LOGIN"Apa kau dengar yang Sebastian bilang tadi?" tanya seorang lelaki pada teman perempuannya.
"Hei, aku kan tidak ada di ruang rekaman. Mana aku tahu apa yang dia bilang." Si perempuan menjawab. "Ternyata Sebastian itu suka sama Elian, bahkan sampai mengajak pacaran dan nikah." "Hah? Yang benar?" Si perempuan melotot mendengar temannya. "Kalau dia suka cowok, artinya tidak ada kesempatan untukku dong?" Perempuan yang lain bersuara. "Tapi ini gosip hot." Perempuan pertama dengan cepat mengambil ponselnya. "Semua perempuan yang nge-fans sama Sebastian harus tahu ini." "Kalau aku sih lebih penasaran dengan reaksi Madam Ariana." Si lelaki kembali bersuara. "Soalnya dia sekeluarga kan anti banget sama penyuka sesama jenis." "Benar juga ya." Perempuan kedua mengangguk pelan. "Apa jangan-jangan karena ini Sebastian akan diputus kontrak kerja samanya dan Elian akan dipecat karena mereka pacaran?" "Kita lihat saja nanti, tapi berhenti bicara." Tiba-tiba saja si lelaki menegakkan badan. "Elian datang." Elian menatap orang-orang yang sedang berkumpul di pantry dengan tatapan tajam. Padahal tadinya dia hanya mau menyeduh kopi, tapi malah melihat orang-orang bergosip. Parahnya, gosip itu tentang dirinya. Sebenarnya Elian tidak dengar semua yang dikatakan orang-orang, tapi jelas itu bukan hal yang bagus. Apalagi, setelah si gila Sebastian membuat beberapa orang tersedak dan memekik kaget. "Jangan gosip terus, kerja." Merasa kesal, Elian menegur. "Mana gosip tidak benar lagi." "Siap Pak Asisten ganteng plus cantik." Salah seorang perempuan berusaha untuk bercanda. "Sekali lagi kau bilang aku cantik, aku akan minta Ariana memotong gajimu," desis Elian dengan mata melotot. Pada akhirnya, Elian batal menyeduh kopi dan memilih untuk mengambil kopi kemasan kaleng saja. Dia makin kesal karena malah dibilangi cantik dan berakhir protes pada atasannya. "Ini tidak masuk akal sekali," ucap Elian sambil memeluk tablet. "Apanya yang tidak masuk akal?" Tentu saja Ariana akan bertanya. "Kau tidak dengar gosip yang sudah tersebar luas itu?" tanya Elian dengan mata melotot. "Mereka bilang aku pacaran dengan si produser mesum, Sebastian Leclerc." "Oh, masa sih?" tanya Ariana segera mengambil ponselnya. "Tapi aku tidak liat ada berita di grup." "Menurutmu orang-orang gila gosip itu mau berbagi gosip dengan atasan?" tanya Elian masih terus melotot. "Lagian, kenapa sih kau malah bikin kerja sama dengan playboy itu? Masih banyak loh produser lagu yang lain untuk kantor entertaiment kita ini." "Produser lagu banyak." Ariana mengangguk mengiyakan. "Tapi yang cocok denganku itu sedikit. Lagian menurutku dia yang paling bagus." "Jadi dari pada mengeluh, bagaimana kalau kau kerja saja?" tanya Ariana masih bisa tersenyum. "Tapi aku tidak bisa terima ini." Elian bersikeras. "Setidaknya kau bilang dong sama anak-anak yang lain kalau gosip itu tidak jelas." "Itu bukan masalahku, Eli." Ariana ikut melotot karena kesal. "Biar sampai mulutku berbusa pun tidak akan ada yang mau percaya, karena aku itu bukan kau. Kau yang klarifikasi saja belum tentu dipercaya, apalagi aku." "Aku tahu kau itu siapa, Eli. Tapi maaf, aku tidak mau ikut campur. Kalau tidak mau digosipi yang aneh-aneh, kau harus jujur pada semua orang." Elian menggeram kesal. Dia benar-benar marah, tapi yang dibilang bosnya itu ada benarnya juga. Alhasil, Elian memilih untuk pergi bekerja saja. Sayangnya, saat kembali ke meja, orang-orang yang berkumpul dan berbisik membuatnya kesal lagi. "Bisa tidak kalian jangan berkumpul dan bergosip di depan meja orang lain?" hardik Elian dengan mata melotot. "Oh, maaf." Seseorang meringis pelan, sambil menunjuk ke atas meja. "Kami kebetulan mau kumpul berkas saja