anak panah menancap di wajah mereka yang tidak tampan.

"Bagus Tuan Zarif," teriak temannya pada Elf pemimpin dengan senyum menghiasi wajahnya.

Aku yakin, meski Elf itu hanya ada tiga orang, tapi mereka tangguh dan tidak akan kalah. Lawan mereka puluhan Orc dengan pedang dan kampak yang tidak berdaya melawan anak panah yang dilesatkan oleh Elf.

Tiba-tiba saja langit menjadi gelap. Awan hitam menutupi bulan yang tengah bersinar terang.

"Gawat," desah Elf yang paling pendek.

"Tetap waspada," sergah Zarif.

Dari sisa pasukan Orc yang masih banyak itu beberapa diantaranya melesatkan sebuah anak panah yang terarah pada Elf. Elf berhasil menghindar sayangnya, tapi itu hanya serangan pengalihan. Kemudian kapak berterbangan dan menancap disalah satu dada Elf.

Ternyata Orc itu cukup pintar mampu mengelabui ketiga Elf yang terlihat tidak terkalahkan.

Elf yang pendek terus menyerang selagi Zarif menarik tubuh Elf yang terluka ke belakang. Mungkin Elf pemimpin itu mencoba untuk menyembuhkan, sayangnya Elf yang terluka keburu mati. Begitu juga Elf yang sejak tadi menyerang, tiba-tiba sebuah tombak menancap diperutnya. "Maaf, Tuan!" Elf itu roboh dan meninggal.

Tersisa satu Elf pemimpin. Kemudian dia mengeluarkan anak panah terakhirnya, mulutnya komat-kamit membacakan sebuah mantra. Sementara pasukan Orc menertawakannya merasa diri mereka sudah menang.

Beberapa detik kemudian Elf melesatkan anak panah itu ke tanah dekat dengan kaki pasukan Orc. Mereka tertawa semaki  kencang sebab merasa kalau bidikan sang Elf meleset.

Tiba-tiba tanah di bawah anak panah itu terangkat membuat guncangan yang dahsyat. Tanah itu terus ke atas sampai setinggi pohon kemudian menghantam pasukan Orc seperti ombak di lautan.

"Cepat pergi dari sini!"

Aku tersentak, bagaimana bisa Elf itu sudah berada di belakangku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Valarian
mantap nih. fantasi banget
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status