kok." "Kumpul berkas kok gerombolan." Elian tentu saja akan menegur. "Lagian, gosip apa pun itu yang beredar semuanya tidak benar." Empat orang yang berdiri di depan meja Elian hanya bisa meringis pelan, sebelum pamit pergi. Namun, baru juga beberapa langkah mereka berhenti lagi dan menyapa tamu yang baru saja muncul. "Selamat siang Ma'am." Elian ikut menyapa. "Oh, Eli." Seorang perempuan yang jauh lebih tua menyapa dengan senyum lebar. "Bagaimana Ariana?" "Baik-baik saja, Ma'am. Apa kau mau ketemu dengan dia?" Elian menjawab dengan senyuman, tapi matanya melirik kesal pada orang yang berdiri di samping perempuan paruh baya itu. "Aku bertemu dengan Anna di lantai bawah." Sebastian menjelaskan dengan senyum lebar. "Karena hari ini tidak sibuk, aku antar saja dia untuk menjenguk anak dan calon cucu." "Oh, Seb. Kau benar-benar baik." Perempuan paruh baya yang dipanggil Anna itu menepuk pelan lengan Sebastian. "Aku yakin siapa pun pasanganmu nanti, pasti akan merasa beruntung." Elian segera melirik pada gerombolan perempuan yang masih belum pergi juga. Mereka sudah menjauh, tapi masih bergerombol, saling lirik dan berbisik. "Omong-omong soal pasangan, Eli juga belum ada kan?" Tiba-tiba saja Anna bertanya. "Ya, tapi apa ada masalah dengan itu?" tanya Elian dengan kening berkerut. "Tidak ada masalah, malah hal bagus karena aku bisa menjodohkanmu" Anna menarik tangan Elian untuk berdiri di samping Sebastian. "Soalnya aku rasa, kalian berdua terlihat serasi.""Leo sudah kembali." Ariana berucap pelan dan membuat Sebastian langsung berdiri.Lelaki dengan wajah kusut itu segera mendekati Leo. Sebastian bahkan menatap lengan Leo yang ditutupi dengan plester khusus."Aku berhasil donor, tapi katanya perlu waktu sampai bisa dipakai," ucap Leo terlihat kusut karena masih merasa khawatir. "Kenapa masih harus menunggu?" tanya Sebastian ikut mengerutkan kening. "Karena katanya harus tes dulu, apakah darahnya cukup bagus dan aku tidak kena penyakit." Leo sampai mengembuskan napas. "Padahal aku pikir sudah bisa menyelamatkan Elian.""Yang akan menyelamatkan Elian itu adalah tim dokter." Ariana yang masih duduk dengan perut buncitnya, langsung bersuara. "Kau memang membantu, tapi pada akhirnya yang menyelamatkan Elian adalah tim dokter dan Tuhan.""Aku rasa Ariana benar." Mau tidak mau, Sebastian ikut mengangguk, walau jelas sekali kalau dia masih merasa sangat cemas. "Jadi, dari pada kalian berdiri seperti orang bodoh di sana, sana pergi d
Semua terjadi begitu cepat. Walau Sebastian tadi sudah berteriak keras, tapi nyatanya teriakan itu nyaris tidak berguna. Apalagi, Lexi rupanya bukan hanya penyanyi yang bagus, tapi dia juga pelari handal.Langkahnya begitu ringan saat berlari mendekati Elian yang jaraknya agak dekat dengannya. Jarak Hugo memang lebih dekat dengan Elian, tapi si pengawal tadi sempat terkejut dan terlambat bergerak. Wajar, karena Lexi memang terlalu tenang dan tidak ada yang melihatnya memegang pisau.Hugo masih sempat menarik tangan Elian, tapi itu pun tidak berguna. Pisau tetap saja menancap ke tubuh Elian."ELIAN!"Sebastian dengan cepat berlari ke arah sang istri. Dia membiarkan Lexi diringkus oleh para pengawal, yang awalnya harus mengawasi dan melindungi bintang utama konferensi. Bahkan Sebastian mendorong Lexi agar dia bisa lewat."Rasakan itu," pekik Lexi dengan tawa lebar, tidak melawan ketika dipegangi banyak orang. "Lebih baik kau mati saja. Aku tidak bisa bersama Sebastian, maka kau ju
Beberapa jam sebelum konferensi pers. "Elian." Yang empunya nama langsung menoleh dengan ekspresi kesal ketika namanya dipanggil. Padahal tadinya Elian sangat buru-buru karena hari ini dia terlambat bangun, bahkan sampai membuat Sebastian harus berangkat duluan. Tapi sekarang langkahnya malah dihalangi. "Ada apa sih?" tanya Elian pada perempuan yang menghampirinya. "Ini ada kiriman untukmu." "Hah? sepagi ini?" tanya Elian kini dengan kening berkerut bingung. "Iya, aku juga bingung. Soalnya waktu aku datang, ini sudah ada di atas meja resepsionis," ucap perempuan yang menghampiri tadi. "Tapi yang penting sekarang sudah aku berikan padamu." Tanpa banyak bicara lagi, Elian langsung mengambil paket itu. Dia lagi buru-buru, jadi tidak banyak bertanya. "Apa yang kau bawa itu?" Leo menyambut Elian. "Aku sudah tunggu dari tadi loh." "Aku terlambat bangun dan mengacau di rumah," ucap Elian membanting kotak yang dia bawa ke atas meja. "Jadi, itu kiriman dari mana?" Leo kemb
"Hei, Nona. Butuh tumpangan?"Elian hanya bisa menggeleng, ketika mendengar suara yang sudah sangat dia kenali. Dia juga tidak perlu mencari arah datangnya suara, karena mobil Sebastian sudah terparkir di depannya dengan jendela terbuka."Aku tidak butuh tumpangan, tapi aku butuh makan," jawab Elian yang akhirnya membuka pintu mobil dan masuk."Bagaimana pertemuanmu dengan Sandy?" Sebastian langsung bertanya, setelah yakin istrinya sudah duduk dengan nyaman."Tidak terlalu buruk, tapi tetap saja menyebalkan." Elian mengedikkan bahu dengan santai. "Dia mengancam.""Mengancam seperti apa?" Sebastian yang kaget, tidak sengaja menaikkan intonasi suaranya.Tadi, Elian memang memberi tahu Sebastian soal ajakan Sandy. Itu pun dia lakukan saat sudah dalam perjalanan menunjuk ke tempat janjian. Biar bagaimana, Elian tetap mau suaminya tahu, tanpa perlu ikut campur. Untung Sebastian mau menjemput dan menunggu dengan tenang."Katanya kalau aku menolak permintaan dia hari ini, dia tidak b
Elian menatap Leo yang melangkah dengan canggung, sambil mengangguk kepala. Pembicaraan mereka sudah selesai dan kini Elian hanya bisa menatap lelaki yang sebenarnya adalah saudara kembarnya itu. "Kau yakin dengan keputusanmu itu?" Ariana bertanya dengan tangan terlipat di depan dada, sambil bersandar di pintu. "Yakin." Elian mengangguk pelan. "Tidak usah ditanya lagi." Sebastian ikut membela sang istri. "Elian juga pasti sudah berpikir dengan baik, sebelum memutuskan untuk tidak memberi tahu Leo." "Biar bagaimana, Leo mengenaliku sebagai Elian Vollen. Bukan Leonie Moretti, saudara kembarnya," lanjut Elian kini memilih untuk melanjutkan pekerjaan. "Lagian, dia sama sekali tidak kenal aku kan?" "Iya sih." Ariana mengangguk pelan. "Padahal tidak terlalu banyak yang berubah darimu, tapi dia masih tidak sadar juga. Apalagi sekarang kau sudah mulai berpenampilan sebagai perempuan." "Dalam pikiran Leo, adiknya Leonie sudah mati," balas Elian diikuti dengan embusan napas pelan. "
"Wah, coba lihat dia." "Apa itu benar Elian?" "Kalau diperhatikan lagi, dia kelihatan seperti Cara Delevingne ya." "Tampan dan cantik." "Sejak dulu dia memang begitu, tapi sekarang jadi lebih gila lagi." Elian berdehem pelan, saat dia masuk ke dalam lift. Itu dia lakukan karena dirinya bisa mendengar semua celotehan orang-orang di sekitar. Bahkan di dalam lift yang tidak banyak orang pun masih ada yang menatapnya dari atas sampai bawah sambil berbisik. "Kau kenapa?" Sebastian bertanya, sambil menatap sang istri. "Apa tenggorokanmu gatal? Gejala batuk?" "Tidak apa-apa kok." Elian dengan cepat menggeleng. "Mungkin kurang minum air." "Oh, aku bawa tumbler." Sebastian segera mengambil ransel yang tersampir di bahunya. "Minum saja dulu ini, lalu nanti aku akan belikan obat pelega tenggorokan." "Wah, kau lihat itu?" "Sebastian manis sekali ya." "Perhatian banget. Aku juga mau suami seperti itu." Mendengar suara bisikan di sekitarnya, Elian yang sedang minum itu sampa







